-->

Makalah : Hukum Perdata (Hukum Perkawinan)

Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 12 Oktober 2012



BAB I
Pendahuluan

Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Untuk melindungi ustri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.









Bab II
Pembahasan
Hukum Perkawinan

1.      Arti dan syarat-syarat perkawinan
Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampaingkan. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila dilanggar  selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang ilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, yaitu :
a.       Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan perempuan 15 tahun;
b.      Harus ada persetujuan yang bebas dari kedua belah pihak;
c.       Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertamanya;
d.      Tidak adanya larangan alam undang-undang bagi kedua belah pihak;
e.       Untuk pihak yang masih dibawah umur , harus ada izin dari ornag tua atau wali.
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak. Jikalau ada wali, wali inipun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang membrikan izin ialah kakek-nenek., baik dari pihak ayah maupun ibu, sedangkan izin wali pun masih tetap diperlukan.
Untuk anak-anak yang diluar perkawinan, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jika tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat iminta campur tangan, dan kakek-nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
Untuk anak yang susah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan izin orang tuanya. Tetapi kalau mereka ini tidak mau memberikan izinnya, anak dapat memintanya dengan perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan memanggil orang tua dan anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau orang tua tidak menghadap, perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah lewat tiga bulan.
Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu :
a.       Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan;
b.      Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.
Kepada beberapa orang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsukannya pernikahan, yaitu:
a.       Kepada suami atau istri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang kan hendak kawin;
b.      Kepada orang tua kedua belah pihak;
c.       Oleh jaksa (Officier van Justitie)
Seorang suami dapat menghalang-halangi perkawinan yang kedua dari istrinya dan sebaliknya, sedangkan anak pun dapat mencegah perkawinan yang kedua dari ayah dan ibunya. Orang tua dapat mencegah pernikahan, jikalau anak-anaknya belum mendapatkan izin dari mereka. Juga diperkenankan bahwa setelah memberikan izin barulah mereka mengetahui yang calon menantunya telah ditaruh di bawah curatele.
Kepada Jaksa diberikan hak untuk mencegah dilangsungkannya perkawinan yang sekiranya akan melanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum.
Caranya mencegah perkawinan itu ialah dengan memasukkan perlawanan kepada Hakim. Pegawai Pencatatan Sipil lalu tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum ia menerima putusan Hakim.
Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar ia dapat melangsungkan pernikahan, yaitu :
1)      Surat kelahiran masinh-masing;
2)      Surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin orang tua, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri yang akan dibuat itu;
3)      Proses verbal dari mana ternyata perantaraan hakim dalam hal perantaraan  ini dibituhkan;
4)      Surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan lama;
5)      Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak;
6)      Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan unyuk kawin.
Pegawai Pencatatan Sipil berhak menolnak untuk melangsungkan pernikahan apabila ia menganggap surat-surat kurang cukup dalam hal yang demikian pihak-pihak yang berkepentingan dapat memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu telah mencukupi.
Pada asasnya seorang yang hendak kawin diharuskan menghadap sendiri dimuka pegawai Burgerlijk Stand itu dengan membawa dua orang saksi hanya dalam keadaan yang luar biasa dapat diberikan izin oleh Menteri Kehakiman untuk mewakilkan orang lain menghadap yang harus dikuasakan authentiek.
Suatu perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri sah apabila dilangsungkan menurut cara-cara yang berlaku di negeri asing bersangkutan asal saja tidak dilanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertban umum dinegeri kita sendiri dalam satu tahun setelah mereka di Indonesia perkawinan harus didaftarkan dalam daftar Burgerlijk Stand ditempat kediamannya.
Ada kemungkinan, misalnya karena kekhilafan suatu pernikahan telah dilangsungkan pada hal ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi atau ada larngan-larngan yang telah terlanggar misalnya salah satu pihak masih terikat oleh suatu perkawinan lama atau perkawinan telah dilangsungkan oleh Pegawai Pencatatan Sipil yang tidak berkuasa atau lain sebagainya perkawinan semacam itu dapat dibatalkan oleh hakim atas tuntunan orang-orang yang berkepentingan atau atas tuntunan Jaksa tetapi selama pembatalan ini belum dilakukan perkawinan tersebut berlaku sebagai suatu perkawinan yang sah.
Meskipun suatu pembatalan itu pada dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam suatu hal perkawinan dibatalkan, tidak boleh kita beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan, karena terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi. Dari itu, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, undang-undang telah meneteapkan sebagai berikut :
1)      Jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan tersebut, anak-anak ini tetap mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah;
2)      Pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh dari perkawinan itu hak-hak yang semesti didapatnya sebagai suami atau istri dalam perkawinan yang dibatalkan itu;
3)      Juga orang-orang pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan karena pembatalan perkawinan itu.
Pada asasnya suatu perkawinan harus dibuktikan dengan surat perkawinan. Hanya, apabila daftar-daftar Pencatatan Sipil telah hilang, diserahkan kepada Hakim untuk menerima pembuktian secara lain, asal saja menurut keadaan yang nampak keluar dua orang laki perempuan dapat dipandang sebagai suami istri, atau menurut perkataan undang-undang : asal ada suatu “bezit van den huwelijken staat”.

2.      Hak dan kewajiban suami-isteri

Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu  perkumpulan” (echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seseorang perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan “maritale macht” (dari bahasa Perancis mari = suami).
Pengurus kekayaan si isteri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya (“als een goed huisvader”) dan si isteri dapat minta pertanggungjawab tentang pengurusan itu. Kekayaan suami untuk itu menjadi jaminan, apabila ia sampai dihukum mengganti kekurangan-kekurangan atau kemerosotan kekayaan si isteri yang terjadi karena kesalahannya. Pembatasan yang terang dari kekuasaan si suami dalam hal mengurus kekayaan isterinya, tidak terdapat dalam undang-undang, melainkan ada suatu pasal yang menyatakan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang bergerak kepunyaan si isteri (pasal 105 ayat 5 B.W.). meskipun begitu, sekarang ini menurut pendapat kebanyakan ahli hukum menjual atau menggadaikan barang-barang yang bergerak dengan tidak seizin si isteri juga tak diperkenankan apabila melampaui batas pengertian “mengurus” (“beheren”)
Pasal 140, membuka kemungkinan bagi si isteri untuk (sebelum melamgsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa ia berhak untuk mengurus sendiri kekayaannya. Jiga dengan “pemisahan kekayaan” (“scheiding van goederen”) atau dengan “pemisahan meja dan tempat tidur” si isteri dengan sendirinya memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaan sendiri.
Jikalau suami memberikan bantuan (bijstand), suami-isteri itu bertindak bersama-sama untuk membantu isterinya : si isteri untuk dirinya sendiri dan si suami untuk membantunya isterinya. Jadi mereka itu bersama-sama, misalnya pergi ke notaris atau mengahadap Hakim. Menurut pasal 108 bantuan itu dapat diganti dengan suatu persetujuan tertulis. Dalam hal yang demikian, si isteri dapat bertindak sendiri dengan membawa surat kuasa dari suami. Perlu diterangkan, bahwa perkataan acte dalam pasal 108 tersebut tidaklah berati surat atau tulisan, melainkan berarti “perbuatan hukum”. Perkataan tersebut berasal dari bahsa Perancis, ”acte” yang berarti perbuatan.
Ketidakcakapan seorang isteri itu, di dalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas (pasal 1330); seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang yang berada dibawah curatele aatau seorang yang belum dewasa. Mereka ini semuanya dinyatakan “tidak cakap” untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi perbedaannya masih ada juga, yaitu seorang isteri bertindak  sendiri (meskipun didampingi oleh suami atau dikuasakan), sedangkan orang yang bekum dewasa atau seorang curandus tidak pernah tampil ke muka dan selalu harus diwakili oleh orang tua, wali atau kurator.
Selanjutnya perlu diterangkan, bahwa ketidakcakapan seorang isteri, hukum kekayaan dan yang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaan si isteri itu sendiri. Karena itu, mengakui seorang anak yang lahir diluar perkawinan atau memintakan curatele terhadap ayahnya ia dapat dilakukan sendiri dengan tak usah dibantu oleh suami, begitu pula sebagai wali atau curatriceatau sebagai directrice suatu N.V ia dapat bertindak sendiri. Hanya untuk memangku jabatan-jabatan ini, ia harus mendapat persetujuan atau kuasa dahulu dari suaminya, sebab memegang jabatan-jabatan itu memang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaannya sendiri.
Terhadap ketentuan, bahwa seseorang isteri harus dibantu oleh suaminya, diadakan beberapa kekecualian berdasarkan anggapan, untuk perbuatan-perbuatan itu si isteri telah mendapat persetujuan atau kuasa dari suaminya (veronderstelde machtiging). Yang dimaksudkan di sini, ialah perbuatan-perbuatan si isteriuntuk kepentingan rumah-tangga dan apabila si isteri mempunyai pekerjaan sendiri. Misalnya pembelian-pembelian di toko, asal saja dapat dimaksudkan pengertian “keperluan rumah-tangga biasa dan sehari-hari” (demikian pasal 109), adalah sah dan harus dibayar oleh suaminya. Dalam praktek oleh Hakim dipakai sebagai ukuran nilainya tiap rumah-tangga, sehingga misalnya pembelian sebuah es bagi isteri seorang direktur bank dapat dianggap sebagai keperluan rumah-tangga biasa dan seharei-hari akan tetapi tidak sedimikian halnya bagi isteri seorang jurutulis.
Teranglah, bahwa sang suami selalu berhak untuk mempermaklumkan kepada orang-orang pihak ketiga, bahwa ia tidak mengizinkan isterinya untuk bertindak sendiri meskipun mengenai hal-hal dalam lapangan rumah-tangga itu.
Bantuan suami juga tidak diperlukan, apabial si isteri dituntut di depan hakim dala perkara pidana, begitu pula apabila si isteri mengajukan gugatan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian atau pemisahan kekayaan atau ia sendiri digugat oleh suaminya untuk mendapat perceraian.
Peraturan tentang ketidakcakapan seorang isteri itu oleh Mahkamah Agung dianggap sekarang tidak berlaku lagi.
Dan memang ketentuan pasal 108 BW tentang ketidakcakapan seorang isteri itu harus dianggap sudah cabut oleh Undang-undang Perkawinan, pasal 31 (1) yang mengatakan, bahwa suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum sendiri.

Akibat-akibat lain dari perkawinan :
1)      Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak yang sah (wettig);
2)    Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya, apabial salah satu meninggal dalam perkawinan;
3)      Oleh undang-undang dilarang jual beli antara suami-isteri;
4)      Perjanjian perburuhan antara suami-isteri tak diperbolehkan;
5)      Pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehakan antara suami-isteri;
6)  Suami tak diperbolehkan menjadi saksi atas kejahatan yang diperbuat oleh si isterinya dan begit pula sebaliknya;
7)    Suami tak dapat dituntut tentang beberpa kejahatan terhadap isterinya dan begitu sebaliknya (misalnya pencurian).

3.      Percampuran kekayaan
Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele van goederen), jiakalau tidak ada diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi sleama perkawinan.[*]) Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu “perjanjian perkawinan” (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini, harus diadakan sebelumnya pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris. Juga keadaan sebagaimana diletakkan dalam perjanjian itu, tak dapat diubah selama perkawinan. Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu tetap. Ini demi untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.
Percampuran kekayaan, adalah mengenai seluruh activa dan passiva baik yang dibawa oleh masing-masing pihak kedalam perkawinan maupun yang akan diperoleh dikemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama iti oleh undang-undang dnamakan “gemeenschap”.




Yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan itu ada 3 : 
1)      Bahwa meskipun akan berlaku percampuran kekayaan antara suami dan isteri, beberapa benda tertentu tidak akan termasuk percampuran itu;
2)      Juga seorang yang memberikan sesuatu benda kepada salah satu pihak dapat memperjanjikan bahwa benda tersebut tidak akan jatuh di dalam percampuran kekayaan;
3)      Benda yang demikian itu, akan menjadi milik pribadi pihak yang memperolehnya.
Hak mengurus kekayaan bersama (“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas. Selain kekuasaannya hanya terletak dalam larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang bergerak kepada lain orang selain kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat 3).
Terhadap kekuasaan suami yang sangat luas itu, kepada si isteri hanya diberikan hak untuk apabila si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk (“wanbeheer”) meminta kepada hakim supaya diadakan “pemisahan kekayaan” atau kalau si suami mengobralkan kekayaannya dapat dimintakan curatele.
Selain dua macam tindakan yang dapat diambil oleh si isteri di dalam perkawinan, ia juga diberikan hak untuk, apabila perkawinan dipecahkan, melepaskan haknya atas kekayaannya bersama (“afstand doen van de gemeenschap”). Tindakan ini bermaksud untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang gemeenschap, yaitu hutang bersama, baik hutang bersama, baik hutang itu telah diperbuat oleh suami maupun si isteri seniri. Menghindarkan diri dari penagihan hutang pribadi tentu saja tak mungkin.
Hutang gemeenschap yang diperbuat oleh si isteri, misalnya pembelian bahan-bahan makanan untuk rumah tangga. Hutang pribadi, misalnya biaya perbaikan rumah pribadi si isteri.

Pasal 140 ayat 3, mengizinkan untuk memperjanjikan di dalam perjanjian perkawinan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama yang jatuh dalam gemeenschap dari pihak si isteri dengan tiada izin si isteri.
Selanjutnya dapat diterangkan, bahwa uang dari buku tabungan pos, meskipun sudah jatuh dalam gemeenschap, si isteri dapat memakai sendiri menurut kehendaknya sendiri dan begitu pula halnya dengan gajinya, asal saja mengenai yang belakangan ini untuk keperluan keluarga.
Si isteri dapat diberi kekuasaan oleh hakim untuk menjual atau menggadaikan bena-benda gemeenschap dalam hal suaminya sedang berpergian atau tidak mampu memberikan izinnya, misalnya karena sakit keras atau gila. Jadi tidak apabila si suami itu tidak mau memberikan izin nya,dalam hal ini isteri tak  dapat berbuat apa-apa. Dan kepada hakim itu harus dibuktikan tentang adanaya keperluan yang mendadak untuk menjual benda itu.
Lazimnya dianggap mungkin, bahwa si suami dengan suatu kuasa hukum mengusahakan isterinya untuk bertindak atas nama gemeenschap. Dan sudah barang tentu, si suami itu dapat pula mancabut perizinan yang dianggap telah ia berikan (veronder stelde machtiging) mengenai pembelian-pembelian untuk rumah tangga dan mengenai pekerjaan sendiri (eigen beroep) dari si isteri. Pencabutan yang demikian ini, untuk dapat berlaku harus diumumkan.
Tanggung jawab terhadap hutang-hutang :
1)      Jikalau suami atau isteri, tidak mempunyai benda-benda pribadi (prive-goederen), soal tangggung jawab ini mudah saja, akan tetapi itu menjadi agak sulit bila salah seorang diantaranya di samping benda gemeenschap mempunyai pula benda prive. Orang dikatakan bertanggung jawab, jiak ia dapat dituntut di depan hakim, sedangkan bendanya dapat disita.
2)      Untuk menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang haruslah ditetapkan lebih dahulu, apakah hutang tersebut bersifat prive ataukah suatu hutang utnuk keperluan bersama (gemeenschapsschuld)
3)      Untuk suatu hutang prive harus dituntut suami atau isteri yang membuat hutang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive. Apabila tidak terdapat benda prive atau ada, tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita pula. Akan tetapi, jika suami yang membuat hutang, benda prive si isteri tak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.
Bagaiman halnya dengan hutang gemeenschap?
Untuk ini pertama-tama harus disita benda gemeenschap dan bila tidak mencukupi, maka dapatlah bena prive dari suami atau isteri yang membuat hutang itu disita pula. Ini sudah tidak menjadi soal.tetapi yang menjadi soal apakah untuk hutang gemeenschap yang dibuat oleh si suami, benda prive si isteri dapat disita pula atau sebaliknya. Mengenai soal ini ada berbagai pendirian, tetapi pemecahan yang paling memuaskan dan yang paling sesuai dengan semangat undang-undang, ialah suami selalu dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang-hutang gemeenschap yang diperbuat oleh isterinya, tetapi si isteri tak dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang-hutang gemeenschap yang iperbuat suaminya.
Pemecahan gemeenschap dan hak isteri untuk melepaskan gemeenschap
Gemeenschap itu berakhir dengan berakhirnya perkawinan, yaitu :
a)      Dengan matinya salah satu pihak,
b)      Dengan perceraian,
c)      Dengan perkawinan baru sang isteri, setelah mendapat izin hakim, yaitu apabila suami berpergian sampai 10 tahun lamanya tanpa diketahui alamatnya.
Juga karena :
d)     Diadakan “pemisahan kekayaan” dan
e)      Perpisahan meja dan tempat tidur.

Apabila gemeenschap itu dihapuskan, ia dibagi dalam dua :
1)      Bagian yang sama dengan tidak mengindahkan asal barangnya satu persatu dari pihak siapa. Hanya barang-barang yang sangat rapat dan sebagainya) dapat diberikan pada yang bersangkutan dengan memperhitungkan harganya dalam pembagian,
2)      Demikian juga dengan vruchtgebruik atas suatu benda infrenten, yang kedua-duanya sangat rapat hubungnnya dengan diri seorang.
Apabila salah satu pihak meninggal dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang ditinggalkan diwajibkan  dalam waktu bulan membuat suatu pencatatan tentang kekayaan mereka bersama. Pancatatan ini dapat dilakukan secara authentiek maupun dibawah tangan dan harus diserahkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Apabila kewajiban tersebut ini dilalaikan, maka terjadilah antara suami atau isteri yang melalikan itu dengan anak-anaknya yang dibawah umur suatu “voortgezette gemeenschap”, artinya kekayaan bersama yang terjadi ada antara suami dan isteri berlangsung terus antara orang tua yang ditinggalkan dengan anak-anaknya yang dibawah umur. Maksud peraturan ini, untuk melindungi anak-anak yang dibawah umur itu. Sebab apabila tidak diadakan pencatatan tentang adanya kekayaan itu sudah tentu di kemudian hari sangat sukar bagi anak-anak itu untuk membuktikan hak-haknya dalam boedel orang tuanya.
Bagaiman halnya denagn pertanggungan jawab terhadap hutang-hutang gemeenschap, setelahnya gemeenschap dihapuskan?
Ini dapat disimpulkan dalam peraturan-peraturan berikut :
1)      Masing-masing tetap bertanggung jawab tentang hutang-hutang yang telah dibuatnya.
2)      Disamping itu si suami masih dapat dituntut pula hutang-hutang yang telah  dibuat oleh si isteri.
3)      Si isteri dapat dituntut untuk separoh tentang hutang-hutangyang telah dibuat oleh si suami.
4)      Sehabis diadakan pembagian, tak dapat lagi dituntut tentang hutang yang dibuatnya oleh yang lain sebelimnya perkawinan.
Sebagaimana dapat dilihat di atas, si isteri dapat dituntut (untuk separoh) tentang hutang-hutang yang telah dibuat oleh suami, juga setelahnya gemeenschap dihapusksan. Dengan “melepaskan gemeenschap” (“afstand doen van de gemeenschap”) si isteri itu dapat menghidarkan diri dari kemungkinan tersebut. Untuk ini paling lambat satu bulan setelah gemeenschap dihapuskan, si isteri harus menyatakan kehendaknya itu dengan tertulis kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Apabila setelah penghapusan gmeenschap itu si isteri mengambil suatu benda dari gemeenschap ia kehilangan haknya untuk melepaskan gemeenschap itu.
 Apa yang dapat dihindarkan oleh isteri, ialah kemungkinan untuk dituntut hutang-hutang yang telah diperbuat oleh suami. Mengenai hutang-hutang yang ia telah buat sendiri, tentu saja ia masih tetap dapat dituntut, sebab tak mungkin ia dapat meluputkan diri dari asas hukum, bahwa tiap orang harus menanggung perbuatannya sendiri. Hanyalah, apabila ia telah membayar hutang-hutang itu ia berhak untuk meminta pembayaran penggantian jumlah tersebut pada suami atau bekas suaminya, karena ia sudah melepaskan gemeenschap itu.

4.      Perjanjian perkawinan
Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya pernikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris
Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itutidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda saja(misalnya satu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi daoat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang terpakai, yaitu perjanjian “percampuran laba rugi” (“gemeenschap van wist en verlies”) dan perjanjian”percampuran penghasilan” (“gemeenschap van vruchten en inkomsten”).
Pada umunya seorang yang masih dibawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Tetapi untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang diadakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa disini, diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus ”dibantu” (“bijgestaan”) oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun perkawinannya sendiri – yang baru kemudian dilangsungkan – sah. Selanjutnya diperingatkan, apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan orang tua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka perjanjian itu batal dan pembuatan perjanjian itu harus diulangi di depan notaris, sebab orang yang nantiharus memberi izin untuk melangsungkan pernikahan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat perjanjian perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat
Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup  di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah dilangsungkan. Orang tidak diperbolehkan menyimpand dari peraturan tentang saat mulai berlakunya perjanjian ini. Dan juga tidak diperbolehkan menggantungkan perjanjian pada suatu kejadian yang terletak diluar kekuasaan manusia, sehingga terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, mislanya suatu perjanjian antara suami dan isteri akan berlaku percampuran laba rugi kecuali jikalau dari perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki. Perjanjian semacam ini tidak diperbolehkan.
Apabila pendaftaran perjanjian di kepaniteraan Pengadilan Negeri belum dilakukan, orang-orang pihak ketiga boleh menganggap suami isteri itu kawin dalam percampuran kekayaan.
Perjanjian perkawina harus diikuti langsung oleh perkawinan anatara kedua belah pihak yang membikinnya. Jikalau salah satu pihak terlebih dahulu  telah kawin dengan orang lain, dan baru kemudian menikah dengan tunangannya yang lama, perjanjian yang tadinya sudah dibikin tak dapat berlaku lagi.
Selainnya larangan umum yang berlaku bagi tiap perjanjian untuk memasukkan pasal-pasal yang melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, harus diketahui pula bahwa didalam BW terdapat berbagai pasal yang memuat peraturan tentang apa yang tidak boleh dimasukkan dalam perjanjian perkawinan.
Pertama-tam ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan (“maritale macht”) atau kekuasaannya sebagai ayah (“ouderlijke macht”) atau akan menghilangkan hak-hak seorang suami atau isteri yang ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untu membuat suatu perjanjian bahwa si suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam activa daripada bagiannya dalam passiva. Maksudnya larangan ini, agar jangan sampai suami-isteri itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak-pihak ketiga.
Akhirnya ada larangan pula untuk memperjanjikan bahwa hubungan suami isteri akan dikuasai oleh hukum dari sesuat negeri asing. Yang dilarang disini bukannya mencantumkan isi hukum asing itu dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjukan secara umum pada hukum asing itu.


Sebagaiman telah diuraikan, undang-undang hanya menyebutkan dan megatur dua contoh perjanjian perkawinan yang banyak dipakai, yaitu perjanjian percapuran laba-rugi (“gemeenschap van winst en verlies”) dan perjanjian percampuran penghasilan (“gemeenschap van vruchten en inkomsten”), yang kedua-duanya juga lazim dinamakan “beperkte gemeenschap”.
Pokok pikiran dari percampuran laba-rugi, bahwa masing-masing pihak tetap akan memiliki benda bawaannya beserta masing-masing beserta benda-benda yang jatuh padanya dengan percuma selama perkawinan (pemberian atau warisan), sedangkan semua penghasilan dari tenaga atau modal selama perkawinan aka menjadi kekayaan bersama, begitu pula selam kerugian atau biaya-biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul bersama-sama.
Undang-undang mengatakan, bahwa yang termasuk dalam pengertian “laba” (“winst”) ialah, “segala kemajuan kekayaan yang timbul dari benda, pekerjaan dan kerajinan masing-masing” (Pasal 157), tetapi sekarang ini, para ahli hukum suah tidak memegang teguh lagi pada kata-kata itu dan menurut ajaran yang sekarang lazim dianut segala activa yang bukan bawaan dianggap kepunyaan bersama, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
Bagi seseorang yang kawin ada empat macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya, yaitu :
a)      Karena kekayaannya sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan kekayaan suami atau istri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran kekayaan. Cara perolehan ini dinamakan “boedelmenging”;
b)      Karena ia menerima pemberian-pemberian suami arau istri dalam perjanjian perkawinan;
c)      Karena ia mendapat warisan menurut undang-undang dari kekayaan suami atau istrinya;
d)     Karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suami atau istrinya.

5.      Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak memperbolehkan perceraian dengan pemufakatan saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a)      Zina (overspel);
b)      Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);
c)      Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan
d)     Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209 B.W).

6.      Pemisahan kekayaan
Untuk melindungi ustri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a)      Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga;
b)      Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)      Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan si isterinya.

Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa an diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si suami. mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakan pemisahan kekayaan.
Selain membawa pemisahan kekayaan, outusan hakim berakibat pula, si isteri memperoleh kembali haknya untuk mengururs kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri di dalam hukum.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.












BAB III
Penutupan
Kesimpulan
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Hak mengurus kekayaan bersama (“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas. Selain kekuasaannya hanya terletak dalam larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang bergerak kepada lain orang selain kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat 3).
Apabila salah satu pihak meninggal dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang ditinggalkan diwajibkan  dalam waktu bulan membuat suatu pencatatan tentang kekayaan mereka bersama. Pancatatan ini dapat dilakukan secara authentiek maupun dibawah tangan dan harus diserahkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.









DAFTAR PUSTAKA
Subekti, Prof. S.H, Pokok-pokok HUKUM PERDATA, PT Intermasa Jakarta 1985.



[*] Undang-undang Perkawinan, memberikan peraturan tentang benda-benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola Hukum Adat. Yang menjadi harta bersama hanyalah harta-benda yang diperoleh selama perkawinan, sedamgkan harta-bawaan dan harta-benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dimiliki masing-masing (pasal 36). 
Previous
« Prev Post

Related Posts

Jumat, Oktober 12, 2012

0 comments:

Posting Komentar