-->

JUAL BELI SALAM (بيع السلم)

Posted by Sarjana Ekonomi on Senin, 23 April 2012


BAB  I
PENDAHULUAN
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi. Salah satunya adalah jual-beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen sedangkan pembeli adalah konsumen. Pada kenyataannya konsumen kadang memerlukan barang yang tidak atau belum dihasilkan oleh produsen sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam hukum Islam transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara pesanan ini disebut denga Salam (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Hijaz) atau Salaf (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Iraq).
Meski tidak berbeda substansinya, rumusan definisi Salam yang diberikan oleh para fuqaha berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.[1] Fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”.[2] Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan : Jual Beli dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”.[3] Jadi Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian dalam transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.




A. Pengertian
Jual Beli Salam adalah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. Misalnya, seorang muslim membeli barang dengan ciri-ciri tertentu misalnya makanan atau hewan dsb. Yang akan diterimanya pada waktu tertentu, ia bayar harganya dan menunggu waktu yang telah disepakati untuk menerima barangnya. Jika waktunya telah tiba, penjual menyerahkan barang tersebut kepadanya.

B. Hukum
Salam diperbolehkan karena termasuk jual beli. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melakukan salam pada sesuatu hendaklah ia melakukan salam dalam takaran tertentu, dan waktu tertentu” (HR. Muslim).
Abdullah bin Abbas berkata, “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, orang-orang Madinah melakukan salam pada buah-buahan selama setahun atau 2 atau 3 tahun dan beliau tidak mengingkarinya” (Muttafaq ‘alaih).
C. APLIKASI PEMBIAYAAN SALAM PERBANKAN SYARI’AH
Abstrak: Tulisan ini berupaya mengenalisis aplikasi akad-akad pembiayaan di perbankan syariah dengan menggunakan skim Salam, yakni jual-beli yang harganya dibayar di muka, sedangkan barangnya diserahkan kemudian sesuai dengan waktu yang disepakati. Mengenai dasar kebolehannya dikalangan fuqaha’ terdapat perbedaan pendapat antara berdasarkan nash ataukah istihsan bi al-nash. Namun demikian tidak ada seorangpun fuqaha yang mengharamkannya. Dalam prakteknya di perbankan syariah, akad Salam diaplikasikan setidaknya dengan tiga model. Pertama, model akad Salam Tunggal Hakiki, dimana bank benar-benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun langsung dalam bisnis penjualan barang itu. Kedua, model akad Salam Tunggal Hukmi (formal), dimana bank tidak benar-benar bermaksud membeli barang, karena setelah itu bank menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan akad Bay’ Murabahah Bisaman Ajil, atau menyuruh menjualnya ke pihak lain dengan akad Wakalah. Ketiga, model akad Salam Paralel, dimana bank melakukan dua akad Salam secara simultan, yakni akad Salam dengan nasabah yang butuh barang dan akad Salam dengan nasabah yang butuh dana untuk memproduksi barang.
Meski tidak berbeda substansinya, rumusan definisi Salam yang diberikan oleh para fuqaha berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.
Fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”.
Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan : Jual Beli dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”. Jadi Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari.
Dengan demikian dalam transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.
Ø  Dasar Hukum
Dasar hukum Salam adalah firman Allah: :”Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secar atunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2) : 282)
Berkenaan dengan ayat ini Ibn Abbas berkata; “Saya bersaksi bahwa Salaf (Salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas. [4]

Dasar hukum lainnya adalah hadis yang berkaitan dengan tradisi penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau ke sana, yaitu tradisi akad Salaf (Salam) dalam buah-buahan untuk jangka waktu satu tahun atau dua tahun.
Ø  Aplikasi Jual Beli Salam di Perbankan Syariah
Kita semua tahu bahwa salah satu fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediary. Termasuk perbankan syariah, bank-bank ini tidak merasa tertarik dengan proses mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap dipasarkan kepada konsumen. Bank-bank ini hanya menyediakan dana untuk pembiayaan. Lalu bagaimana model jual beli salam dapat diterapkan dalam dunia perbankan syariah?
Jawabannya sebenarnya sangat mudah, hanya memerlukan sedikit keberanian dan kerelaan untuk menanggung resiko agar skema jual beli salam ini bias sukses. Hal ini disebabkan pihak bank harus mempersiapkan diri dengan kerugian-kerugian yang mungkin terjadi dari jatuhnya harga Al Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan). Dan tentu saja, jual beli salam tidak dapat diterapkan untuk semua hasil pertanian. Skema jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti pada Gambar berikut.


Keterangan:
Koperasi petani mangga harum manis memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen anggota-anggotanya tahun depan terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi petani tersebut mendatangi bank syariah dan menawarkan skema jual beli salam agar bank syariah tidak rugi dan petanipun dapat panen dengan baik. Maka prosesnya adalah sebagai berikut:
(1)   Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
(2)   Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,- .
(3)   Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
(4)   Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
(5)   Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
(6)   Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong.
(7)   Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga Rp.100.000,- per kilogram.
(8)   Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.
Dari penjelasan dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik dengan hasil yang memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah dengan harga jual di pasar buah.
Memang resiko yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup besar, utamanya ketika prospek harga barang tersebut ke depannya tidak terlalu positif. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli ini sangatlah tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang tidak dapat diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil pertanian, hanya pada jenis-jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus. (Abu Fahmi)
D. Rukun dan Syarat

Menurut fuqaha Hanafiyah, rukun Salam itu hanya ijab dan qabul. Sedangkan menurut fuqaha lainnya, rukun Salam itu ada empat, yaitu:
1.  Pihak-pihak yang berakad, yaitu muslam (pembeli/pemesan) dan muslam ilayhi (penjual/pemasok)
2.      Barang yang dipesan (muslam fihi)
3.      Modal atau uang
4.      Sighat akad (ijab dan qabul)

Syarat sahnya akad salam adalah sebagai berikut:
1.      Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.      Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, cirri-ciri, dan ukurannya.
3.      Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam, pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.[5]
4.      Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad
E. Mengenal Jual Beli Salam
Dengan berkembangnya Internet, jual beli di dunia maya pun semakin marak. Orang dengan mudah melakukan berbagai aktivitas jual beli secara online melalui Internet. Selama ini, ada yang masih bingung sehingga ia anggap bahwa jual beli semacam ini, yang hanya dengan memajang katalog barang yang akan dijual, itu tidak dibolehkan karena dianggap termasuk larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang tidak dimiliki ketika akad. Sebenarnya, apa itu jual beli salam, dan bagaimana pandangan Islam terhadap jual beli semacam ini. Berikut adalah penjelasannya.
F. Pengertian Transaksi Salam
Jual beli salam (biasa pula disebut “salaf”) adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat; barang itu ada di dalam pengakuan (tanggungan) si penjual. Misalnya, si penjual berkata,"Saya jual kepadamu satu meja tulis dari kayu jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci, dengan harga Rp 100.000,-". Pembeli pun berkata,"Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp 100.000,-". Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi, salam ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual, dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad. Dengan kata lain, jual beli salam adalah jual beli dengan uang di muka secara kontan sedangkan barang dijamin diserahkan tertunda.
Jual beli salam dibolehkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
G. Bolehnya Transaksi Salam
Ayat yang menyebutkan bolehnya hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى)
Aku bersaksi bahwa salaf (transaksi salam) yang dijamin hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah telah mengizinkannya”. Setelah itu Ibnu ‘Abbas menyebutkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282) (HR. Al Baihaqi 6/18, Al Hakim 2/286 dan Asy Syafi’i dalam musnadnya no. 597. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya)
Ibnu’ Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- juga mengatakan,
قَدِمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ ، وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ ، فَقَالَ « مَنْ أَسْلَفَ فِى شَىْءٍ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf (salam), yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mempraktekkan salam dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari no. 2240 dan Muslim no. 1604)
Adapun dalil ijma’ (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Beliau -rahimahullah- mengatakan,
أجمع كلّ من نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز.
“Setiap ulama yang kami mengetahui perkataannya telah bersepakat (berijma’) tentang bolehnya jual beli salam.”
Sayyid Sabiq -rahimahullah- menjelaskan, “Jual beli salam dibolehkan berdasarkan kaedah syariat yang telah disepakati. Jual beli semacam ini tidaklah menyelisihi qiyas. Sebagaimana dibolehkan bagi kita untuk melakukan pembayaran tertunda, begitu pula dibolehkan barangnya yang diserahkan tertunda seperti yang ditemukan dalam akad salam, dengan syarat tanpa ada perselisihan antara penjual dan pembeli. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al Baqarah: 282). Utang termasuk pembayaran tertunda dari harta yang dijaminkan. Maka selama barang yang dijual disebutkan ciri-cirinya yang jelas dan dijaminkan oleh penjual, begitu pula pembeli sudah percaya sehingga ia pun rela menyerahkan uang sepenuhnya kepada penjual, namun barangnya tertunda, maka ketika itu barang tersebut boleh diserahkan tertunda. Inilah yang dimaksud dalam surat Al Baqarah ayat 282 sebagaimana diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Mengapa Salam diperbolehkan?
Orang yang mempunyai perusahaan sering membutuhkan uang untuk keperluan perusahaan mereka, bahkan sewaktu-waktu kegiatan perusahaannya sampai terhambat karena kekurangan modal. Sedangkan si pembeli, selain akan mendapatkan barang yang sesuai dengan yang diinginkannya, ia pun sudah menolong kemajuan perusahaan saudaranya. Maka untuk kepentingan tersebut, Allah mengadakan peraturan salam.
Rukun salam adalah 
  • Ada si penjual dan si pembeli
  • Ada barang dan uang
  • Ada sigat (lafaz akad)
H. Syarat-Syarat Salam
  • Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad. Berarti pembayaran dilakukan lebih dulu.
  • Barangnya menjadi utang bagi si penjual
  • Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu yang dijanjikan, barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya hukumnya tidak sah.
  • Barang tersebut hendaklah jelas ukuran, baik takaran, timbangan, ukuran, ataupun bilangannya, menurut kebiasan cara menjual barang semacam itu.
  • Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat ini berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas, sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan nanti antara kedua belah pihak (si penjual dan si pembeli). Begitu juga macamnya, harus pula disebutkan, misalnya daging kambing, daging sapi, atau daging kerbau
Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut. Akad salam mesti terus, berarti tidak ada khiyar syarat

Jual Beli Salam dan Syaratnya : Hukum Jual Beli Salam

Hukum jual beli salam
Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah serta ijma', juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).
Pertama: Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata,
Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.'” (Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil, no. 340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata “apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak tunai dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya. Apabila tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”. (Lihat keterangan Syekh Ibnu Utsaimin tentang hal ini di Syarhu Al-Mumti’, 9:49)
Kedua: Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang artinya:  “Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'" (Muttafaqun 'alaih)
Ketiga: Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)
Keempat: Kebolehan akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal dan hikmah menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan pembeli mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan nilai harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada keduanya.” (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 150).
Oleh karena itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islam karena muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan maslahat bagi mereka, di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang JUAL BELI SALAM
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran
  1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
  2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
  3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang
  1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
  2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
  3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
  4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
  5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
  6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a.      Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
b.      Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya
  1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
  2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
  3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
  4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
  5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli, khiyar, dan jual beli As-salam. Agar terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatan yang bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untuk mensejahterakan kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.
B.  Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli yang baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan jual beli.



DAFTAR PUSTAKA

Ibn “Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, vol.4, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t),

al-Syarbini al-Khatiib, Mugni al-Muhtaj, vol 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), dan Ibn Qudamah, al-Mugni Syarh al-Kabir, vol 2, (t.t.p.: Maktabah al-Riyad al Hadisah, t.t)

Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, vol.2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978)
M.Syaf’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)


[1]  Ibn “Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, vol.4, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 212
[2]  al-Syarbini al-Khatiib, Mugni al-Muhtaj, vol 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 102 dan Ibn Qudamah, al-Mugni Syarh al-Kabir, vol 2, (t.t.p.: Maktabah al-Riyad al Hadisah, t.t), h.275
[3]  Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, vol.2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.199
[4]  M.Syaf’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 108
[5]  M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, h. 109


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Jual Beli Salam”. Kami menyadari, bahwa makalah ini tidak mungkin dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan, tanpa bimbingan dan bantuan serta tersedianya fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh beberapa pihak.
Akhirnya kami berharap makalah ini akan mampu memberikan manfaat bagi kami dan juga masyarakat, maupun bagi pengembangan ilmu kalam lainnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.



Penulis

Kelompok....




DAFTAR  ISI


KATA PENGANTAR  ................................................................................................         i
DAFTAR ISI .............................................................................................................         ii
BAB  I  PENDAHULUAN ..........................................................................................         1
BAB  II  PEMBAHASAN ...........................................................................................         2
JUAL BELI SALAM (بيع السلم) .............................................................................         2
A.      Pengertian .................................................................................................         2
B.      Hukum ........................................................................................................         2
C.      Aplikasi Pembiayaan Salam Perbankan Syari’ah.......................................         2
D.     Rukun dan Syarat .......................................................................................         2
E.      Mengenal Jual Beli Salam .........................................................................         3
F.       Pengertian Transaksi Salam ......................................................................         3
G.     Bolehnya Transaksi Salam .........................................................................         3
H.     Syarat-syarat Salam ...................................................................................         5
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIOANAL ............................................................         6
BAB III PENUTUP ....................................................................................................         9
A.      Kesimpulan ................................................................................................         9
B.      Saran ..........................................................................................................         9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................       10

Previous
« Prev Post

Related Posts

Senin, April 23, 2012

0 comments:

Posting Komentar