1. PENGERTIAN
IFTA’
Secara etimologi kata iftâ’ (افـتـاء) terambil dari akar
kata “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء”[1] yang berarti memberi penjelasan,
memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Secara tegas rumusan tentangiftâ’ ini.
Akan tetapi dapat dipahami bahwa iftâ’ itu intinya adalah
usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya.[2] Dari sini dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan iftâ’ ialah jawaban yang diberikan oleh
seorang ahli atas suatu
pertanyaan tentang suatu persoalan hukum syara’. Orang
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu disebut dengan mufti (المـفـتى).
Secara lebih tegas dikatakan bahwa iftâ’ itu adalah fatwa yang
diberikan oleh seorang mufti atas suatu persoalan hukum yang ditanyakan
kepadanya. Pekerjaan meminta fatwa itu disebut dengan istaftâ’(اســتـفـتى).
Sedangkan orang yang meminta fatwa atau yang diberi jawaban fatwa disebut
dengan mustaftî’ (الـمســتـفـتى).
Ifta’ berasal dari kata afta yang
artinya memberikan penjelasan. secara sederhana, ifta’ di rumuskan sebagai
“Usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya”.[3]
Contoh dari ifta’ adalah mengenai hukum hadiah undian, ada tiga bentuk
hukum yang menyangkut hukum tersebut salah satunya hukum–hukum yang
diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan
mengajak kepada peningkatan ilmu.[4]
Pengetahuan yang bermanfaat dan
amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan menghafal Al-Quran.
Ciri-ciri dari Ifta’ (berfatwa) adalah :
a.
Usaha memberi penjelasan.
b.
Penjelasan yang di berikan
berkaitan dengan hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.
Yang memberi penjelasan adalah
orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya.
d.
Penjelasan itu diberikan kepada
orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[5]
Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh
Allah dalam firman-Nya :
Artinya : Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada
mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada Mengetahui. (QS. Al-Anbiyaa : 7)
2. MUFTI
Mufti adalah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk seorang
ahli fiqih (faqih), karena yang dimaksud dengan mufti adalah mujtahid
dalam istilah ulama ahli ushul. Secara global, syarat-syarat mufti dapat
dikelompokan kepada empat bagian berikut:
a.
Syarat umum, yaitu muslim, dewasa
dan sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan
dengan hukum syara dan pelaksanaanya.
b.
Syarat keilmuan, yaitu mengetahui
secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli.
Mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.
c.
Syarat kepribadian, yaitu adil
dan dapat dipercaya.
d.
Syarat pelengkap dalam
kedudukanya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain:
dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’,
bersifat tenang atau sakinah, dan berkecukupan. Imam Ahmad menurut yang
dijelaskan oleh ibn al-Qayyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan
i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum,
al-Isnawi mengemukakan syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku
pada seorang perowi hadist,karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama
dengan tugas perawi.
Kewajiban-kewajiban
para Mufti, yaitu:
a.
Tidak memberikan fatwa dalam
keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan.
b.
Hendaklah dia memohon pertolongan
kepada Allah agar menunjukan ke jalan yang benar.
c.
Berdaya upaya menetapkan hukum
yang diridhai Allah[6].
Sifat-sifat
yang harus dimiliki seorang mufti menurut pendapat Imam Ahmad adalah:
a.
Mempunyai niat dalam memberi
fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata.
b.
Hendaklah dia mempunyai ilmu,
ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan.
c.
Hendaklah Mufti itu seorang yang
benar-benar menguasai ilmunya.
d.
Hendaklah Mufti itu seorang yang
mepunyai kerukunan dalam bidang material.
e.
Hendaklah mufti itu mempunyai
ilmu kemasyarakatan.[7]
Mufti’ atau
orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahid atau faqih.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya
sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal,
sebagai dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus
syarat-syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.[8]
1.
Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat
yang ikhlash. Sekiranya seorang mufti tidak memiliki niat yang tulus, maka ia
tidak akan mendapat cahaya.
2.
Mufti hendaklah seorang
yang memiliki ilmu, penyantun, sopan dan tenang.
3.
Mufti hendaklah seorang
yang memiliki semangat / jiwa yang kuat.
4.
Berkecukupan
5.
Mengenal keadaan dan lingkungan
masyarakatnya.
Akan tetapi secara umum,
kalam ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi
seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan.
Persyaratan tersebut adalah.[9] (1) balgih, berakal dan
merdeka; (2) adil; dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki
kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini ;
seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal
memenuhi persyaratan di atas.
Adapun yang dimaksud dengan
adil, menurut Al-Gazali, adalah seorang yang istiqomah dalam agamanya dan
memelihara kehormatan pribadinya. Syarat ini sangat diperlukan, karena mufti
merupakan panutan bagi masyarakat, baik dari segi fatwa yang dikeluarkannya
maupun dari segi kepribadiannya.[10]
Terkait dengan syarat adil
bagi mufti ulama ushul fiqh juga mengemukakan implikasi dari syarat ini.
Menurut mereka ada tiga hal[11]yang harus diperhatikan oleh para mufti
dalam kaitannya dengan syarat adil ini ; (a) setiap fatwanya harus senantiasa
dilandasi oleh dalil, (b) apabila mufti tersebut kapasitas ilmiah untuk
mengistinbatkan hukum, maka ia harus berusaha menggali hukum dari nash dengan
mempertimbangkan realitas yang ada, dan (c) fatwa itu tidak mengikuti
kehendak al-Mustaftitetapi mempertimbangkan dan mengikuti kehendak
dalil dan kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya, iftâ’ itu
lebih khusus jika dibandingkan denganijtihâd.[12] Kekhususan tersebut ialah
dimana iftâ’ dilakukan setelah ada pertanyaan atau
perminataan dari orang yang minta fatwa (mustafti), sedangkan ijtihâd dilakukan
tanpa menunggu adanya pertanyaan dari manapun.[13]
Kemudian yang paling
penting dalam iftâ’ itu ialah harus ada unsur-unsur berikut
ini; yang juga unsur-unsur ini merupakan rukun iftâ’yaitu ;
1.
Adanya usaha memberikan penjelasan, yang
disebut denganiftâ’.
2.
Adanya orang yang menyampaikan jawaban hukum
syara’ terhadap orang yang bertanya, disebut mufti.
3.
Adanya orang yang bertanya atau meminta
penjelasan hukum atau suatu peristiwa yang disebut dengan Mustafti.
4.
Jawaban hukum syara’ yang disampaikan kepada
orang yang bertanya, disebut dengan fatwa.
Menyangkut kedudukan hasil
fatwa sesungguhnya sama dengan hasil ijtihâd. Ketentuan hukum
hasil fatwa yang dikeluarkan oleh seorangmufti sifatnya tidak
mengikut al-Mustafti atau orang yang bertanya. Al-Mustafti boleh
menerima dan boleh pula menolak, dalam artian tidak mengamalkan hasil suatu
fatwa. Berbeda halnya dengan keputusan hakim. Suatu ketentuan hukum yang
diputuskan oleh hakim ia bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak
yang dihukum.
3. FATWA
Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran islam yang di
sampaikan oleh lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, yakni Mufti.
Hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Apabila dalam suatu
wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang
sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hak
berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu ain, namun apabila ada mujtahid lain
yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya
bukanlah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hak berfatwa bagi mufti
tersebut adalah adalah fardhu Kifayah.
4. MENGIKUTI
(FATWA) SEORANG MUFTI
Al-Isnawi dan Ibnu Al-Humman mengklaim bahwa ada kesepakatan ulama
tentang tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti untuk mengkuti mufti
lain dalam masalah yang sama. Al-Amidi mengutip ijma’ ulama dalam hal ini,
Tajahudin Al-Subkhi tidak membolehkan hal ini, tetapi tidak menyebutkan adanya
ijma’ ulama, disamping mengecualikan jika fatwa yang diterimanya itu belum
diamalkannya.
Kemudian Tajuddin Al-Subkhi mengemukakan beberapa pendapat
bandingan terhadap pendapat tersebut dalam bentuk pengecualian, yaitu:[14]
a.
Tidak boleh meninggalkan pendapat
mufti dengan semata-mata ia telah minta fatwa.
b.
Harus tetap mengikuti pendapat
mufti itu jika telah diamalkan.
c.
Harus tetap mengikuti mufti itu
jika yakin akan keshahihan pendapatnya itu.
d.
Harus tetap mengikuti pendapat
mufti jika tidak menemukan mufti yang lain.
Bertolak pada pendapat yang membolehkan bermadzhab, bolehkah orang yang
bermadzhab itu pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaaan pendapat
ulama:
a.
Sebagaian ulama mengatakan tidak
boleh. Karena ia telah menyatakan dirinya untuk mengikuti madzhab asal
mulanya tidak harus.
b.
Ulama lain mengatakan boleh-boleh
saja karena bermadzhab itu sendiri tidak harus.
c.
Ada juga ulama yang mengambil
jalan tengah dengan mengatakan tidak boleh dalam sebagain masalah dan boleh
dalam bagian lain. Maksudnya, ketidakbolehan itu tidaklah mutlak.
PENUTUP
a.
Madzhab adalah pokok pikiran yang
digunakan Imam Madzhab untuk memecahkan masalah-masalah dan mengistinbatkan
hukum Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
b.
Taqlid adalah perkataan atau
pendapat yang diikuti dan diterima itu tidak diketahui dasar dan alasanya
apakah ada atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ada 3 macam Taqlid, yaitu
taqlid yang haram, taqlid yang dibolehkan, dan taqlid yang wajib.
c.
Talfiq ialah mengambil ataun mengikuti
hukum dari suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Mencampur sejumlah pendekatan dari beberapa madzhab yang diperbolehkan, namun
seorang praktisi dianjurkan tetap bertahan pada garis pedoman madzhab tertentu.
d.
Ifta’ merupakan usaha memberi
penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Jumantoro, Totok
dan Samsul Munir. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah.
Qaradhawi, Yusuf.
2002. Fatwa-Fatwa Kontemporer.
Jakarta: Gema Insani Press.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ushul
Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rosada, Dede.
1999. Hukum Islam dan Pranata
Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Shiddieqy, M. Hasbi
Ash. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang:
PT. Pustaka Rizki putra.
Syarifudin, Amir. 2001. Ushul
Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Footnoote:
[1]
Lihat dalam Muhammad Yunus.
1990. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta ; PT. Hidakarya Agung,
halaman 308
[2] Lihat Amir Syarifuddin,
2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet.
2, halaman 429
[4] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (
Jakarta: Gema Insani press, 2002), h. 499
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.Cit., h.
101
[7] M. Hasbi Ash.Shiddieky, Pengantar Hukum Islam (Jakarta:
PT. Karya Unipress, 1994), h. 180.
[8] Muhammad Abu Zahrah.
1958, Ushul al-Fiqh, Kairo ; Dar al-Fikr al-Araby, halaman 401
[9]
Aziz Dahlan et.all (edit). 1996. Ensiklopedi
Hukum Islam. Jilid I, Jakarta ; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.
I, halaman 326-3
[12] Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.
[13] Amir Syarifuddin, Loc.cit.
[14] Ade Dedi Rohyana, Op.Cit., h. 334
0 comments:
Posting Komentar