Ilustrasi Hukum yang Cacat |
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia –
Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.
Makalah
ini berjudul Peraturan Daerah yang berlaku
di Indonesia. Dilakukan rangkuman ini disamping tugas juga agar lebih
memberikan kemudahan dalam menelaah mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah. Untuk
itu saya mengucapkan terima kasih dengan harapan agar makalah ini berguna bagi
siapapun yang membaca. Pada akhirnya diharapkan adanya masukan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayah – Nya
kepada kita. Amin.
Langsa,
Juli 2010
B
A B I
PENDAHULUAN
Peraturan
daerah adalah Peraturan Perundang – undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur
atau bupati/walikota) yang merupakan instrument aturan yang sah diberikan
kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang – undangan yang
lebih tinggi. Peraturan daerah terdiri atas :
1.
Peraturan Daerah Provinsi, yang
berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD
Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
2.
Peraturan Daerah Kabupaten / Kota yang
berlaku di Kabupaten / kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota
dibentuk oleh DPRD Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama Bupati /
Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota tidak subordinat terhadap Peraturan
Daerah Provinsi.
Kedudukan
dan fungsi Peraturan Daerah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya
sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam UUD / Konstitusi dan UU
Pemerintahan Daerah. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi
muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah
daerah. Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap
pembentukan dan pelaksanaan peraturan daerah pun mengalami perubahan seiring
dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Sejak
tahun 1945 hingga sekarang telah berlaku beberapa undang – undang yang menjadi
dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Peraturan
Daerah sebagai salah satu insrumen yuridisnya.
Mengenai Peraturan Daerah di Indonesia
telah mengalami banyak perubahan, yaitu :
1.
UU No 329 Tahun 1903 tentang
Desentralisasi Pemerintah Hindia Belanda
2.
UU No 1 Tahun 1945 tentang Peraturan
Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah
3.
UU No 22 Tahun 1948 tentang Penetapan
Aturan – Aturan Pokok Mengenai Pemerintah Sendiri di Daerah – Daerah yang
Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
4.
UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok –
Pokok Pemerintahan Daerah
5.
UU No 18 Tahun 1965 tentang Pokok –
Pokok Pemerintahan
6.
UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok –
Pokok Pemerintahan di Daerah
7.
UU No 22 Tahun 1999 tentang Pokok –
Pokok Pemerintahan Daerah
8.
UU No 32 Tahun 2004 Pokok – Pokok
Pemerintahan Daerah
B
A B II
PERATURAN
DAERAH
A. Mekanisme Pembentukan Peraturan
Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
dapat berasal dari DPRD atau Kepala Daerah (gubernur, bupati atau walikota).
Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan
Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala
Daerah. Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau
Bupati / Walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat – tingkat
pembicaraan, dalam rapat komisi / panitia / alat kelengkapan DPRD yang khusus
menangani legislasi dan dalam rapat paripurna.
Raperda yang telah disetujui bersama
oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati / Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Gubernur atau Bupati / Walikota untuk disahkan menjadi Peraturan Daerah
(Perda), dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan
bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati / Walikota dengan
menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh
DPRD dan Gubernur atau Bupati / Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak
Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Gubernur atau
Bupati / Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib
diundangkan.
Setiap perancang Peraturan Daerah,
terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positif tentang UU
Pemerintahan Daerah, UU tentang Perundang – undangan, Peraturan Pelaksanaan
yang secara khusus mengatur tentang Peraturan Daerah. Untuk merancang sebuah
Peraturan Daerah, perancang pada dasarnya harus menyiapkan diri secara baik dan
menguasai hal – hal sebagai berikut :
a.
Analisa data tentang persoalan sosial
yang akan diatur
b.
Kemampuan teknis perundang – undangan
c.
Pengetahuan teoritis tentang
pembentukan aturan
d.
Hukum perundang – undangan baik secara
umum maupun khusus tentang Peraturan Daerah
Penyusunan Peraturan Daerah dimulai
dengan merumuskan masalah yang akan diatur, untuk itu harus menjawab pertanyaan
“apa masalah sosial yang akan diselesaikan”? Masalah sosial yang akan
diselesaikan pada dasarnya akan terbagi dalam dua jenis yaitu, masalah sosial
yang terjadi karena adanya perilaku dalam masyarakat yang bermasalah dan
masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang ada tidak lagi
proporsional dengan keadaan masyarakatnya. Perancang Peraturan Daerah wajib
mampu mendiskripsikan masalah sosial tersebut. Salah satu cara untuk menggali
permasalahan tersebut adalah dengan langkah penelitian. Untuk masalah sosial
yang ada dalam masyarakat, maka observasi pada obyek persoalan harus dilakukan.
Pelaksanaan Peraturan Daerah dievaluasi sedemikian rupa, khususnya terhadap
modal sosial yang ada. Hasil analisa akan menjelaskan signifikasi keberhasilan
atau kegagalan penerapan Peraturan Daerah dalam masyarakat. Selanjutnya akan
diikuti dengan usulan perbaikan yang lebih rasional dan aplikatif.
Draf Raperda pada dasarnya adalah
kerangka awal yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah sosial yang hendak
diselesaikan. Apapun jenis Peraturan Daerah yang akan dibentuk, maka rancangan
Peraturan Daerah tersebut harus secara jelas mendiskripsikan tentang penataan
wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing
agency) dan penataan perilaku (rule of conduct / rule of behavior) bagi
masyarakat yang harus mematuhinya (rule occupant).
Secara sederhana harus dapat
dijelaskan siapa lembaga pelaksana aturan, kewenangan apa yang diberikan
padanya, perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan
organ yang menetapkan sanksi atas ketidakpatuhan, persyaratan apa yang mengikat
lembaga pelaksana, apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana
jika menyalahgunakan wewenang. Rumusan permasalahan pada masyarakat akan
berkisar pada siapa yang berperilaku bermasalah, jenis pengaturan apa yang
proposional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, jenis sanksi yang
akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan.
Kerangka berpikir di atas akan
menghasilkan sebuah draf tentang penataan kelembagaan yang menjadi pelaksana.
Pada tingkat Kabupaten / Kota harus sudah dapat dijelaskan dinas / kantor mana
yang akan bertanggungjawab melaksanakan Peraturan Daerah tersebut sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Penataan wewenang juga akan menghasilkan
hierarki kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup tanggung jawab yang melekat padanya.
Penataan jenis perilaku akan
menghasilkan Peraturan Daerah tentang larangan atau ijin dan Peraturan Daerah
tentang kewajiban melakukan hal tertentu atau dipensasi. Drafter harus
menjelaskan pilihan tentang norma kelakuan yang dipilihnya dengan tujuan yang
hendak dicapai. Norma larangan akan menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci
tentang perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan ada perkecualian, maka
dirumuskan pula norma ijin. Konsekuensinya adalah merumuskan sistem dan syarat
perijinannya. Sistem dan syarat perijinan ini dirumuskan dengan kriteria ijin
perorangan atau ijin kebendaan. Demikian juga, syarat – syarat permohonan ijin
yang secara proporsional dapat dipenuhi oleh pemohon. Jika norma kelakuan
dirumuskan dengan norma perintah, maka eksepsinya adalah dengan merumuskan
norma dispensasi.
Terdapat dua tahap penting pembahasan
draf Raperda yaitu pada lingkup tim teknis eksekutif dan pembahasan bersama
dengan DPRD. Perjalanan akhir dari perancangan sebuah draf peraturan daerah
adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah oleh
pihak pemerintah daerah dengan DPRD. Dalam konsep hukum peraturan daerah
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materil terhadap pihak yang
menyetujuinya. Sejak ditandatangani, maka rumusan hukum yang ada dalam Raperda
tersebut sudah tidak dapat diganti secara sepihak.
Pengundangan dalam Lembaran Daerah
adalah tahapan yang harus dilalui agar Raperda mempunyai kekuatan hukum
mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum maka draf Raperda sudah menjadi
Perda yang berkekuatan hukum formal. Secara teoritik semua orang dianggap tahu
adanya peraturan daerah mulai diberlakukan dan seluruh isi / muatan peraturan
daerah dapat diterapkan. Tahapan penyebarluasan (sosialisasi) peraturan daerah
harus dilakukan, hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara
peraturan daerah dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar
terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam peraturan daerah
sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
B. Penyelenggaraan Peraturan Daerah
Dalam lintasan sejarah setelah 25
tahun mengawal perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah yang cenderung
bersifat sentralistik digantikan dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
tidak lama bertahan karena dibentuk dengan semangat kebebasan yang begitu
tinggi ditengah memuncaknya euforia reformasi sehingga banyak pengaturan yang
tidak proporsional dan cenderung mengarah pada otonomi yang kebablasan. Pada
perkembangan lebih lanjut, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai langkah perbaikan dan penyempurnaan atas kelemahan
yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Hal yang mendasar dari adanya
perubahan Undang – Undang tersebut adalah memberikan kesempatan dan kekuasaan
daerah untuk membangun daerahnya dan lebih memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Daerah otonom diberikan hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Kewenangan pengaturan
ini adalah kewenangan bagi daerah untuk membentuk Peraturan Daerah.
Secara konstitusional Pasal 16 ayat
(6) UUD RI Tahun 1945 (perubahan kedua) menyatakan bahwa “pemerintahan daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Kemudian dalam Pasal 136 ayat (1)
jo. Ayat (2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur bahwa Peraturan Daerah
ditetapkan oleh Kepala Daera setelah mendapat persetujuan bersama DPRD dibentuk
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas
pembantuan.
Seiring dengan itu, pengakuan dan
penghormatan atas satuan – satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa, di era pasca reformasi mendapat porsi lebih daripada era sebelumnya.
Pasal 18B UUD 1945 yang merupakan hasil dari amandemen kedua menyatakan :
1.
Negara mengakui dan menghormati satuan
– satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang – undang
2.
Negara mengakui dan menghormati
kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang – undang
Berangkat dari itu, lahirlah Undang –
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian diganti dengan
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang –
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Terkait
dengan pelaksanaan otonomi khusus Pemerintahan Aceh dan Provinsi Papua tersebut
dibutuhkan pula peraturan daerah yang bersifat khusus bagi daerah otonomi
khusus tersebut.
Aceh sebagai daerah otonomi khusus,
sesuai dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
memiliki peraturan daerah yang bersifat khusus pula yaitu Qanun Aceh dan Qanun
Kabupaten / Kota. Qanun Aceh adalah peraturan perundang – undangan sejenis
peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat Aceh. Sedangkan Qanun Kabupaten / Kota adalah peraturan
perundang – undangan sejenis peraturan daerah Kabupaten / Kota yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Kabupaten / Kota di Aceh.
Begitu pula Provinsi Papua sebagai
daerah otonomi khusus, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selain memiliki Peraturan Daerah
juga memiliki instrument hukum tersendiri dalam mengatur daerahnya yaitu
Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Istimewa. Peraturan Daerah Khusus
yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan pasal – pasal tertentu dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun
2001, sedangkan Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi
adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang – undangan.
C. Kedudukan Peraturan Daerah
Peraturan daerah sebagai bagian dari
sistem hukum nasional yang tercermin dalam konstruksi jenis dan hirarki
Peraturan Perundang – Undangan. Yang dimaksud dengan jenis adalah macam (Peraturan
Perundang – Undangan), sedangkan hirarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang – Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang – Undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang – Undangan
yang lebih tinggi. Jenis dan hirarki Peraturan Perundang – Undangan diatur
dalam Pasal 7 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 10
Tahun 2004, jenis dan hirarki Peraturan Perundang – Undangan adalah sebagai
berikut :
a.
Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b.
Undang – Undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang – Undang
c.
Peraturan Pemerintah
d.
Peraturan Presiden
e.
Peraturan Daerah
Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan
bahwa Peraturan Daerah sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi :
a.
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi bersama dengan gubernur
b.
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota
c.
Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
kepala desa atau nama lainnya.
Berdasarkan uraian di atas Qanun,
Perdasus dan Perdasi merupakan Peraturan Perundang – Undangan yang sejenis dan
setingkat dengan peraturan daerah pada umumnya sebagai bagian integral dari
sistem hukum nasional dan hirarki Peraturan Perundang – Undangan. Dengan
demikian, sesuai dengan asas hirarki Peraturan Perundang – Undangan maka Qanun,
Perdasus dan Perdasi tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang –
Undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain oleh undang – undang otonomi
khusus terkait. Hal ini sesuai dengan asas umum Peraturan Perundang – Undangan
yang menyatakan bahwa Peraturan Perundang – Undangan yang bersifat khusus dapat
menyampingkan Peraturan Perundang – Undangan yang bersifat umum (lex specialis
derogat lex generalis).
Penggunaan istilah Qanun, Perdasus dan
Perdasi ini sebagai nama lain dari Peraturan Daerah sesuai dengan hal – hal
khusus yang berkaitan dengan kondisi dan karakteristik daerah yang
bersangkutan. Hal – hal khusus yang membedakan Qanun, Perdasus dan Perdasi
dengan peraturan daerah pada umumnya antara lain lembaga yang membentuk dan
materi muatannya. Sebagaimana diketahui bersama bahwa peraturan daerah
ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
D. Materi Muatan Peraturan Daerah
Pengaturan mengenai materi muatan
peraturan daerah selain tunduk kepada Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan juga tunduk kepada Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai Undang – Undang
yang lebih spesifik mengatur mengenai pemerintahan daerah. Bagi daerah yang
berstatus sebagai daerah otonomi khusus tentunya pengaturan mengenai materi muatan daerah selain tunduk kepada kedua
undang – undang tersebut, juga tunduk kepada undang – undang otonomi khusus
bagi daerah yang bersangkutan.
Materi muatan peraturan daerah menurut
Pasal 12 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – Undangan adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang – Undangan yang lebih tinggi. Di
dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa
pasal mengatur mengenai materi muatan peraturan daerah. Ketentuan yang menjadi
landasan bagi pengaturan materi muatan peraturan daerah adalah Pasal 10 yang
terdiri dari 5 (lima) ayat sebagai berikut :
1.
Pemerintah daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang – undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah
2.
Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas – luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
3.
Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.
Politik luar negeri
b.
Pertahanan
c.
Keamanan
d.
Yustisi
e.
Moneter dan fiskal nasional
f.
agama
4.
dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemerintah menyelenggarakan
sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
5.
Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
pemerintah, di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
dapat :
a.
Menyelenggarakan sendiri sebagaian
urusan pemerintahan
b.
Melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintahan
c.
Menugaskan sebagian urusan kepada
pemerintahan daerah dan /atau pemerintahan desa berdasarkan asas pembantuan
Ketentuan pasal 10 Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tersebut merupakan aturan umum mengenai materi peraturan
daerah. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa pemerintah daerah memiliki
kewenangan yang sangat luas, kecuali kewenangan yang menyangkut urusan politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan
agama yang ditetapkan sebagai kewenangan pemerintah pusat. Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas – luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Dengan demikian materi muatan peraturan daerah mencakup aspek yang
sangat luas yaitu seluruh materi yang berkaitan dengan urusan pemerintahan
diluar 6 (enam) urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat ditambah dengan
tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Tentunya selain 6 (enam) kewenangan
yang ditentukan menjadi kewenangan pemerintah pusat tidak begitu saja dibagi
habis menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat masih memiliki
kewenangan lainnya yang dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan. Setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sudah terdapat
pengaturan yang baku mengenai batasan – batasan kewenangan antara Pemerintah
Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah ini, tentunya daerah akan lebih mudah
memahami urusan apa saja yang menjadi kewenangannya dan materi muatan apa yang
perlu dibentuk menjadi suatu Peraturan Daerah.
B
A B III
P
E N U T U P
Amandemen
UUD 1945 membawa banyak perubahan pada sistem politik dan sistem ketatanegaraan
di Indonesia. Salah satu perubahan mendasar yang dilahirkan adalah perubahan
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paradigm politik
ketatanegaraan yang semula cenderung bernuansa otoritarian berubah menjadi
lebih demokratis. Pola kekuasaan eksekutif yang terpusat dan terlalu dominan
diakui sebagai pola yang kurang mendukung dalam mewujudkan kesejahteraan yang
merata bagi masyarakat di tanah air. Seiring dengan derasnya tuntutan
masyarakat penerapan pola pemerintahan yang sentralistik semakin tidak relevan
dengan situasi, kondisi dan perkembangan
kehidupan masyarakat sehingga perubahan kearah demokratisasi dan desentralisasi
menjadi suatu hal yang mutlak.
Dalam
konteks hubungan antara pusat dengan daerah, sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi sistem yang
mengedepankan otonomi dengan berpijak pada prinsip desentralisasi. Penerapan
prinsip desentralisasi sebagai dasar berpijak penyelenggaraan pemerintahan
daerah membangun konstelasi baru sistem otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab yang memberikan hak dan wewenang kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
0 comments:
Posting Komentar