BAB I
Pendahuluan
Perkawinan
ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan
keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Suami
istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling
memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perceraian
ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu.
Untuk
melindungi ustri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan
bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si
isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan
dengan tetap berlangsungnya.
Pemisahan
kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan
persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang
ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.
Bab II
Pembahasan
Hukum Perkawinan
1.
Arti
dan syarat-syarat perkawinan
Perkawinan
ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan
keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Suatu perkawinan yang sah hanyalah
perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampaingkan. Larangan
ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan
yang ilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya
perkawinan, yaitu :
a. Kedua
pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu
untuk seorang lelaki 18 tahun dan perempuan 15 tahun;
b. Harus
ada persetujuan yang bebas dari kedua belah pihak;
c. Untuk
seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu
sesudahnya putusan perkawinan pertamanya;
d. Tidak
adanya larangan alam undang-undang bagi kedua belah pihak;
e. Untuk
pihak yang masih dibawah umur , harus ada izin dari ornag tua atau wali.
Tentang hal larangan untuk kawin
dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan
keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus
memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak.
Jikalau ada wali, wali inipun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri
hendak hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari
wali pengawas (toeziende voogd).
Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang membrikan izin ialah kakek-nenek.,
baik dari pihak ayah maupun ibu, sedangkan izin wali pun masih tetap
diperlukan.
Untuk anak-anak yang diluar
perkawinan, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, berlaku pokok aturan yang
sama dengan pemberian izin, kecuali jika tidak terdapat kata sepakat antara
kedua orang tua, hakim dapat iminta campur tangan, dan kakek-nenek tidak
menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
Untuk anak yang susah dewasa,
tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan izin orang tuanya. Tetapi
kalau mereka ini tidak mau memberikan izinnya, anak dapat memintanya dengan
perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan memanggil orang tua dan
anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau orang tua tidak menghadap,
perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah lewat tiga bulan.
Sebelum perkawinan dilangsungkan,
harus dilakukan terlebih dahulu :
a. Pemberitahuan
(aangifte) tentang kehendak akan
kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar
Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan
pernikahan;
b. Pengumuman
(afkondiging) oleh pegawai tersebut,
tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.
Kepada beberapa orang oleh
undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsukannya pernikahan, yaitu:
a. Kepada
suami atau istri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang kan hendak kawin;
b. Kepada
orang tua kedua belah pihak;
c. Oleh
jaksa (Officier van Justitie)
Seorang suami dapat
menghalang-halangi perkawinan yang kedua dari istrinya dan sebaliknya,
sedangkan anak pun dapat mencegah perkawinan yang kedua dari ayah dan ibunya.
Orang tua dapat mencegah pernikahan, jikalau anak-anaknya belum mendapatkan
izin dari mereka. Juga diperkenankan bahwa setelah memberikan izin barulah
mereka mengetahui yang calon menantunya telah ditaruh di bawah curatele.
Kepada Jaksa diberikan hak untuk
mencegah dilangsungkannya perkawinan yang sekiranya akan melanggar
larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum.
Caranya mencegah perkawinan itu
ialah dengan memasukkan perlawanan kepada Hakim. Pegawai Pencatatan Sipil lalu
tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum ia menerima putusan Hakim.
Surat-surat yang harus diserahkan
kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar ia dapat melangsungkan pernikahan, yaitu :
1) Surat
kelahiran masinh-masing;
2) Surat
pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin orang tua, izin
mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri yang akan dibuat itu;
3) Proses
verbal dari mana ternyata perantaraan hakim dalam hal perantaraan ini dibituhkan;
4) Surat
kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan lama;
5) Surat
keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan
pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak;
6) Dispensasi
dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan unyuk kawin.
Pegawai Pencatatan Sipil berhak
menolnak untuk melangsungkan pernikahan apabila ia menganggap surat-surat
kurang cukup dalam hal yang demikian pihak-pihak yang berkepentingan dapat
memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu telah
mencukupi.
Pada asasnya seorang yang hendak
kawin diharuskan menghadap sendiri dimuka pegawai Burgerlijk Stand itu dengan
membawa dua orang saksi hanya dalam keadaan yang luar biasa dapat diberikan
izin oleh Menteri Kehakiman untuk mewakilkan orang lain menghadap yang harus
dikuasakan authentiek.
Suatu perkawinan yang dilangsungkan
diluar negeri sah apabila dilangsungkan menurut cara-cara yang berlaku di
negeri asing bersangkutan asal saja tidak dilanggar larangan-larangan yang
bersifat menjaga ketertban umum dinegeri kita sendiri dalam satu tahun setelah
mereka di Indonesia perkawinan harus didaftarkan dalam daftar Burgerlijk Stand
ditempat kediamannya.
Ada kemungkinan, misalnya karena
kekhilafan suatu pernikahan telah dilangsungkan pada hal ada syarat-syarat yang
tidak dipenuhi atau ada larngan-larngan yang telah terlanggar misalnya salah
satu pihak masih terikat oleh suatu perkawinan lama atau perkawinan telah
dilangsungkan oleh Pegawai Pencatatan Sipil yang tidak berkuasa atau lain sebagainya
perkawinan semacam itu dapat dibatalkan oleh hakim atas tuntunan orang-orang
yang berkepentingan atau atas tuntunan Jaksa tetapi selama pembatalan ini belum
dilakukan perkawinan tersebut berlaku sebagai suatu perkawinan yang sah.
Meskipun suatu pembatalan itu pada
dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang
dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam suatu hal perkawinan dibatalkan,
tidak boleh kita beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan,
karena terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi. Dari
itu, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, undang-undang telah meneteapkan
sebagai berikut :
1) Jika
sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan tersebut, anak-anak ini tetap
mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah;
2) Pihak
yang berlaku jujur tetap memperoleh dari perkawinan itu hak-hak yang semesti
didapatnya sebagai suami atau istri dalam perkawinan yang dibatalkan itu;
3) Juga
orang-orang pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan karena
pembatalan perkawinan itu.
Pada asasnya suatu perkawinan harus
dibuktikan dengan surat perkawinan. Hanya, apabila daftar-daftar Pencatatan
Sipil telah hilang, diserahkan kepada Hakim untuk menerima pembuktian secara
lain, asal saja menurut keadaan yang nampak keluar dua orang laki perempuan
dapat dipandang sebagai suami istri, atau menurut perkataan undang-undang :
asal ada suatu “bezit van den huwelijken
staat”.
2.
Hak
dan kewajiban suami-isteri
Suami
istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling
memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan
oleh undang-undang dipandang sebagai suatu
“perkumpulan” (echtvereniging). Suami ditetapkan
menjadi kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama disamping
berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman bersama,
melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada si isteri dalam hal
melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan dengan
ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seseorang perempuan yang telah
kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaaan seorang
suami di dalam perkawinan itu dinamakan “maritale macht” (dari bahasa Perancis
mari = suami).
Pengurus
kekayaan si isteri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya (“als een
goed huisvader”) dan si isteri dapat minta pertanggungjawab tentang pengurusan
itu. Kekayaan suami untuk itu menjadi jaminan, apabila ia sampai dihukum
mengganti kekurangan-kekurangan atau kemerosotan kekayaan si isteri yang
terjadi karena kesalahannya. Pembatasan yang terang dari kekuasaan si suami
dalam hal mengurus kekayaan isterinya, tidak terdapat dalam undang-undang,
melainkan ada suatu pasal yang menyatakan, bahwa suami tak diperbolehkan
menjual atau menggadaikan benda-benda yang bergerak kepunyaan si isteri (pasal
105 ayat 5 B.W.). meskipun begitu, sekarang ini menurut pendapat kebanyakan
ahli hukum menjual atau menggadaikan barang-barang yang bergerak dengan tidak seizin
si isteri juga tak diperkenankan apabila melampaui batas pengertian “mengurus”
(“beheren”)
Pasal
140, membuka kemungkinan bagi si isteri untuk (sebelum melamgsungkan
pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa ia berhak untuk mengurus sendiri
kekayaannya. Jiga dengan “pemisahan kekayaan” (“scheiding van goederen”) atau dengan “pemisahan meja dan tempat
tidur” si isteri dengan sendirinya memperoleh kembali haknya untuk mengurus
kekayaan sendiri.
Jikalau
suami memberikan bantuan (bijstand), suami-isteri itu bertindak bersama-sama
untuk membantu isterinya : si isteri untuk dirinya sendiri dan si suami untuk
membantunya isterinya. Jadi mereka itu bersama-sama, misalnya pergi ke notaris
atau mengahadap Hakim. Menurut pasal 108 bantuan itu dapat diganti dengan suatu
persetujuan tertulis. Dalam hal yang demikian, si isteri dapat bertindak
sendiri dengan membawa surat kuasa dari suami. Perlu diterangkan, bahwa
perkataan acte dalam pasal 108 tersebut tidaklah berati surat atau tulisan,
melainkan berarti “perbuatan hukum”. Perkataan tersebut berasal dari bahsa
Perancis, ”acte” yang berarti perbuatan.
Ketidakcakapan
seorang isteri itu, di dalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas (pasal
1330); seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang yang berada
dibawah curatele aatau seorang yang belum dewasa. Mereka ini semuanya
dinyatakan “tidak cakap” untuk
membuat suatu perjanjian. Tetapi perbedaannya masih ada juga, yaitu seorang
isteri bertindak sendiri (meskipun didampingi oleh suami
atau dikuasakan), sedangkan orang yang bekum dewasa atau seorang curandus tidak
pernah tampil ke muka dan selalu harus
diwakili oleh orang tua, wali atau kurator.
Selanjutnya
perlu diterangkan, bahwa ketidakcakapan seorang isteri, hukum kekayaan dan yang
mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaan si isteri itu sendiri. Karena itu,
mengakui seorang anak yang lahir diluar perkawinan atau memintakan curatele
terhadap ayahnya ia dapat dilakukan sendiri dengan tak usah dibantu oleh suami,
begitu pula sebagai wali atau curatriceatau sebagai directrice suatu N.V ia
dapat bertindak sendiri. Hanya untuk memangku jabatan-jabatan ini, ia harus
mendapat persetujuan atau kuasa dahulu dari suaminya, sebab memegang
jabatan-jabatan itu memang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaannya
sendiri.
Terhadap
ketentuan, bahwa seseorang isteri harus dibantu oleh suaminya, diadakan
beberapa kekecualian berdasarkan anggapan, untuk perbuatan-perbuatan itu si
isteri telah mendapat persetujuan atau kuasa dari suaminya (veronderstelde machtiging). Yang
dimaksudkan di sini, ialah perbuatan-perbuatan si isteriuntuk kepentingan
rumah-tangga dan apabila si isteri mempunyai pekerjaan sendiri. Misalnya
pembelian-pembelian di toko, asal saja dapat dimaksudkan pengertian “keperluan
rumah-tangga biasa dan sehari-hari” (demikian pasal 109), adalah sah dan harus
dibayar oleh suaminya. Dalam praktek oleh Hakim dipakai sebagai ukuran nilainya
tiap rumah-tangga, sehingga misalnya pembelian sebuah es bagi isteri seorang
direktur bank dapat dianggap sebagai keperluan rumah-tangga biasa dan
seharei-hari akan tetapi tidak sedimikian halnya bagi isteri seorang jurutulis.
Teranglah,
bahwa sang suami selalu berhak untuk mempermaklumkan kepada orang-orang pihak
ketiga, bahwa ia tidak mengizinkan isterinya untuk bertindak sendiri meskipun
mengenai hal-hal dalam lapangan rumah-tangga itu.
Bantuan
suami juga tidak diperlukan, apabial si isteri dituntut di depan hakim dala
perkara pidana, begitu pula apabila si isteri mengajukan gugatan terhadap
suaminya untuk mendapatkan perceraian atau pemisahan kekayaan atau ia sendiri
digugat oleh suaminya untuk mendapat perceraian.
Peraturan
tentang ketidakcakapan seorang isteri itu oleh Mahkamah Agung dianggap sekarang
tidak berlaku lagi.
Dan
memang ketentuan pasal 108 BW tentang ketidakcakapan seorang isteri itu harus
dianggap sudah cabut oleh Undang-undang Perkawinan, pasal 31 (1) yang
mengatakan, bahwa suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum
sendiri.
Akibat-akibat
lain dari perkawinan :
1) Anak-anak
yang lahir dari perkawinan, adalah anak yang sah (wettig);
2) Suami
menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya, apabial salah satu
meninggal dalam perkawinan;
3) Oleh
undang-undang dilarang jual beli antara suami-isteri;
4) Perjanjian
perburuhan antara suami-isteri tak diperbolehkan;
5) Pemberian
benda-benda atas nama tak diperbolehakan antara suami-isteri;
6) Suami
tak diperbolehkan menjadi saksi atas kejahatan yang diperbuat oleh si isterinya
dan begit pula sebaliknya;
7) Suami
tak dapat dituntut tentang beberpa kejahatan terhadap isterinya dan begitu
sebaliknya (misalnya pencurian).
3.
Percampuran
kekayaan
Sejak mulai perkawinan terjadi,
suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele van
goederen), jiakalau tidak ada diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian
itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi sleama perkawinan.[*])
Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan
keinginannya itu dalam suatu “perjanjian perkawinan” (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini, harus diadakan
sebelumnya pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Juga keadaan sebagaimana diletakkan dalam perjanjian itu, tak dapat diubah
selama perkawinan. Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu
perkawinan itu tetap. Ini demi untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak
ketiga.
Percampuran kekayaan, adalah
mengenai seluruh activa dan passiva baik yang dibawa oleh masing-masing pihak
kedalam perkawinan maupun yang akan diperoleh dikemudian hari selama
perkawinan. Kekayaan bersama iti oleh undang-undang dnamakan “gemeenschap”.
Yang dapat
diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan itu ada 3 :
1)
Bahwa meskipun akan
berlaku percampuran kekayaan antara suami dan isteri, beberapa benda tertentu
tidak akan termasuk percampuran itu;
2)
Juga seorang yang
memberikan sesuatu benda kepada salah satu pihak dapat memperjanjikan bahwa
benda tersebut tidak akan jatuh di dalam percampuran kekayaan;
3)
Benda yang demikian
itu, akan menjadi milik pribadi pihak yang memperolehnya.
Hak mengurus kekayaan
bersama (“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai
kekuasaan yang sangat luas. Selain kekuasaannya hanya terletak dalam larangan
untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang bergerak kepada lain orang
selain kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat
3).
Terhadap kekuasaan
suami yang sangat luas itu, kepada si isteri hanya diberikan hak untuk apabila
si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk (“wanbeheer”) meminta kepada
hakim supaya diadakan “pemisahan kekayaan” atau kalau si suami mengobralkan
kekayaannya dapat dimintakan curatele.
Selain dua macam
tindakan yang dapat diambil oleh si isteri di dalam perkawinan, ia juga
diberikan hak untuk, apabila perkawinan dipecahkan, melepaskan haknya atas
kekayaannya bersama (“afstand doen van de
gemeenschap”). Tindakan ini bermaksud untuk menghindarkan diri dari
penagihan hutang-hutang gemeenschap, yaitu hutang bersama, baik hutang bersama,
baik hutang itu telah diperbuat oleh suami maupun si isteri seniri.
Menghindarkan diri dari penagihan hutang pribadi tentu saja tak mungkin.
Hutang gemeenschap yang
diperbuat oleh si isteri, misalnya pembelian bahan-bahan makanan untuk rumah
tangga. Hutang pribadi, misalnya biaya perbaikan rumah pribadi si isteri.
Pasal 140 ayat 3,
mengizinkan untuk memperjanjikan di dalam perjanjian perkawinan, bahwa suami
tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama yang jatuh
dalam gemeenschap dari pihak si isteri dengan tiada izin si isteri.
Selanjutnya dapat
diterangkan, bahwa uang dari buku tabungan pos, meskipun sudah jatuh dalam
gemeenschap, si isteri dapat memakai sendiri menurut kehendaknya sendiri dan
begitu pula halnya dengan gajinya, asal saja mengenai yang belakangan ini untuk
keperluan keluarga.
Si isteri dapat diberi
kekuasaan oleh hakim untuk menjual atau menggadaikan bena-benda gemeenschap
dalam hal suaminya sedang berpergian atau tidak mampu memberikan izinnya,
misalnya karena sakit keras atau gila. Jadi tidak apabila si suami itu tidak
mau memberikan izin nya,dalam hal ini isteri tak dapat berbuat apa-apa. Dan kepada hakim itu
harus dibuktikan tentang adanaya keperluan yang mendadak untuk menjual benda
itu.
Lazimnya dianggap
mungkin, bahwa si suami dengan suatu kuasa hukum mengusahakan isterinya untuk
bertindak atas nama gemeenschap. Dan sudah barang tentu, si suami itu dapat
pula mancabut perizinan yang dianggap telah ia berikan (veronder stelde
machtiging) mengenai pembelian-pembelian untuk rumah tangga dan mengenai
pekerjaan sendiri (eigen beroep) dari
si isteri. Pencabutan yang demikian ini, untuk dapat berlaku harus diumumkan.
Tanggung jawab terhadap
hutang-hutang :
1)
Jikalau suami atau
isteri, tidak mempunyai benda-benda pribadi (prive-goederen), soal tangggung
jawab ini mudah saja, akan tetapi itu menjadi agak sulit bila salah seorang
diantaranya di samping benda gemeenschap mempunyai pula benda prive. Orang
dikatakan bertanggung jawab, jiak ia dapat dituntut di depan hakim, sedangkan
bendanya dapat disita.
2)
Untuk menetapkan
tanggung jawab mengenai sesuatu hutang haruslah ditetapkan lebih dahulu, apakah
hutang tersebut bersifat prive ataukah suatu hutang utnuk keperluan bersama (gemeenschapsschuld)
3)
Untuk suatu hutang
prive harus dituntut suami atau isteri yang membuat hutang tersebut, sedangkan
yang harus disita pertama-tama adalah benda prive. Apabila tidak terdapat benda
prive atau ada, tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita
pula. Akan tetapi, jika suami yang membuat hutang, benda prive si isteri tak
dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.
Bagaiman halnya dengan hutang
gemeenschap?
Untuk
ini pertama-tama harus disita benda gemeenschap dan bila tidak mencukupi, maka
dapatlah bena prive dari suami atau isteri yang membuat hutang itu disita pula.
Ini sudah tidak menjadi soal.tetapi yang menjadi soal apakah untuk hutang
gemeenschap yang dibuat oleh si suami, benda prive si isteri dapat disita pula
atau sebaliknya. Mengenai soal ini ada berbagai pendirian, tetapi pemecahan
yang paling memuaskan dan yang paling sesuai dengan semangat undang-undang,
ialah suami selalu dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang-hutang gemeenschap
yang diperbuat oleh isterinya, tetapi si isteri tak dapat dipertanggungjawabkan
untuk hutang-hutang gemeenschap yang iperbuat suaminya.
Pemecahan
gemeenschap dan hak isteri untuk melepaskan gemeenschap
Gemeenschap
itu berakhir dengan berakhirnya perkawinan, yaitu :
a)
Dengan matinya salah
satu pihak,
b)
Dengan perceraian,
c)
Dengan perkawinan baru
sang isteri, setelah mendapat izin hakim, yaitu apabila suami berpergian sampai
10 tahun lamanya tanpa diketahui alamatnya.
Juga
karena :
d)
Diadakan “pemisahan
kekayaan” dan
e)
Perpisahan meja dan
tempat tidur.
Apabila
gemeenschap itu dihapuskan, ia dibagi dalam dua :
1) Bagian
yang sama dengan tidak mengindahkan asal barangnya satu persatu dari pihak
siapa. Hanya barang-barang yang sangat rapat dan sebagainya) dapat diberikan
pada yang bersangkutan dengan memperhitungkan harganya dalam pembagian,
2) Demikian
juga dengan vruchtgebruik atas suatu benda infrenten, yang kedua-duanya sangat
rapat hubungnnya dengan diri seorang.
Apabila salah satu
pihak meninggal dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang
ditinggalkan diwajibkan dalam waktu
bulan membuat suatu pencatatan tentang kekayaan mereka bersama. Pancatatan ini
dapat dilakukan secara authentiek maupun dibawah tangan dan harus diserahkan
pada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Apabila kewajiban
tersebut ini dilalaikan, maka terjadilah antara suami atau isteri yang melalikan
itu dengan anak-anaknya yang dibawah umur suatu “voortgezette gemeenschap”,
artinya kekayaan bersama yang terjadi ada
antara suami dan isteri berlangsung terus antara orang tua yang ditinggalkan
dengan anak-anaknya yang dibawah umur. Maksud peraturan ini, untuk
melindungi anak-anak yang dibawah umur itu. Sebab apabila tidak diadakan
pencatatan tentang adanya kekayaan itu sudah tentu di kemudian hari sangat
sukar bagi anak-anak itu untuk membuktikan hak-haknya dalam boedel orang
tuanya.
Bagaiman halnya denagn
pertanggungan jawab terhadap hutang-hutang gemeenschap, setelahnya gemeenschap
dihapuskan?
Ini
dapat disimpulkan dalam peraturan-peraturan berikut :
1)
Masing-masing tetap
bertanggung jawab tentang hutang-hutang yang telah dibuatnya.
2)
Disamping itu si suami
masih dapat dituntut pula hutang-hutang yang telah dibuat oleh si isteri.
3)
Si isteri dapat
dituntut untuk separoh tentang hutang-hutangyang telah dibuat oleh si suami.
4)
Sehabis diadakan
pembagian, tak dapat lagi dituntut tentang hutang yang dibuatnya oleh yang lain
sebelimnya perkawinan.
Sebagaimana
dapat dilihat di atas, si isteri dapat dituntut (untuk separoh) tentang
hutang-hutang yang telah dibuat oleh suami, juga setelahnya gemeenschap
dihapusksan. Dengan “melepaskan gemeenschap” (“afstand doen van de gemeenschap”) si isteri itu dapat menghidarkan
diri dari kemungkinan tersebut. Untuk ini paling lambat satu bulan setelah
gemeenschap dihapuskan, si isteri harus menyatakan kehendaknya itu dengan
tertulis kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Apabila setelah
penghapusan gmeenschap itu si isteri mengambil suatu benda dari gemeenschap ia
kehilangan haknya untuk melepaskan gemeenschap itu.
Apa yang dapat dihindarkan oleh isteri, ialah
kemungkinan untuk dituntut hutang-hutang yang telah diperbuat oleh suami.
Mengenai hutang-hutang yang ia telah buat sendiri, tentu saja ia masih tetap
dapat dituntut, sebab tak mungkin ia dapat meluputkan diri dari asas hukum,
bahwa tiap orang harus menanggung perbuatannya sendiri. Hanyalah, apabila ia
telah membayar hutang-hutang itu ia berhak untuk meminta pembayaran penggantian
jumlah tersebut pada suami atau bekas suaminya, karena ia sudah melepaskan
gemeenschap itu.
4.
Perjanjian
perkawinan
Jika
seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan
akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalanya diadakan
perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden).
Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya
pernikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris
Mengenai
bentuk dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya dengan
perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan
kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan yang termuat dalam
undang-undang dan asal saja mereka itutidak melanggar ketertiban umum atau
kesusilaan.
Suatu
perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda
saja(misalnya satu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi daoat juga
menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh
perjanjian yang terpakai, yaitu perjanjian “percampuran laba rugi” (“gemeenschap van wist en verlies”) dan
perjanjian”percampuran penghasilan” (“gemeenschap
van vruchten en inkomsten”).
Pada
umunya seorang yang masih dibawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun,
tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tua atau
walinya. Tetapi untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang
diadakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa disini,
diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus ”dibantu” (“bijgestaan”) oleh
orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin.
Apabila pada waktu membuat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai
usia yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah,
meskipun perkawinannya sendiri – yang baru kemudian dilangsungkan – sah.
Selanjutnya diperingatkan, apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian
dan penutupan pernikahan orang tua atau wali yang membantu terjadinya
perjanjian itu meninggal, maka perjanjian itu batal dan pembuatan perjanjian
itu harus diulangi di depan notaris, sebab orang yang nantiharus memberi izin
untuk melangsungkan pernikahan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang
membuat perjanjian perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat
Perjanjian
mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai
berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di
kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah dilangsungkan.
Orang tidak diperbolehkan menyimpand dari peraturan tentang saat mulai
berlakunya perjanjian ini. Dan juga tidak diperbolehkan menggantungkan
perjanjian pada suatu kejadian yang terletak diluar kekuasaan manusia, sehingga
terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, mislanya suatu
perjanjian antara suami dan isteri akan berlaku percampuran laba rugi kecuali
jikalau dari perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki. Perjanjian
semacam ini tidak diperbolehkan.
Apabila
pendaftaran perjanjian di kepaniteraan Pengadilan Negeri belum dilakukan,
orang-orang pihak ketiga boleh menganggap suami isteri itu kawin dalam
percampuran kekayaan.
Perjanjian
perkawina harus diikuti langsung oleh perkawinan anatara kedua belah pihak yang
membikinnya. Jikalau salah satu pihak terlebih dahulu telah kawin dengan orang lain, dan baru
kemudian menikah dengan tunangannya yang lama, perjanjian yang tadinya sudah dibikin
tak dapat berlaku lagi.
Selainnya
larangan umum yang berlaku bagi tiap perjanjian untuk memasukkan pasal-pasal
yang melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, harus diketahui pula bahwa
didalam BW terdapat berbagai pasal yang memuat peraturan tentang apa yang tidak
boleh dimasukkan dalam perjanjian perkawinan.
Pertama-tam
ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami
sebagai kepala di dalam perkawinan (“maritale macht”) atau kekuasaannya sebagai
ayah (“ouderlijke macht”) atau akan menghilangkan hak-hak seorang suami atau
isteri yang ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untu membuat suatu
perjanjian bahwa si suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam
activa daripada bagiannya dalam passiva. Maksudnya larangan ini, agar jangan
sampai suami-isteri itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak-pihak ketiga.
Akhirnya
ada larangan pula untuk memperjanjikan bahwa hubungan suami isteri akan
dikuasai oleh hukum dari sesuat negeri asing. Yang dilarang disini bukannya
mencantumkan isi hukum asing itu dengan perincian pasal demi pasal, tetapi
menunjukan secara umum pada hukum asing itu.
Sebagaiman
telah diuraikan, undang-undang hanya menyebutkan dan megatur dua contoh
perjanjian perkawinan yang banyak dipakai, yaitu perjanjian percapuran
laba-rugi (“gemeenschap van winst en
verlies”) dan perjanjian percampuran penghasilan (“gemeenschap van vruchten en inkomsten”), yang kedua-duanya juga
lazim dinamakan “beperkte gemeenschap”.
Pokok
pikiran dari percampuran laba-rugi, bahwa masing-masing pihak tetap akan
memiliki benda bawaannya beserta masing-masing beserta benda-benda yang jatuh
padanya dengan percuma selama perkawinan (pemberian atau warisan), sedangkan
semua penghasilan dari tenaga atau modal selama perkawinan aka menjadi kekayaan
bersama, begitu pula selam kerugian atau biaya-biaya yang telah mereka
keluarkan selama perkawinan akan dipikul bersama-sama.
Undang-undang
mengatakan, bahwa yang termasuk dalam pengertian “laba” (“winst”) ialah,
“segala kemajuan kekayaan yang timbul dari benda, pekerjaan dan kerajinan
masing-masing” (Pasal 157), tetapi sekarang ini, para ahli hukum suah tidak
memegang teguh lagi pada kata-kata itu dan menurut ajaran yang sekarang lazim
dianut segala activa yang bukan bawaan dianggap kepunyaan bersama, kecuali jika
dapat dibuktikan sebaliknya.
Bagi
seseorang yang kawin ada empat macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari
perkawinannya, yaitu :
a)
Karena kekayaannya
sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan kekayaan suami atau istri yang
lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran kekayaan. Cara perolehan
ini dinamakan “boedelmenging”;
b)
Karena ia menerima
pemberian-pemberian suami arau istri dalam perjanjian perkawinan;
c)
Karena ia mendapat
warisan menurut undang-undang dari kekayaan suami atau istrinya;
d)
Karena ia menerima
pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suami atau istrinya.
5.
Perceraian
Perceraian
ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang
tidak memperbolehkan perceraian dengan pemufakatan saja antara suami dan istri,
tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a)
Zina (overspel);
b)
Ditinggalkan dengan
sengaja (kwaadwillige verlating);
c)
Penghukuman yang
melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan
d)
Penganiayaan berat atau
membahayakan jiwa (pasal 209 B.W).
6.
Pemisahan
kekayaan
Untuk
melindungi ustri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan
bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si
isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan
dengan tetap berlangsungnya.
Pemisahan
kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a)
Apabila si suami dengan
kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan
membahayakan keselamatan keluarga;
b)
Apabila si suami
melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, hingga ada
kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)
Apabila si suami
mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang
oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan
yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan si isterinya.
Gugatan
untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa
an diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Ini
untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ketiga, terutama orang-orang yang
mempunyai piutang terhadap si suami. mereka itu dapat mengajukan perlawanan
terhadap diadakan pemisahan kekayaan.
Selain
membawa pemisahan kekayaan, outusan hakim berakibat pula, si isteri memperoleh
kembali haknya untuk mengururs kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan
segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum
diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak
sendiri di dalam hukum.
Pemisahan
kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan
persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang
ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.
BAB
III
Penutupan
Kesimpulan
Tentang hal larangan untuk kawin
dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan
keponakannya dan sebagainya.
Hak mengurus kekayaan
bersama (“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai
kekuasaan yang sangat luas. Selain kekuasaannya hanya terletak dalam larangan
untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang bergerak kepada lain orang
selain kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat
3).
Apabila salah satu
pihak meninggal dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang
ditinggalkan diwajibkan dalam waktu
bulan membuat suatu pencatatan tentang kekayaan mereka bersama. Pancatatan ini
dapat dilakukan secara authentiek maupun dibawah tangan dan harus diserahkan
pada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, Prof.
S.H, Pokok-pokok HUKUM PERDATA, PT Intermasa Jakarta 1985.
[*] Undang-undang Perkawinan, memberikan peraturan tentang benda-benda
dalam perkawinan yang didasarkan pada pola Hukum Adat. Yang menjadi harta
bersama hanyalah harta-benda yang diperoleh selama perkawinan, sedamgkan
harta-bawaan dan harta-benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap
dimiliki masing-masing (pasal 36).
0 comments:
Posting Komentar