-->

Hukum Asuransi

Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 12 April 2013


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia – Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.  

Tulisan ini berjudul Hukum Asuransi dalam Islam. Dilakukan rangkuman ini disamping tugas juga agar lebih memberikan kemudahan dalam menelaah mata kuliah Hukum Asuransi. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih dengan harapan agar makalah ini berguna bagi siapapun yang membaca. Pada akhirnya diharapkan adanya masukan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayah – Nya kepada kita. Amin.



                                                                                                Langsa, Januari 2009


B A B  I
PENDAHULUAN

Asuransi adalah suatu mekanisme pemindahan resiko dari tertanggung (nasabah) kepada penanggung (pihak asuransi) dengan sejumlah premi yang pasti. Tertanggung terbebas dari ketidakpastian kerugian yang mungkin akan diderita. Fungsi utama dari asuransi adalah menempatkan posisi keuangan tertanggung kembali kepada saat sebelum terjadi kerugian.
Di dalam Al – Qur’an tidak ada hukum asuransi. Oleh karena itulah muncul spekulasi dikalangan umat Islam tentang hukumnya apakah halal atau haram. Seandainya ada satu saja ayat Al – Qur’an dari jumlah ayat yang mencapai 6000 lebih menyebutkan hukum asuransi, pastilah tidak akan muncul perbedaaan pendapat. Sayangnya bahkan hadist nabawi, tidak ada satu pun yang juga menyebut hukum asuransi.
Kenapa urusan asuransi yang sedemikian erat kaitannya dengan manusia tidak disebut – sebut dalam Al – Qur’an dan As – Sunnah. Jawabnya karena praktek asuransi baru muncul berabad – abad jauh setelah Al – Qur’an diturunkan, belasan abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Di masa turunnya, manusia belum lagi melaksanakan asuransi dan juga sekian banyak bentuk praktek muamalah lainnya.                 
Islam memiliki sebuah sistem yang mampu memberikan jaminan atas kecelakaan atau mushibah lainnya melalui sistem zakat. Bahkan sistem ini jauh lebih unggul dari asuransi konvensional karena sejak awal didirikan memang untuk kepentingan sosial dan bantuan kemanusiaan. Sehingga seseorang tidak harus mendaftarkan diri menjadi anggota dan juga tidak diwajibkan untuk membayar premi secara rutin. Bahkan jumlah bantuan yang diterimanya tidak berkaitan dengan level seseorang dalam daftar peserta tetapi berdasarkan tingkat kerugian yang menimpanya dalam musibah tersebut. Dana yang diberikan kepada setiap orang yang tertimpa musibah ini bersumber dari harta orang-orang kaya dan membayarkan kewajiban zakatnya sebagai salah satu rukun Islam.
Di masyarakat luar Islam yang tidak mengenal sistem zakat, orang-orang berusaha untuk membuat sistem jaminan sosial, tetapi tidak pernah berhasil karena tidak mampu menggerakkan orang kaya membayar sejumlah uang tertentu kepada baitul mal sebagaimana di dalam Islam. Yang tercipta justru sistem asuransi yang sebenarnya tidak bernafaskan bantuan sosial tetapi usaha bisnis skala besar dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sisi bantuan sosial lebih menjadi lips service (penghias) belaka sementara hakikatnya tidak lain merupakan pemerasan dan kerja rentenir.
Mekanisme asuransi konvensional yang mereka buat ini adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi untuk memberikan kepada pesertanya sejumlah harta ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai konsekuensi/imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dari peserta. Jadi asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat syar`i, antara lain :
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek ribawi.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.

Ihktilaf sebagian ulama yang membolehkan asuransi

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu: 

a. Pendapat pertama : Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
Asuransi sama dengan judi
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

b. Pendapat Kedua : Membolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah).
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen. 

c. Pendapat Ketiga : Asuransi sosial boleh dan komersial haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. 

Perbedaan asuransi syariah dan konvensional
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain: 

A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan

ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional
Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
1.       Akad asuransi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
2.       Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
3.       Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
4.       Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,

B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam
Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1.      Asuransi sama dengan judi
2.      Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
3.      Asuransi mengandung unsur riba/renten.
4.      Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
5.      Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
6.      Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
7.      Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas
Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
1.      Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
2.      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3.      Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
5.      Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
6.      Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
7.      Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.
Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)Asuransi syariah

A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah

Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2.      Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3.      Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4.      Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5.      Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6.      Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:  

1.      Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2.      Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3.      Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
4.      Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
5.      Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

C. Manfaat asuransi syariah. 

Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:  
1.      Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
2.      Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
3.      Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
4.      Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
5.      Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
6.      Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
7.      Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
8.      Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah.
Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
1.      Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
2.      Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
3.      Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
4.      Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
1.      Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
2.      Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
3.      Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4.      Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5.      Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6.      Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
jenis asuransi. Ada asuransi kecelakaan, kesehatan, pendidikan,
kematian
dan lainnya. Pada saat orang membutuhkan dana secara mendesak, asuransi seringkali dijadikan andalan oleh banyak orang. Karena itu tidak sedikit orang yang memanfaatkan jasa asuransi dalam banyak sudut kehidupannya, karena merasa bahwa asuransi bisa menjamin jalan keluar atas banyak persoalan dan resiko.
Kami tidak mengingkari jasa-jasa asuransi yang nota bene banyak manfaatnya itu. Dalam banyak kasus, benar bahwa jasa asuransi memang punya manfaat besar bagi kita semua. Karena itu ketika kita mengkaji
masalah hukum asuransi dipandang dari sudut syariah, kita harus mengerti betul aturan main serta seluk-beluk asuransi tersebut.
Hal-hal yang memang nyata bermanfaat serta tidak melanggar kaidah syariah, tentu harus dinyatakan secara jujur kebenarannya. Sebaliknya, hal-hal yang nyata-nyata bertambarakan langsung dengan hukum Al-Qur'an
dan As-Sunnah, harus dihindari dan dicarikan jalan keluarnya.
Dan karena ada sekian ragam sistem asuransi di dunia ini, ditambah lagi bahwa di masa lalu memang belum lagi dikenal, maka wajar pula bila ada sedikit variasi di kalangan ulama tentang hukum asuransi ini. Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
A. Pendapat pertama: Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i (mufti Mesir"). Sedangkan alasan-alasan yang mereka kemukakan ada banyak, tapi kalau kita simpulkan apa yang telah mereka uraikan panjang lebar antara lain adalah:
1. Asuransi sama dengan judi.
2. Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
3. Asuransi mengandung unsur riba/renten.
4. Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila
tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang
sudah
dibayar atau dikurangi.
5. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek
riba.
6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak
tunai.
7. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya
dengan
mendahului takdir Allah.

B. Pendapat Kedua: Membolehkan

Pendapat kedua ini dikemukakan juga oleh beberapa ulama Islam. Antara lain oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir), dan Abdur Rahman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha).

Di antara landasan mereka dalam menghalalkan asuransi antara lain kita ringkaskan diri adalah:

1. Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi
yang
terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
pembangunan.
5. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
6. Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah).
7. Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti
taspen.

C. Pendapat Ketiga

Setelah berkembang kedua wacana di atas, para ulama kemudian melihat kembali lebih dalam pada sistem asuransi ini. Ternyata masing-masing pihak ada benarnya, meski tidak berarti steril dari kesalahan. Maka sebagian ulama kemudian meneliti ulang dan kemudian menelurkan pendapat ketiga.

Dan kesimpulannya adala bahwa asuransi itu harus dibedakan berdasarkan jenis dan fungsinya, serta sistem yang diberlakukan. Dan kesimplulan itu kemudian disederhanakan dengan kallimat bahwa bila asuransi itu bersifat sosial maka hukumnya dibolehkan. Sebaliknya bila asuransi itu semata-mata bersifat komersial, maka hukumnya haram.

Pendapat ketiga ini nampaknya sekarang banyak dianut oleh para ulama kontemorer, antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).

Suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman," Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan."
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau mudhorobah.
3. Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.

4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.

5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.

6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar'i.

Beberapa lembaga keuangan syariah nampaknya sudah mulai mulai menerapkan sistem asuransi syariah ini. Insya Allah berangkat dari landasan syar'i yang baik, serta diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah baik yang bersifat internal, ataupun yang bersifat eksternal, yaitu dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Adanya pengawasan dua lapis ini diharapkan memberikan jaminan kesesuaian praktek sistem asuransi dengan syariah Islam.

Karena itu, untuk halalnya harta dan berkahnya hidup kita, sebaiknya kita lebih memilih asuransi yang nyata benar menerapkan sistem syariah dalam prakteknya. Semoga Allah SWT memberkahi harta dan kehidupan kita dengan kita memilih harta yang halal.Permasalahan at-ta`min (asuransi) telah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, baik itu asuransi jiwa, asuransi mobil, asuransi pertokoan, atau yang lainnya. Maka beliau menjawab: "Asuransi yang dikenal pada masa ini, baik itu asuransi barang, asuransi mobil, asuransi pertokoan atau asuransi jiwa, saya berkeyakinan dengan keyakinan yang mantap bahwa perkara ini masuk dalam kategori perjudian yang terlarang dalam Al Qur`an dan As Sunnah…. Jadi asuransi (model sekarang ini) merupakan salah satu bentuk perjudian.
Adapun asuransi yang sesuai dengan syariat atau (dengan kata lain) asuransi yang Islami, sampai saat ini saya belum menemukan ada asuransi dengan pengertian yang dikenal pada masa ini yang dibenarkan oleh Islam,
kecuali jika ditemukan di sana pertukaran faedah (manfaat) antara pihak pengansuransi (pemegang polis/nasabah) dan pihak penjamin asuransi (perusahaan).1

 Misalnya: Seseorang yang mengasuransikan perumahannya atau pertokoannya dengan cara membebankan tanggung jawab kepada orang lain untuk menjaga keamanan perumahannya. Kemudian sebagai imbalannya dia membayar upah yang disepakati bersama, maka asuransi model ini boleh, karena masuk dalam kategori Al-Isti`jar.2

 Adapun asuransi yang berjalan di atas sistem untung-untungan (adu nasib) maka itu adalah judi. Adapun ta`min madhyur (nama suatu sistem asuransi) yang diwajibkan oleh pemerintahan untuk perbaikan (renovasi) ini dan itu misalnya, maka masuk dalam kategori pajak.3
 
Adapun asuransi atas pilihan sendiri yang dia usahakan untuk meraihnya maka tidak boleh (haram) dalam Islam, karena masuk dalam kategori judi." (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 363) Pada kesempatan lain Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah  juga ditanya tentang asuransi yang diwajibkan oleh pemerintah, bagaimana hukumnya? Maka beliau menjawab: "Kami mengatakan bahwa asuransi yang dibayar oleh pemilik mobil karena paksaan pemerintah, masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Akan tetapi karena hal tersebut diwajibkan secara paksa kepada mereka (untuk membayarnya) maka mereka lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah k dan tidak akan mendapatkan hukuman karenanya. Lain halnya dengan asuransi yang merupakan pilihan sendiri (tanpa paksaan) sebagaimana kebanyakan asuransi yang ada, berupa asuransi perumahan, pertokoan, barang (dan yang lainnya) maka seluruhnya adalah judi, haram untuk dilakukan. Adapun asuransi yang diwajibkan (dipaksakan oleh pemerintah) terhadap seseorang, maka (seperti kata pepatah):

"Saudaramu ini terpaksa melakukannya, bukannya dia pemberani (menerjang perkara yang haram)." Kemudian sang penanya bertanya lagi: "Akan tetapi apakah dibenarkan baginya untuk melakukan muamalah dengan pihak syarikah (perusahaan asuransi terkait) atas dasar bahwa mobilnya terasuransikan di situ?" Asy-Syaikh rahimahullah  berkata: "Tidak boleh."4 (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 415)

 Demikian pula fatwa para ulama5 yang tergabung dalam Hai`ah Kibaril Ulama pada pertemuan mereka yang berlangsung tanggal 10 Sya'ban 1398 H dan Majma' Al-Fiqh Al-Islami pada pertemuan mereka yang
berlangsung tanggal 4 Rabi'ul Akhir 1397 H menetapkan haramnya seluruh jenis asuransi yang berjalan dengan sistem perdagangan, baik itu asuransi jiwa, barang, atau yang lainnya dengan beberapa dalil, di
antaranya:

 1. Akad asuransi dengan sistem perdagangan termasuk kategori pertukaran harta yang tidak jelas serta mengandung tipuan yang keji. Karena pada saat berlangsungnya akad tersebut, pihak nasabah tidak mengetahui berapa nilai uang yang bakal disetor atau bakal diperolehnya. Mungkin saja baru membayar 1 atau 2 kali setoran, kemudian dia tertimpa musibah yang mengharuskan pihak perusahaan asuransi untuk membayar tanggungan yang berhak diperolehnya (yang lebih besar dari yang telah dibayar). Dan boleh jadi musibah itu tidak terjadi sama sekali sehingga dia membayar seluruh setoran dan tidak memperoleh sepeserpun (uangnya hilang begitu saja).
Demikian pula halnya dengan pihak perusahaan asuransi, dia juga tidak bisa memperkirakan berapa besar nilai uang yang bakal ditanggungnya atau diperolehnya pada setiap akad yang berlangsung. Sementara Rasulullah Shallallahu'alayhi wasallam telah melarang dalam hadits yang shahih dari jual beli yang mengandung ketidak-jelasan.6

 2. Akad asuransi dengan sistem perdagangan merupakan salah satu model perjudian, karena bentuknya berupa pertukaran harta yang mengandung resiko untung-untungan (adu nasib) yang berakhir dengan kerugian yang dia derita tanpa sebab/kesalahan yang menuntut demikian, atau berakhir dengan keuntungan yang diraih tanpa imbalan sedikitpun atau dengan imbalan yang tidak sebanding. Hal ini dikarenakan pihak nasabah mungkin saja baru membayar satu kali setoran kemudian terjadi musibah yang menimpanya, sehingga pihak perusahaan asuransi menderita kerugian dengan menanggung seluruh beban asuransinya. Dan boleh jadi tidak terjadi musibah apapun, sehingga pihak perusahaan asuransi beruntung dengan mendapatkan seluruh setoran asuransi tanpa imbalan sepeserpun (yang diberikan kepada pihak nasabah). Jika demikian perkaranya, maka jelaslah bahwa ini merupakan judi yang terlarang, masuk dalam keumuman firman Allah Ta'ala:

"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya (minum) khamr, berjudi, (beribadah kepada berhala-berhala, dan (mengundi nasib dengan) azlam adalah perbuatan kotor merupakan amalan setan, maka jauhilah agar kalian meraih keberuntungan (keselamatan)." (Al-Maidah: 90)
 
3. Pada akad asuransi dengan sistem perdagangan, seseorang akan mengambil harta orang lain tanpa imbalan (sama sekali atau yang sebanding). Sementara yang seperti ini hukumnya haram dalam akad pertukaran harta benda yang sifatnya perdagangan, dikarenakan masuk dalam keumuman larangan pada firman Allah Ta'ala:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara-cara yang batil, melainkan (hendaklah) dengan cara jual beli (perdagangan) yang kalian ridhai bersama." (An-Nisa`: 29)
 
4. Dalam akad asuransi terdapat ilzam (pengharusan) yang tidak diharuskan oleh syariat, karena pihak perusahaan asuransi tidak mendatangkan musibah atau menyebabkan musibah tersebut, yang ada hanyalah akad bersama pihak nasabah untuk menanggung beban musibah yang menimpanya -kalau ditaqdirkan terjadi- sebagai balasan uang yang disetorkannya (yang tidak sebanding). Padahal pihak perusahaan asuransi
tidak terkait sama sekali dengan musibah tersebut, maka perkara ini haram. Ini di antara dalil yang disebutkan oleh Majma' Al-Fiqhi Al-Islami yang dimuat dalam kitab Fiqh wa Fatawal Buyu' hal. 227 dan
seterusnya.
Dengan demikian, haram hukumnya bekerja di perusahaan asuransi. Karena hal itu berarti ta'awun (tolong-menolong) dalam kemungkaran sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman:

"Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan doas dan permusuhan." Dan besar kemungkinan bahwa upah yang dia dapatkan sebagiannya berasal dari uang hasil asuransi itu, yang pada hakikatnya adalah hasil judi. Semoga Allah Ta'ala memberikan taufiq kepada pemerintah dan kaum muslimin untuk menghentikan kegiatan asuransi yang haram ini dan menempuh jalan lain yang diridhai dan diberkahi oleh Allah.
Kompleksitas kehidupan selalu saja membawa manusia kedalam kejumudan yang berkepanjangan. Salah satunya adalah rasa kekawatiran yang muncul dalam diri manusia, baik kekawatiran atas keselamatan pribadi maupun atas harta benda yang dimilikinya. Fenomena tersebut selalu saja muncul dan mengepung manusia dalam manifestasi bahaya-bahaya yang memancing rasa takut yang penuh dengan histeria. Permasalahan tersebut telah disinggung (dijelaskan) dalam al-Qur’an, ketika Adam dan Hawa mendapatkan pesan Tuhan agar menjauhi pohon terlarang (khuldi). Allah berfirman yang Artinya:
"Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan didalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan meresa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas ,matahari didalamnya.(Qs: Thaha, (20):117-119 )”.

Deskripsi ayat tersebut, menganalogikan bahwa kehidupan dalam surga semuanya terjamin. Tidak ada ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, dari ancaman kelaparan, dahaga dan ketelanjangan, maupun ancaman terhadap jiwa, akidah, kehormatan, kekayaan, kebebasan, kezaliman, permusuhan, dan pemaksaan yang biasa terjadi dalam kehidupan dunia.
Pada subtansinya, kehidupan manusia tidaklah cukup semata dengan ihtiyar fisik untuk memenuhi kebutuhan jasmani di dalam berbisnis, dalam rangka penjaminan atas keberlangsungan hidup. Tetapi secara niscaya juga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohani, agar tidak terjadi dis-equilibrium dalam menuju proses kehidupan, yaitu dengan upaya mengintegrasikan kedua aspek tersebut, yang berjalan secara sinergis, dengan berpegang (disandarkan) kepada nilai-nilai normatifitas Agama (syari’at).
Pengetrapan prinsip equilibrium dalam Islam sangat dianjurkan, dipahami sebagai keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat yang harus diusung oleh pembisnis muslim dalam kaitan ini (Asuransi). Maka konsep keseimbangan ini, mengajak kepada para pengusaha muslim untuk dapat merealisasikan tindakan-tindakan praksis (dalam bisnis) yang dapat menempatkan diri seorang muslim dan orang lain pada kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Yakni berlaku adil dan tidak menzalimi (eksploitasi) orang lain atau kepada hal-hal lain yang mengandung unsur kemudlaratan bagi diri sendiri dan orang lain dalam praktek berbisnis.
Disisi lain, dalam berbisnis mengharuskan adanya etika bisnis secara Islam yang diletakkan di atas nilai-nilai normatifitas agama. Etika adalah nilai-nilai moral ideal yang harus diterapkan dalam bisnis Islam sebagai identitas bisnis yang berbasiskan Islam. Bisnis secara Islam adalah cara berbisnis yang bersih dari tindakan-tindakan manipulasi, eksploitasi, dan dari barang-barang ribawi. Tetapi yang paling prinsip dalam ciri berbisnis secara islami adalah dilalkukan atas dasar sukarela (Antaradhin) dan saling menerima (antaqabudhin) antara satu sama lain. Sehingga dari masing-masing yang melakukan transaksi bisnis menemukan utilitasnya secara optimal.

Permasalahanya adalah; bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat termanifestaikan kedalam kehidupan riil yang kompleks ini sebagai solusi alternatif dan dapat mengikis carut-marutnya persoalan kehidupan. Dalam pada ini “mengenai asuransi”, merupakan persoalan baru bagi Islam, dan bersifat ijtihadi, yang harus digarap oleh para intelektual muslim untuk dapat mengetahui status hukum, prosedur operasional, dan prinsip dasarnya secara Islam, serta dapat diterapkan pada halayak masyarakat secara totalitas. Maka hematnya, penulisan ini, secara fokus mengagendakan kepada persoalan-persoalan tersebut secara optimal sebagai obyek kajian.

B. Sejarah dan Perkembangan Asuransi

Secara historis, kajian tentang ‘pertanggungan’ telah dikenal sejak zaman dahulu dan telah dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. ini dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep “pertanggungan” yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong sudah ada bersama dengan adanya manusia.
Konsep asuransi pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi dimana manusia pada masa itu mengalami berbagai kesulitan dan ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada zaman Mesir Kuno selama raja Qifthir berkuasa, yaitu pada masa Nabi yusuf, yang menggambarkan keadaan negara dalam himpitan paceklik yang akan dihadapinya.
Praktek asuransi secara eksplisit telah dilakukan pada zaman Nabi, yaitu apa yang disebut dengan aqilah. Aqilah adalah kebiasaan orang arab zaman dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan membayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh tersebut yang disebut aqilah. Harus membayar uang darah atas nama pembunuh.
Maka, tidak diragukan lagi bahwa konsep tentang kerjasama itu, dahulu muncul berasamaan dengan manusia dan kebutuhannya akan bantuan dan saling kerjasama dengan yang lain. Tetapi asuransi dilihat dari sistem yang teratur, dan terlembaga baru muncul pada abad 14 M. yaitu asuransi kelautan yang menacakup asuransi jiwa, yang mana bahaya laut di “injlitara” pada tahun 1300 M. sangat membahayakan. Hal tersebut juga dialami oleh asuransi kelautan lain, yang merupakan pengalaman bersejarah, pada tahun 1347 M., tepatnya yang menjadi objek asuransi pada saat itu adalah kapal Sant Clear yang sedang beraktivitas menyebrangi lautan dari Jenewa menuju Mursiliya, dan jika dilihat dari segi persyaratan kelayakan pakai kapal tersebut, secara kondisional sudah doyong, sehingga berimplikasi terhadap batalnya kontrak asuransi yang telah disepakati.
Pada perkembangannya, ansurasi kelautan secara sistemik dan di per-undang-ungdangkan, muncul di Barselona pada tahun 1435. M. yang diikuti oleh negara Perancis pada abad 16. Kemudian muncul Luwis 14 pada tahun 1681 tentang ketetapan bagi pekerja bersama awak kapal. Sepanjang itu, kemuadian ahli hukum Peranscis, membuat hukum perasuransian laut yang termasuk bagian dari Undang-Undang Perdagangan Prancis tahun 1807. M. Senada dengan hal tersebut, muncul Undang-Undang peransurasian kelautan secara khusus, yang memberikan rumusan pengertian atas asuransi kelautan, yang meliputi batasan-batasan aspek peransurasian pada tahun 1601 di Inggris. Kemudian ada sekelompok jama’ah atau permusyawarahan Lawiduz di London yang berniat menjadikan asuransi kelautan berorientasikan kepada keuntungan.
Selain asuransi kelautan, juga muncul asuransi kebakaran pada tahun 1666. M yang didasari oleh hancurnya sebagian besar rumah-rumah yang ada di London akibat kebakaran, kemudian menyebar keseluruh Eropa pada abad 18 M. Hal ini yang mendasari munculnya pendanaan untuk asuransi kebakaran pada tahun 1717 M.
Pada aba ke 15 M. asaransi jiwa memisahkan diri atau menjadi independen, akan tetapi justru memunculkan gejolak permusuhan yang ditandai dengan adanya pertaruhan (rohan) dan perjudian (muqamarah). Sehinggga kehidupan manusia cenderung tunduk kepada perjudian. Luwis. 14, memunculkan ide penting untuk menagkal bahaya diluar moral. Sebagaimana para pembuat hukum yang memberikan hukuman, yang menunjukkan munculnya peraturan/ UU Letontine yang bersandar atas prinsip kesepakatan bersama, untuk menolak anggota diantara mereka yang kerjasama tahunan selagi masih hidup. Dan Apabila mati keluarga anggotanya, orang-orang yang kerjasama yang masih hidup, dan investor mendistribusikan kerjasama diantara orang-orang yang masih hidup saja, sistem ini bersandar kepada unsur penipuan, keuntungan dan spekulasi, yang orientasinya adalah mewujudkan keuntungan.
Sebaliknya muncul sistem lain di Inggris yang menyerupai asuransi kerjasama (ta’awun), dan asuransi gotong royong (takaful) dalam hal kematian diantara mereka, yang mana ditujukan bagi keluarganya yang mati. Pada perkembangan berikutnya, asuransi jiwa menyebar di negara Eropa sejak abad 18 bersamaan dengan berkembangnya asuransi jiwa di Prancis pada tahun 1787 M. dan Holandia pada tahun 1807, dan di Ceko pada tahun 1824, Jerman tahun 1829, dan di Suwis pada tahun1841.
Pada perkembangan berikutnya (abad modern), muncul sebuah jasa asuransi syari’ah yang keberadaannya tidak bisa lepas dari asuransi konvensional yang telah lama exist. Munculnya isu peransurasian syari’ah baru terjadi pada dekade tahun 70an. Hal ini dipicu oleh adanya fatwa pengharaman praktek asuransi konvensional oleh beberapa negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim. Seperti Malaysia mengharamkan asuransi konvensional pada tahun 1972, dan pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya asuransi syari’ah Islamic Insurance Co. Ltd. Di Sudan serta Arab Saudi. Lalu diikuti pula berdirinya beberapa lembaga asuransi di negara-negara non-muslim seperti Swiss, Luxembourg dan Bahamas pada tahun 1993.
Sementara di malaysia sendiri lembaga asuransi syariah baru berdiri pada tahun 1984. Dan Indonesia, asuransi takaful baru muncul sepuluh tahun kemudian, seiring diresmikannya PT Syarikat Takaful Indinesia. Berdirinya PT STI ini tidak lepas dari pemikiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang berkerjasama dengan Bank Muamalah Indonesia dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful dengan menyusun Tim Pembentukkan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). TEPATI inilah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir berdirinya Asuransi Takaful Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian).

C. Pengertian Asuransi

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata ‘pertanggungan’. John M. Echols dan Hassan Syadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Sedangkan asuransi dalam dunia Islam biasa dikenal dengan istilah takaful, ta’min, atau tadhamun.
Menurut istilah lain, asuransi juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 (tentang usaha perasuransian), atau merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Kepailitan, pada bab kesembilan Pasal 246, yang mana dalam undang-undang tersebut didefiisikan sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan, adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu pergantian kepadanya (tertanggung) karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.”
Dari rumusan pasal tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya asuransi atau pertanggungan adalah merupakan suatu ihtiyar dalam rangka menanggulangi adanya risiko. Adapun yang dimaksud dengan risiko adalah “setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui terlebih dahulu mengenai masalah yang akan datang”, yakni suatu peristiwa yang terjadi di luar kehendak pihak tertanggung yang menimbulkan kerugian baginya, yang mana risiko tersebut merupakan objek jaminan asuransi .

Menurut pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa asuransi syari’ah merupakan model perusahaan produk jasa pertanggungan atas resiko, yang mengikatkan dirinya kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan suatu pergantian kepada tertanggung atas suatu kerugian (klaim). Sedangkan dalam prakteknya, mendasarkan kepada prinsip ta’awun, dan selalu komitmen kepada prinsip-prinsip syari’ah, terutama kemaslahatan umat dan rahmat bagi alam.

D. Dasar Hukum Asuransi Syari’ah

Secara tekstual, dalam al-Qur’an tidak ada satupun ayat yang menerangkan tentang asuransi secara ekplisit. Tetapi dalam ayat lain dapat ditemukan dalil-dalil yang bersifat metaforis (qiyasi) yang secara arti sesuai dengan subtansi yang dimaksudkan oleh makna asuransi itu sendiri. Dasar asuransi juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 (tentang usaha perasuransian), dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246.
Prinsip dasar yang digunakan oleh asuransi syari’ah adalah berasaskan konsep "takaful" yang merupakan perpaduan tanggung jawab dan persaudaraan peserta. Perpaduan tanggung jawab adalah salah satu bentuk dari sikap saling tolong menolong (ta’awun) yang menjadi doktrin ajaran Islam. Juga bisa diartikan sebagai bentuk saling berbuat kejujuran, keadilan, dan saling menjamin.
Disisi lain dalil yang menjadi landasan asuransi syari’ah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2000, mengacu kepada dalil ayat al-Qur’an, dan dalil-dalil hukum lain, yaitu: Qs: al-Hasyr [59]: 18., al-Hadist,dan al-Qaidah al-Fiqhiyah:,

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Qs: al-Hasyr [59]: 18).

Dalam hadist Nabi juga dijelaskan, yaitu hadist riwayat Imam Muslim berikut:
Artinya: “orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-hambanya selama dia (suka) menolong saudaranya”. (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Kemudian dalam al-Aqaid al-Fiqhiyah juga dijelaskan berikut:
Artinya: “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. (al-Aqaid al-Fiqhiyah).

E. Prinsip Dasar Asuransi Syari’ah
Perusahaan asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan asuransi di mana pun berada. Menurut Hasan Ali, dalam penyelenggaraan perusahaan asuransi paling tidak harus meliputi 6 unsur prinsip dasar yang harus terkumpul secara utuh di antaranya:
(1). Unsur kepentingan yang dipertanggungkan (insurable interest),
(2). Kejujuran sempurna (utmost good faith),
(3). Penggantian kerugian (indemnity),
(4). Subrogasi (subrogation),
(5). sokongan (contribution) ,dan
(6). Kausa proksimal (proximate cause), yang sudah menjadi rukun bagi asuransi konvensional.
Tentunya secara niscaya, prinsip ini jauh lebih berbeda dibanding dengan prinsip-prinsip yang ada pada asuransi syari’ah.
Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika Islami secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syari’ah merupakan derivasi (minor) dari konsep ekonomi Islami. Sebagai lembaga yang islami, asuransi syari’ah tetap konsisten pada nilai-nilai normatif Islam, terlebih pada prinsip dasar pijakannya, mengharuskan menjadi fondasi asuransi syari’ah yang kokoh secara konstruksional, di atas bangunan nilai-nilai Islam.
Pada dasarnya asuransi syari’ah, terbangun atas sepuluh macam prinsip secara Islam, yaitu: tauhid (unity), keadilan (justice), tolong-menolong (ta’awun), kerja sama (cooperation), amanah (trustworthy/al-amanah), kerelaan (al-ridha), kebenaran (al-shidq), larangan riba, larangan judi (maisyir), dan larangan penipuan (gharar).
Inilah formulasi prinsip yang membatasi gerak lingkup perusahaan perasuransian syari’ah pada umumnya, yang secara konsep prinsipnya sangat konfrontatif dengan prinsip dasar yang digunakan oleh perasuransian konvensional. Dikarenakan pada asuransi syari’ah secara komprehensif menggabungkan dua dimensi nilai secara equilibrium “al-habl minallah wa al-habl minannas”, sebagai koridor untuk mencari keselamatan dunia dan akhirat.

F. Kontrak dalam Asuransi
Istilah kontrak atau “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian, yaitu pihak penanggung (perusahaan asuransi) mengikatkan diri kepada tertanggung (peserta asuransi), dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena suatu kerugian. Inilah kontrak (akad) yang pada umumnya digunakan oleh asuransi konvensional.
Secara spesifik asuransi syari’ah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang dimaksud adalah akad yang tidak mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulum (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Perjanjian (akad) yang digunakan dalam asuransi syari’ah atau takaful pada dasarnya merupakan suatu konsep investasi. Umumnya menggunakan akad mudharabah, namun ada juga (di Indosesia) yang menggunakan akad lainnya dalam hubungan perusahaan asuransi takaful dengan para pesertanya. Pada dasarnya akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah adalah mudharabah dan akad tabarru’ adalah hibah.
Dalam suatu akad, paling tidak harus menyebutkan hal tertentu yang harus diketahui antara kedua belah pihak yang saling mengadakan perjanjian dalam suatu akad asuransi takaful. Diantaranya: (1). hak dan kewajiban peserta dan perusahaan, (2). cara dan waktu pembayaran premi, (3). Jenis akad tijarah atau akad tabarru’, serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diadakan. Sehingga pada saat jatuh tempo yang diperjanjikan dalam suatu akad tersebut, tidak menimbulkan sengketa dari kedua belah pihak yang saling mengikat perjanjian.

Asuransi (ta’min) merupakan bagian dari jelajah hukum perjanjian yang menggunakan akad secara tersendiri, dan akad asuransi merupakan akad kontemporer yang tidak detemui pada zaman ulama terdahulu, juga tidak ditemukan nash khusus yang secara jelas mengharamkannya. Maka permasalahan tentang akad asuransi ini, merupakan permasalahan ijtihadi, yang harus terus digali untuk mencari posisi hukum secara proporsional menurut hukum Islam.
Dalam suatu kontrak mengharuskan adanya suatu persyaratan tertentu, untuk mendapatkan suatu keabsahan kontrak tersebut secara yuridis. Maka suatu kontrak akan dianggap sah apabila sudah memenuhi persyaratan tertentu yang dimaksudkan, “termasuk asuransi”, sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat sahnya kontrak menurut pasal 1320 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (adanya kesepakatan kehendak).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (cakap berbuat).
3. Suatu pokok persoalan tertentu (adanya hal tertentu).
4. Suatu sebab yang tidak terlarang (kausa yang halal).
Adapun hal-hal lain yang dapat menyebabkan suatu kontrak itu dianggap tidak sah dan batal secara hukum, apabila dalam suatu kontrak tersebut keluar (tidak memenuhi) dari regulasi keabsahan kontrak yang sudah diatur, sebagaimana sudah tertera dalam KUH Perdata pasal 1320 yang telah disebut di atas.
Sedangkan menurut Asuransi Islam “al-ta’min”, dalam sebuah kontrak atau akad harus memenuhi beberapa rukun yang telah ditentukan sebagaimana penjelasan berikut:
Menurut versi asuransi Islam, dalam sebuah akad harus memenuhi tiga komponen rukun di atas. Apabila salah satu di antara tiga rukun tersebut tidak terpenuhi, maka, secara pasti kontrak atau akad yang dilakukan tersebut batal demi hukum, atau tidak sah menurut akad perspektif hukum Islam.

G. Klasifikasi Jenis Asuransi
Pada literatur ekonomi Islam kebanyakan para ulama membagi asuransi kedalam beberapa jenis asuransi secara garis besar, yakni asuransi atas individu dan asuransi atas benda. Tetapi kadang juga terdapat jenis asuransi lain yang disebut dengan asuransi pertanggungjawaban. Asuransi individu adalah seperti asuransi jiwa yang meliputi; jaminan atas bencana, pendidikan, pembiayaan, dana haji, dan jaminan atas kesehatan. Jika asuransi jiwa inten dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat individual (subjektif), maka asuransi atas benda, memfokuskan intensitasnya kepada hal-hal yang bersifat kebendaan (material), seperti asuransi kebakaran atas rumah, kendaraan bermotor, pengangkutan, dan lain-lain.
Sedangkan asuransi pertanggungjawaban adalah asuransi yang fokus sasarannya berkaitan dengan tanggungjawab seseorang atas suatu kejadian yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Maka orang yang mengadakan penjanjian dengan perusahaan asuransi tersebut mendapat ganti rugi atas klaim tersebut, tetapi “dengan beberapa syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan jasa asuransi”.
Secara spesifik dalam asuransi syari’ah “al-ta’min” terbagi atas tiga jenis yaitu:asuransi komersial,asuransi gotong-royong.
Sedangkan dalam syarikat takaful, juga mengklasifikasikan takaful kedalam dua jenis bentuk perlindungan takaful, yaitu (1). Takaful keluarga (asuransi jiwa), dan (2). Takaful umum (asuransi umum).
Takaful keluarga adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial kepada peserta takaful dalam menghadapi bencana kematian, dan kecelakaan yang menimpa kepada peserta takaful. Sedangkan takaful umum adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial kepada peserta takaful dalam menghadapi bencana atau kecelakaan harta benda milik peserta takaful.
Dalam pendapat lain, tentang jenis-jenis asuransi dapat ditemukan dalam BAB III Pasal 3 undang-undang nomor 2 tahun 1992, yang mana dalam Pasal tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1) Asuransi Kerugian. Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas keruguian kehilangan manfat, dan tanggun jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
2) Asuransi Jiwa. Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3) Re-Asuransi. Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan.

H. Manajemen Resiko dalam Asuransi
Az-Zarqa mengemukakan bahwa pada dasarnya asuransi adalah suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko. Sedangkan resiko adalah hal yang paling dihindari oleh manusia. Karena sudah menjadi watak manusia untuk selalu menghindar dan meminimalisir resiko dalam setiap aktivitas kehidupannya. Dalam hal ini, Islam tidak bertentangan dengan prinsip manajemen resiko, selama praktek tersebut tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir (gambling), riba (interest),dzulm (eksploitasi).

Ada berbagai cara bagaimana manusia dapat menangani resiko terjadinya musibah. Pertama: dengan menanggungnya sendiri (risk retention).
Kedua : mengalihkan resiko kepada pihak lain (risk transfer)., dan
Ketiga : mengelolanya secara bersama-sama (risk sharing).

Pada dasarnya asuransi syari’ah senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti musibah bukanlah masalah individual (particular risk), melainkan masalah kelompok atau masyakat (fundamental risk).
Dalam asuransi syari’ah, tidak mengenal pengalihan resiko (transfer risk), yang dipakai adalah pembagian resiko (sharing risk). Konsep pembagian resiko, yang saling menaggung resiko adalah para peserta itu sendiri, bukan perusahaan asuransi. Sehingga perusahaan asuransi bukan berfungsi sebagai penaggung, tetapi berfungsi sebgai pemegang amanah. Perihal polis peserta tidak membelinya, tetapi memberikan donasi atau derma (dalam asuransi syari’ah biasa disebut dengan tabarru’) yang diniatkan untuk tolong-menolong di antara peserta bila terjadi musibah, juga tidak terjadi pengalihan kepemilikan dana, yang ada hanyalah pengumpulan dana atau pooling of fund.

I. Polis, Premi, dan Klaim Asuransi
Polis asuransi merupakan isi dari kontrak asuransi. Dalam polis asuransi tersebut, diperinci hak-hak dan kewajiban dari pihak penanggung dan tertanggung, syarat-syarat dan prosedur pengajuan klaim jika terjadi peristiwa yang diasuransikan, prosedur dan cara pembayaran premi oleh pihak tertanggung, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.
Secara teoritis, kontrak asuransi adalah kontrak yang bisa dinegosiasikan, meskipun dalam kenyataannya banyak pihak asuransi tidak berkenaan untuk menegosiasikan isi polis asuransi, dan sudah merupakan perjanjian standar (baku) sehingga tidak akan diubah lagi, dan bagi pihak tertanggung berada pada posisi “merima atau menolak” perusahaan asuransi tersebut (take it or leave).
Premi secara etimologis adalah uang hadiah karena hasil kerja yang memuaskan (satisfied). Tetapi terma ini, dalam asuransi sebagai uang jaminan finansial yang dibayarkan secara advance atas kerugian yang akan terjadi pada masa mendatang. Adapun jumlah nominal sesuai dengan kesepakatan kontrak yang telah disepakati.
Pembayaran (premi) menurut asuransi syari’ah, didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru’. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syari’ah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa, dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-bagikan kepada peserta. Sedangkan premi yang berasal dari jenis tabarru’ juga dapat diivestasikan sebagaimana jenis akad mudharabah.
Sedangkan “klaim” adalah permintaan ganti rugi dari tertanggung kepada penanggung, sesuai dengan kerugian yang dipertanggungkan berdasarkan polis asuransi. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati diawal perjanjian. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan. Klaim dalam asuransi syari’ah berdasarkan atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya. Sedang klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan asuransi, sebatas yang disepakati dalam akad.

J. Diferensiasi Sistem Operasional dalam Asuransi
Perbedaan asuransi syari’ah dan konvensional meliputi:
1) Keberadaan Dewan Pengawaas Syari’ah (DPS) dalam perusahaan asuransi syari’ah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya sejalan dengan syaria’at Islam.
2) Prinsip asuransi syari’ah adalah takafulli (tolong-menolong), sedangkan prinsip asuransi konvensional tabaduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3) Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari’ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syari’ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedang pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4) Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas.
5) Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah diiklaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asurasi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6) Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan, jika tidak ada klaim tidak mendapatkan apa-apa (dana hangus).

System Operasional dan Perbedaan
Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
Unsure Pembeda Asuransi Syari’ah Asuransi Konvensional
Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) Ada DPS yang berfungsi untuk mengawasi prinsip operasional yang digunakan, produk yang ditawarkan, dan investasi dana Tidak ada DPS (Dewan Pengawas Syari’ah).
Akad Takaful (saling menjamin atau saling menolong) di antara peserta serta Ansuransi Tabaduli (Tukar Menukar Atau Jual Beli) Antara Peserta Asuransi Dengan Perusahaan Asuransi
Investasi Dana Berdasarkan syari’ah dengan prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), serta murabahah, al-ba’i bitsaman ‘ajil, salam, isti’na, atau pengembangan akad ijarah. Berdasarkan bunga
Kepemilikan Dana Dana yang terkumpul dari peserta, tetap milik peserta, sedangkan perusahaan Asuransi hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya Dana yang tekumpul dari peserta menjadi milik perusahaan Asuransi. Perusahaan bebas menentukan investasinya.
Pembayaran Klaim Dari rekening peserta, rekening tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta, yang sejak awal sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah, serta bagian hasil investasi. Dari rekening dana perusahaan.
Keuntungan (Profit) Dibagi antara perusahaan Asuransi dengan peserta (sesuai prinsip bagi hasil) Seluruhnya menjadi milik perusahaan.


K. Sekilas Analisis: Multi Prespektif Atas Posisi Hukum Asuransi
Masalah asuransi, bukan sekedar menjadi wacana baru bagi negara-negara belahan dunia (Islam), tetapi lebih merupakan fenomena riil terkini, yang menimbulkan banyak polemic yuridis pada kancah intelektual (ulama fiqh) Islam. Polemic yuridis ini muncul, berangkat dari tidak adanya suatu dalil (nash) al-Qur’an dan al-Hadist satu pun yang menentukan serta mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu masalah asuransi ini di dalam Islam termasuk bidang hukum “ijtihadiyah” artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal atau haram masih diperlukan peranan akal pikiran para ulama ahli fiqh melalui ijtihad.
Berbagai perdebatan di kalangan para ulama fiqh (baik ulama klasik maupun modern), tentang asuransi tersebut, ada empat point prespektif terpeting yang signifikan secara umum (global), berkaitan dengan istimbat hukum dalam pengisbatan hukum asuransi itu sendiri. Pertama: bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan cara operasinya haram. Padangan ini didukung oleh beberapa ulama, di antaranya: Yusuf al-Qordlowi, Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Bakhit al-Muthi’. Menurutnya alasan diharamkannya asuransi dikarenakan beberapa hal:
1. Asuransi mengandung unsur perjudian (maisir/gambling) yang dilarang Islam.
2. Asuransi mengandung unsur ketidakpastian (ghurur).
3. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam.
4. Asuransi mengandung unsur eksploitasi (kezaliman) yang bersifat menekan.
5. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak secara tunai.
6. Asuransi obyek bisnisnya dituangkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului taqdir Tuhan.
Selanjutnya, senada dengan pendapat ini, setelah melakukan pengkajian secara sekasama dan tukar menukar pandangan, secara aklamasi Dewan Fiqih Islam minus Syaikh Mustafa az-Zarqa, menetapkan pengharaman asuransi (Niaga) dengan segala ragam jenisnya, baik yang menyangkut jiwa barang komoditas, maupun yang lain, berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan pedoman dalam istimbat hukumnya.
Kedua: kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Pendukung pandangan kelompok kedua, antara lain, Abdul Wahab Khallaf, Muh. Yusuf Musa, Abdurrahcman Isa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi.

Menurut pandangan kelompok kedua, alasan yang memperbolehkan asuransi adalah:
1. Tidak ada ketetapan nash, al-Qur’an maupu al-Hadist yang melarang asuransi.
2. Terdapat kesepakatan kerelaan dari keuntungan bagi kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung.
3. Menguntungkan kedua belah pihak
4. Asuransi termasuk kategori koperasi (syirkah ta’awuniyah) yang diperbolehkan dalam Islam.
5. Mengandung kepentingan umum (maslahah amanah), sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.

DR. Abdul Ghani al-Rajhihi, juga sepakat dengan pendapat yang menghalalkan perusahaan jasa asuransi. Tetapi ia menggunakan prespektif yang berbeda atas penghalalan perusahaan jasa asuransi, sebagai argumentasinya. Dalam kitab: “Al-Tijarah fi Dlau’i al-Qur’an wa al-Sunnah”, ia mengatakan:
“Asuransi biasanya digunkan pada pengiriman barang, pemilik barang meng-asuransi-kan barang mereka keapda perusahaan asuransi dengan presentase tertentu atas nilai barang yang dikirimkan, pemilik barang meminta jaminan atas keselamatan barangnya dalam pengiriman. Jika barang yang dikirimkan selamat, maka pemilik barang tidak mendapatkan apa-apa, premi yang telah dibayarkan dalam prosentase tertentu diawal, menjadi milik pihak asuransi. Namun jika terjadi kerusakan/tenggelam atas barang yang dikirim, maka pihak pemilik barang berhak mendapatkan klaim dari pihak asuransi. Jika premi yang dibayarkan pemilik barang diindetikkan dengan jualah (upah yang diberikan karena telah menyelesaikan sesuatu) atau ujrah (upah) atas amal yang telah dilakukan, yaitu menjaga dan memelihara pengiriman barang, dan jika klaim yang dibayarkan oleh pihak asuransi jika terjadi kerusakan, sebagai ganti atas tugasnya untuk menjaga, akan tetapi tidak menjaganya, maka semua yang dilakukan itu halal dan sesuai dengan muamalah Islam.

Ketiga: Kelompok ulama yang berpendapat bahawa asuransi yang diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam. Pendukung pandangan ini adalah: Muhammad Abu Zahroh, dengan alasan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan, karena jenis asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang di dalam Islam. Jelasnya, asuransi model ini termasuk model yang fleksibel, yang diproyeksikan kepada nilai-nilai kemaslahatan atau maqosid syar’i-nya yaitu ideal moral. Sehingga diasumsikan tidak saklek dalam pengambilan sebuah hukum dan terkesan lebih kontekstual. Atau pengharamannya dalam kondisi tertentu (dan membolehkannya dalam kondisi tertentu pula).
Muhammad Abu Zahroh, bisa dikatakan sebagai ulama yang moderat dalam hal ini, karena ia mencoba mengambil garis tengah, sehingga ditemukan sebuah fleksibilitas hukum, bukan berarti mempolitisir hukum, melainkan mencari hakekat subtansial menurut makna kandungan yang dikehendaki oleh hukum, dalam kebolehan dilakukannya praktek jasa asuransi.

Keempat: kelompok ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi termasut subhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau yang menghalalkan asuransi, oleh karena itu, harus berhati-hati ketika dalam berhubungan dengan permasalahan asuransi.
Terlepas dari empat pandangan di atas, umat Islam di Indonesia bersikap mendua. Di satu pihak tuntutan kebutuhan akan masa depan, asuransi merupakan kebutuhan setiap orang, sehingga keikut sertaannya di dalam asuransi sangat urgen. Di lain pihak keterlibatan orang Islam di dalam usaha asuransi belum bisa secara optimal, karena masih ragu-ragu tentang kedudukan hukumnya di dalam Islam.
Maka, hipotesis yang paling mendasar menjelaskan bahwa: asuransi merupakan tuntutan masa depan, karena asuransi mengandung banyak maslahat dan manfaat, termasuk diantaranya adalah: membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari risiko kerugian yang mungkin timbul. Menciptakan efisiensi perusahaan (business effisiency)., sebagai alat penabung (saving) yang aman dari gejolak ekonomi., dan sebagai sumber pendapatan (earning power), yang didasarkan pada financing business. Sedangkan keraguan umat Islam terhadap kedudukan asuransi, tidak lain adalah karena unsur penyebab pengharaman asuransi sendiri, sebagaimana pemaparan yang sudah terjelaskan di atas tersebut.

L. Kesimpulan

Kajian tentang asuransi merupakan persoalan yang tergolong baru bagi Islam. walaupun secara konseptual sudah ada semenjak zaman sebelum Masehi, tepatnya pada masa kekuasaan raja Qiftir; yaitu era Nabi Yusuf, dan telah dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad, yang disebut dengan aqilah. Aqilah yang diterapkan pada zaman Nabi, merupakan peninggalan budaya dan adat istiadat orang-orang terdahulu. Karena sebelum Islam datang, aqilah sudah ada terlebih dahulu, yaitu penebusan dengan pembayaran uang yang diberikan oleh ahli waris kerabat terdekat pembunuh, dengan atas nama Si-pembunuh kepada keluarga terbunuh.
Secara historis Nabi pernah melakukan praktek tersebut, yang dimaksudkan sebagai diyat bagi pembunuh. Tetapi permasalahan yang dihadapi adalah berbeda dengan konteks sekarang. Asuransi bukanlah jaminan “diyat” bagi seorang pembunuh yang dibayarkan setelah terjadinya pembunuhan “karena kesengajaan”, atau bukan seperti halnya yang pernah terjadi pada masa Nabi Yusuf yang mengupayakan penanggulangan atas bencana paceklik di masa mendatang “musibah secara pasti diketahui akan terjadi”.

Asuransi yang ada sekarang adalah terbentuk dalam sebuah lembaga yang menawarkan produk jasa untuk menanggulangi resiko yang akan terjadi di masa mendatang dengan membayar sebuah premi atas klaim atau kerugian, Karena ketidak-sepurnaannya seorang atas musibah yang akan terjadi. Inilah yang dimaksud dengan permasalahan baru, yang secara hukumnya belum ditemukan dalil nash al-Quran dan al-hadist. Sehingga menjadi permasalahan yang bersifat ijtihadi.
Aspek-aspek yang menjadi permasalahan ijtihadi dalam asuransi adalah adanya unsur ekploitasi, manipulasi, dan unsur ribawi. Berbeda dengan maksud asuransi pada masa zaman dahulu. Karena di dalamnya tidak ada unsur ekploitasi, manipulasi dan lain-lain. Itu hanyalah sebatas konsep ta’awuniyah yang sangat berbeda secara kontekstual dan prosedur operasionalnya. Sehingga ada pendapat lain yang mengasumsikan bahwa asuransi tidak dikenal pada zaman Nabi.
Hematnya, semua bentuk asuransi syari’ah, menurut yurisprudensi Islam, diperbolehkan “kecuali asuransi konvensional”. Karena secara kronologis kemunculan asuransi syari’ah adalah sebagi responsibility bagi asuransi konvensional. Disisi lain asuransi syariah secara konsisten bersikap kukuh berdasar kepada normatifitas agama (al-Quran dan al-Hadist). Tetapi yang paling urgen dalam asuransi syari’ah, selalu melihat dan mengetrapkan tujuan dari pada al-maqosid asy-syari’ah, yang dalam asuransi syari’ah tersebut selalu mengedepankan prinsip ta’awun, antaradhin, lil maslahah dan la tazdlimun wala tuzdlamun., yang sekaligus sebagai fondasi atas diperbolehkannya praktek asuransi syari’ah.

Muhammad Syakir Sulla, Asuransi Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.Islam memiliki sebuah sistem yang mampu memberikan jaminan atas kecelakaan atau mushibah lainnya memalui sistem zakat. Bahkan sistem ini jauh lebih unggul dari asuransi konvensional karena sejak awal didirikan memang untuk kepentingan sosial dan bantuan kemanusiaan. Sehingga seseorang tidak harus mendaftarkan diri menjadi anggota dan juga tidak diwajibkan untuk membayar premi secara rutin. Bahkan jumah bantuan yang diterimanya tidak berkaitan dengan level seseorang dalam daftar peerta tetapi berdasarkan tingkat kerugian yang menimpanya dalam musibah tersebut. Dana yang diberikan kepada setiap orang yang tertimpa musibah ini bersumber dari harta orang-orang kaya dan membayarkan kewajiban zakatnya sebagai salah satu rukun Islam. Di masyarakat luar Islam yang tidak mengenal sistem zakat, orang-orang berusaha untuk membuat sistem jaminan sosial, tetapi tidak pernah berhasil karena tidak mampu menggerakkan orang kaya membayar sejumlah uang tertentu kepada baitul mal sebagaimana di dalam Islam. Yang tercipta justru sistem asuransi yang sebenarnya tidak bernafaskan bantuan sosial tetapi usaha bisnis skala besar dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sisi bantuan sosial lebih menjadi lips service (penghias) belaka sementara hakikatnya tidak lain merupakan pemerasan dan kerja rentenir. Mekanisme asuransi konvensional yang mereka buat ini adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi untuk memberikan kepada pesertanya sejumlah harta ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai konsekuensi/imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dari peserta.
Jadi asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat syar`i, antara lain :
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil. Akad asuransi ini adalah akad idz?an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung. Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau di kurangi. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek ribawi. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. Ihktilaf sebagian ulama yang membolehkan asuransi Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:

a. Pendapat pertama : Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti
Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: Asuransi sama dengan judi Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti. Asuransi mengandung unsur riba/renten. Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

b. Pendapat Kedua : Membolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan: Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang melarang asuransi. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Saling menguntungkan kedua belah pihak. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil) Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah). Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

c. Pendapat Ketiga : Asuransi sosial boleh dan komersial haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Perbedaan asuransi syariah dan konvensional Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal: 

1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan). 
2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. 
3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.

6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhyiddin al-Qarahdagy, al-Ta’min al-Islam: Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah, muqaranah bit-Ta’min al-Tijari ma’a al-Tathbiqat al-Amaliyah, Beirut, Libanon: Sirkah Daar al-Basyair al-Islamiyah, 1983.
Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
A partanto, Pius, dan al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer Surabaya: Arkola, 1994.
al-Asqalani, Ahmad Ibnu Hajar, Fathul Bari. Vol. 12. Lahore Pakistan: Nashrul Kutub Islamiyah, 1981.
Badroen, Faisal dkk, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006.
Billah, Moh Ma’sum, Islamic Insurance (takaful), Selangor: Ilmiah Publisher, 2003.
Briefcase Edukasi Profesional Syari’ah, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, disuting oleh Muhammad Firdaus DN. dkk., Jakarta: Renaisan, 2005.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, cet ke-3., Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Januari, Yadi, Asuransi Syari’ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2005.
KA Fallasufa (STP Sabda), Asuransi dalam Perspektif Syari’ah, Judul Asli: Nudzum at-Ta’min al-Mu’ashirah fi Mizan Asy-Syari’ah al-Islamiyah, Karya Husain Husain Syahatah, Jakarta: AMZAH, 2006.
al-Mishri, Abdul Sami’, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
M. Echols, John dan Syadilly, Hassan, Kamus-Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990.
Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, penerj: Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, cet ke-1., Jakarta: Lentera, 1999.
Muthahhari, Murtadha, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba, terj., Iwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-PERS, 1974.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: Pembimbing, 1958.
Perwataatmadja, Karnaen dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonsia Jakarta: Prenada Media, 2005.
Pasaribu, Khairuman dan K. Lubis, Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarata: Sinar Grafika, 2004.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006.
Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Sulla, Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Sudarsono, Heri, dan Prabowo, Heri Yogi, Istilah-Istilah Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta, UII-Perrs, 2006.
Bey Sapta Utama, Esensi Asuransi Islam., http:/asuransi-syari’ah. Blogspot.com/download tanggal 14/11/2007.
Sekian, Semoga bermanfaat...
Terima Kasih Telah mengunjungi Kami...
Wassalam..
Previous
« Prev Post

Related Posts

Jumat, April 12, 2013

0 comments:

Posting Komentar