Alhamdulillah,
segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia –
Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.
Makalah
ini berjudul Perlakuan Terhadap Anak dalam Hukum Perlindungan Anak. Disamping
tugas juga agar lebih memberikan kemudahan dalam menelaah mata kuliah Hukum Perlindungan
Anak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dengan harapan agar makalah ini
berguna bagi siapapun yang membaca. Pada akhirnya diharapkan adanya masukan
demi kesempurnaan makalah ini.
Langsa, April 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam
menyiapkan generasi penerus bangsa anak merupakan asset utama. Tumbuh kembang
anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun
dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai factor baik
biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural yang menyebabkan tidak
terpenuhinya hak – hak anak.
Untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang - Undang (UU)
Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.
Akibat
kehilangan hak – haknya, banyak anak – anak menjalani hidup mereka sendiri.
Oleh karena tidak memiliki arah yang tepat, maka banyak pula anak - anak mulai
bersinggungan dengan hukum. Tindakan yang melawan hukum seperti pencurian,
perkelahian dan narkoba sangat sering dilakukan oleh anak. Hal ini terjadi
karena mereka sudah kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka miliki.
Pasal
13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan setiap
anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a.
Diskriminasi;
b.
Eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual;
c.
Penelantaran;
d.
Kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan;
e.
Ketidakadilan, dan
f.
Perlakuan salah lainnya.
Selanjutnya
dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula bahwa setiap anak berhak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain,
berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa depan siapapun yang berbicara
tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.
Menyiapkan
Indonesia kedepan tidak cukup kalau hanya berbicara soal income per kapita,
pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu
yang paling dasar adalah sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga,
masyarakat dan negara. Anak – anak yang karena ketidakmampuan, ketergantungan
dan ketidakmatangan baik fisik mental maupun intelektualnya perlu mendapat perlindungan,
perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa). Perawatan, pengasuhan serta pendidikan
anak merupakan kewajiban agama dan kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai
dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Anak
adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak – hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan anak adalah masa depan bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi. Orangtua, keluarga dan masyarakat
bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraaan perlindungan anak, negara dan pemerintah
juga bertanggungjawab untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal. Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan
dan perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat baik melalui lembaga
perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa dan lembaga
pendidikan.
BAB
II
PERLAKUAN
TERHADAP ANAK
A. PERLAKUAN TERHADAP KEBUTUHAN
& HAK – HAK ANAK
Anak-anak yang masih dependen, sudah
barang tentu berbeda dengan orang dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan
praktis tidak lagi dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan
orang dewasa, dalam dunia kenyataan anak – anak kerap menjadi sasaran dan
korban kekerasan dengan dampak yang panjang dan permanen.
Lebih dari itu, anak-anak pula kerap
menderita berbagai eksploitasi ekonomi ataupun seksual, penyalahgunaan (child
abused), dan pelanggaran hak lainnya. Lingkupnya melebar bukan hanya di sektor
public seperti di jalanan, di penjara, malahan kekerasan ada di sekolah,
malahan di dalam rumah atau ruang keluarga mereka kerap menjalani domestic
violence. Lebih parah lagi, pada beberapa negara yang berkonflik senjata,
anak-anak menjadi korban keganasan mesin perang
Ada 4 (empat) prinsip dasar yang
kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No.23 tahun 2002, yaitu :
a. Non diskriminasi;
Diskriminasi sebagai adanya pembedaan
(distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan
(preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour),
kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion),
politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul
sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status
lain.
Diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan,
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
b. Kepentingan terbaik bagi anak
Prinsip ini diletakkan sebagai
pertimbangan utama dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi
kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas
administratif, ataupun badan legislatif.
Negara dan pemerintah, serta badan – badan
publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan
mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak
menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi
anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah.
Dengan demikian, kepentingan
kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan,
kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. Guna menjalankan kepentingan
terbaik bagi anak ini, bahwa negara menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian
pada anak. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab
terhadap anaknya, demikian pula lembaga –lembaga hukum lainnya.
Dalam situasi dimana tanggungjawab
dari keluarga atau orangtua tidak dapat dijalankannya, maka negara mesti menyediakan
program jaminan social. Perihal jaminan sosial ini, diharmonisasikan ke dalam
Pasal 8 UU No. 23 tahun 2002 yang secara eksplisit menyebutkannya sebagai hak
anak yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah.
Negara mesti menjamin institusi – institusi,
pelayanan, dan fasilitas yang diberikan tanggung jawab untuk kepedulian pada
anak atau perlindungan anak yang sesuai dengan standar yang dibangun oleh
lembaga yang berkompeten. Negara mesti membuat standar pelayanan sosial anak,
dan memastikan bahwa semua institusi yang bertanggung jawab mematuhi standar
dimaksud dengan mengadakan monitoring atas pelaksanaannya.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan;
Prinsip ini dituangkan dalam norma
hukum Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002. Jika dibandingkan, norma hukum pasal 4 UU
No. 23 tahun 2002 mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD
1945. Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39
tahun 1999 juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam
Pasal 4 dan 9 UU No. 39 tahun 1999). Hak hidup ini dalam wacana
instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan
dikenali sebagai hak yang utama.
d. Penghargaan terhadap pendapat
anak.
Anak dapat dan mampu membentuk atau
mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak
berekspresi secara bebas. Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat
terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan
anak. Sejalan dengan itu, negara wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan
untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi
yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Dalam Pasal 3 UU No. 23 tahun 2002,
prinsip penghargaan terhadap pendapat anak ini juga secara eksplisit diadopsi
sebagai prinsip dasar, bersamaan dengan Pancasila sebagai asas dan UUD 1945
sebagai landasan penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam
UU No. 23 tahun 2002 diatur hak dan kewajiban anak (Pasal 4 s/d 19). Penegasan
hak anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan legalisasi hak - hak. Dengan
demikian, Pasal 4 s/d 18 UU No. 23 tahun 2002 menciptakan norma hukum tentang
apa yang menjadi hak-hak anak. Dalam Pasal 4 s/d 19 UU No. 23 tahun 2002,
dirumuskan hak - hak anak serta 1 pasal mengenai kewajiban anak, yaitu sebagai
berikut :
1.
Hak anak atas hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi secara wajar
(Pasal 4 UU Nomor 23 tahun 2002).
2.
Hak atas nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
(Pasal 5 UU Nomor 23 tahun 2002).
3.
Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi
(Pasal 6 UU No. 23 tahun 2002).
4.
Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtua
(Pasal 7 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002).
5.
Hak untuk diasuh atau diangkat oleh orangtua asuh atau orangtua
angkat (Pasal 7 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002).
6.
Hak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 8 UU No.23 tahun 2002).
7.
Hak untuk memperoleh jaminan sosial (Pasal 8 UU No.
23 tahun 2002).
8.
Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 9 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002).
9.
Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak cacat (Pasal 9 ayat 2 UU
No. 23 tahun 2002).
10. Hak
memperoleh pendidikan khusus bagi anak
yang memiliki keunggulan (Pasal 9 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002).
11. Hak
untuk menyatakan dan didengar
pendapatnya (Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002).
12. Hak
menenerima, mencari, dan memberikan informasi
(Pasal 10 UU No. 23 tahun 2002).
13. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan sebaya, bermain,
berekreasi dan berkreasi (Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002).
Dan
bagi anak yang menyandang cacat, berhak untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12 UU No. 23 tahun 2002).
Ketentuan ini mengacu kepada Pasal 54 UU No. 39 tahun 1999 ditentukan bahwa
anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara. Demikian pula dalam Pasal 7 UU
No. 4 tahun 1979, anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Serta
anak yang dalam status pengasuhan, berhak untuk dilindungi dari diskriminasi. eksploitasi (ekonomi dan
seksual), penelantaran kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan
dan perlakuan salah (lihat Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002). Ketentuan ini
untuk menegaskan bahwa sangat mungkin perbuatan diatas terjadi di dalam
keluarga yakni dalam menjalankan pengasuhan anak. Karenanya, hak anak untuk
dilindungi dari berbagai tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 UU
No.23 tahun 2002 menolak pandangan lama bahwa eksploitasi, penyalahgunaan
ataupun kekerasan yang dilakukan orangtua atau walinya dalam status pengasuhan
anak di dalam lingkungan keluarga (domestic violence) adalah bukan
pelanggaran hak anak.
Pada
prinsipnya, negara melakukan upaya agar anak berada dalam pengasuhan
orangtuanya sendiri, dan tidak dipisahkan dari orangtua secara bertentangan
dengan keinginan anak. Jika anak dan orangtua berada dalam negara yang lain,
maka anak berhak untuk bersatu kembali (family reunification) secara
cepat dan manusiawi. Ketentuan Pasal 14 UU No.23 tahun 2002 yang pada
prinsipnya memuat norma hukum yang melarang pemisahan anak dari orangtuanya.
Ditegaskan bahwa anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya secara
bertentangan dengan kehendak anak, kecuali apabila pemisahan dimaksud mempunyai
alasan hukum yang sah, dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak.
Anak
haruslah memperoleh perlindungan dari
penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata,
pelibatan dalam kerusuhan social, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UU Nomor 23 tahun 2002).
Anak
juga memperoleh perlindungan dari
penganiayaan, penyiksaan, penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16
ayat 1 UU No. 23 tahun 2002). Karenanya, pemerintah sebagai pembayar hak rakyat
(dalam hal ini anak) wajib melakukan upaya tertentu untuk melindungi anak dari
perbuatan yang dirumuskan pasal 16 ayat 1 UU No.23 tahun 2002. Jadi, konteksnya
adalah larangan memposisikan anak sebagai sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Anak yang dirampas kemerdekaannya,
berhak untuk memperoleh perlakuan
manusiawi, penempatan dipisah
dari orang dewasa, memperoleh bantuan
hukum, memperoleh bantuan
lainnya, membela diri dan
memperoleh keadilan di pengadilan yang objektif, tidak memihak,
dan dalam sidang tertutup untuk umum. Dan anak korban atau pelaku kekerasan
seksual ataupun anak-anak yang berhadapan dengan hukum, berhak dirahasiakan identitasnya (lihat
Pasal 17 ayat 2 UU No. 23/2002). Ketentuan ini merupakan penegasan dari norma
hukum dalam UU No. 3 tahun 1997. Dalam Pasal 8 ayat 5 UU No.3 tahun 1997
ditentukan bahwa pemberitaan mengenai perkara anak mulai penyidikan sampai
dengan saat sebelum pembacaan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari
nama anak, orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.
Selanjutnya,
menurut Pasal 42 ayat 3 UU No.3 tahun 1997, proses penyidikan terhadap perkara
anak nakal wajib dirahasiakan. Kewajiban untuk merahasiakan identitas anak
nakal ini konsisten dengan norma hukum Pasal 8 ayat 1 UU No. 3 tahun 1997 yang
menentukan bahwa hakim memeriksa perkara anak nakal dalam sidang tertutup.
Kecuali dalam hal tertentu, sidang dapat dinyatakan sebagai sidang terbuka. Jadi,
sebelumnya adanya UU No.23 tahun 2002, dalam hal menjaga kerahasiaan anak yang
berhadapan dengan hukum sudah tersedia UU No. 3 tahun 1997 yang lebih maju,
dimana adanya norma hukum yang mewajibkan penyidikan yang merahasiakan
identitas anak. Karenanya, bukan lagi hanya sekadar hak anak, namun telah
dirumuskan sebagai kewajiban penyidik dalam penyidikan.
Anak
berhak memperoleh bantuan hukum,
dan bantuan lainnya, baik korban
atau pelaku tindak pidana (Pasal 18 UU No.23 tahun 2002).
Hak
untuk mendapatkan bantuan hukum, sudah diatur sebelumnya dalam UU No. 3 tahun 1997.
Menurut Pasal 51 ayat 1 UU No.3 tahun 1997, setiap anak nakal sejak saat
ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum.
Namun dalam Penjelasan Pasal 18 UU No.23 tahun 2002, dijelaskan bahwa anak
berhak pula atas bantuan lainnya, seperti bantuan medik, sosial, rehabilitas,
vokasional, dan pendidikan.
Anak
berkewajiban (Pasal 19 UU No. 23 tahun 2002) untuk menghormati orangtua, wali
dan guru, mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah
air, bangsa, dan Negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia. Dalam UU No 23 tahun 2002 ini juga diatur tentang
kewajiban anak. Hal ini tertuang dalam pasal 19 UU No 23 tahun 2002. Namun
norma dalam Pasal 19 tersebut hanya bersifat umum, dan hanya memuat
prinsip-prinsip penting saja sehingga lebih sebagai “primary laws”. Perumusan
pasal 19 UU No 23 tahun 2002 ini dalam sejarah dan latar belakang
pembentukannya dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang antara hak dan kewajiban
anak.
Namun,
norma yang tertera dalam Pasal 19 itu sebenarnya relevan dengan norma hukum
lainnya di Indonesia, dan norma dalam UU No 23 tahun 2002. Norma kewajiban anak
dalam pasal 19 sebenarnya tidak lepas dari hak-hak anak untuk tumbuh dan
berkembang (mental dan spiritualnya, serta etika moralnya), berpartisipasi
(dalam bermasyarakat, bersosialisasi dengan sesama anak/tema, berbangsa dan
bernegara). Norma kewajiban anak ini relevan dengan tanggungjawab orangtua,
dimana anak dalam masa evolusi menjadi dewasa. Bahwa orangtua diberi ruang
untuk menjalankan tugasnya sebagai orangtua guna memberi pengarahan kepada anak
(to provide direction to the child in the exercise of his or her right).
B. PERLAKUAN TERHADAP ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA
Berdasarkan Undang – Undang tentang
Perlindungan Anak,
proses penyelesaian tindak kejahatan
anak secara hukum harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal
16 (3) UU No. 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa
penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum
yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Setiap orang tua yang memiliki anak
yang bermasalah dengan hukum sebaiknya membuat pengaduan dan pelaporan kepada lembaga - lembaga yang berkonsentrasi melindungi hak – hak anak, salah satunya adalah LBH anak. Namun, orangtua juga tidak perlu terlalu khawatir jika
kasus anak yang bermasalah dengan hukum sudah
terlanjur dibawa ke kepolisian untuk diselesaikan
melalui jalur hukum. Untuk
saat ini, setiap instansi kepolisian sudah memiliki
satu unit pelayanan yang dikhususkan untuk menangani
hal – hal yang sifatnya khusus, seperti penanganan
kasus perempuan dan anak. Unit pelayanan
tersebut dinamakan RPK atau Ruang Pelayanan
Khusus. Di bagian ini semua kasus yang ada
kaitannya dengan anak dan perempuan akan ditangani
sesuai aturan yang berlaku.
Pasal 18 UU No. 23 tahun 2002
menyebutkan, setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan
lainnya. Dalam bagian penjelasan atas UU
No. 23 tahun 2002 tersebut dikatakan,
bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk
bantuan medis, sosial, rehabilitasi, vokasional
dan pendidikan. Setiap kasus yang masuk ke kepolisian, jika sang pelaku belum
didampingi oleh kuasa hukum maka tim RPK Polda berkewajiban melaporkannya
kepada institusi LBH Anak, sehingga anak yang menjadi pelaku ataupun korban tindak
pidana bisa mendapat pendampingan dan bantuan hukum.
Hal lain yang juga dilakukan oleh tim
RPK di kepolisian untuk menangani kasus tindak pidana oleh anak adalah,
melakukan restorasi justice. Bagi kasus - kasus yang masuk akan diselesaikan
dengan non pengadilan. Hal ini tentu saja jika telah disepakati oleh semua
pihak yang terlibat dalam sengketa. Namun jika hal ini tidak mencapai
kesepakatan, maka kasus akan dilanjutkan sampai ke meja hijau alias pengadilan.
Namun, hampir semua kasus bisa diselesaikan dengan baik, dan anak - anak yang menjadi
pelaku tindak pidana ini dikembalikan kepada orangtua mereka untuk mendapat
pengawasan dan pembinaan.
Proses pengadilan anak akan dilakukan
berbeda dengan proses pengadilan biasa. Dalam setiap persidangan majelis hakim
akan hadir sebagai penengah dan pemberi nasihat, tanpa menggunakan seragam
hakim dan atribut lainnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan emosi dan
psikologis anak. Dengan kondisi ini, anak tidak merasa menjadi orang yang
paling jahat dan sangat bersalah.
Perlindungan hukum
terhadap pelaku tindak pidana anak dalam proses peradilan pidana dimaksudkan,
agar terpenuhi hak-haknya sebagai anak yang merupakan salah satu tujuan untuk
melindungi anak-anak Indonesia. Dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan
anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang – undangan yang
dapat menjamin pelaksanaanya, yaitu adanya kerjasama dan tanggungjawab antara
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua serta adanya sarana dan
prasarana yang mendukung. Sifat yang khusus dari anak terdapat pembedaan
perlakuan dalam hukum acara dan ancaman pidananya, agar tidak menimbulkan
dampak sosiologis dan psikologis anak demi perkembangan masa depannya karena
lebih mengutamakan pembinaan daripada pemidanaannya.
Pemeriksaan baik di
tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan anak harus mendapatkan
perlindungan atas hak-haknya. Mendapatkan pemeriksaan dalam sidang yang
tertutup untuk umum dan berhak dirahasiakan. Penangkapan dan penahanan hanya
dapat dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup. Masa penahanan lebih singkat
dan penempatan penahanan juga harus terpisah dari orang dewasa. Penangkapan dan
penahanan tersebut hanya dilakukan sesuai dengan hukum. Setiap pemeriksaan, anak
berhak didampingi penasehat hukum dan tidak terlepas dari peranan Pembimbing
Kemasyarakatan serta berhak membela diri di depan persidangan.
Aparat penegak hukum dalam
menangani masalah anak, selain berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang memiliki sanksi atas pelanggarannya juga harus mengerti dan memahami
masalah anak baik dari segi umur anak. Hal – hal yang melatarbelakangi
kepribadian anak maupun latar belakang dilakukannya tindak pidana. Hal tersebut
dicantumkan dalam laporan penelitian kemasyarakatan yang wajib dipergunakan
hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan pidana
penjara hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan tidak diperkenankan
adanya penjatuhan pidana mati atau pidana seumur hidup, dengan didasarkan pada
penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak dan kesadaran
pentingnya perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana anak
BAB
III
KESIMPULAN
Anak adalah amanah Allah SWT yang
harus kita lindungi agar tercapai masa pertumbuhan dan perkembangannya menjadi
seorang manusia dewasa sebagai keberlanjutan masa depan bangsa. Anak bukan
orang dewasa ukuran kecil, tetapi seorang manusia yang tumbuh dan berkembang
mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Mereka
memiliki posisi strategis karena jumlahnya 38 persen dari total penduduk
Indonesia.
Kunci
utama untuk menjadikan anak sebagai potensi Negara dalam rangka keberlangsungan
kehidupan dan kejayaan bangsa adalah bagaimana komitmen pemerintah untuk
menjadikan anak sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Upaya nyata adalah
menciptakan lingkungan yang mengutamakan perlindungan bagi anak, menghidupkan
nilai – nilai dan tradisi yang memajukan harkat dan martabat anak,
mengeksplorasi dan memobilisasi sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan
perlindungan anak. Namun, semua itu tergantung bagaimana negeri ini menemukan kepemimpinan yang peduli anak.
Dengan
memahami perlindungan anak maka isu utama peningkatan kualitas hidup manusia
Indonesia akan lebih jelas tentang situasi dan kondisinya. Dengan demikian,
solusi untuk mengatasi persoalan tersebut dapat menjadi objek forma suatu
penelitian ilmu kemanusiaan, selanjutnya rekomendasi dari hasil penelitian
dapat diterapkan menjadi ilmu pengetahuan berupa dalil dan teori yang tentunya
akan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan seperti ilmu kemanusiaan yang pada
gilirannya dapat mengembangkan khasanah ilmu kemanusiaan.
0 comments:
Posting Komentar