KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia –
Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.
Tulisan
ini berjudul Tragedi Lumpur Lapindo.
Dilakukan rangkuman ini disamping tugas juga agar lebih memberikan kemudahan
dalam menelaah mata kuliah Hukum Lingkungan. Untuk itu saya mengucapkan terima
kasih dengan harapan agar makalah ini berguna bagi siapapun yang membaca. Pada
akhirnya diharapkan adanya masukan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah
SWT memberikan taufik dan hidayah – Nya kepada kita. Amin.
Langsa,
Juni 2009
B A B I
PENDAHULUAN
Tragedi Lumpur Lapindo
dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi
suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan,
pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur
diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan
muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur
ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur.
Genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total
warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak
sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200
ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan;
kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana
infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol
Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan
Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan
industri utama di Jawa Timur.
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku
mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan,
iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah
(hemolisis), jantung berdebar (cardiac
aritmia), dan gangguan ginjal.
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan,
dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100
hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian
pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian
penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai
mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori
konspirasi penyuapan oleh Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan
menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis
kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit)
dan 2 (pembuatan relief well)
mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.
Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena
kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu, karena banyak kalangan yang tidak
mengetahui bahwa luapan lumpur bukan keluar dari lubang pemboran yang dilakukan
PT LAPINDO. Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1
pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT
Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton
International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari
Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman
8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur
tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi
sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150
kaki, casing 20 inchi pada 1195
kaki, casing (liner) 16 inchi
pada 2385 kaki dan casing
13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006).
Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297
kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang
tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung
(8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan
kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang
salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di
zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka
membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujungnya. Alhasil, mereka
merencanakan memasang casing
setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya
tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama
pemboran, lumpur overpressure
(bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan
pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh
batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal
mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya
lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke
lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di
permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi
Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga
dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig
segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke
dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik
ke atas sampai ke batas antara open-hole
dengan selubung di permukaan (surface
casing) 13 3/8 inchi.
Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis
tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke
permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui
lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi
akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami
tadi & berhasil. Inilah mengapa surface
blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur
itu sendiri. Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan
pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua
dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
B A B II
TRAGEDI LUMPUR LAPINDO
A. LUMPUR PANAS LAPINDO
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi) , adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 27 Mei 2006, bersamaan dengan gempa berkekuatan 5,9 SR yang melanda Yogyakarta. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di
tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa
Timur.
Lokasi
semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten
Sidoarjo, sekitar 12 km
sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten
Pasuruan) di sebelah
selatan. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur
Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas.
Oleh karena
itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan
aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak
Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan
lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan
terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun
bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran,
walaupun pendapat tersebut ketika dipraktikan tidak dapat menghentikan luapan
lumpur tersebut.
Lokasi
tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya
Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta
jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,
Indonesia
B. PENYEBAB TERJADINYA SEMBURAN LUMPUR
Setidaknya ada 3
aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut,
yaitu :
1. Aspek teknis
Pada awal tragedi Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada
hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan
lumpur (liquefaction) adalah
gempa (sudden cyclic shock)
Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.
Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di
Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.
Argumen liquefaction
lemah karena biasanya
terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung
bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki.
Akhirnya,
kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat
dengan cairan beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya
formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah
memasang casing 30 inchi pada
kedalaman 150 kaki, casing 20
inchi pada 1195 kaki, casing (liner)
16 inchi pada 2385 kaki dan casing
13-3/8 inchi pada 3580 kaki.
Ketika Lapindo
mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka
belum memasang casing 9-5/8
inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran
dihentikan, perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur
pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di
lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar
maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah
terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.
2. Aspek ekonomis.
Lapindo Brantas
Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang
ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat
ini Lapindo memiliki 50% participating
interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.
Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga
“sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing.
Jika dilihat dari
perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing
berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah
satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06,
telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional
pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada
di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.
3. Aspek politis.
Sebagai legalitas
usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha
kontrak bagi hasil/production sharing
contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas
sumberdaya alam. Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah
Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai
kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA)
“dijual” kepada swasta/individu (corporate
based). Orientasi profit an
sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi
buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan
taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem.
Di Jawa Timur
saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat
penguasa tambang migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko,
Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang
cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus
tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.Yang terakhir,
tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati,
Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar.
Akibatnya, ribuan
warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman
gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang
dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.
Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri
tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan
ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.
C. VOLUME SEMBURAN LUMPUR
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar
disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke
Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di
Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan
tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar
100.000 meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil
"pemboran" selebar 30 cm.
Dan akibat
pendapat awal dari WALHI maupun Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan lumpur
di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul diatas tanah milik
masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung
seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi
semakin luas.
Berdasarkan
pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan
Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah
B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa,
Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti
Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil
pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku
mutu.
Hasil
pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa
lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50
adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen
hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50
antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended
Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000
ppm SPP terhadap Daphnia carinata.
Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000
mg/L SPP.
Di beberapa
negara, pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas
pengeboran (used drilling mud)
ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat
dibuang ke perairan. Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda, dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya
jauh di atas ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146
kali dari ambang batas yang telah ditentukan.
Berdasarkan
PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam
lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan
0,23 µg/kg. Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik
pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene diatas ambang
batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20,
yang kesemuanya diatas ambang batas.
Dengan fakta
sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali diatas
ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan
lingkungan :
a.
Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan),
b.
Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan
kulit
e.
Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit
Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan
lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun
kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam
kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan
lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan.
Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal
ternyata TIDAK ADA KORBAN barang seorang pun yang menyatakan sakit atau
meninggal akibat lumpur tersebut. Jadi kesimpulan WALHI tidak terbukti sama
sekali.
B A B II
DAMPAK LUMPUR LAPINDO
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi
masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei
2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik
untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
Lumpur menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan.
Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang
membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal
pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas
Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan
Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak
lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426
unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga
Agustus 2006 antara lain lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan
Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo,
Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas,
30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang
terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.
Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor
pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas
Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan
listrik dan telepon), rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur
dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480,
Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri),
kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala
15 unit. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal
persawahan
Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, General Manager
PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665
miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur. Akibat amblesnya permukaan
tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer
pipa gas terendam. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang
tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu
melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong
dan tak kurang 600 hektar lahan
terendam. Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh
jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya
Porong tak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan
terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta
kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap
aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di
Jawa Timur.
UPAYA PENANGGULANGAN
LUMPUR LAPINDO
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan
lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan
lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga
sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada
permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani,
adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektar, dengan
mengungsikan 12.000 warga.
Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung
lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada
cadangan 342 hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007.
Akhir Oktober, diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.
Namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.
Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal
datang dua bulanan lagi. Jika perkiraan itu tepat, waduk terancam kelebihan
daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya.
Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul
jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan
mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan
jangka pendek. Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan
lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim
terdiri dari perwakilan Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa
universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar dari ITS, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario
pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah memadamkan lumpur dan mencari
penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang telah terhampar di atas
tanah.
Ada pihak-pihak yang mengatakan luapan lumpur ini bisa
dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah ini, namun asumsi luapan bisa
dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali, yang mengartikan
luapan ini adalah fenomena alam. Skenario
pertama, menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar
Panji-1. Snubbing unit adalah
suatu sistem peralatan bertenaga hidrolik yang umumnya digunakan untuk
pekerjaan well-intervention
& workover (melakukan suatu
pekerjaan ke dalam sumur yang sudah ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor
seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal.
Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke
dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan
lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut
berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal mendorongnya ke dalam dasar sumur.
Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata bor
yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan
terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki,
serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu
mempersulit pelaksanaan sidetracking.
Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang
dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar
lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak
layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan
penutupan secara permanen sumur BJP-1.
Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan
terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief
well). Tiga lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter
barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut
sumur Banjar Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar
Panji-1. Sampai saat ini skenario ini masih dijalankan.
Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur
berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis
lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga
membentuk rawa.
Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa
gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur
dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya
pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya, sebuah rig (anjungan
pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar. Biaya bisa
membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya memasang tarif
lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp
475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah
melambungnya harga minyak.
Jika skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal
maka tanggul yang disediakan tidak akan mampu menyimpan lumpur panas sebesar
126,000 m3 per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas yang tersedia pada
pertengahan September 2006 hanya tinggal dua.Skenario ini dibuat kalau luapan
lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur dianggap sebagai
fenomena alam, maka skenario yang wajar adalah 'bagaimana mengalirkan lumpur
kelaut' dan belajar bagaimana hidup dengan lumpur.
Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi
semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada
sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan
dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya tampungnya menjadi lebih besar.
Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk diperlukan waktu, begitu
juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara semburan lumpur secara terus
menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.
Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah
tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume penampungan lumpur panas
yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian tengah kali tersebut,
bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka potensi penyimpanan
lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap kilometernya. Dengan kata lain,
kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur sekitar 5 juta m3, atau akan
memberikan tambahan waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan
ke Kali Porong tidak melebihi 50,000 m3 per hari. Bila yang akan dialirkan ke
Kali Porong adalah keseluruhan lumpur yang menyembur sejak awal Oktober 2006,
maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali Porong mencapai 10 juta m3 pada bulan
Desember 2006. Volume lumpur yang begitu besar membutuhkan frekuensi dan volume
penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar
Kali Porong tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah
pengembaraan koloida lumpur Sidoardjo di perairan Selat Madura, diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur tersebut di kawasan
pantai Sidoardjo.
Para pakar yang melakukan simposium di ITS pada minggu
kedua September, menyampaikan informasi bahwa kawasan pantai di Kabupaten
Sidoardjo mengalami proses reklamasi pantai secara alamiah dalam beberapa
dekade terakhir disebabkan oleh proses sedimentasi dan dinamika perairan Selat
Madura. Setiap tahunnya, pantai Sidoardjo bertambah 40 meter. Sehingga upaya
membentuk kawasan lahan basah di pantai yang terbuat dari lumpur panas
Sidoardjo, merupakan hal yang selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai
yang sudah berjalan beberapa dekade terakhir.
Dengan mengumpulkan lumpur panas Sidoardjo ke tempat yang
kemudian menjadi lahan basah yang akan ditanami oleh mangrove, lumpur tersebut
dapat dicegah masuk ke Selat Madura sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan
tambak di kawasan pantai Sidoardjo dan nelayan penangkap ikan di Selat Madura.
Pantai rawa baru yang akan menjadi lahan reklamasi tersebut dikembangkan
menjadi hutan bakau yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi pemijahan ikan,
daerah penyangga untuk pertambakan udang. Pantai baru dengan hutan bakau
diatasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung yang menjadi sumber
inspirasi dan sarana pendidikan bagi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian
kawasan pantai..
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan
pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam
surat itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar
lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan
lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono,
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan.
Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT
Lapindo Brantas.
Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini
ternyata gagal total walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah. Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke
Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume
semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik
per hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian
semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang
lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten
Sidoardjo.
Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini,
diantaranya Walhi dan ITS . Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan
produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami
kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian
akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong
Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan
lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong,
bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di
sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena
lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang
pantai.
Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem
Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir
Sidoarjo akan terpengaruh. Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut
Teknologi 10 Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu
membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan
endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu
diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi. Sampai tahun 2009 ternyata
teori itu tidak bisa membuktikan adanya dampak tersebut.
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5
orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang
dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT Tiga Musim
Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig (alat
bor).Namun sangat sulit membuktikan adanya kesalahan manusia, karena banyak
ahli yang justru mengatakan fenomena ini sebagai kesalahan manusia akhirnya
berhenti bicara karena teori nya salah.
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan
UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan,
dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. "Otomatis UU pencemaran lingkungan
hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan
hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton
Bachrul Alam yang sejak tahun
2009 menjadi KAPOLDA JATIM.
Pemerintah
dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat dan
PT LAPINDO adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi
dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak, sementara
Lapindo telah mengeluarkan uang sebesar Rp 6 Triliun lebih untuk masalah ini.
Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari
harga NJOP yang rata-rata harga
tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan
Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo,
Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN,
juga penanganan infrastruktur yang rusak. Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya
menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Aktivis lingkungan hidup juga hanya mengecam penanganan
kasus banjir lumpur ini tanpa memberikan solusi yang positif bagi semuanya.
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.
Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883
buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan
karena status tanah yang belum jelas.
0 comments:
Posting Komentar