KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia –
Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.
Makalah
ini berjudul Tindak Pidana Atas Janin dalam Hukum Pidana Islam yang
dirangkum dari beberapa buku yang berasal dari beberapa penulis di Indonesia. Dilakukan
rangkuman ini disamping tugas juga agar lebih memberikan kemudahan dalam
menelaah mata kuliah Hukum Pidana Islam. Untuk itu saya mengucapkan terima
kasih dengan harapan agar makalah ini berguna bagi siapapun yang membaca. Pada
akhirnya diharapkan adanya masukan demi kesempurnaan makalah ini.
Langsa, April 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membahas persoalan aborsi sudah bukan
merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan
aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya
dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan,
apakah hal itu dilakukan oleh remaja yang terlibat pergaulan bebas ataupun para
orang dewasa yang tidak mau dibebani tanggung jawab dan tidak menginginkan
kelahiran sang bayi ke dunia ini. Kelahiran anak yang seharusnya dianggap
sebagai suatu anugerah yang tidak terhingga dari Allah SWT sebagai Sang
Pencipta justru dianggap sebagai suatu beban yang kehadirannya tidak
diinginkan. Ironis sekali, karena di satu sisi sekian banyak pasangan suami
isteri yang mendambakan kehadiran seorang anak selama bertahun-tahun masa
perkawinan, namun di sisi lain ada pasangan yang membuang anaknya bahkan janin
yang masih dalam kandungan tanpa pertimbangan nurani kemanusiaan.
Secara lughawi (bahasa), aborsi
berasal dari Bahasa Inggris abortion dan Bahasa Latin abortus yang berarti
gugur kandungan, keguguran atau dikenal juga penghentian kehamilan. Menurut
William Obstetric, aborsi didefinisikan sebagai tindakan penghentian kehamilan
di bawah 20 minggu atau saat berat janin kurang dari 500 gram. Pendapat ini
senada dengan definisi WHO bahwa aborsi adalah penghentian kehamilan sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan atau berat janin kurang dari 500 gram.
Sayangnya dalam pandangan masyarakat
umum, aborsi dipahami lebih mengacu pada arti pengguguran kandungan secara
sengaja dari rahim seorang ibu. Padahal, arti sebenarnya bisa lebih luas dari
itu, karena gugurnya kandungan tanpa sengajapun termasuk dalam istilah aborsi.
Para fuqaha (ahli fiqh), kecuali
Syafi’iyyah, mendefinisikan aborsi sebagai “isqath al-haml” yang berarti
pengguguran janin yang dikandung dengan tindakan tertentu sebelum sempurna masa
kehamilannya. Yakni sebelum janin bisa hidup di luar kandungan, namun telah
terbentuk sebagian anggota tubuhnya.
Sedangkan para ahli kedokteran
mendefinisikan aborsi dengan pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi, yakni
28 minggu atau sebelum janin mencapai 1000 gram. Dari tiga definisi aborsi di
atas, sebuah tindakan bisa disebut aborsi jika memenuhi unsur-unsur kesengajaan
menggugurkan, adanya tindakan tertentu, terjadinya masa kehamilan belum
sempurna, dan sebagian anggota tubuhnya telah terbentuk. Dari definisi-definisi
tersebut ada titik temu antara aborsi versi para fuqaha dan aborsi versi ahli
kedokteran, yakni adanya upaya tertentu untuk mengeluarkan janin atau mengakhiri
kehamilan dan dilakukan pada saat janin belum bisa hidup di luar kandungan
meski sudah terbentuk.
B. PERMASALAHAN
Aborsi
dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :
a.
Abortus
Spontanneous atau aborsi spontan, yakni aborsi yang
terjadi dengan sendirinya, tidak sengaja dan tanpa pengaruh dari luar atau
tanpa tindakan. Aborsi spontan bisa terjadi karena kecelakaan dalam
berkendaraan, kecapekan, penyakit, jatuh, dan lain-lain.
b.
Abortus
Provocatus atau abortus artifiallis, yakni aborsi yang
dilakukan dengan sengaja. Tindakan aborsi semacam ini terbagi dalam dua macam yakni,
pertama aborsi yang dilakukan atas dasar pertimbangan medis untuk menyelamatkan
jiwa ibu (atau pertimbangan medis lainnya) dan kedua, aborsi yang dilakukan
tanpa indikasi medis. Dengan penyataan lain, aborsi tanpa keadaan daruriyyat
(keterpaksaan) atau hajjiyyat (kebutuhan mendesak). Aborsi jenis kedua ini yang
kemudian dinilai oleh sebagian kalangan sebagai tindakan pidana dan dapat
dikenakan sanksi.
Aborsi sebagai tindakan kriminal
(pembunuhan) dikarenakan pasal-pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) dan Undang-Undang Kesehatan RI No. 23 Tahun 1992 melarang aborsi.
Selain itu aborsi yang sementara juga dianggap berlawanan dengan norma moral,
dan keagamaan kiranya menjadi faktor utama ketidakterbukaan pelaku aborsi. Karenanya,
banyak perempuan hamil melakukan aborsi secara tertutup atau sembunyi-sembunyi
dengan bantuan dukun/bidan, dengan cara diurut, meminum jamu - jamuan, maupun
melakukan operasi kecil. Ironisnya hal itu dilakukan tanpa bantuan tenaga medis
yang profesional, tanpa persiapan fisik dan psikis secara matang sehingga
menyebabkan risiko kematian.
Sekalipun berhadapan dengan norma dan hukum,
pelaku aborsi menganggap bahwa aborsi dapat dijadikan solusi dari permasalahan
yang dihadapi. Secara umum, pelaku aborsi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1.
Perempuan yang sudah menikah. Mereka melakukan
aborsi di antaranya karena faktor bobol (gagal) kontrasepsi/KB (Keluarga
Berencana), usia ibu yang terlalu tua/muda, alasan kesehatan yang membahayakan
nyawa ibu atau janin sendiri, jarak kehamilan yang terlalu dekat dari
sebelumnya, trauma melahirkan, atau karena sedang menyusui, factor keterbatasan
ekonomi, belum siap secara mental, status perkawinan yang tidak strategis
seperti menjadi istri kedua dan seterusnya;
2.
Perempuan yang belum menikah. Argumen
galibnya, seperti pacar tidak bertanggung jawab, masih remaja, takut pada orang
tua, atau kehamilan yang tidak dikehendaki pacar/pasangan.
3.
Perempuan korban kekerasan seksual,
seperti hamil akibat perkosaan atau akibat incest.
Secara sadar, sesungguhnya perempuan
sulit melakukan tindakan tersebut, Namun “keterpaksaan” adalah pilihan yang tak
terelakan. Apalagi bila kehamilan itu terjadi tanpa persetujuan perempuan
seperti hamil di luar pernikahan akibat perkosaan atau incest. Umumnya keputusan
melakukan atau tidak melakukan aborsi ditentukan oleh orang lain di luar
dirinya seperti suami, pacar, orang tua atau mertua. Inilah yang menjadikan
posisi tawar perempuan sangat rendah. Selain ia harus menanggung risiko kematian,
perempuan juga tidak diberi kesempatan untuk memilih melanjutkan atau
menghentikan kehamilannya secara sadar.
Persoalan-persoalan argument yang
mendasari terjadinya aborsi kebanyakan selalu menjadi tanggungan dan
kepentingan perempuan. Hampir semua perempuan pelaku aborsi selalu melibatkan
beban emosi, mental, dan fisik seorang diri. Apapun alasan terjadinya kehamilan
dalam ikatan pernikahan maupun di luar pernikahan tetap saja perempuan yang
menanggungnya. Ia menjadi pihak yang tersudutkan dan sendirian menanggung
beban. Sementara pasangan yang menyebabkan kehamilan sehingga aborsi itu
dilakukan, yang notabene adalah laki-laki tidak tersentuh oleh sanksi, baik
moral atau hukum. Seolah perempuan dapat hamil dengan sendirinya, tanpa
keterlibatan laki-laki.
Ibarat memakan buah simalakama, banyak
perempuan berdiri di persimpangan, antara untuk tidak melakukan atau melakukan
aborsi. Dua pilihan ini tetap saja merugikan perempuan. Kalau ia memilih membiarkan
janin itu hidup dan berkembang hingga lahir, terlebih bila kehamilan terjadi
karena faktor-faktor diluar kebiasaan, maka perempuan akan menerima risiko penolakan
dalam masyarakat. Ungkapan anak haram, anak zina, anak tanpa bapak adalah
risiko yang seringkali dihadapi perempuan. Bahkan, pandangan negatif ini akan
terus ada sampai anak itu besar.
Selain itu, kendala ekonomi yang
menghadang di depan mata ketika membesarkan anak seorang diri juga bukan perkara
mudah. Namun, ketika memilih untuk menghentikan kehamilan (aborsi), perempuan
juga diharuskan berhadapan dengan norma agama, masyarakat, dan hukum karena
dianggap melakukan tindak pembunuhan. Ia akan dicap sebagi ibu yang keji dan
kejam sehingga berhak ditempatkan dalam penjara atau bui.
Dalam memandang bagaimana kedudukan
hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan
dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya
dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam
hukum positif di Indonesia tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat
dibenarkan apabila merupakan abortus provokatus medicialis. Sedangkan
aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus
provokatus criminalis.
Terlepas dari persoalan apakah pelaku
aborsi melakukannya atas dasar pertimbangan kesehatan (abortus provokatus
medicialis) atau memang melakukannya atas dasar alasan lain yang kadang
kala tidak dapat diterima oleh akal sehat, seperti kehamilan yang tidak
dikehendaki (hamil diluar nikah) atau takut melahirkan ataupun karena takut
tidak mampu membesarkan anak karena minimnya kondisi perekonomian keluarga,
tetap saja angka kematian akibat aborsi begitu mencengangkan dan sangat
memprihatinkan.
Membahas persoalan aborsi di Indonesia
dikaitkan dengan profesi medis atau dunia kedokteran serta dunia hukum,
sepertinya belum ada titik terang dalam sistem penegakan hukum. Dunia hukum
seakan menutup mata atas persoalan ini sekaligus diperparah lagi oleh dunia
kedokteran yang seolah-olah menyelubungi praktek – praktek aborsi yang
nyata-nyata bertentangan dengan sumpah jabatan. Untuk membahas permasalahan
tersebut, ada baiknya kita menelusuri kembali bagaimana sebenarnya kedudukan
aborsi dalam pandangan Islam dan hukum positif di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. TINDAK PIDANA TERHADAP JANIN
DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Memandang
Aborsi Perspektif Islam Alquran yang menjadi sumber utama
dalam menerapkan hukum, tidak secara detail (terperinci) menerangkan tentang
boleh tidaknya aborsi. Ayat yang ada menjelaskan tentang proses penciptaan
manusia, perkembangan janin dalam rahim ibu, penghormatan kepada manusia, serta
larangan membunuh anak.
Aborsi yang merupakan suatu pembunuhan
terhadap hak hidup seorang manusia, jelas merupakan suatu dosa besar. Merujuk
pada ayat-ayat Al-Quran yaitu pada Q.S. Al Maidah ayat 32 “setiap
muslim meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh
semua umat manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu
membunuh anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya
secara layak.
Dalam Q.S. al-Mukminun ayat 12-14 :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal
dari tanah). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang – belulang. Lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta Yang Maha Baik”. Q.S.
al-Isra’ ayat 70 “Dan telah Kami muliakan anak cucu adam (manusia) dan
Kami mudahkan mereka untuk bisa berjalan di darat dan di laut, dan Kami
limpahkan rizki kepada mereka yang baik-baik dan Kami utamakan mereka dari
kebanyakan makhluk-makhluk lainnya yang Kami ciptakan”. Q.S. al-An’am ayat 151
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan, Kami melimpahkan
rizki kepadamu dan kepada mereka”.
Sedangkan Hadis Nabi yang menjadi
acuan tentang penciptaan dan perkembangan janin dalam rahim ibu adalah Hadis Riwayat
Muslim dari Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
setiap orang di antara kalian melalui proses percampuran di dalam perut ibunya
selama 40 hari dalam bentuk nutfah, berikutnya selama jumlah waktu yang sama (40
hari) dibentuk menjadi ‘alaqah, kemudian terbentuk menjadi mudgah selama waktu yang
sama (40 hari), kemudian malaikat diutus dan meniupkan ruh kepadanya, lalu
memerintahkan mencatat empat kalimat rezeki, ajal, amal, dan nasibnya menjadi
orang yang sengsara atau bahagia...”.
Dalam studi hukum Islam, terdapat
perbedaan satu sama lain dari keempat mazhab Hukum Islam yang ada dalam
memandang persoalan aborsi, yaitu :
1.
Mazhab Hanafi merupakan paham yang
paling fleksibel, dimana sebelum masa empat bulan kehamilan, aborsi bisa
dilakukan apabila mengancam kehidupan si perempuan (pengandung).
2.
Mazhab Maliki
melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan.
3. Mazhab
Syafii apabila setelah terjadi fertilisasi zygote tidak boleh diganggu,
dan intervensi terhadapnya adalah sebagai kejahatan.
4. Mazhab
Hambali menetapkan bahwa dengan adanya pendarahan yang menyebabkan
miskram menunjukkan bahwa aborsi adalah suatu dosa.
Dengan melihat perbandingan keempat
mazhab diatas, secara garis besar bahwa perbuatan aborsi tanpa alasan yang
jelas, dalam pandangan hukum Islam tidak diperbolehkan dan merupakan suatu dosa
besar karena dianggap telah membunuh nyawa manusia yang tidak bersalah dan
terhadap pelakunya dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, ketentuannya lebih fleksibel yang mana aborsi
hanya dapat dilakukan apabila kehamilan tersebut benar-benar mengancam atau
membahayakan nyawa si wanita hamil dan hal ini hanya dibenarkan untuk dilakukan
terhadap kehamilan yang belum berumur empat bulan.
Berdasarkan Alquran dan Hadis di atas,
muncullah ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama tentang hukum
penghentian kehamilan atau aborsi. Perbedaan ini terletak pada prapeniupan ruh janin,
yakni pada masa kandungan sebelum 40 hari. Pandangan ini terbagi menjadi dua
pendapat yaitu tidak dianggap pembunuhan/pengguguran secara sengaja yang
termasuk tindak kriminal dan suatu keharaman karena melakukan perusakan
kandungan dengan mengeluarkan janin yang sudah menetap dalam rahim dengan tanpa
sebab.
Dengan demikian, madzhab-mazhab hukum dalam
Islam berbeda pendapat tentang masa dilakukannya aborsi bahkan dalam satu
madzhab pun juga terjadi perbedaan. Hal ini menunjukkan masalah aborsi termasuk
khilafiyyah. Secara umum ulama dari semua mazhab menetapkan “haram mutlak”
tindakan aborsi yang dilakukan setelah janin berusia 120 hari (pasca peniupan ruh),
karena pada saat itu janin sudah bernyawa. Bila menggugurkan kandungan di masa
ini berarti jelas membunuh manusia, kecuali dalam kondisi daruriyyat seperti
menyelamatkan nyawa ibu dan kondisi darurat lainnya.
Namun, ketika dihadapkan pada dua
pilihan keselamatan ibu atau anak dalam kandungan maka keselamatan ibulah yang
harus diutamakan. Artinya, dibolehkan melakukan aborsi dalam kondisi daruriyyat
maupun hajjiyyat. Hal ini sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tahun 2005, yaitu :
a.
Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya
implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
b.
Aborsi dibolehkan karena adanya uzur,
baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat yang berkaitan dengan
kehamilan yang membolehkan aborsi adalah perempuan hamil menderita sakit fisik
berat seperti kanker satdium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit
fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter dalam keadaan dimana
kehamilan mengancam nyawa si ibu. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan
yang dapat melakukan aborsi adalah janin yang dikandung dideteksi menderita
cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan; kehamilan akibat
perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat
antara lain; keluarga korban, dokter, dan ulama. Kebolehan aborsi sebagaimana di
maksud di atas harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari. Aborsi haram
hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
Dari kutipan pendapat para ulama
berbagai madzhab di atas dan juga mencermati Fatwa MUI tersebut dapat
disimpulkan bahwa aborsi dalam keadaan tertentu yang dapat dibenarkan oleh
syara’ dibolehkan, walaupun terjadi perbedaan batas usia kehamilan.
B. TINDAK PIDANA TERHADAP JANIN
DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Dalam hukum positif di Indonesia,
ketentuan yang mengatur masalah aborsi terdapat di dalam KUHP dan Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan di dalam KUHP yang mengatur
masalah tindak pidana aborsi terdapat di dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan
349.
Pasal 299 KUHP :
“(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah; (2) Jika yang
bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan
atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga; (3) Jika yang bersalah,
melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut
haknya untuk melakukan pencarian itu”. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita
yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
penjara”. Pasal 347 KUHP : “(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas bulan; (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
lima belas tahun”. Pasal 348 KUHP : “(1) Barangsiapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan; (2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun”. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang tabib, bidan
atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan itu dilakukan”.
Di dalam KUHP sendiri, istilah “aborsi” lebih dikenal dengan
sebutan “pengguguran dan pembunuhan kandungan” yang merupakan perbuatan aborsi
yang bersifat kriminal (abortus provokatus criminalis). Istilah
kandungan dalam konteks tindak pidana ini menunjuk pada pengertian kandungan
yang sudah berbentuk manusia maupun kandungan yang belum berbentuk manusia.
Karena adanya dua kemungkinan bentuk kandungan tersebut maka tindak pidana yang
terjadi dapat berupa :
1.
pengguguran yang
berarti digugurkannya atau dibatalkannya kandungan yang belum berbentuk
manusia; atau
2.
pembunuhan yang
berarti dibunuhnya atau dimatikannya kandungan yang sudah berbentuk manusia
Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan
kandungan sebagaimana yang diatur dalam KUHP terdiri dari 4 (empat) macam
tindak pidana, yaitu :
1.
Tindak pidana pengguguran atau
pembunuhan kandungan yang dilakukan sendiri, yang diatur dalam Pasal 346 KUHP.
2.
Tindak pidana pengguguran dan
pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuan dari
wanita itu sendiri, yang diatur dalam Pasal 347 KUHP.
3.
Tindak pidana pengguguran dan
pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain dengan persetujuan wanita
yang mengandung, yang diatur dalam Pasal 348 KUHP.
4.
Tindak pidana pengguguran dan
pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas
tertentu, yaitu dokter, bidan, atau juru obat baik yang dilakukan atas
persetujuan dari wanita itu atau tidak atas persetujuan dari wanita tersebut,
yang diatur dalam Pasal 349 KUHP.
Berdasarkan aturan-aturan yang
terdapat dalam KUHP terlihat jelas bahwa tindakan aborsi disini merupakan suatu
tindakan yang melanggar hukum karena perbuatan aborsi yang dilakukan tanpa
alasan kesehatan/alasan medis yang jelas. Pelaku melakukan perbuatan aborsi
karena memang sejak awal tidak menginginkan keberadaan bayi yang akan
dilahirkan, biasanya hal ini dilakukan karena kehamilan yang terjadi di luar nikah
atau karena takut akan kemiskinan dan tidak mampu membiayai hidup anak tersebut
kelak apabila telah lahir ke dunia.
Selain itu, jika melihat pada
ketentuan yang terdapat dalam KUHP, perbuatan aborsi (baik pengguguran maupun
pembunuhan kandungan) harus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana oleh
wanita hamil yang melakukan aborsi maupun orang yang membantu proses aborsi
tersebut. Dengan demikian, baik pelaku maupun yang membantu perbuatan aborsi
dapat dikenakan sanksi pidana.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Kesehatan
tidak dijelaskan apa yang disebut aborsi tetapi menggunakan istilah “tindakan
medis tertentu”. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan darurat upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis
tertentu. Sedangkan apa yang dimaksud dengan “tindakan medis tertentu” tidak
dijelaskan dalam undang-undang tersebut.
Apabila dicermati ketentuan Pasal 15
undang-undang tersebut diatas merupakan suatu rumusan yang “mendua hati” atau
ambigu dan bertentangan dengan prinsip pembuatan suatu undang-undang, yaitu
clear, complete, and coherent (jelas, lengkap dan terpadu). Dari ketentuan Pasal
15 ini terlihat tidak adanya kejelasan, keterbatasan, ketercakupan dan
keterpaduan antara ketentuan yang satu dengan yang lainnya.
Penggunaan istilah “tindakan medis
tertentu” dapat dijadikan justifikasi bagi para dokter yang melakukan tindakan
yang secara materil merupakan tindakan aborsi sehingga ia dapat berlindung
dibalik Pasal 15 Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan ini sangat membuka peluang
semakin maraknya praktik aborsi yang terjadi akhir-akhir ini. Karena ketentuan
yang ambigu tadi, seorang dokter atau bidan bisa saja membantu seorang wanita
hamil untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan kesehatan, padahal alasan
tersebut tidak masuk akal.
Bila dilihat dari ketentuan Pasal 349
KUHP, perbuatan yang demikian patut diduga dan sangat berindikasi kuat bahwa
hal yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan pidana. Namun karena adanya
ambiguitas Undang-Undang Kesehatan yang menghindari penyebutan aborsi dan hanya
menggunakan istilah “tindakan medis tertentu”, para tenaga medis lebih
cenderung berlindung dibalik undang-undang tersebut dengan mengedepankan azas
“lex specialis derogat lex generalis” (aturan hukum yang lebih khusus dapat
mengenyampingkan aturan hukum yang lebih bersifat umum) agar terbebas dari
jerat hukum. Dengan kata lain, apabila seorang tenaga medis membantu perbuatan
aborsi dan perbuatannya tersebut diduga sebagai tindak pidana, maka orang yang
mempunyai kualitas tertentu tadi (dalam hal ini tenaga medis tersebut) dapat
saja berlindung dibalik Undang-Undang Kesehatan dengan mengedepankan prinsip
“lex specialis” agar tidak dihukum.
Kedua, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan yang saat kelahirannya bertujuan untuk memperbaiki
pasal-pasal dalam KUHP ternyata turut menciptakan hukum yang ambivalen. Pasal
15 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan
jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan medis tertentu. Pasal 15 ayat (2)
menyebutkan indikasi medis tertentu hanya dapat dilakukan oleh paramedis yang
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya dan harus dengan pertimbangan
tim ahli (medis, agama, hukum, dan psikologi).
Sayangnya, kemungkinan melakukan
“medis tertentu dalam keadaan darurat” ini dilarang dalam pasal 80 ayat (1)
yang menyatakan hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling
banyak 15 juta jika dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap
ibu hamil. Tindakan medis tertentu ini memuat pernyataan bahwa aborsi
dibolehkan bila bertujuan untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya.
Padahal aborsi tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin malah
sebaliknya.
Sehingga Undang-undang Kesehatan Tahun
1992 ini mempunyai cacat hukum dan tidak jelas, karena dokter yang melakukan
pelayanan aborsi rentan di mata hukum. Selain itu, pasal 15 ayat (2) ini tidak
taat asas dengan pasal 15 ayat (1) karena mustahil dalam keadaan darurat,
pasien ibu hamil harus meminta pertimbangan tim ahli lebih dahulu sebelum
mendapat pelayanan aborsi.
Sejalan dengan hal diatas, tidak
tegasnya pengaturan masalah aborsi dalam hukum positif di Indonesia juga
memberi peluang menjamurnya praktik-praktik aborsi yang illegal. Seharusnya
pemerintah tidak menutup mata menempatkan persoalan aborsi pada kondisi yang
tidak jelas, baik dari segi penegakan hukum maupun dari segi pelayanan medis
yang legal dalam memfasilitasi pasien yang akan melakukan aborsi.
Melihat dari kondisi tingginya praktek
aborsi ilegal yang dilakukan oleh klinik-klinik terselubung serta tingginya
angka kematian akibat aborsi yang tidak aman dan bahkan membahayakan si pasien
serta dapat menyebabkan kematian, dipandang perlu untuk mengeliminasi
praktik-praktik terselubung yang nyata-nyata merupakan kejahatan terhadap nyawa
manusia.
BAB
III
PENUTUP
Membahas
persoalan aborsi, apakah itu tergolong aborsi yang dibenarkan berdasarkan
alasan medis maupun aborsi tanpa alasan yang jelas, perlu dilihat dulu benang
merah akar permasalahannya. Aborsi yang dibenarkan berdasarkan alasan medis,
baik itu menurut hukum positif maupun hukum Islam adalah tindakan pengguguran
kandungan yang dilakukan apabila kehamilan tersebut dapat membahayakan nyawa
wanita hamil dan hal itu hanya dapat dilakukan sebelum kandungan berusia empat
bulan. Sedangkan aborsi yang merupakan suatu perbuatan criminal (abortus
provokatus criminalis) merupakan perbuatan aborsi yang dilakukan tanpa
alasan yang jelas, misalnya takut akan kemiskinan atau takut karena kehamilan
tersebut merupakan aib.
Sekalipun
Indonesia, dalam Undang-undang masuk dalam kategori negara yang membolehkan
aborsi dalam keadaan darurat, namun jika melihat kenyataan di lapangan dapat
disimpulkan bahwa seolah aborsi merupakan tindakan yang sama sekali dilarang di
Indonesia apapun alasannya. Selain makin banyak muncul celah tindakan aborsi
yang tidak aman, juga akan mempertinggi risiko kematian ibu hamil akibat
aborsi.
Untuk
itu, diperlukan kearifan dalam menyikapi hal ini. Perdebatan muncul terletak
pada waktu dan usia janin. Kajian fiqh klasik yang dihasilkan para imam mazhab,
pada akhirnya selalu menawarkan prinsip daruriyyat ketika persoalan-persoalan
dasar tidak bisa ditempuh. Begitu pula pendapat dari Komisi Fatwa MUI yang
menoleransi kebolehan aborsi jika dalam keadaan darurat atau hajat seperti
dijelaskan di depan. Kondisi genting/daruriyyat dan atau hajat inilah yang
dipegangi para ahli hukum menjadi landasan kebolehan aborsi.
Kiranya
analogi semacam ini bisa diperluas. Perempuan korban perkosaan ataupun
kehamilan yang berhadapan dengan masalah daruriyyat dapat dilakukan tindakan
aborsi. Karena jika secara psikis terutama korban perkosaan ibu hamil yang
tertekan dapat berimbas serius terhadap kehamilannya. Sehingga, dalam jangka
panjang ikut pula mengganggu kesehatan sang ibu. Sikap tegas dari pihak
terkait, seperti pemerintah dan tokoh-tokoh agama perlu ditagih terkait dengan realitas
sosial saat ini.
Sudah
saatnya para tokoh agama maupun tokoh masyarakat tidak lagi memperdebatkan adanya
pengecualian (celah) kebolehan aborsi seperti dibahas di atas. Aborsi bukan
semata-mata jadi tanggungan ibu hamil saja. Kini, tanggung jawab itu menjadi
milik bersama (kolektif), baik masyarakat, negara, maupun tokoh-tokoh terkait.
Sekaligus juga diperlukan pengentasan dilema aborsi itu sendiri. Dilema aborsi
dimulai dari menata perspektif baru dalam penanganan aborsi.
Perspektif
tindakan aborsi sebagai tindakan yang tidak diperkenankan secara mutlak, karena
menyalahi kehormatan kemanusiaan terhadap janin, pelaku, juga norma-norma
masyarakat yang berlaku perlu direkonstruksi (dibangun ulang) dengan perspektif
baru yang lebih realistis dan adil bagi perempuan. Sehingga, pemahaman yang keliru atas aborsi sangat
memberikan peluang adanya justifikasi yang salah arah
tidak menciptakan keadilan, tetapi justru menimbulkan
tuduhan miring pada perempuan.
Sehingga, diperlukan adanya regulasi dari pemerintah
untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi perlindungan terhadap hak atas
kesehatan reproduksi perempuan. Dengan catatan bahwa dibuatnya regulasi tentang
aborsi, tidak bertujuan untuk melegalkan aborsi yang tidak “bermoral”.
Maksudnya adalah bahwa tujuan adanya regulasi tentang aborsi akan dipergunakan
untuk melindungi hak reproduksi perempuan dengan benar dan tidak bertujuan
untuk membantu para perempuan yang hamil sebagai akibat dari pergaulan yang
salah kaprah. Selanjutnya, apabila regulasi tentang aborsi dapat disusun dan diimplementasikan
di Indonesia kaidah moral juga harus tetap dijadikan pertimbangan.
Sehingga adanya upaya penghormatan atas hak reproduksi perempuan tetap
berketuhanan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam hukum positif kasus kehamilan akibat
perkosaan yang berimplikasi indikasi medis yaitu suatu indikasi yang mengancam
kesehatan ibu secara serius baik fisik maupun psikis diperbolehkan. Kemudian
dalam hukum Islam juga bisa dibenarkan dengan syarat sebelum usia kandungan 120
hari atau sebelum ditiupkan ruh, tetapi harus dibuktikan bahwa secara medis
kehamilan tersebut mengganggu kesehatan ibu. Dan bahwa dalam kondisi-kondisi
tertentu misalnya indikasi medis KUHP memperbolehkan dilakukan pengguguran
kandungan, demikian juga kehamilan yang diakibatkan perkosaan yang berimplikasi
indikasi medis, dengan jalan menyelaraskan antara hukum Islam dan hukum
positif.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005.
0 comments:
Posting Komentar