KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia –
Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.
Makalah ini berjudul KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI. Disamping tugas juga agar lebih memberikan kemudahan
dalam menelaah mata kuliah Hukum Tindak Pidana Khusus. Untuk itu kami
mengucapkan terima kasih dengan harapan agar makalah ini berguna bagi siapapun
yang membaca. Pada akhirnya diharapkan adanya masukan demi kesempurnaan makalah
ini.
Langsa, April 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Akhir - akhir ini masalah korupsi sedang hangat - hangatnya
dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak
para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya,
ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini
merugikan negara dan dapat merusak sendi - sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak
struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat
sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit
memberikan pembuktian – pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit
mendeteksinya dengan dasar – dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan
korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat
yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai
akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan
uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati.
Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia,
Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai
negara, tak terkecuali di negara - negara maju sekalipun. Di negara Amerika
Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada praktek – praktek korupsi.
Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih
sangat kuat dan control sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi.
Tetapi dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin
majunya usaha – usaha pembangunan dengan pembukaan – pembukaan sumber alam yang
baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai negari
untuk melakukan praktek korupsi dan usaha - usaha penggelapan.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha – usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses
birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan
pintas yang cepat dengan memberikan imbalan imbalan dengan cara memberikan uang
pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang
tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan
pegawai yang termasuk OKB – OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri
(ambisi material).
Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau
korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai
yang sifatnya preventif maupun yang represif.
BAB II
K O R U P S I
A.
Pengertian Korupsi
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat
dari
Struktrur, bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda tetapi pada
hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber – sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan – kekuatan formal (misalnya dengan
alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan
bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang – kadang orang
yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau
partainya/ kelompoknya atau orang – orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol
di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan
antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisahaN keuangan
pribadi dengan masyarakat.
B.
Sebab – Sebab Korupsi
Ada beberapa sebab terjadinya
praktek korupsi. Singh (1974)
menemukan
dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah
kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur
administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele – tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain Ainan (1982)
menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi
yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat
pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap
bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak
dapat dihindarkan.
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan
dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan
organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab
–sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
b. Warisan pemerintahan kolonial.
c. sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak
halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
C.
Akibat – Akibat Korupsi
Bahwa akibat - akibat korupsi adalah :
a. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap
penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
b. Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh
militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
c. Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi,
hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961)
menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber - sumber negara, tidak
mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan
politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
akibat – akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
a. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan
terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
b. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
c. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan
luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
d. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan
administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber – sumber negara,
keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan - tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak
sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti
yang tercantum dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945.
D.
Upaya Penanggulangan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu
negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus,
maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat
yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the
end justifies the means).
Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan
bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para
ahli yang masing – masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan
langkah – langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan
sejumlah pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan
dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling
tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan
instansi pengawas adalah saran – saran yang secara jelas diketemukan untuk
mengurangi kesempatan korupsi. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi
? dengan jalan meningkatkan ancaman.
4. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin
keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin,
agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar
sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk
mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan
organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan
(legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan
yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah – celah yang
membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan
struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya
tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa
meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam
Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan
prosedur untuk keputusan – keputusan administratif yang menyangkut orang
perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan
pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan
hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan
dan kedudukan social ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan – satuan pengamanan
termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat - pejabat
yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang - orang yang menyogok pejabat - pejabat
harus ditindak pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu
cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari
segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai
melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya korupsi. Kartono (1983)
menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak
acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan
kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan
menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan
menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement”
dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai
tanggung jawab , etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang
mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono
(Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam
menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan
wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap
sebagai hal yang memalukan lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a.
Preventif
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di
instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai
negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai
saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan
dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan – kebanggaan dan atribut kehormatan diri
setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka
kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada
masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol,
koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan
“sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha
berbuat yang terbaik.
b.
Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
BAB III
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Langkah
pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini.
Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di Asia yang
mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution
menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal
16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya
mulai tampak pada tahun tersebut. Selanjutnya, seiring pergantian masa
pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan
pembentukan undang-undang, mulai dari Undang – Undang Nomor 24 (Prp) Tahun
1960, 29 Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang - Undang Nomor 31 Tahun
1999, hingga yang terakhir Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Salah
satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian
agenda pemberantasan korupsi yang merupakan bentuk eksperimentasi kelembagaan (institutional
experimentation). Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari ketentuan
Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Melalui Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi
untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai respons atas tidak efektifnya
kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajalela.
Adanya
KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance). Upaya pemberantasan korupsi semakin mudah
dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas tidak hanya di
kalangan aparat negara, tetapi juga merambah di sektor swasta. Korupsi
benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu
dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sehingga
menjadikan definisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai
delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti
penyuapan misalnya kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur
dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat (1) Undang
- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa
perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang – undangan.
Sebagai
langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini
dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada
tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang – Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kebutuhan
akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang
diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku
korupsi.
Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Pimpinan KPK terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota
dan semuanya merupakan pejabat negara. Kelimanya memegang jabatan selama empat
tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pimpinan
tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsure masyarakat sehingga sistem pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya
senantiasa melekat pada lembaga ini.
Berdasarkan
Pasal 3 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menguraikan makna frase “kekuasaan manapun”
sebagai berikut. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun”
adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,
legislatif, pihak – pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana
korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
KPK
mempunyai berbagai tugas dan tanggung jawab yang merupakan amanat hukum
sebagaimana diuraikan di dalam Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan tanggung jawab tersebut
adalah :
1. Berkoordinasi
dengan berbagai institusi Negara lainnya untuk memberantas korupsi;
2. Mengawasi
berbagai institusi lainnya yang berwenang untuk memberantas korupsi;
3. Melaksanakan
berbagai investigasi, pendakwaan, dan pemprosesan secara hukum terhadap
berbagai kasus korupsi;
4. mengambil
berbagai langkah untuk mencegah korupsi;
5. Memantau
administrasi atas berbagai institusi Negara dan memberikan berbagai rekomendasi
agar mereka lebih kebal terhadap korupsi.
Salah
satu tugas KPK yaitu melakukan supervise terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, menjadikan lembaga ini mempunyai
legitimasi dalam mengawasi BPK, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
serta inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.
Berkaitan dengan tugas supervisi tersebut, Pasal 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan sebagai
berikut. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan
instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
Sebagai
lembaga yang dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi, KPK bertugas
mengoordinasikan serta melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, KPK juga diberikan kewenangan untuk
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Salah satu alasan yang
dapat dijadikan dasar oleh KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan
tersebut adalah adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur
tangan dari pihak eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Tidak
semua kasus tindak pidana korupsi di negeri ini ditangani dan diproses oleh
KPK. Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, salah satu kriteria kasus yang memerlukan penanganan
oleh KPK adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan pihak lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Selain itu, perkara
tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat dan/atau
merugikan negara minimal satu miliar rupiah juga dikategorikan sebagai kasus yang
harus ditangani oleh KPK.
Independensi
dan kemandirian yang menjadi karakter KPK juga diwujudkan melalui tugas
lainnya, yaitu melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Wewenang
KPK dalam melaksanakan tugas monitor tersebut adalah:
1. Melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah;
2. Memberi
saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan
jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
3. Melaporkan
kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan
perubahan tersebut tidak diindahkan.
Dalam
melaksanakan segala tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya sesuai amanat undang
– undang, KPK juga berkewajiban untuk menyusun laporan tahunan serta menyampaikannya
kepada Presiden, DPR, dan BPK. Oleh karena tidak berada di bawah kekuasaan
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka KPK bertanggung jawab langsung
kepada publik atas pelaksanaan tugasnya. Pertanggungjawaban publik tersebut
dilaksanakan melalui cara-cara:
a. Wajib
audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program
kerjanya
b. Menerbitkan
laporan tahunan
c. Membuka
akses informasi
Seperti
halnya lembaga - lembaga negara lain, KPK juga mempunyai tempat kedudukan di
ibukota negara RI dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara RI. Selain
itu, KPK juga dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Walaupun memiliki
independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun
KPK tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan
dengan keorganisasian. Pasal 30 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa pimpinan KPK yang
terdiri dari satu ketua dan empat wakil ketua, yang semuanya merangkap sebagai
anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh
Presiden. Pemilihan dan penentuan calon pimpinan KPK sendiri dilakukan oleh
pemerintah di bawah koordinasi Presiden dengan membentuk panitia seleksi calon
pimpinan KPK. Latar belakang anggota panitia seleksi harus mencakup unsur pemerintah
dan unsur masyarakat, hal ini untuk menjamin netralitas dan obyektivitas pada
saat seleksi berlangsung. Selanjutnya, panitia seleksi menentukan nama calon
yang akan disampaikan kepada Presiden dan Presiden menyampaikan nama calon tersebut
kepada DPR paling lambat empat belas hari kerja sejak diterimanya daftar nama
calon dari panitia seleksi.
Dalam
jangka waktu paling lambat tiga bulan sejak tanggal diterimanya daftar nama
calon dari Presiden, DPR wajib memilih dan menetapkan lima calon pimpinan KPK
yang satu orang di antaranya dipilih dan ditetapkan sebagai Ketua KPK. Kelima
nama calon terpilih tersebut selanjutnya disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
Presiden paling lambat tujuh hari kerja sejak tanggal berakhirnya pemilihan
untuk disahkan oleh Presiden selaku kepala negara. Dan paling lambat tiga puluh
hari kerja sejak tanggal diterimanya surat pimpinan DPR, Presiden wajib menetapkan
kelima calon terpilih tersebut.
Sama
halnya dengan pengangkatan pimpinan KPK, proses pemberhentian pimpinan KPK pun
ditetapkan oleh Presiden selaku kepala negara. Demikian pula dalam hal terjadi kekosongan
pimpinan KPK, Presidenlah yang berhak mengajukan calon anggota pengganti kepada
DPR untuk dilanjutkan dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan berdasarkan
ketentuan Pasal 29, 30, dan 31 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Segala hal yang berkaitan dengan
hubungan kedudukan antara KPK dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu
kepada Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Oleh karena itu, pengaturan mengenai hal tersebut tidak
dibentuk secara khusus. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan lembaga
kejaksaan membuat KPK terkesan lebih dekat dengan cabang kekuasaan eksekutif
dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif maupun yudikatif.
Aturan
– aturan tertulis yang digunakan KPK dalam melaksanakan tugas selain melakukan
pemberantasan korupsi pun merupakan aturan – aturan yang dibentuk oleh
pemerintah (eksekutif). Sebagai contoh, dalam hal pengadaan barang dan jasa
untuk kebutuhan operasional, KPK menjadikan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa sebagai pedoman. Selain itu, dalam
melakukan aktivitas yang berkaitan dengan keuangan, KPK selalu mengacu kepada
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan, yang notabene
juga bagian dari kekuasaan eksekutif.
Dalam
rangka pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi, KPK juga dapat melakukan
kerja sama, baik dengan lembaga pemerintah seperti kepolisian dan kejaksaan,
maupun institusi dan organisasi lain yang diharapkan dapat membantu KPK dalam melaksanakan
tugas pemberantasan korupsi. Kerja sama tersebut dilakukan dengan membuat suatu
nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MOU) yang bertujuan untuk
meningkatkan koordinasi antara KPK dengan lembaga - lembaga yang menjadi rekan
dalam kerja sama. Dengan demikian, walaupun berdiri sebagai sebuah lembaga yang
independen dan bebas, KPK tidak membuat suatu system sendiri.
Segala
peraturan yang sudah ada dan tidak bertentangan dengan tugas dan kewenangan KPK
menjadi acuan KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan serta kewajibannya. Akan
tetapi, untuk masalah yang menyangkut kepegawaian, KPK memiliki peraturan
tersendiri yang dibuat secara internal melalui surat keputusan pimpinan KPK
dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem
Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Oleh karena status anggota
dan pegawai KPK yang bukan pegawai negeri sipil (PNS) ataupun pegawai swasta.
Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa pengaturan mengenai pegawai,
sistem manajemen sumber daya manusia, tim penasihat, kompensasi, dan evaluasi system
manajemen sumber daya manusia dapat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Komisi
yang merupakan peraturan internal yang dibentuk oleh pimpinan KPK. Berpedoman
kepada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok – pokok Kepegawaian
maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal
53 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana
korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Walaupun berada di lingkungan
peradilan umum, namun Pengadilan Tipikor bersifat khusus berhubungan langsung
dengan penuntut umum yang berasal dari KPK, bukan kejaksaan. Kedua hal inilah,
yaitu pembentukan Pengadilan Tipikor atas amanat Undang – Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pelimpahan perkara
oleh KPK kepada Pengadilan Tipikor secara langsung tanpa melalui kejaksaan, yang
mempertegas kekhususan hubungan kedudukan antara KPK dengan cabang kekuasaan
yudikatif.
Keterkaitan
kedudukan KPK dengan cabang kekuasaan kehakiman juga terlihat pada pasal dalam
UUD Negara RI Tahun 1945 yang dijadikan pedoman oleh pihak KPK sebagai dasar
hukum yang menjamin eksistensi KPK, yaitu Pasal 24 ayat (3) UUD Negara RI Tahun
1945.213 Pasal ini menyatakan bahwa badan - badan selain lembaga peradilan yang
memiliki fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman dapat dibentuk dan diatur
lebih lanjut dalam undang-undang.
Satu
hal yang perlu ditegaskan terkait dengan kedudukan KPK adalah bahwa rumusan
dalam Pasal 3 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang
terumuskan dalam ketentuan pasal tersebut, yaitu independensi dan kebebasan KPK
dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Independensi
dan kebebasan dari pengaruh kekuasaan manapun dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
KPK juga perlu ditegaskan agar tidak terdapat keraguraguan dalam diri anggota
KPK.
Pasal
11 huruf a Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menentukan pihak – pihak mana saja yang berpotensi untuk diselidiki,
disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi, yang secara lengkap
berbunyi sebagai berikut “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak
hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
Negara. Dengan kata lain, pihak – pihak yang paling potensial untuk diselidiki,
disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi itu adalah pihak –
pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan negara sehingga diperlukan adanya
ketegasan dan keberanian pada diri setiap anggota KPK.
Berkaitan
dengan kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu, kecenderungan munculnya
bentuk lembaga baru tersebut memang telah berkembang sejak awal abad ke-20. Dalam
perkembangan sistem ketatanegaraan, sebagaimana tercermin dalam ketentuan hukum
tata negara positif di banyak negara, terutama sejak abad ke-20, keberadaan komisi
- komisi negara semacam KPK telah
menjadi hal yangm lazim. Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan Negara ke
dalam tiga cabang kekuasaan kini semakin berkembang, antara lain ditandai oleh
diadopsinya pelembagaan komisi - komisi negara yang di beberapa negara juga
diberikan kewenangan melaksanakan fungsi - fungsi kekuasaan negara.
Selain
itu, keberadaan suatu lembaga negara untuk dapat disebut sebagai lembaga negara
tidaklah selalu harus dibentuk atas perintah atau disebut dalam konstitusi, melainkan
juga dapat dibentuk atas perintah undang – undang atau bahkan peraturan perundang - undangan
yang lebih rendah. Disebut atau diaturnya suatu lembaga negara dalam konstitusi
juga tidak lantas menunjukkan kualifikasi hukum bahwa lembaga negara itu
memiliki derajat kedudukan lebih penting daripada lembaga-lembaga negara lain
yang dibentuk bukan atas perintah konstitusi.
Demikian
pula, suatu lembaga negara yang diatur atau disebut dalam konstitusi tidak juga
secara otomatis menunjukkan bahwa lembaga negara tersebut sederajat dengan
lembaga Negara lain yang sama – sama diatur atau disebut dalam konstitusi. KPK
sendiri dibentuk dengan latar belakang bahwa upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yang telah dilakukan hingga sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga
pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally
important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal
tersebut memberikan peluang dibentuknya badan – badan selain MA dan MK yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman melalui pengaturan dalam undang
– undang, dalam hal ini tugas dan wewenang KPK dapat dikaitkan dengan fungsi
tersebut.
Keberadaan
KPK sebagai badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebenarnya
memiliki latar belakang sejarah yang panjang terkait pemberantasan korupsi
sejak tahun 1960-an, baik perkembangan peraturan perundangundangan yang
mendukungnya maupun pembentukan kelembagaan yang memperkuat pelaksanaan undang -
undang dimaksud. Sehubungan dengan keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang
tidak ditempatkan dalam konstitusi, bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat diartikan
hanya secara normatif (hanya dari sudut ketentuan konstitusi), tetapi juga
dapat diartikan secara luas karena tidak semua lembaga negara diatur dalam konstitusi.
Apabila suatu lembaga negara tidak ditempatkan di dalam UUD Negara RI Tahun
1945, bukan berarti lembaga negara tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum
atau inkonstitusional, karena sifat konstitusional suatu lembaga dapat dilihat
dari fungsinya dalam melaksanakan tugas dan wewenang atas nama negara.
Dengan
demikian, keberadaan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara RI
Tahun 1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945
melainkan dibentuk berdasarkan undang – undang, termasuk KPK sebagai sebuah
lembaga negara bantu. Tidak kalah pentingnya, latar belakang didirikannya KPK
telah ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang antara lain menyatakan
bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dan berkembang secara
sistematis di segala bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
telah melanggar hak - hak ekonomi dan
hak-hak sosial masyarakat.
Oleh
karena itu, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), dan penanganannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara konvensional
melainkan harus dilaksanakan dengan cara- cara luar biasa. Salah satu langkah
dalam rangka pelaksanaan cara luar biasa tersebut adalah pembentukan badan baru
yang diberikan kewenangan yang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun
(extraordinary tool). Dengan demikian, keberadaan lembaga KPK secara
yuridis adalah sah berdasarkan konstitusi dan secara sosiologis telah menjadi
sebuah kebutuhan bangsa dan negara.
Konsep
yang memosisikan KPK sebagai sebuah lembaga negara bantu yang bersifat mandiri
serta independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif
sebenarnya merupakan konsep yang diadopsi dari pengalaman Negara – Negara lain
yang memiliki lembaga serupa dalam struktur pemerintahannya. Negara - negara yang
menjadi rujukan bagi Indonesia dalam mengadaptasi system pemberantasan korupsi
melalui komisi independen antara lain adalah Australia, Hongkong, Malaysia,
Singapura, dan Thailand.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau
pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan
merusak sendi - sendi kebersamaan dan menghianati cita - cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.
Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan
membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara
milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan
(gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif
dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk
kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of
belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang
bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan
wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan
pejabat dan pegawai.
4. Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara
bantu yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Walaupun memiliki independensi
dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang
kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan
keorganisasian. Misalnya, Pasal 30 Undang – undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa pimpinan
KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil
ketua, yang semuanya merangkap sebagai anggota,
dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang
diusulkan oleh Presiden.
5. KPK
juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus
dengan kekuasaan yudikatif, karena Pasal 53
Undang - undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang
memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi
yang penuntutannya diajukan oleh KPK. KPK sendiri
dibentuk dengan latar belakang bahwa upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi yang telah dilakukan
hingga sekarang belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Lembaga yang menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan
efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga
pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap
penting secara konstitusional dan termasuk lembaga
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3)
UUD Negara RI Tahun 1945. Keberadaan lembaga negara
ada yang tercantum di dalam UUD Negara RI Tahun
1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD
Negara RI Tahun 1945 melainkan dibentuk berdasarkan
undang – undang, termasuk KPK sebagai sebuah
lembaga negara bantu. Dengan demikian, keberadaan
lembaga KPK secara yuridis adalah sah berdasarkan
konstitusi dan secara sosiologis telah menjadi
sebuah kebutuhan bangsa dan negara.
B. SARAN
Pembentukan
KPK adalah jawaban atas ketidakpercayaan publik terhadap pola pemberantasan
korupsi yang selama ini dijalankan oleh kepolisian dan kejaksaan. Lembaga - lembaga
yang telah ada lebih dahulu dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi tersebut dianggap
tidak lagi efektif dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi sehingga
negara menilai bahwa pendirian badan antikorupsi yang independen adalah kebutuhan
yang mendesak. Oleh karena tergolong sebagai kejahatan luar biasa, tindak
pidana korupsi harus pula diberantas oleh badan yang memiliki kewenangan luar
biasa. KPK saat ini telah memiliki dasar hukum yang kuat berupa undang - undang.
Dengan demikian, KPK sebagai suatu lembaga negara bantu yang amat dibutuhkan
eksistensinya saat ini, memerlukan dukungan yang maksimal dari rakyat sehingga
KPK dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
0 comments:
Posting Komentar