BAB I
PENDAHULUAN
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu
berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi.
Salah satunya adalah jual-beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan
pembeli. Biasanya penjual adalah produsen sedangkan pembeli adalah konsumen.
Pada kenyataannya konsumen kadang memerlukan barang yang tidak atau belum
dihasilkan oleh produsen sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli dengan
produsen dengan cara pesanan. Di dalam hukum Islam transaksi jual-beli yang dilakukan
dengan cara pesanan ini disebut denga Salam (sebutan ini lazim digunakan
oleh fuqaha Hijaz) atau Salaf (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha
Iraq).
Meski tidak berbeda substansinya, rumusan definisi Salam
yang diberikan oleh para fuqaha berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah
mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau
menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih
awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.[1]
Fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah
disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar
harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli
dikemudian hari”.[2]
Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan : Jual Beli dibayar
terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah
disepakati”.[3]
Jadi Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan
spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan
sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan
penyerahan barangnya dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian
hari. Dengan demikian dalam transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki
piutang barang terhadap penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang
kepada pembeli.
A.
Pengertian
Jual Beli Salam adalah jual beli sesuatu dengan
ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. Misalnya, seorang
muslim membeli barang dengan ciri-ciri tertentu misalnya makanan atau hewan
dsb. Yang akan diterimanya pada waktu tertentu, ia bayar harganya dan menunggu
waktu yang telah disepakati untuk menerima barangnya. Jika waktunya telah tiba,
penjual menyerahkan barang tersebut kepadanya.
B. Hukum
Salam diperbolehkan karena termasuk jual beli.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melakukan salam pada sesuatu hendaklah ia
melakukan salam dalam takaran tertentu, dan waktu tertentu” (HR. Muslim).
Abdullah bin Abbas berkata, “Ketika Rasulullah tiba
di Madinah, orang-orang Madinah melakukan salam pada buah-buahan selama setahun
atau 2 atau 3 tahun dan beliau tidak mengingkarinya” (Muttafaq ‘alaih).
C. APLIKASI
PEMBIAYAAN SALAM PERBANKAN SYARI’AH
Abstrak: Tulisan
ini berupaya mengenalisis aplikasi akad-akad pembiayaan di perbankan syariah
dengan menggunakan skim Salam, yakni jual-beli yang harganya dibayar di
muka, sedangkan barangnya diserahkan kemudian sesuai dengan waktu yang
disepakati. Mengenai dasar kebolehannya dikalangan fuqaha’ terdapat perbedaan
pendapat antara berdasarkan nash ataukah istihsan bi al-nash. Namun
demikian tidak ada seorangpun fuqaha yang mengharamkannya. Dalam prakteknya di
perbankan syariah, akad Salam diaplikasikan setidaknya dengan tiga
model. Pertama, model akad Salam Tunggal Hakiki, dimana bank
benar-benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun langsung dalam
bisnis penjualan barang itu. Kedua, model akad Salam Tunggal
Hukmi (formal), dimana bank tidak benar-benar bermaksud membeli barang, karena
setelah itu bank menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan akad Bay’
Murabahah Bisaman Ajil, atau menyuruh menjualnya ke pihak lain dengan akad Wakalah.
Ketiga, model akad Salam Paralel, dimana bank melakukan dua akad Salam
secara simultan, yakni akad Salam dengan nasabah yang butuh barang
dan akad Salam dengan nasabah yang butuh dana untuk memproduksi barang.
Meski tidak berbeda
substansinya, rumusan definisi Salam yang diberikan oleh para fuqaha
berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang
yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya
jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan
dikemudian hari”.
Fuqaha Hanabilah dan
Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk membuat
sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”.
Sedangkan Fuqaha
Malikiyah mendefinisikannya dengan : Jual Beli dibayar terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”. Jadi
Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan
spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan
sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan
penyerahan barangnya dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian
hari.
Dengan demikian dalam
transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap
penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.
Ø Dasar
Hukum
Dasar
hukum Salam adalah firman Allah: :”Wahai orang-orang yang beriman
apabila kamu bermuamalah tidak secar atunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2) : 282)
Berkenaan
dengan ayat ini Ibn Abbas berkata; “Saya bersaksi bahwa Salaf (Salam)
yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada
kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas. [4]
Dasar hukum lainnya adalah hadis yang berkaitan dengan
tradisi penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau
ke sana, yaitu tradisi akad Salaf (Salam) dalam buah-buahan untuk
jangka waktu satu tahun atau dua tahun.
Ø
Aplikasi Jual Beli Salam di Perbankan Syariah
Kita
semua tahu bahwa salah satu fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediary.
Termasuk perbankan syariah, bank-bank ini tidak merasa tertarik dengan proses
mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap dipasarkan kepada konsumen.
Bank-bank ini hanya menyediakan dana untuk pembiayaan. Lalu bagaimana model
jual beli salam dapat diterapkan dalam dunia perbankan syariah?
Jawabannya
sebenarnya sangat mudah, hanya memerlukan sedikit keberanian dan kerelaan untuk
menanggung resiko agar skema jual beli salam ini bias sukses. Hal ini
disebabkan pihak bank harus mempersiapkan diri dengan kerugian-kerugian yang
mungkin terjadi dari jatuhnya harga Al Muslam Fiih (barang yang akan
diserahkan). Dan tentu saja, jual beli salam tidak dapat diterapkan untuk semua
hasil pertanian. Skema jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam perbankan
syariah adalah seperti pada Gambar berikut.
Keterangan:
Koperasi
petani mangga harum manis memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen
anggota-anggotanya tahun depan terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi
petani tersebut mendatangi bank syariah dan menawarkan skema jual beli salam
agar bank syariah tidak rugi dan petanipun dapat panen dengan baik. Maka
prosesnya adalah sebagai berikut:
(1)
Bank syariah membeli
10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah mangga harum manis dengan
harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun
kedepan.
(2)
Bank syariah membayar
tunai kepada koperasi tersebut sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp.
500.000.000,- .
(3)
Bank syariah menjual
kepada pemborong buah mangga harum manis dengan harga Rp.55.000,- per kilogram
menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
(4)
Pemborong membayar
tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
(5)
Setelah satu tahun
berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum manis dengan jumlah dan
kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
(6)
Bank syariah kemudian
mengirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong.
(7)
Pemborong menjual
mangga harum manis di pasar buah dengan harga Rp.100.000,- per kilogram.
(8)
Pemborong mendapatkan
keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.
Dari
penjelasan dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual
beli salam mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para petani mendapatkan
keuntungan berupa panen yang baik dengan hasil yang memuaskan disebabkan
keperluan-keperluan mereka dalam mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi
dengan uang tunai yang dibayarkan di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan
pihak bank syariah mendapatkan keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang
merupakan selisih harga jual kepada pemborong dengan harga beli dari petani
mangga. Dan pihak pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari
bank syariah dengan harga jual di pasar buah.
Memang
resiko yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup besar, utamanya
ketika prospek harga barang tersebut ke depannya tidak terlalu positif. Oleh
karena itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli ini sangatlah
tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang tidak dapat diterapkan untuk semua
jenis produk atau hasil pertanian, hanya pada jenis-jenis hasil pertanian yang
dapat diramalkan bagus. (Abu Fahmi)
D. Rukun dan
Syarat
Menurut
fuqaha Hanafiyah, rukun Salam itu hanya ijab dan qabul. Sedangkan
menurut fuqaha lainnya, rukun Salam itu ada empat, yaitu:
1. Pihak-pihak
yang berakad, yaitu muslam (pembeli/pemesan) dan muslam ilayhi
(penjual/pemasok)
2. Barang yang dipesan (muslam
fihi)
3. Modal atau uang
4. Sighat akad (ijab dan qabul)
Syarat sahnya
akad salam adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang berakad
disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2. Barang yang dijadikan obyek
akad disyaratkan jelas jenis, cirri-ciri, dan ukurannya.
3.
Modal atau uang
disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika
berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus
dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk
menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam, pembayarannya tidak bisa
dalam bentuk pembebasan utang penjual.[5]
4.
Ijab dan qabul
harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang
dapat memalingkan keduanya dari maksud akad
E. Mengenal Jual Beli Salam
Dengan
berkembangnya Internet, jual beli di dunia maya pun semakin marak. Orang dengan
mudah melakukan berbagai aktivitas jual beli secara online melalui Internet.
Selama ini, ada yang masih bingung sehingga ia anggap bahwa jual beli semacam
ini, yang hanya dengan memajang katalog barang yang akan dijual, itu tidak
dibolehkan karena dianggap termasuk larangan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjual barang yang tidak dimiliki ketika akad. Sebenarnya, apa
itu jual beli salam, dan bagaimana pandangan Islam terhadap jual beli semacam
ini. Berikut adalah penjelasannya.
F. Pengertian Transaksi Salam
Jual beli salam (biasa pula disebut “salaf”) adalah menjual sesuatu yang
tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat; barang itu ada di dalam
pengakuan (tanggungan) si penjual. Misalnya, si penjual berkata,"Saya jual
kepadamu satu meja tulis dari kayu jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm,
sepuluh laci, dengan harga Rp 100.000,-". Pembeli pun berkata,"Saya
beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp 100.000,-". Dia membayar
uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi, salam ini
merupakan jual beli utang dari pihak penjual, dan kontan dari pihak pembeli
karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad. Dengan kata lain, jual beli salam
adalah jual beli dengan uang di muka secara kontan sedangkan barang dijamin
diserahkan tertunda.
Jual beli
salam dibolehkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan
ulama).
G. Bolehnya Transaksi Salam
Ayat yang menyebutkan bolehnya hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
(QS. Al Baqarah: 282)
Ibnu
‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan,
أَشْهَدُ
أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
أَحَلَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى)
“Aku bersaksi bahwa salaf (transaksi salam) yang dijamin hingga waktu
yang ditentukan telah dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah telah mengizinkannya”.
Setelah itu Ibnu ‘Abbas menyebutkan firman Allah Ta’ala (yang
artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282) (HR. Al Baihaqi 6/18, Al Hakim 2/286
dan Asy Syafi’i dalam musnadnya no. 597. Al Hakim mengatakan bahwa hadits
ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, namun keduanya
tidak mengeluarkannya)
Ibnu’
Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- juga mengatakan,
قَدِمَ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ ، وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ
السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ ، فَقَالَ « مَنْ أَسْلَفَ فِى شَىْءٍ فَفِى كَيْلٍ
مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »
“Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah,
mereka (penduduk Madinah) mempraktekan jual beli buah-buahan dengan sistem
salaf (salam), yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun
waktu dua atau tiga tahun kemudian. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, "Siapa yang mempraktekkan salam dalam jual beli buah-buahan
hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang
diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari no. 2240 dan
Muslim no. 1604)
Adapun
dalil ijma’ (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul
Mundzir. Beliau -rahimahullah- mengatakan,
أجمع كلّ من
نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز.
“Setiap
ulama yang kami mengetahui perkataannya telah bersepakat (berijma’) tentang
bolehnya jual beli salam.”
Sayyid Sabiq -rahimahullah- menjelaskan, “Jual beli salam
dibolehkan berdasarkan kaedah syariat yang telah disepakati. Jual beli semacam
ini tidaklah menyelisihi qiyas. Sebagaimana dibolehkan bagi kita untuk
melakukan pembayaran tertunda, begitu pula dibolehkan barangnya yang diserahkan
tertunda seperti yang ditemukan dalam akad salam, dengan syarat tanpa ada
perselisihan antara penjual dan pembeli. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya” (QS. Al Baqarah: 282). Utang termasuk pembayaran tertunda
dari harta yang dijaminkan. Maka selama barang yang dijual disebutkan
ciri-cirinya yang jelas dan dijaminkan oleh penjual, begitu pula pembeli sudah
percaya sehingga ia pun rela menyerahkan uang sepenuhnya kepada penjual, namun
barangnya tertunda, maka ketika itu barang tersebut boleh diserahkan tertunda.
Inilah yang dimaksud dalam surat Al Baqarah ayat 282 sebagaimana diterangkan
oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Mengapa Salam diperbolehkan?
Orang yang mempunyai perusahaan sering membutuhkan uang untuk keperluan
perusahaan mereka, bahkan sewaktu-waktu kegiatan perusahaannya sampai terhambat
karena kekurangan modal. Sedangkan si pembeli, selain akan mendapatkan barang
yang sesuai dengan yang diinginkannya, ia pun sudah menolong kemajuan
perusahaan saudaranya. Maka untuk kepentingan tersebut, Allah mengadakan
peraturan salam.
Rukun salam adalah
- Ada si penjual dan si pembeli
- Ada barang dan uang
- Ada sigat (lafaz akad)
H.
Syarat-Syarat Salam
- Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad. Berarti pembayaran dilakukan lebih dulu.
- Barangnya menjadi utang bagi si penjual
- Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu yang dijanjikan, barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya hukumnya tidak sah.
- Barang tersebut hendaklah jelas ukuran, baik takaran, timbangan, ukuran, ataupun bilangannya, menurut kebiasan cara menjual barang semacam itu.
- Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat ini berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas, sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan nanti antara kedua belah pihak (si penjual dan si pembeli). Begitu juga macamnya, harus pula disebutkan, misalnya daging kambing, daging sapi, atau daging kerbau
Disebutkan tempat
menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut. Akad salam
mesti terus, berarti tidak ada khiyar syarat
Jual Beli Salam dan Syaratnya : Hukum Jual Beli Salam
Hukum jual
beli salam
Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat
Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah serta ijma', juga sesuai dengan analogi
akal yang benar (al-qiyas
ash-shahih).
Pertama: Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, menjadikan
ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata,
“Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang
terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh
Allah dalam Alquran. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), 'Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.'” (Hadis ini dinilai
sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’
Al-Ghalil, no. 340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh
Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata
“apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak
tunai dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya.
Apabila tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”. (Lihat
keterangan Syekh Ibnu Utsaimin tentang hal ini di Syarhu Al-Mumti’, 9:49)
Kedua: Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah
bin Abbas radhiallahu 'anhuma
yang artinya: “Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma
dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa
yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui
(oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak) pula.'" (Muttafaqun 'alaih)
Ketiga: Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang
kebolehan sistem jual beli salam
ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan
ijma’ ini, dengan menyatakan,
“Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)
Keempat: Kebolehan akad jual beli salam ini juga
sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia, sebagaimana dijelaskan
oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal
dan hikmah menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan
manusia bisa sempurna dengan jual beli salam.
Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang
kontan, dan pembeli mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah
serta dengan nilai harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali
kepada keduanya.” (Min Fiqhi
Al-Mu’amalat, hlm. 150).
Oleh karena
itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini
(yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islam karena
muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan maslahat bagi
mereka, di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh larangan Allah.”
(Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang JUAL BELI SALAM
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang JUAL BELI SALAM
Menetapkan : FATWA
TENTANG JUAL BELI SALAM
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran
- Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
- Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
- Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang
- Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
- Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
- Penyerahannya dilakukan kemudian.
- Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
- Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
- Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga
: Ketentuan tentang Salam Paralel
Dibolehkan
melakukan salam paralel dengan syarat:
a.
Akad kedua terpisah
dari akad pertama, dan
b.
Akad kedua dilakukan
setelah akad pertama sah.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya
- Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
- Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
- Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
- Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
- Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta
kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak
Pada
dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah
pihak.
Keenam : Perselisihan
Keenam : Perselisihan
Jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
: 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuatu hal yang
sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang kita
lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk
memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan
syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli, khiyar, dan jual beli
As-salam. Agar terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat
dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli
islam adalah suatu kegiatan yang bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak
ukur untuk mensejahterakan kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian.
Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli
ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam
bab-bab makalah ini.
B.
Saran
Penulisan
makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai
hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli yang
baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan
makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan jual beli.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibn
“Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, vol.4, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t),
al-Syarbini
al-Khatiib, Mugni al-Muhtaj, vol 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), dan Ibn
Qudamah, al-Mugni Syarh al-Kabir, vol 2, (t.t.p.: Maktabah al-Riyad al
Hadisah, t.t)
Ibn
Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, vol.2, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1978)
M.Syaf’I
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001)
[1]
Ibn
“Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, vol.4, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t), h. 212
[2] al-Syarbini
al-Khatiib, Mugni al-Muhtaj, vol 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 102
dan Ibn Qudamah, al-Mugni Syarh al-Kabir, vol 2, (t.t.p.: Maktabah
al-Riyad al Hadisah, t.t), h.275
[3] Ibn
Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, vol.2, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1978), h.199
[4] M.Syaf’I
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 108
KATA
PENGANTAR
Dengan
mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Jual Beli Salam”. Kami menyadari, bahwa makalah ini
tidak mungkin dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan, tanpa bimbingan dan
bantuan serta tersedianya fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh beberapa
pihak.
Akhirnya
kami berharap makalah ini akan mampu memberikan manfaat bagi kami dan juga
masyarakat, maupun bagi pengembangan ilmu kalam lainnya. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.
Penulis
Kelompok....
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR
ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
........................................................................................... 2
JUAL BELI SALAM (بيع السلم) ............................................................................. 2
A. Pengertian ................................................................................................. 2
B. Hukum ........................................................................................................ 2
C. Aplikasi Pembiayaan Salam Perbankan
Syari’ah....................................... 2
D. Rukun dan Syarat ....................................................................................... 2
E. Mengenal Jual Beli Salam
......................................................................... 3
F. Pengertian Transaksi
Salam ...................................................................... 3
G. Bolehnya Transaksi Salam
......................................................................... 3
H. Syarat-syarat Salam ................................................................................... 5
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIOANAL ............................................................ 6
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ................................................................................................ 9
B. Saran .......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 10
0 comments:
Posting Komentar