-->

IFTA’ (MEMBERI FATWA/PENJELASAN)

Posted by Sarjana Ekonomi on Senin, 15 April 2013



1.     PENGERTIAN IFTA’
Secara etimologi kata iftâ’ (افـتـاء) terambil dari akar kata  “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء[1] yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Secara tegas rumusan tentangiftâ’ ini. Akan tetapi dapat dipahami bahwa iftâ’ itu intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.[2] Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan iftâ’ ialah jawaban yang diberikan oleh seorang ahli atas suatu
pertanyaan tentang suatu persoalan hukum syara’. Orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu disebut dengan mufti (المـفـتى). Secara lebih tegas dikatakan bahwa iftâ’ itu adalah fatwa yang diberikan oleh seorang mufti atas suatu persoalan hukum yang ditanyakan kepadanya.   Pekerjaan meminta fatwa itu disebut dengan istaftâ’(اســتـفـتى). Sedangkan orang yang meminta fatwa atau yang diberi jawaban fatwa disebut dengan mustaftî’ (الـمســتـفـتى).
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. secara sederhana, ifta’ di rumuskan sebagai “Usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”.[3]
Contoh dari ifta’ adalah mengenai hukum hadiah undian, ada tiga bentuk hukum yang menyangkut hukum tersebut salah satunya hukum–hukum yang diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu.[4] Pengetahuan yang bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan menghafal Al-Quran.
Ciri-ciri dari Ifta’  (berfatwa) adalah :
a.      Usaha memberi penjelasan.
b.      Penjelasan yang di berikan berkaitan dengan hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.       Yang memberi penjelasan adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya.
d.      Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[5]

Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya :
Artinya :  Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui. (QS. Al-Anbiyaa : 7)


2.     MUFTI
Mufti adalah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk seorang ahli fiqih (faqih), karena yang dimaksud dengan mufti adalah mujtahid dalam  istilah ulama ahli ushul. Secara global, syarat-syarat mufti dapat dikelompokan kepada empat bagian berikut:
a.      Syarat umum, yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara dan pelaksanaanya.
b.      Syarat keilmuan, yaitu mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli. Mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.
c.       Syarat kepribadian, yaitu adil dan dapat dipercaya.
d.      Syarat pelengkap dalam kedudukanya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang atau sakinah, dan berkecukupan. Imam Ahmad menurut yang dijelaskan oleh ibn al-Qayyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum, al-Isnawi mengemukakan syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perowi hadist,karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama dengan tugas perawi.
Kewajiban-kewajiban para Mufti, yaitu:
a.      Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan.
b.      Hendaklah dia memohon pertolongan kepada Allah agar  menunjukan ke jalan yang benar.
c.       Berdaya upaya menetapkan hukum yang diridhai Allah[6].
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang mufti menurut pendapat Imam Ahmad adalah:
a.      Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan  Allah semata.
b.      Hendaklah dia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan.
c.       Hendaklah Mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya.
d.      Hendaklah Mufti itu seorang yang mepunyai kerukunan dalam bidang material.
e.      Hendaklah mufti itu mempunyai ilmu kemasyarakatan.[7]
Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahid atau faqih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.[8]
1.      Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat yang ikhlash. Sekiranya seorang mufti tidak memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
2.      Mufti hendaklah seorang yang memiliki ilmu, penyantun, sopan dan tenang.
3.      Mufti hendaklah seorang yang memiliki semangat / jiwa yang kuat.
4.      Berkecukupan
5.      Mengenal keadaan dan lingkungan masyarakatnya.
Akan tetapi secara umum, kalam ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah.[9] (1)  balgih, berakal dan merdeka; (2) adil; dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini ; seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas.
Adapun yang dimaksud dengan adil, menurut Al-Gazali, adalah seorang yang istiqomah dalam agamanya dan memelihara kehormatan pribadinya. Syarat ini sangat diperlukan, karena mufti merupakan panutan bagi masyarakat, baik dari segi fatwa yang dikeluarkannya maupun dari segi kepribadiannya.[10]
Terkait dengan syarat adil bagi mufti ulama ushul fiqh juga mengemukakan implikasi dari syarat ini. Menurut mereka ada tiga hal[11]yang harus diperhatikan oleh para mufti dalam kaitannya dengan syarat adil ini ; (a) setiap fatwanya harus senantiasa dilandasi oleh dalil, (b) apabila mufti tersebut kapasitas ilmiah untuk mengistinbatkan hukum, maka ia harus berusaha menggali hukum dari nash dengan mempertimbangkan realitas yang ada, dan (c) fatwa itu tidak mengikuti kehendak al-Mustaftitetapi mempertimbangkan dan mengikuti kehendak dalil dan kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya, iftâ’ itu lebih khusus jika dibandingkan denganijtihâd.[12] Kekhususan tersebut ialah dimana iftâ’  dilakukan setelah ada pertanyaan atau perminataan dari orang yang minta fatwa (mustafti), sedangkan ijtihâd dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari manapun.[13]
Kemudian yang paling penting dalam iftâ’ itu ialah harus ada unsur-unsur berikut ini; yang juga unsur-unsur ini merupakan rukun iftâ’yaitu ;
1.      Adanya usaha memberikan penjelasan, yang disebut denganiftâ’.
2.      Adanya orang yang menyampaikan jawaban hukum syara’ terhadap orang yang bertanya, disebut mufti.
3.      Adanya orang yang bertanya atau meminta penjelasan hukum atau suatu peristiwa yang disebut dengan Mustafti.
4.      Jawaban hukum syara’ yang disampaikan kepada orang yang bertanya, disebut dengan fatwa.
Menyangkut kedudukan hasil fatwa sesungguhnya sama dengan hasil ijtihâd. Ketentuan hukum hasil fatwa yang dikeluarkan oleh seorangmufti sifatnya tidak mengikut al-Mustafti atau orang yang bertanya. Al-Mustafti boleh menerima dan boleh pula menolak, dalam artian tidak mengamalkan hasil suatu fatwa. Berbeda halnya dengan keputusan hakim. Suatu ketentuan hukum yang diputuskan oleh hakim ia bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum.

3.     FATWA
Fatwa  adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran islam yang di sampaikan oleh lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, yakni Mufti. Hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Apabila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hak berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu ain, namun apabila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hak berfatwa bagi mufti tersebut adalah adalah fardhu Kifayah.

4.     MENGIKUTI  (FATWA) SEORANG MUFTI
Al-Isnawi dan Ibnu Al-Humman mengklaim bahwa ada kesepakatan ulama tentang tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti untuk mengkuti mufti lain dalam masalah yang sama. Al-Amidi mengutip ijma’ ulama dalam hal ini, Tajahudin Al-Subkhi tidak membolehkan hal ini, tetapi tidak menyebutkan adanya ijma’ ulama, disamping mengecualikan jika fatwa yang diterimanya itu belum diamalkannya.
Kemudian Tajuddin Al-Subkhi mengemukakan beberapa pendapat  bandingan terhadap pendapat tersebut dalam bentuk pengecualian, yaitu:[14]
a.      Tidak boleh meninggalkan pendapat mufti dengan semata-mata ia telah minta fatwa.
b.      Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu jika telah diamalkan.
c.       Harus tetap mengikuti mufti itu jika yakin akan keshahihan pendapatnya itu.
d.      Harus tetap mengikuti pendapat mufti jika tidak menemukan mufti yang lain.
Bertolak pada pendapat yang membolehkan bermadzhab, bolehkah orang yang bermadzhab itu pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaaan pendapat ulama:
a.      Sebagaian ulama mengatakan tidak boleh. Karena ia telah menyatakan dirinya untuk mengikuti  madzhab asal mulanya tidak harus.
b.      Ulama lain mengatakan boleh-boleh saja karena bermadzhab itu sendiri tidak harus.
c.       Ada juga ulama yang mengambil jalan tengah dengan mengatakan tidak boleh dalam sebagain masalah dan boleh dalam bagian lain. Maksudnya, ketidakbolehan itu tidaklah mutlak.
                                           
 PENUTUP

a.      Madzhab adalah pokok pikiran yang digunakan Imam Madzhab untuk memecahkan masalah-masalah dan mengistinbatkan hukum Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
b.      Taqlid adalah perkataan atau pendapat yang diikuti dan diterima itu tidak diketahui dasar dan alasanya apakah ada atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ada 3 macam Taqlid, yaitu taqlid yang haram, taqlid yang dibolehkan, dan taqlid yang wajib.
c.       Talfiq ialah mengambil ataun mengikuti hukum dari suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Mencampur sejumlah pendekatan dari beberapa madzhab yang diperbolehkan, namun seorang praktisi dianjurkan tetap bertahan pada garis pedoman madzhab tertentu.
d.      Ifta’ merupakan usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.

DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro,  Totok   dan Samsul   Munir. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh.  Jakarta: Amzah.

Qaradhawi,   Yusuf.   2002.  Fatwa-Fatwa   Kontemporer. Jakarta: Gema  Insani Press.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rosada,  Dede.  1999.  Hukum  Islam  dan  Pranata   Sosial.  Jakarta:  PT.  Raja Grafindo.

Shiddieqy,  M.  Hasbi  Ash.  1997.  Pengantar  Hukum  Islam.  Semarang:   PT. Pustaka Rizki putra.

Syarifudin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.


Footnoote:

[1] Lihat dalam Muhammad Yunus. 1990. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta ; PT. Hidakarya Agung, halaman 308
[2] Lihat Amir Syarifuddin, 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 429
[3] Ibid.,h.327
[4] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer ( Jakarta: Gema Insani press, 2002), h. 499
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.Cit., h. 101
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddiqi, Op.Cit., h. 168 
[7] M. Hasbi Ash.Shiddieky, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1994), h. 180.
[8] Muhammad Abu Zahrah. 1958, Ushul al-Fiqh, Kairo ; Dar al-Fikr al-Araby, halaman 401
[9] Aziz Dahlan et.all (edit). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I, Jakarta ; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, halaman 326-3
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.
[13] Amir Syarifuddin, Loc.cit.
[14] Ade Dedi Rohyana, Op.Cit., h. 334
Previous
« Prev Post

Related Posts

Senin, April 15, 2013

0 comments:

Posting Komentar