BAB I
PENDAHULUAN
Tugas
Perencanaan Jalan Raya dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga
dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan raya itu sendiri yaitu memberikan
pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses termasuk perencanaan
tebal perkerasan merupakan bagian dari perkerasan jalan seutuhnya, demikian
juga dengan drainase jalan.
Jadi
tujuan perencanaan jalan raya adalah menghasilkan insfrasruktur yang aman, efesiensi
pelayanan lalu lintas dan memaksimalkan rasio tingkat pelayanan /biaya pelaksanan.
Ruang bentuk dan ukuran dikatakan baik, jika dapat memberi rasa aman dan nyaman
bagi pemakai jalan. Yang menjadi dasar perencanan jalan adalah sifat gerak, ukuran
kendaraan dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi
bahan pertimbangan perencanaan sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan
serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan
diharapkan.
1.1. Pengenalan Jalan Raya
Jalan
raya adalah suatu lintasan yang bertujuan untuk melewatkan lalu lintas dari
suatu tempat ke tempat lain. Arti lintasan adalah menyangkut jalur tanah yang
diperkeras atau jalur tanah tanpa perkerasan. Sedangkan arti lalu lintas adalah
menyangkut semua benda dan makhluk yang melewati jalan tersebut, baik kendaraan
bermotor, tak bermotor seperti sepeda, manusia ataupun hewan.
Jalan raya sebagai sarana pembangunan
dan membantu perkembangan wilayah adalah sangat penting sekali. Karena itu lalu
lintas di jalan raya dilakukan secara lancar dan aman sehingga pengangkutan
berjalan lancar, cepat, tepat, aman, efisien dan ekonomis. Untuk itu jalan raya
harus memenuhi syarat-syarat teknis dan ekonomis menurut fungsi, volume dan
sifat-sifat lalu lintas.
1.2. Klasifikasi Jalan Raya
Dari
sejarah, jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Sesuai pelayanan yang didasarkan atas :
- Prasarana sosial dan ekonomis (jalan ekonomis)
- Prasarana politik dan militer (jalan strategi)
b. Sesuai dengan pengawasan seperti :
H Jalan desa, yang meliputi semua
jalan di desa.
H Jalan
kabupaten atau kotamadya, yang meliputi semua jalan di kabupaten dan kotamadya.
H Jalan
propinsi, selain melayani lalu lintas dalam propinsi, juga berfungsi
menghubungkan dengan propinsi lainnya.
H Jalan negara, berfungsi
menghubungkan ibukota-ibukota propinsi.
Semua
jalan tersebut dibiayai oleh pemerintah setempat (DATI I/DATI II) kecuali jalan
negara yang dibiayai oleh Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Jenderal Bina
Marga).
Klasifikasi jalan berdasarkan
Undang-Undang :
H Berdasarkan Undang-Undang Lalu
Lintas Lama
Klasifikasi jalan didasarkan pada tekanan gandar belakang
yang menyatakan berat total kendaraan yakni berat kendaraan termasuk muatannya.
Klasifikasi Jalan
|
Berat Tekanan Gandar
|
I
II
III
III A
IV
V
|
7 ton
5 ton
3,5 ton
2,75 ton
2 ton
2 ton
|
H Berdasarkan Undang-Undang Lalu
Lintas Baru
Sesuai dengan Pengaturan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970 dari Direktorat
Eksplorasi, Survey dan Perencanaan Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen
Pekerjaan Umum, maka jalan dibagi dalam kelas-kelas yang berdasarkan :
a. Fungsi jalan, mencakup tiga
golongan penting, yakni :
Jalan
utama, yaitu jalan raya
yang melayani lalu lintas berfrekwensi tinggi antara kota-kota penting sehingga
harus direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.
Jalan
sekunder, yaitu jalan
raya yang melayani lalu lintas berfrekwensi cukup tinggi antara kota-kota
penting dan kota-kota kecil serta sekitarnya.
Jalan
penghubung, yakni jalan
untuk keperluan aktifitas daerah yang juga dipakai sebagai penghubung antara
jalan-jalan dari golongan yang sama atau berlainan.
b. Volume dan sifat-sifat lalu lintas
Dalam
proses pembuatan jalan baru atau peningkatan jalan lama, dibutuhkan suatu
perencanaan yang matang, yang disusun berdasarkan perhitungan lalu lintas untuk
lokasi jalan tersebut. Hasil perkiraan ini akan diproyeksikan untuk tahun
rencana yang nantinya dinyatakan sebagai volume lalu lintas rencana.
Volume
Lalu Lintas Rencana (VLLR) dari lalu lintas menyatakan jumlah lalu lintas
perhari dalam satu tahun untuk kedua jurusan. Untuk ini diperlukan penyelidikan
lapangan 24 jam selama satu tahun dengan mencatat setiap jenis kendaraan
bermotor dan kendaraan fisik yang melewati jalan tersebut. Jumlah lalu lintas
perhari dalam satu tahun dinyatakan sebagai lalu lintas rata-rata (LHR).
LHR = Jumlah
lalu lintas dalam satu tahun
Jumlah hari dalam satu
tahun
|
Karena pada umumnya lalu lintas pada jalan
raya terdiri dari campuran kendaraan cepat, lambat, berat, ringan dan kendaraan
tak bermotor atau kendaraan fisik, maka dalam hubungannya dengan kapasitas
jalan (jumlah kendaraan maksimum yang melewati satu titik/tempat dalam satu
satuan waktu) mengakibatkan adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan
tersebut. Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengekivalenkan terhadap kendaraan
penumpang sebagai kendaraan yang dinyatakan dengan faktor ekivalen (FE) = 1.
Maka
dengan demikian satuan LHR adalah dengan satuan mobil penumpang (smp) atau
Passenger Car Unit (PCU). Faktor ekivalen tersebut diterapkan sesuai dengan
kondisi medan, sehingga didapatkan smp ekivalen.
Jenis
Kendaraan
|
Daerah Datar dan Perbukitan
|
Daerah
Pegunungan
|
Sepeda motor, sedan, jeep dan station wagon
Pick up, bis ukuran kecil, truk ringan
Bis, truk dua as
Truk bersumbu tiga, trailer
|
1,0
2,0
3,0
5,0
|
1,0
2,5
4,0
6,0
|
Dalam menghitung VLLR, kendaraan tak
bermotor seperti sepeda, becak dan lain sebagainya, tidak diperhitungkan sebab
pengoperasiannya jauh berbeda bila dibandingkan dengan kendaraan bermotor dan
pengaruhnya atas lalu lintas kendaraan bermotor berubah tergantung volume lalu
lintas kendaraan bermotor itu sendiri.
Faktor-faktor
pokok pada klasifikasi jalan raya adalah volume lalu lintas rencana, fungsi
jalan raya dan kondisi medannya. Penentuan lebar daerah manfaat jalan,
alinyemen dan standar lainnya, mengikuti volume lalu lintas rencana, sedangkan
penentuan kelas-kelas standar jalan akan mengikuti fungsinya.
Berikut ini adalah Peraturan Pemerintah
No. 26/1985, tentang kecepatan rencana minimum dan lebar badan jalan minimum
menurut fungsi jalan :
K Untuk jalan arteri, kecepatan rencananya 60 km/jam, dan lebar
badan jalan 8m.
K Untuk
jalan kolektor, kecepatan rencananya 40 km/jam, dan lebar badan jalan 7m.
K Untuk jalan lokal, kecepatan rencananya 20 km/jam, dan lebar badan
jalan 6m.
Tabel berikut menunjukkan
pengelompokan jalan raya serta pengetrapan kelas standar:
Keterangan :
VLR = Volume Lalu Lintas Rencana (smp/hr)
D = Datar
B = Bukit
G =
Gunung
1.3. Kapasitas Jalan Raya
Kapasitas suatu jalan berarti kemampuan
jalan menerima lalu lintas. Jadi kapasitas menyatakan jumlah kendaraan maksimum
yang melalui satu titik (satu tempat) dalam satu satuan waktu.
Kapasitas dibagi dalam 3 golongan :
a. Kapasitas dasar
(kapasitas ideal) yaitu kapasitas jalan dalam kondisi yang ideal yang meliputi
:
P Lalu lintas mempunyai ukuran
standar
P Lebar perkerasan ideal 3,6 m
P Lebar bahu 1,8 m dan tak ada
penghalang
P Jumlah tikungan dan tanjakan
P Daerah pembebasan
b. Kapasitas rencana
(design capassity) yaitu kapasitas jalan untuk perencanaan yang dinyatakan
dengan jumlah kendaraan yang melalui suatu tempat dalam satu satuan waktu
(jam).
c. Kapasitas mungkin
(possible capassity) yaitu jumlah kendaraan yang melalui satu titik atau tempat
dalam satu satuan waktu dengan memperhatikan kecepatan ataupun perlambatan yang
terjadi pada jalan tersebut.
Elemen dari
perencanaan Geometrik jalan raya adalah:
·
Alinemen horizontal/trase jalan, terutama di
titik beratkan pada perencanaan sumbu jalan. Pada gambar tersebut akan
terlihatkan apakah jalan tersebut jalan lurus, garis menikung kekiri, atau
menikung kekanan. Sumbu jalan terdiri dari rangkaian garis lurus, lengkung
berbentuk lingkaran dan berbentuk lenkung peralihan. Perencanaan geometrik
jalan menfokuskan pilihan letak dan panjang dari bagian-bagian jalan, sesuai
dengan kondisi medan
sehinga terpenuhi kebutuhan akan pengoperasian lalu lintas dan keamanan
(ditinjau dari jarak pandang pengemudi kendaraan ditikungan).
·
Alinemen Vertikal / penampang menmanjang jalan.
Pada gambar akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa kelandaian, mendaki
atau menurun, pada perencanaan alinemen vertikal ini di pertimbangkan bagaimana
meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan
dengan menperhatikan sifat operasi kendaraan, keamanan jarak pandang dan fungsi
jalan. Pemilihan alinemen Vertikal, berkaitan dengan pekerjaan tanah yang
mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang harus di lakukan.
Kondisi yang
baik antara alinemen vertikal dan horinzontal memberikan keamanan dan
kenyamanan pada pemakai jalan. Perencanaan ini diharapkan dapat miningkatkan
umur pada konstruksi jalan tersebut. Selain itu dari segi ekonomis diharapkan
dapat menguntungkan.
Contoh gambar penampang jalan
Ada
beberapa istilah dalam penampang melintang jalan :
Daerah Milik Jalan (Damija) adalah seluruh
daerah manfaat jalan berikut jalur tertentu di luar daerah manfaat jalan
tersebut yang ditujukan untuk memenuhi kondisi ruang bagi pemanfaat jalan.
Daerah Manfaat Jalan (Damaja) adalah
meliputi seluruh jalur lalu lintas (badan jalan, saluran tepi dan ambang
pemangaman).
Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja),
ditujukan untuk penjagaan terhadap terhalangnya pandangan pengendara bermotor
dan untuk konstruksi jalan, jika ruang daerah milik jalan tidak mencukupi.
BAB II
DATA PERENCANAAN
2.1
LHR Awal
Umur Rencana
Mobil penumpang : 400 = 400 SMP/ hari/2 arah
Bus : 200 =
200
SMP/ hari/2 arah
Truk 2 As : 80 = 80
SMP/ hari/2 arah
Truk 3 As : 20 = 20 SMP/ hari/2 arah
Truk 5 As : 4 = 4 SMP/ hari/2 arah
LHR Awal Umur Rencana =
704 SMP/ hari/2 arah
2.2
LHR akhir
umur rencana
Mobil penumpang : ( 1
+ 0.07 )10 x 400 = 786.80 SMP/hari/2 arah
Bus : ( 1 + 0.07 )10 x 200 = 393.43
SMP/hari/2 arah
Truk 2 As : ( 1 + 0.07 )10 x 80 =
157.37 SMP/hari/2 arah
Truk 3 As : ( 1 + 0.07 )10 x 20 = 39.34 SMP/hari/2
arah
Truk 5 As : ( 1 + 0.07 )10 x 4 = 7
SMP/hari/2 arah
LHR akhir Umur Rencana = 1384 SMP/hari/2 arah
Untuk menentukan kelas jalan maka :
LHR Awal Umur Rencana + LHR akhir
Umur Rencana
2
=
= 1044 SMP/hari/2 arah
Jalan
direncanakan adalah jalan kelas IIA sedangkan medan jalan adalah standart geometrik.
BAB III
ALINEMEN HORIZONTAL
3.3. Pengertian Umum
Alinyemen horizontal adalah
garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang peta. Alinyemen horizontal
merupakan trase jalan yang terdiri dari :
Z
Garis
lurus, merupakan bagian jalan yang lurus.
Z
Lengkungan
horizontal yang disebut dengan tikungan, bagian yang sangat kritis pada
alinyemen horizontal, karena suatu benda yang bergerak dengan lintasan
berbentuk lengkungan akan menerima gaya sentrifugal yang akan melemparkan
kendaraan kearah luar lengkungan.
Maka pada perencanaan tikungan agar
dapat memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan, perlu pertimbangan
hal–hal sbb :
J
Lengkung
peralihan
J
Kemiringan
melintang
J
Superelevasi
J
Pelebaran
pada tikungan
J
Kebebasan
samping
3.3. Sketsa
Lintasan
Tabel 3.1. Koordinat Pada Jalur Rencana
No
|
Titik
|
x
(m)
|
y
(m)
|
1
2
3
4
5
6
|
A
PI1
PI2
PI3
PI3
B
|
0
350
550
730
1300
2000
|
0
10
20
25
15
10
|
d total = d1 + d2 + d3 +
d4 + d5
= 350 + 200 + 180 + 570 + 700
= 2000 m
3.3. Menghitung Sudut Putar
Maka:
ΔI =
α PIA – α PI 1 PI 2 =
88° 21’ 46.8” - 87º 8’ 16.8”
=
1o 13’ 33.6”
ΔII =
α PI2 – PI – α PI2 – PI3 = 88° 24’ 32.4”– 87º 8’ 16.8”
=
1o 16’ 15.6”
ΔIII = α PI2
– PI – α PIB = 91o
0’ 18”– 88° 24’ 32.4”
=
2o 34’ 10.56”
ΔIV = α PI2
– PI – α PIB = 91o
0’ 18”– 90o 24’ 32.4”
=
2o 0’ 0”
BAB IV
PERENCANAAN ALINEMEM HORIZONTAL
4.1 Bentuk – Bentuk Tikungan
Tikungan dapat
dibagi atas tiga jenis :
E
Tikungan
Circle (Full Circle)
Gambar Tikungan Full Circle
E
Bentuk
tikungan Spiral Circle Spiral
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan SCS haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak
mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang
ditetapkan yaitu :
p
Kemiringan
maximum jalan antar kota = 0,10
Jari-jari minimum
untuk setiap kendaraan atau kecepatan rencana (pada tabel) yang ditentukan
berdasarkan :
p
Kemiringan
maximum
p
Koefisien
gesekan melintang maksimum
Gambar
Tikungan Spiral Circle Spiral
E Bentuk Tikungan Spiral – Spiral
Bentuk tikungan
ini dipergunakan pada tikungan yang tajam. Adapun formula–formula yang dipakai
sama seperti rumus–rumus pada tikungan SCS, cuma ada perbedaan pemakaiannya.
Gambar tikungan spiral
– spiral
4.2
Rencana lengkung
4.1.1
Lengkung PI1
Rencana lengkungan PI1
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan
perbukitan (B)
-
Kecepatan rencana V =
70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
-
Δ1 = 1o 13’ 33.6”
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
R rencana = 350 m → dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) hal:
113; Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik
jalan, Silvia Sukirman didapat:
- e =
0,080
-
Ls =
50
Maka
:
Dari table Joseph Bernett untuk Ls
= 50 m dan R rec = 350 maka di dapat :
P = 0.2975
K = 24.9955
TS
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
=
(350 + 0.2975) tg. ½ 1o 13’ 33.6”+ 24.9955
= 28.743 m
ES = (R+P)
.sec. ½ Δ - R
= (350 + 0.2975) sec. ½ 1o
13’ 33.6”- 350
= 0.378 m
Kontrol : 2 TS
> LC
2 x 28.743 > 42.51
57.484 > 42.51 → OK
4.1.2. Lengkung PI2
Rencana Lengkungan
PI2
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan
perbukitan
-
Kecepatan rencana V =
70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
-
Δ1 = 1o 16’ 15.6”
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
R rencana = 240 m → dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga)
di dapat:
- e =
0,080
-
Ls =
50
Maka
:
Dari table joseph bernett untuk Ls
= 50 m dan R rec = 240
maka di dapat :
P = 0.4340
K = 24.9910
TS
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
=
(240 + 0.4340) tg. ½ 1o 16’ 15.6”+ 24.9910
= 27.658 m
ES =
(R+P) .sec. ½ Δ - R
= (240 + 0.4340) sec. ½ 1o
16’ 15.6”- 240
= 0.449 m
Kontrol : 2 TS
> LC
2 x 27.658 > 46.676
55.316 > 46.676 → OK
4.1.3. Lengkung PI3
Rencana Lengkungan
PI3
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan
perbukitan
-
Kecepatan rencana V =
70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
-
Δ1 = 2o 34’ 10.56”
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Spiral (SS)
-
R rencana = 200 m → dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga)
di dapat:
- e =
0,080
-
Ls min =
50 m
Maka
:
Dari table joseph bernett untuk Ls
= 50 m dan θs = 1.285
maka di dapat :
P* = 0.0014544
K*= 0.4999987
P = P*.Ls
P = 0.0014544*.8.970
= 0.013
K = K*.Ls
K = 0.4999987*.8.970
= 4.485
TS
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
=
(200 + 0.013) tg. ½ 2o 34’ 10.56”+ 4.485
= 8.971 m
ES =
(R+P) .sec. ½ Δ - R
= (200 + 0.013) sec. ½ 2o 34’ 10.56”- 200
= 0.064 m
4.1.4. Lengkung PI4
Rencana lengkungan PI4
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Kecepatan rencana V =
70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
-
Δ1 = 2o 0’ 0”
-
Jenis tikungan di coba : Full – Circle (FC)
-
VR = 70 Km/Jam → maka dari tabel joseph
bernett
diperoleh R > 700m:dan R rec = 950 m
T
= R.tg. ½ Δ
=
950 tg. ½ 2o 0’ 0” = 16.582 m
E =
T tg. ¼ Δ
= 16.582 tg. ¼ 2o 0’ 0” = 0.1447 m
Ls = 0.01745.Δ.R
= 0.01745 x 2o 0’ 0” x 950
= 33.155 m
Kontrol : 2 T
> Ls
2 x 16.582 > 33.155
33.164 > 33.155→ OK
BAB V
ALINEMEN VERTIKAL
5.1 Alinemen Vertikal
Alinemen
vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan terhadap kemampuan
kendaraan dalam keadaan naik dan berputar penuh (truck digunakan sebagai
kenderaan standar (-)). Alinemen vertikal sangat erat dengan besarnya biaya
pembangunannya. Biaya penggunaan kenderaan serta jumlah lalu lintas.
Kemampuan
pendakian dari kenderaan truck dipengaruhi oleh panjang pendakian ( panjang
kritis landai ) dan besarnya landai. Berikut ini adalah ketentuan untuk landai
maksimum dari panjang landai maksimum.
Landai maks ( % )
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
10
|
12
|
Panjang Kritis ( m )
|
480
|
330
|
250
|
20
|
170
|
150
|
135
|
120
|
Landai maksimum
hanya digunakan bila pertimbangan bi8aya sangat memaksa dan hanya untuk jarak
pendek. Panjang kritis landai adalah :
“ panjang yang dapat diterima tanpa
mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas ”
( sepanjang ini
mengakibatkan pengurangan sebesar 25 km/jam ). Bila pertimbangan biaya memaksa,
maka panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk
kenderaan berat.
5.1.1. Lengkung
Vertikal cembung
EV =
panjangnya dari titik potong kedua
tangan ke lengkung vertikal.(disini Y1 = EV, untuk X = ½,LV)
Δ =
perbedaan aljabar di tentukan
berdasarkan:
-
Syarat pandang henti dan drainase (grafik IV “PPGJR)
-
Syarat pandang menyiap (grafik IV “PPGJR)
5.1.2. Lengkung Vertikal Cekung
Bentuk
lengkung ini adalah analogi dengan penjelasan dari lengkung vertikal cembung di
atas, hanya panjang lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan jarak
pandangan waktu malam drinase sebagai mana tercantum dalam grafik F “PPGJR”.
Note : - pada alinemen vertikal tidak semua lengkungan
mengikuti syarat diatas tapi tergantung pada :
-
Keadaan medan
-
Klasifikasi jalan dan
-
Pembiayaan
-
Menentukan harga A = q2 – q1, ada
dua cara :
1.
Bila % ikut serta dihitung, maka rumus seperti diatas.
2.
Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, rumus menjadi :
5.2.Rencana Lengkung Vertikal I (PVI1)
Dari
gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1
= 10.489 m → x1 = 425.00 m
y2
= 10.816 m → x2 = 450.00 m
y3
= 10.826 m → x3 =
354.00 m
q2
=
q1
=
STA
PVI1 = (0 + 450)
A
= g2- g1 = 1.31 % - 0.04 %
= 1.27 % → (Lengkung Vertikal Cengkung)
V =
70 km/jam
- Syarat
keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22)
………………….
LV = 50 m → S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6
V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat
kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
*
Elevasi BVC =
elevasi PVI1 – q2 (1/2. LV)
= 10.816 – 1.31 % ( ½ .50 ) = 10.488 m
STA. BVC =
STA.PVI1 – ( 1/2.LV )
=
( 0 + 425 ) – ( ½ .50 ) = ( 0 + 400 )
*
Elevasi S =
elevasi PVI1 – EV
= 10.816 – 0.079
m = 10.737 m
STA. S =
STA. PVI1
=
( 0 + 450 )
*
Elevasi EVC =
elevasi PVI1 – q2 ( ½
LV)
=
10.816 – 0.04 ( ½ .50 ) = 9.489
m
STA EVC =
STA. PVI1 + ( 1/2.LV )
=
( 0 + 450 ) + ( ½ .50 ) =
( 0 + 475 )
*
Elevasi a’ =
elevasi PVI1 – ( 1/4 LV
)
=
10.816 – 0.04( 1/4 .50 ) = 9.989 m
Elevasi a =
elevasi a’ + Ya
=
9.989 + 0.082 = 10.071 m
STA. a =
STA PVI1 – (1/4 LV)
=
( 0+ 450 ) – ( 1/4 50 ) =
( 0+ 443.75 )
*
Elevasi b’ =
elevasi PVI1 + ( 1/4 LV
)
=
10.816 + 0.04 % ( 1/4 .50 ) = 10.316
m
Elevasi b =
elevasi b’ - Yb
=
10.316 - 0.082 = 10.234 m
STA. b =
STA PVI1 + (1/4 LV)
= ( 0 + 450
) + ( 1/4 50 ) = ( 0 + 437.5)
5.3. Rencana Lengkung Vertikal II (PVI2)
Dari
gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1
= 11.907 m → x1 = 1025.00 m
y2
= 12.239 m → x2 = 1050.00 m
y3
= 11.870 m → x3 =
1075.00 m
q2
=
q1
=
STA
PVI2 = (1 + 050)
A
= q2- q1 = 1.477 % - 1.33 % = 0.146 % → (Lengkung Vertikal
Cembung)
V =
70 km/jam
- Syarat
keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22)
………………….
LV = 40 m → S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6
V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat
kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
*
Elevasi BVC =
elevasi PVI2 + g1
(1/2. LV)
= 12.239– 1.33 % ( ½ .40 ) = 11.973 m
STA. BVC =
STA.PVI2 – ( 1/2.LV )
=
( 1+ 050 ) – ( ½ .40 ) =
( 1 + 070 )
*
Elevasi S =
elevasi PVI2 + EV
= 12.239– 0.0007
m = 12.241 m
STA. S =
STA. PVI2
=
( 1 + 050 )
*
Elevasi EVC =
elevasi PVI2 + g2
( ½ LV)
=
12.239– 1.476% ( ½ .40 ) = 12.534 m
STA EVC =
STA. PVI2 + ( 1/2.LV )
=
( 1 + 050 ) + ( ½ .40 ) = ( 1 + 070
)
*
Elevasi a’ =
elevasi PVI2 – ( 1/4 LV
)
=
12.239– 0.1.476 % ( 1/4 .40 ) = 12.224m
Elevasi a =
elevasi a’ – Ya
=
12.224 – 0.001 = 8.926 m
STA. a =
STA PVI2 – (1/4 LV)
=
( 1 + 050 ) – ( 1/4 . 40 ) = ( 1+ 060
)
*
Elevasi b’ =
elevasi PVI2 – ( 1/4 LV
)
=
12.239– 0.146 % ( 1/4 . 40 ) = 12.254
m
Elevasi b =
elevasi b’ + Yb
=
12.254 + 0.001 = 12.255 m
STA. b =
STA PVI2 + (1/4 LV)
=
( 1 + 050 ) + ( 1/4 . 40 ) = ( 1 + 060
)
5.4. Rencana Lengkung Vertikal II (PVI3)
Dari
gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1
= 11.055 m → x1 = 1775.00 m
y2
= 10.491 m → x2 = 1800.00 m
y3
= 10.499 m → x3 =
1825.00 m
q1
=
q2
=
STA
PVI1 = (1 + 800)
A
= g1- g2 = 2.26 % - 0.03 %
= 2.23 % → (Lengkung Vertikal Cengkung)
V =
70 km/jam
- Syarat
keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22)
………………….
LV = 40 m → S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6
V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat
kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
*
Elevasi BVC =
elevasi PVI3 + q2 (1/2. LV)
= 10.491 – 0.032 % ( ½ .40 ) = 10.478 m
STA. BVC =
STA.PVI3 – ( 1/2.LV )
=
( + 800 ) – ( ½ 40 ) = ( 1 + 600 )
*
Elevasi S =
elevasi PVI3 – EV
= 10.491 – 0.112
m = 10.379 m
STA. S =
STA. PVI3
=
( 1 + 800 )
*
Elevasi EVC =
elevasi PVI3 – q2 ( ½
LV)
=
10.491 – 0.032 ( ½ .40 ) = 10.478
m
STA EVC =
STA. PVI3 + ( 1/2.LV )
=
( 1 + 800 ) + ( ½ .40 ) =
( 2 + 000 )
*
Elevasi a’ =
elevasi PVI3 – ( 1/4 LV
)
=
10.491 – 2.26 % ( 1/4 .40 ) = 10.265
m
Elevasi a =
elevasi a’ + Ya
=
10.265 + 0.174 = 10.439 m
STA. a =
STA PVI3 – (1/4 LV)
=
( 1+ 800 ) – ( 1/4 40 ) =
( 1+ 600 )
*
Elevasi b’ =
elevasi PVI3 - ( 1/4 LV
)
=
10.491– 2.26 % ( 1/4 .40 ) = 10.265
m
Elevasi b =
elevasi b’ - Yb
=
= 10.265 – 0.174 = 10.091 m
STA. b =
STA PVI3 + (1/4 LV)
=
( 1 + 800 ) + ( 1/4 40 ) =
( 1 + 900 )
BAB VI
STATIONING
7.1.
Penomoran
(Stationing)
Penomoran
panjang jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan nomor pada interval
tertentu dari awal pekerjaan. Nomor jalan ( STA Jalan ) dibutuhkan sebagai
sarana komunikasi untuk mengenal dengan tepat lokasi yang sedang dibicarakan.
Selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu tempat. Nomor jalan ini sangat
bermanfaat pada pelaksanaan. Di samping itu dari saat penomoran jalan tersebut
diperoleh informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. Setiap STA jalan
dilengkapi dengan gambar potongan melintangnya.
Nomor
jalan atau STA jalan ini sama fungsinya dengan patok km disepanjang jalan,
perbedaanya adalah :
- patok Km merupakan petunjuk yang diukur dari patok Km.0.00 yang umumnya terletak di Ibu Kota Propinsi atau Kota Madya, Patok STA merupakan petunjuk jalan yang diukur dari awal pekerjaan (proyek) sampai dengan akhir pekerjaan.
- Patok km berupa patok permanen dipasang dengan ukuran standar yang berlaku. Patok STA merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan ruas jalan.
7.1. Metode Penomoran
STA
Jalan dimulai dari 0 + 000 m yang berarti 0 m dari awal pekerjaan, STA 10 + 250
berarti lokasi jalan terletak pada jarak 10 Km dan 250 m dari awal pekerjaan.
Jika tidak terjadi perubahan arah tangen pada alinemen horizontal maupun
alinemen vertikal, penomoran selanjutnya dilakukan :
·
Setiap 100 meter pada medan mendatar
·
Setiap 50 meter pada medan perbukitan
·
Setiap 25 meter pada medan pegunungan
Pada
tikungan penomoran dilakukan pada setiap titik panjang. Jadi terdapat STA titik
TC dan STA titik CT pada jenis tikungan sederhana STA titik TS, STA titik SC,
STA titik ST pada tikungan jenis spiral – busur lingkaran dan spiral.
1.
STA.A =
(0.000)
STA. TS1 = STA. 0 + 000 + (d1 – TS1)
=
STA. 0 + 000 (350.14 – 28.742)
=
STA. 0 + 378.882 m
STA. ST1 = STA. CS1 + LC
=
STA. 0 + 378.882 + (-42.51)
=
STA. 0 + 336.372 m
2.
STA. 1
STA TS2 = STA. 0 + 336.372 + ( d2 – TS1 – TS2
)
=
STA. 0 + 336.372 + ( 200.25 – 28.742 – 27.658 )
=
STA. 0 + 480.222 m
STA ST2 = STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 480.222
+ (-46.676)
= STA. 0 + 345.546
m
3.
STA. 2
STA TS2 = STA. 0 + 345.546 + ( d3 – TS2 – TS3
)
=
STA. 0 + 345.546 + ( 180.07 – 27.658 – 29.934 )
=
STA. 0 + 468.024 m
STA ST2 = STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 468.024
+ 40.137
= STA. 0 + 508.161
m
4.
STA. B
B =
STA.ST2 + (d5 – TS3 – TS4)
=
STA. 0 + 508.161 + ( 806.86 – 46.8115 - 16.582)
=
STA. 1 + 251.627 m
7.1. Pelebaran Pada Tikungan
Untuk
mengetahui perlu tidaknya suatu pelebaran dilakukan terhadap tikungan, maka
perlu diadakan suatu tinjauan terhadap tikungan tersebut. Dalam perencanaan ini
terdapat 3 tikungan, sehingga dianggap perlu melakukan tinjauan terhadap ketiga
tikungan tersebut:
b.
Tinjauan Pada Tikungan PI1
Diketahui : -
Kelas Jalan IIB
-
Type Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
V = 70 km/ jam
-
R = 350 m
-
n = 2 jalur
-
Jarak gandar P = 6.10 m → Truck 6.5 m
-
Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m → Truck 1.5 m
-
Lebar Kenderaan b = 2.5 m
-
Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 =
( R – 3.5 )
= ( 350
– 3.5 )
= 346.5
m
Rw
=
=
= 349.09 m
B = Rw – R1
= 349.09
– 496.50
=
2.59 m
Bt =
n.(B + C) + Z
Z =
= 2 ( 2.590 + 0.8 ) + 0.393 = = 0.393 m
= 7.173 m
Δb = Bt – Bn
= 7.173 – 7 = 0.173 m
Jadi,
Bt > Bn
Maka
perlu pelebaran pada tikungan PI1 sebesar 0.173 m
c.
Tinjauan Pada Tikungan PI2
Diketahui : -
Kelas Jalan IIB
-
Type Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
V = 70 km/ jam
-
R = 240 m
-
n = 2 jalur
-
Jarak gandar P = 6.10 m → Truck 6.5 m
-
Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m → Truck 1.5 m
-
Lebar Kenderaan b = 2.5 m
-
Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 =
( R – 3.5 )
= ( 240
– 3.5 )
= 236.5
m
Rw
=
=
= 239.134 m
B = Rw – R1
=
239.134 – 236.5
=
2.634 m
Bt =
n.(B + C) + Z
Z =
= 2 ( 2.634 + 0.8 ) + 0.4744 = = 0.4744 m
= 7.3424 m
Δb = Bt – Bn
= 7.3424 – 7 = 0.3424 m
Jadi,
Bt > Bn
Maka
perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.3424 m
d.
Tinjauan Pada Tikungan PI3
Diketahui : -
Kelas Jalan IIB
-
Type Tikungan Spiral –Spiral (SCS)
-
V = 70 km/ jam
-
R = 200 m
-
n = 2 jalur
-
Jarak gandar P = 6.10 m → Truck 6.5 m
-
Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m → Truck 1.5 m
-
Lebar Kenderaan b = 2.5 m
-
Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 =
( R – 3.5 )
= ( 200
– 3.5 )
= 196.5
m
Rw
=
=
= 199.161 m
B = Rw – R1
= 199.161
– 196.5
=
2.661 m
Bt =
n.(B + C) + Z
Z =
= 2 ( 2.661 + 0.8 ) + 0.5197 = = 0.5197 m
= 7.4417 m
Δb = Bt – Bn
= 7.4417 – 7 = 0.4417 m
Jadi,
Bt > Bn
Maka
perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.4417 m
e.
Tinjauan Pada Tikungan PI4
Diketahui : -
Kelas Jalan IIB
-
Type Tikungan Full – Circle (FC)
-
V = 70 km/ jam
-
R = 950 m
-
n = 2 jalur
-
Jarak gandar P = 6.10 m → Truck 6.5 m
-
Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m → Truck 1.5 m
-
Lebar Kenderaan b = 2.5 m
-
Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 =
( R – 3.5 )
= ( 950
– 3.5 )
= 946.5
m
Rw
=
=
= 949.034 m
B = Rw – R1
=
949.034 – 946.5
=
2.534 m
Bt =
n.(B + C) + Z
Z =
= 2 ( 2.534 + 0.8 ) + 0.2385 = = 0.2385 m
= 7.001 m
Δb = Bt – Bn
= 7.001 – 7 = 0.001 m
Jadi,
Bt > Bn
Maka
perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.001 m
7.1. Diagram Super Elevasi
Pada
perencanaan ini ada 2 buah diagram super elevasi diantaranya adalah:
1.
Tinjauan pada tikungan PI1
Diketahui : - V = 70 km/jam
-
R = 350 m
-
Ls = 50 m
-
e max = 8 %
-
en = 2 %
-
m = 135 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994
Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS = ( en + e max )
. ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.08 ) x
½ x 7 x 125 = 43.75 m
b.
Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
2.
Tinjauan pada tikungan PI2
Diketahui : - V = 70 km/jam
-
R = 240 m
-
Ls = 50 m
-
e max = 7 %
-
en = 2 %
-
m = 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994
Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS = ( en + e max )
. ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.07 ) x
½ x 7 x 125 = 39.375 m
b.
Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
3.
Tinjauan pada tikungan PI3
Diketahui : - V = 70 km/jam
-
R = 200 m
-
Ls = 50 m
-
e max = 9 %
-
en = 2 %
-
m = 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994
Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS = ( en + e max )
. ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.09 ) x
½ x 7 x 125 = 48.125 m
b.
Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
4.
Tinjauan pada tikungan PI4
Diketahui : - V = 70 km/jam
-
R = 950 m
-
Ls = 50 m
-
e max = 3 %
-
en = 2 %
-
m = 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994
Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS = ( en + e max )
. ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.03 ) x
½ x 7 x 125 = 21.875 m
b.
Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
BAB VII
GALIAN DAN TIMBUNAN
7.1.Perhitungan Galian dan Timbunan
Galian yaitu jumlah volume tanah yang
dibuang pada perencanaan sebuah jalan raya yang bertujuan untuk membentuk badan
jalan raya yang baik dan rata. Dan
sebaliknya, timbunan yaitu jumlah volume tanah yang ditimbun untuk membentuk
badan jalan yang rata dan baik.
Dalam
perencanaan Jalan Raya di usahakan agarvolume galian sama dengan volume
timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen horizontal dan alinyemen vertical
maka dapatr dipakai untuk menghitung banyaknya volume galian dari timbunanan.
Langkah-langkah perhitungan galian timbunan adalah sebagai berikut :
- penentuan galian stationing (jarak pokok) sehungga panjang horizontal jalar alinyemen (trase)
- Gambar profil memanjang (alinyemen vertical) yang mempelihatkan perbedaan tinngi muka tanah asli dengan muka perkersann yang akan direncanakan.
- Gambar profil melintang pada setiap titik stasioning, sehinngga didapat luas penampang galian dan timbunan yang diukur dengan alat planimetri.
- Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang rat-rata dari galian atau timbunan dengan jarak antar patok (stasioning)
Untuk menghitung panjang horizontal
jalan dibuatkan patok (station) dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
-
Untuk daerah datar, jarak antara patok (station) = 100
-
Untuk daerah bukit, jarak antara patok (station) = 50
-
Untuk daerah gunung, jarak antara patok (station) = 25
Rumus yang dugunakan untuk menghitung galian dan
timbunan :
Luas Trapesium
= ½ (b+d).t
Dimana :
b
= Lebar bawah trapezium
d
= Lebar atas trapezium
t
= Tinggi trapezium
Luas Jajaran Genjang
= b.t
Dimana :
b
= Lebar bawah Jajaran Genjang
t
= Tinggi Jajaran Genjang
Luas Segi Tiga = ½.a.t
Dimana :
a
= Lebar bawah/alas Segi Tiga
t
= Tinggi Segi Tiga
BAB VIII
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
Berdasarkan pedoman peraturan
perkerasan lentur jalan raya nomor : 01/PD/BM/1987
8.1. Data-data Lalu Lintas
Umur Rencana :
15 Tahun
Pertumbuhan Lalu Lintas :
7 % per tahun
CBR Sub Grade :
6%
Curah Hujan :
900 mm/Tahun
Mobil Penumpang :
400 Kenderaan / Hari / 2 arah
Bus :
200 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 2 AS : 80
Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 3 AS : 20 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 5 AS : 4 Kenderaan / Hari / 2 arah
Lapisan Perkerasan
Surace Coure :
Aspal Beton
Base Coure :
Batu Pecah
Sub Base Coure : Base
Class A, B , Material Pilihan
Medan : Standart Geometrik
Kecepatan Rencana : 70 km/jam
Indeks Permukaan (IP) : 2.0 Aspal
Beton
Faktor Regional : 2.0
Curah Hujan 900 mm/tahun
8.2. Menghitung Angka Ekivalen (E)
*
Mobil Penumpang 2 Ton (1 + 1)
As depan 1 ton dan As belakang 1 ton
( 0.0002 + 0.0002 ) = 0.0004 → E Kr
*
Bus 8 Ton (3 + 5)
( 0.0183 + 0.1410 ) = 0.1593 → E B
*
Truck 2 As 13 Ton (5 + 8)
( 0.1410 + 0.9238 ) = 1.0648 → E 2As 13T
*
Truck 3 As 20 Ton (6 + 7.7)
( 0.2923 + 0.7452 ) = 1.0375 → E 3As 20T
*
Truck 5 As 30 Ton (6 + 7.7 + 5 + 5)
( 1.0375 + 2(0.1410)) = 1.3195 → E 5As 30T
8.3. Menghitung Tebal Perkerasan
a.
Data-data lalu lintas
-
LHR Awal Umur Rencana
Mobil penumpang : 400 = 400
SMP/ hari/2 arah
Bus : 200 = 200
SMP/ hari/2 arah
Truk 2 As : 80 = 80
SMP/ hari/2 arah
Truk 3 As : 20 = 20
SMP/ hari/2 arah
Truk 5 As : 4 = 4
SMP/ hari/2 arah
LHR Awal Umur Rencana =
704 SMP/ hari/2 arah
-
LHR Akhir Umur Rencana
Mobil penumpang : ( 1 + 0.05 )10 x 700 =
786.80 SMP/hari/2 arah
Bus : ( 1 + 0.05 )10 x 900 = 393.43
SMP/hari/2 arah
Truk 2 As : ( 1 + 0.05 )10 x 450 = 157.37
SMP/hari/2 arah
Truk 3 As : ( 1 + 0.05 )10 x
80 = 39.34
SMP/hari/2 arah
Truk 5 As : ( 1 + 0.05 )10 x
30 = 7
SMP/hari/2 arah
LHR akhir Umur Rencana = 1384
SMP/hari/2 arah
-
Menghitung LEP (Lintas Ekvalen Permulaan)
Mobil Penumpang : 0.5 x 400
x 0.0004 = 0.08
Bus : 0.5 x 200 x 0.1593 = 15.93
Truck 2 AS : 0.5 x
80 x 1.0648 = 42.592
Truck 3 AS : 0.5 x
20 x 1.0375 = 10.375
Truck 5 AS :
0.5 x 4 x 1.3195 = 2.129
LEP (Lintas Ekvalen Permulaan) =
71.107
-
Menghitung LEA (Lintas Ekivalen Akhir)
Mobil Penumpang : 0.5 x 777.213 x
0.0004 = 0.309
Bus : 0.5 x 999.274 x 0.1593 =
61.646
Truck 2 AS : 0.5 x 499.637 x 1.0648 = 164.815
Truck 3 AS : 0.5 x
88.824 x 1.0375 =
40.405
Truck 5 AS : 0.5
x 33.309 x 1.3195 =
9.000
LEA (Lintas Ekivalen Akhir) = 276.173
-
LET = ½
(LEP +LEA) = ½ (71.107 + 276.174) =
173.640
-
LER =
LET x UR/10 = 173.640 x 10/10 = 173.640
b.
Mencari ITP
CBR Tanah Dasar = 6%
DDT = 5
IP = 2.0
FR = 0.7
ITP = 7.25 → (IP0 = 3.9 – 3.5) Nomogram
LER =
173.640
Bahan
|
D
= Tebal minimum (cm)
|
Aspal
Beton
Batu
Pecah
Sirtu
Kelas C
|
7.5
20
10
|
c.
Menghitung Koefisien Kekuatan relatif :
Asppal Beton MS :
0.40
Batu Pecah :
0.14
Sirtu Kelas C :
0.11
ITP = a1
. D1 + a2 . D2 + a3 . D3
7.25 = (0.40
x D1) + (0.14 x 20) + (0.11 x 10)
D1 =
8.37 cm atau 9 cm
Jadi susunan tebal perkerasan adalah :
-
Aspal Beton (MS 744) = 9 cm
-
Batu Pecah CBR 100% = 20 cm
-
Sirtu Kelas C CBR 30% = 10 cm
0 comments:
Posting Komentar