Khiyar secara Etimologi berarti : memilih,hak untuk
memilih.Sedangkan khiyar secara etimologi adalah :
“suatu
keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang bertransaksi) memiliki hak untuk
memutuskan akadnya, yakni meneruskan atau membatalkannya. (Syafi’i 2000:102)
B.
Macam-macam
Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai macam-macam
kkhiyar itu sendiri sesuai dengan perspektif masing-masing dalam
mengklasifikasikan jenis-jenis khiyar, di antara pendapat tersebut sebagi
berikut :
Ulama
Malikiyah[1]:
1.
Khiyar
al-taammul (melihat, meneliti) : Khiyar mutlak
2.
Khiyar
naqish (kurang) : apabila terjadi kekuranggan atau aib pada barang yang di jual
Ulama
syafi’iyah[2]:
1.
Khiyar
at-tasyahi : khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai
seleranya terhapad barang, baik dalam majlis maupun syarat.
2.
Khiyar
naqisah : khiyar yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafadz atau adanya
kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian.
Adapun khiyar yag didasarkan kepada hukum syara’ menurut
ulama syafi’iyah ada 16 (enam belas) dan menurut ulama hanafiyah ada 8 (delapan),
namun yang dibahas disini adalah khiyar yang yang paling masyhur (yang paling
dikenal), di antaranya sebagai berikut :
1.
Khiyar
Majelis
Secara bahasa majelis berarti tempat duduk, bila dikaitkan
dengan khiyar maka memilki arti hak untuk meneruskan atau membatalkan
jual beli selama penjual dan pembeli belum berpisah atau keduanya mesih
bersama-sama ditempat tersebut (Arifin 214:08), seperti yang ditegaskan Rasulullah
dalam beberapa hadistnya diantaranya:
َوَعَنْ
اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ: ( إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ,
فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ
اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ
مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ,
وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Dari
Ibnu Umar Radliyallaah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang
mempunyai hak khiyar (memiliha ntara membatalkan atau meneruskan jual-beli)
selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di
antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka
berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah
setelah melakukan jual-bel I dan masing-masing orang tidak mengurungkan
jual-beli, maka jadilah jual-beli itu.”MuttafaqAlaihi. Dan lafadznya menurut
riwayat Muslim.
Begitu
juga sabda nabi :
َوَعَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: ( اَلْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ
خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ,
وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ. وَفِي
رِوَايَةٍ: ( حَتَّى يَتَفَرَّقَا مِنْ مَكَانِهِمَا )
Dari
Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Penjual dan pembeli mempunyai hak
khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan
masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli
dibatalkan.”Riwayat Imam Lima kecuali IbnuMajah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah,
dan Ibnu al-Jarus. Dalam suatu riwayat: “Hingga keduanya meninggalkan tempat
mereka”.[3]
1.1. Batas Berlakunya Khiyar Majelis
Berdasarkan hadist di atas, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah
tidak menentukan atau menetapkan makna perpisahan yang menjadi batasan
selesainya transaksi, apakah ketika mereka berpindah dari majelis ataukah
saling berpisah badan atau hanya pada adanya kesepakatan berakhirnya akad.
Mengenai masalah ini As-suyuthi berkata,” ulama ahli fiqh
menyatakan : Setiap hal yang disebutkan secara mutlak dan tidak disebutkan
batasannya dalam syariat dan tidak juga dalam syariat maka pembatasanya
dikembalikan kepada ‘urf”.
Dari sini dapat diambil keimpulan bahwa batasan dari khiyar
majelis itu diserahkan kepada ‘urf masing-masing.
1.2. Metode Mengugurkan Khiyar
Dalam transaksi jual beli tidak bisa serta merta pelaku
transaksi membatalkan jual beli, atau mengunakan hak khiyanya dengan sekehendak
hati, sehingga merugikan atau menyakiti salah satu pihak, agar tidak terjadi
kedzaliman dalam pengunaan khiyar maka islam pun juga mengatur bagaimana cara
mengugurkan khiyar mejelis dengan baik yaitu seperti yang disebutkan dalam
hadist Ibnu Umar r.a :
“Dan
bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan, kemudian mereka berjual beli
dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesaikanlah akad jula beli
tersebut.”
Berdasarkan potongan hadist diatas masing-masing dari
keduanya diperbolehkan menawarkan kepada kawannya agar hak ini digugurkan
sehingga penjualan tersebut telah selesai, walaupun masih bersama-sama dalam
satu tempat.
Dan juga berdasarkan hadist yang telah tertera pada bahasan yang
telah lalu, walaupun batasan berlakunya hak khiyar adalah berpisah namun tidak
dibenarkan bagi keduanya untuk dengan sengaja terburu-buru memisahkan dirinya dari
lawan transaksinya dengan tujuan mengugurkan hak ini. Akan tetapai berlaku
sewajarnya (sesuai dengan kaidah-kaidah norma kesopanan).
Menurut para ulama hal pilih khiyar ini tidak hanya berlaku
pada jual beli, melainkan berlaku pada transaksi lain yang serupa yaitu
sewa-menyewa, valas, akad salam, karena semua merupakan akad yang bersifat
mengikat. Sedangkan pada akad yang tidak bersifat berlaku ketentuan lain
seperti akad mudharabah, perwakilan, serikat dagang dan lain-lain.[4]
Cara
mengugurkan Khiyar tersebut ada tiga :
1. Penguguran Jelas (Sharih)
Penguguran sharih ialah penguguran
oleh orang yang berkhiyar, seperti menyatakan,”Saya batalkan khiyar dan saya
rida.”Dengan demikian, akad menjadi lazim (sahih). Sebaliknya akad gugur
dengan pernyataan, ”Saya batalkan atau saya gugurkan akad.”
2. Penguguran Dengan Dilalah
Penguguran dengan Dilalah adalah
adanya tasharuf (beraktivitas dengan barang tersebut) dari perilaku khiyar yang
menunujukkan bahwa jual-beli jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan
barang tersebut kepada orang lain, atau sebaliknnya, pembeli mengembalikan
kepemilikan kepada penjual.[5]
3. Pengguran Khiyar Dengan dengan
Kemadharatan
Pengguran Khiyar dengan kemdharatan
ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
a.
Habis
Waktu
Khiyar
menjadi gugur setelah habis waktu yang tealah ditetapkan walaupun tidak ada
pembatalan dari yangberkhiyar. Dengan demikian akad menjadi lazim.[6]
Hal ini sesuai dengtan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.[7]
Menurut
ulama Malikiyah, akad tidak lazim dengan berakirnya waktu, tetapi harus ada
ketetapan dari yang berkhiyar sebab khiyar bukan kewajiban. Oleh karene itu, akad
tidak gugur karna berkirnya waktu, contohnya,janji seorang tuan terhadap budak
untuk dimerdekakan pada waktu tertentu. Budak tersebut tidak merdeka karena
berkhirnya waktu.
b.
Kematian
Orang yang Memberikan Syarat
Jika orang
yang memberikan syarat meninggal dunia, maka khiyar menjadi gugur, baik yang
meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akad pun menjadi lazim, sebab
tidak mungkin menbatalkannya. Namun tetang kewarisan syarat para ulama berbeda
pendapat, antara lain :
1.
Menurut
ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan
meninggalnya orang yang memberikan syarat.[8]
2.
Ulama
hanbaliyah berpendapat bahwa bahwa khiyar menjadi batal dengan meninggalnya
orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk
membatalkannya, dalam hal ini, khiyar menjadi kewajiban ahli waris.[9]
3.
Ulama
syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli waris, dengan
demikian, tidak gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.[10]
c.
Adanya
hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar
gugur dengan adanya hal-hal yang serupa dengan mati, seperti gila, mabuk, dan
lain-lain.[11] Dengan
demikian, jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, akadnya menjadi
lazim.
d. Barang rusak ketika masa
khiyar
Tentang
rusaknya barang ketika khiyar terdapat beberapa masalah, apakah rusaknya
setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang penjual dan lain-lian, sebagaimana
akan dijelaskan di bawah ini :
1.
Jika
barang masih ditangan pembeli batallah jual-beli dan khiyar pun gugur.
2.
Jika
barang sudah pada tangan pembeli, jual beli batal jika khiyar berasal dari
penjual, tetapi pembeli harus menggantinya.
3.
Jika
barang sudah ada ditangan pembeli dan khiyar dati pembeli, jual-beli menjadi
lazim dan khiyar pun gugur.
4.
Ulama
Syafi’iyah dan ulama hanbaliyah berpendapat bahwa jika barang rusak dengan
sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli batal.
e.
Adanya
cacat pada barang
Dalam
masalah ini terdapat beberapa penjelasan :
1. Jika khiyar berasala dari penjual, dan
cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli batal. Akan tetapi,
jika cacat karena perbuatan pembeli atau orang lain, khiyar tidak gugur dan
pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya. Begitu juga
dengan orang lain.
2. Jika khiyar berasal dari pembeli dan
ada cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak gugur, sebab barang menjadi
tanggung jawab pembeli.
1.3. Hikmah Ditetapkannya Khiyar Majelis
Disyariatkannya hak pilih macam (khiyar majelis) ini guna
menutup atau memperkecil pintu-pintu penyesalan pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi jual-beli. Sebab sering kali seseorang terlalu tertarik atau juga
terpengaruh terhadap suatu hal sehingga ia terburu-buru dalam memutuskan untuk
membeli atau menjual sesuatu tanpa mepertimbangkan manfaat atau kerugiannya, sehingga
setelah transaksi terjadi ada pihak yang merasa kurang diutungkan, dan kemudian
menimbulkan rasa kebencian terhadap saudaranya atau hal yang serupa.[12]
Sehingga tercapailah salah satu syarat jual beliyaitu adanya
rasa suka sama suka dapat terwujud dengan sempurna, sehingga keduanya terhindar
dari larangan Allah Ta’ala dalam firman-Nya :
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS.An-Nissa’:29)
2.
Khiyar
Syarat
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah[13]:
“Suatu
keadaan yang membolehkan salah seorang yang melakukan akad atau masing-masing
akid atau selain kedua pihak yang akad memilikil hak pembatalan atau penetapan
akad selama waktu yang ditentukan.”
Misalnya seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu
barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (mempertimbangkan) selama sehari
atau tigahari.” Di syariatkannya khiyar syarat ini berdasarkan hadist nabi
yang telah tersebut di atas yaitu :
“Dan
bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan.kemudian mereka berjual beli
dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesailah akad jual beli
tersebut.”
Sebagian ulama menafsirkan hadist tini : Bahwa bila salah
satu dari keduanya memberikan tawaran berupa pilhan kepada lawan transaksinya
untuk memperpanjang masa berlakunya hak pilih ini, kemudian mereka
menyetujuinya, maka akad jual beli selesai, sesuai dengan tawaran tersebut dan
penafsiran ini selaras dengan prinsip suka sama suka, sebab prinsip ini
dikembalikan seutuhnya kepada kedua belah pihak yang bertransaksi.
Jumhurul ulama sepakat (ijma’) bahwa boleh bagi orang yang
berjual-beli melakukan transaksi semacam ini.[14]
2.1. Batas Maksimal Khiyar Syarat
Dalam menentukan batas maksimal khiyar syarat para ulama
berselisih pendapat sesuai dengan metode ijtihad masing-masing yaitu :
a. Madzhab hambali : masing-masing
penjual dan pembeli berhak menetapkan persyaratan sesuka mereka, tanpa ada
batas waktu.mereka beralasan bahwa hak mengadakan persyaratan adalah hak mereka
berdua, sehingga bila keduanya rela mengadakan syarat hak untuk membatalkan
dalam waktu lama, maka itu terserah kepada mereka berdua karena tidak ada dalil
yang membatasinya.[15]
b. Madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’I[16]
: Lama hak yang dipersyaratkan tidak boleh lebih dari tiga hari, mereka
mengambil dalil dari perkataan umar bin khattab berikut :
Umar bin Khattab berkata, ”Aku
tidak mendapatkan dalil yang menetapkan adanya persyaratan yang lebih lama
disbanding yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk Habbban bin Munqiz, beliau
menetapkan untuknya hak pilih selama tiga hari, bila ia suka ia meneruskan
pembeliannya, dan bila tidak suka, maka ia membatalkannya,” (HR. Ad-Daruquthni
dan Ath-Thabrani, dan dilemahkan oleh Hafidz ibnu Hajar)
c. Madzhab Maliki yang dikuatkan oleh
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah[17]
: Lama hak pilih yang di syaratkan boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan
kebutuhan dan barang yang diperjual belikan, mereka beralasan bahwa hak semacam
ini demi kemaslahatan masing-masing pihak yakni kemslahatan yang berkaitan
dengan barang yang mereka perjual-belikan, sehingga harus disesuaikan dengan
keadaan barang tersebut.
Dari sekian pendapat yang ada yangbterkuat adalah yang ketiga,
sebab beragamnya barang yang diperjual-belikan, ada barang yang tahan lama dan
ada pula yang bersifat sementara.
2.2.
Status Kepemilikan Barang Selama Masa Khiyar
Para ulama berselisih pendapat tentang status barang setelah
akad dan selama masa berlakunya khiyar :
a. Madzhab Hambali[18]
: Kepemilikan barang menjadi milik pembeli, hal ini didasarkan pada Sabda Nabi
SAW.
“Barang
siapa yang menjual budak, dan budak tersebut memilki harta, maka harta tersebut
adalah milik penjual, kecuali bila pembelinya mensyaratkannya.” (Mutaffaqun’
alahi)
Dan
Sabda Beliau :
“Barang
siapa yang menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik
penjual, kecuali bila pembelinya mensayratkannya.”(Mutaffaqun ‘alahi)
Mereka memahami dari hadist di atas bahwa Nabi menghukumi
Budak dan pohon kurma yang diperjual belikan tersebut dengan sekedar terjadi
akad, maka langsung menjadi milik pembeli, sebagai buktinya Nabi mengecualikan
kepemilikan harta yang pernah dimiliki budak sebelum sebelum akad dan calon
buah kurma yang telah dikawinkan, kedua hadist ini bersifat umum sehingga
berlaku terhadap semua akad jual beli.
Selain itu mereka juga beralasan bahwa tujuan dari jual beli
adalah pemindahan kepemiilkan, sehingga ketika akad jual beli tekah
dilaksanakan secara lengkap dengan seluruh persyaratannya, maka lazimnya
pemindahan kepemilikan barang tersebut telah tercapai.
b. Madzhab Maliki[19]
: Kepemilikan barang masih tetap milik penjual, mereka beralasan bahwa akad
jual beli ini belum sepenuhnya selesai, karena masih ada kemungkinan penjual
dan pembeli membatalkan akad ini, sehingga akad ini hampir serupa dengan akad
tawar menawar, dikarenakan masing-masing dari mereka masih memiliki
kebebasan.
c. Madzhab Syafi’i[20]
: Menunggu kelanjutan akad ini, bila ternyata akad ini tetap berlanjut, maka
terbukti bahwa kepemilikan barang telah berpindah ke tangan pembeli, dan bila
akad ini dibatalkan, maka kepemilikan barang belim berpindah dari tangan
penjual, pedapat ini merupakan gabungan dari kedua pendapat di atas.
Dari
seluruh pendapat yang ada yang terkuat adalah pendapat yang pertama, karena di
dasarkan pada nash yang jelas dan juga sesuai dengan kaidah fiqih, yaitu :
“Keuntugan
itu sabagi imbalan atas tanggung jawab jaminan.”[21]
Dan
juga kaedah berikut :
“Kerugian
itu dibalas dengan keuntungan.”
Maksud dari kaedah ini adalah : Bila seseorang menangung
jaminan atau pembiayaan suatu hal, maka dialah yang berhak menerima keuntungan
yang dihasilkan hal tersebut. Dan dalam pearmasalahan ini, selama masa khiyar
berlaku, pembelilah yang wajib bertanggung jawab (menangung jaminan) atas
barang yang telah ia terima dari penjual, sebab barang itu telah ada
ditangannya. Sehingga bila terjadi kerusakan pada suatu barang maka ialah yang
wajib mennagunag kerusakannya. Dan pembeli berhak memiliki setiap pertambahan
yang dihasilkan sesuatu yang akan dibeli, jika barngnya dapat bertambah.
Bila terjadi suatu kasus yaitu seorang pembeli yang
memelihara ayam yang telah dibeli selama masa khiyar, pada saaat akad jual ayam
dipasar Rp.30.000 dan ketika dipelihara menjadi gemuk dan bertambah harga
menjadi Rp.40.000 lalu apakah pembeli berhak untuk meminta perbedaan harga jalu
tersebut ?
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat[22]:
Dalam hal ini Syaikhul Imam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
pembeli berhak menuntut perbedaan harga tersebut, sebab ayam tersebut menjadi
gemuk karena dipelihara oleh pembeli, dan pembelilah yang bertangung jawab atas
ayam itu selama proses bertambah gemuknya ayam tersebut, sehingga kaidah fiqih
tersebut tetap berlaku.
Dalam akad khiyar seperti ini barang diperjual-belikan
dilarang pengambilan manfaatnya oleh kedua belah pihak, kecuali jika hanya
untuk percobaan. Bila yang mengajukan perssyaratan hanya satu pihak, dan ia
mengunakan atau menaawarkan barang itu dianggap sebagai pembatalan persyaratan
khiyar yang ia ajukan.[23]
3.
Khiyar Aib/Cacat
Khiyar
aib adalah :
Asy-Syarbini berkata, “Khiyar cacat ialah khiyar yang
disyariatkan karena tidak terwujudnya kriteria yang diinginkan pada barang baik
diinginkan menurut kebiasaan masyarakat atau karena ada persyaratan atau karena
ada praktek pengelabuhan… . Dan yang dimaksud dengan kriteria yang diinginkan
menurut kebiasaan masyarakat ialah tidak adanya cacat pada barang tersebut.”
Dasar
hukumnya adalah :
“Dari Abdul Majid bin Wahab ia mengisahkan, Al-Addaa’ bin
Kholid bin Hauzah berkata kepadaku : sudikah engkau aku bacakan kepadamu surat
yang dituliskan Rasulullah untukku?, aku pun menjawab : tentu, kemudian ia
mengeluarkan secarik surat, dan ternyata isinya : “ inilah pembelian Al-Adaa’
bin Khalid bin Hauzah dari Muhammad Rasulullah, Al-Adaa’ membelinya dari nabi
seorang budak laki-laki atau budak perempuan yang tidak ada penyakitnya,
perangai yang buruk, tidak ada pengelabuhan, sebagaimana penjualan orang
muslim kepada orang muslim lainnya. ”(HR. At-Turmudzi, Ibnu Majah,
Ath-Thabrani, Al-baihaqy, dan dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqalani
dan Al-Albani)
Dan
juga hadits Rasulullah yang berbunyi :
“Dari
Aisyah R.A. : Bahwa ada seorang lelaki yang membeli seorang budak, kemudian ia
memperkerjakannya, lalu ia mendapatkan pada budak tersebut suatu cacat,
sehingga ia mengembalikannya (kepadda penjual). Maka penjual mengadu kepada
Rasulullah dan berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah memperkerjakan
budakku? Maka beliau bersabda : “Keuntungan itu addalah tanggungjawab atas
jaminan,”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqy dan
dihasankan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengungkapkan definisi aib atau cacat yang
dimaksud adalah: “Setiap hal yang menyebabkan berkurangnya harga suatu
barang.”[24]
Dari
definisi dan juga penjelasan sebelumnya dapat dipahami bahwa cacat yang
dapat menjadi alasa untuk membatalkan penjualan adalah cacat yang terjadi pada
barang sebelum terjadinya akad penjualan, atau disaat sedang akad penjualan
berlangsung atau sebelum barang diserah-terimakan kepada pembeli.
4.
Hukum Membatalkan Akad Penjualan
Dari pembahasan tentang macam-macam khiyar diatas dapat
dipahami dengan jelas, bahwa orang yang telah mengadakan akad jual beli dan ia
masih memiliki hak khiyar, maka ia berhak untuk membatalkan akad jual
belinya walau tanpa seizing dan tanpa kerelaan lawan transaksinya, dan juga
tanpa sepengetahuan lawan transaksinya, hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam suatu kaidah ilmu fiqih :
“Orang
yang kerelaannya tidak dianggap, maka pengetahuannya tidak diisyaratkan.”[25]
Membatalkan akad penjualannya atas seizing dan kerelaan dari
lawan transaksinya. Dan menurut syariat islam lawan transaksinya tersebut
dianjurkan untuk menerima permintaan tersebut, sebagaimana disabdakan oleh Nabi
Muhammad SAW:
Dari sahabat Abu Hurairah RA. Ia menuturkan : Rasulullah
bersabda : “ barang siapa yang menerima pembatalan jual beli seorang muslim,
maka Allah akan mengampuni kesalahannya kelakm pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah Ibnu
Hiban, Al-hakim dan di shahihkan oleh Al-Albani.)
Menurut ulama Hanafiyah cara pembatalan cukup dengan lisan
dengan syarat diketahui oleh pemilik barang,baik pemilik barang ridha ataupun
tidak. Sebaliknya, jika pembatalan tidak diketahui oleh penjual, baik khiyarnya
berasal dari penjual ataupun pembeli, pembatalan ditangguhkan sampai diketahui
penjual. Apabila habis waktu khiyar dan penjual tidak mengetahuinya, akad
menjadi lazim.
Ulama Malikiyah, Hanbaliyah, Syafi’iyah berpendapat bahwa
apabila khiyar bersal dari pembeli, pembatalan dipandang sah walaupun tidak
diketahui penjual. Hal ini karena adanya khiyar menunjukkan bahwa penjual rela
apabila pembeli membatalkan kapan saja pembeli membatalkannya.
5.
Hukum Akad Pada Masa Khiyar
1. Ulama Hanafiyah perpendapat bahwa
tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu
sampai gugurnya khiyar.
2. Ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad,
Barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan
pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.[26]
3. Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika
khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya
jika khiyar syarat menjadi milik penjual, barang menjadi milik penjual. Jika
khiyar berasal dari keduanya, ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar)[27]
4. Ulama Hanbaliyah, dari siapapun
khiyar berasal, barang tersebut menjadi milik pembeli. Jual-beli dengan khiyar,
sama seperti jual beli lainnya, yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang
yang tadinya milik penjual.[28]
Mereka mendasarkannya pada hadist
Nabi SAW dari Ibnu Umar ;
’’Barang
siapa yang menjual hamba yang memilki harta maka harta tersebut milik penjual, kecuali
bila pembeli mensyaratkannya.”
Dari
hadist tersebut Rasulullah SAW menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli
dengan adanya syarat.
[1] ibnu
rusydi,bidayah al-mujtahidwa al-muqtashid, juz II
[2] Hasyiah
li as-syarqawi.,juz II, hlm 40-50
[3] Ibnuhajar
al asqalany,bulugulmaram,hadist 847-848.
[4] Baca
kifayatul akhyar,1/1250.Asy-syahrul mumti’8/271.Taudhihul Ahkaam,4/362.
[5] Ibnu
Rusyd.,Op.Cit.,Juz II,hlm.272
[6] Ibid.,Juz
V,hlm.267
[7] Ibn
Qudamah.,Op.Cit.,Juz III,hlm.591
[10] Ibn
Qudamah.,Op.Cit.,Juz III.hlm.579
[11] Al-kamal Ibn Humam,Fath Al-Qadr.,Juz
V.hlm.121
[12] Sebagaimana
diungkapkan olehAz-Zarkasyirhm. Baca Kifayatul Akhyar 1/250
[13] Al
Juhaili., OpCit., juz IV,hlm.254
[14] Ijma’
inisebagaimanadinukilkanoleh An-nawawidalamkitabnyaRaudhatuth
Thalibin,3/442.Dan jugaIbnuRusyd,dalamkitabnyaBidayatul Mujtahid,7/416.
[15] Baca Al-mugni,6/39.As-syahrul mumti’,8/279-280/.
[16] Baca
Al-mabsuth,13/41.Al-Mughni,oleh ibnu Qudamah,6/38.Mughnil Muhtaaj,oleh
Asy-Syabrini,2/47.
[17] Baca
Mawahibul jalil,oleh Al-Hattab,4/40.Dan Al-Ikhtiyaraat,125.
[18] Al-Mughni
oleh ibnu Qudamah,5/20.Asy-Syahrul Mumti’,oleh ibnu Utsaimin,8/287
[19] Baca
Bidayatul Mujtahid,oleh ibnu Rusyd,7/419-420
[20] Baca
Raudhatuth Thalibin,oleh An-Nawawi,3/448.Dan Asy-Syarbini,dalam kitab Mughnil
Muntaaj,2/48.
[21] Kaidah
ini sebenarnya adalah hadist nabi yang diriwayatkan oleh imam Ahmad,Abu Dawud
dan At-Tirmidzi dan lainya,hadist ini disohihkan oleh banyak ulama dianataranya
oleh At-Tirmidzi.Al-Hakim,Ibnuk Qatthan dan di-Hasan-kan oleh Al-Albani.
[22] Baca
Al-Mughni,oleh Ibnu Qudamah,6/22-23
[23] Baca
Asy-Syahrul mumti’,oleh Ibnu utsaimin,8/290-dst.
[24] Hidayatul
Mujtahid, 7/331. Dan Asy-Syahrul Mumti’, 8310.
[25] Baca
Asy-Syahrul Mumti’. Oleh Ibnu Utsaimin, 8/286-287
[26] Ad-Dasuki,Op.Cit.,Juz
III.hlm.103
[27] Muhammad
Asy-Syarbini,Mughni Al-Muntaj,Juz II.hlm.259
[28] Ibn
Qudamah,Al-Mughni,Juz III.571
0 comments:
Posting Komentar