KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia –
Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.
Makalah
ini berjudul Hukum Islam di Asia
Tenggara yang dirangkum dari beberapa buku yang berasal dari beberapa
penulis di Indonesia. Makalah ini berisi Perkembangan Hukum Islam serta Sejarah
Pertumbuhan Hukum – Hukum Islam di Indonesia baik dari Pertumbuhan Sebelum Masa
Penjajah, Pertumbuhan Pada Masa Penjajahan dan Pertumbuhan Pada Masa
Kemerdekaan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan
detail setiap rincian sejarah Hukum Islam di Asia Tenggara. Dilakukan rangkuman
ini disamping tugas juga agar lebih memberikan kemudahan dalam menelaah Hukum
Islam di Asia Tenggara. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih dengan harapan
agar makalah ini berguna bagi siapapun yang membaca. Pada akhirnya diharapkan
adanya masukan demi kesempurnaan makalah ini.
Langsa, Maret 2009
BAB
I
PENDAHULUAN
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan
artinya bahwa keberadaan Hukum Islam di Indonesia semakin eksis sampai saat
ini. Bagaimanapun juga jumlah pemeluk agama Islam yang mencapai 95 persen dari
total penduduk Indonesia yang berjumlah lebih kurang 200 juta jiwa mempengaruhi
perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas,
yang tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Dalam
tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut
sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas
teritorial kenegaraan. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syariat yang
dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama yang berupa hukum – hukum
menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya.
Sebagai tuntunan Allah SWT yang diantaranya berupa hukum – hukum Islam telah
disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW dan terinci dalam Al – Quran dan Hadist
Nabi.
Karena
itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam
di tengah – tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan –
pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia
itu terhadap penerapan hukum Islam di tanah air misalnya dapat dijawab dengan
memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Disamping
itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan
sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan
strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan mengakrabkan bangsa ini
dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai benturan dengan
tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan – kebijakan politik
kenegaraan, serta tindakan – tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam
Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa
datang. Setidaknya sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah
masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai.
Sikap
masyarakat yang telah menjalankan syariat Islam tersebut direspon pemerintah
dengan keluarnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah
Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
Serta beberapa undang – undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung
memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakui
keberadaan Bank Syariah dengan prinsip – prinsip syariahnya. Putusan – putusan
Hakim, terutama Hakim Agama dan keputusan Mahkamah Agung sudah merujuk kepada
undang – undang diatas serta memperhatikan hukum yang berlaku di tengah
masyarakat khususnya hukum Islam.
Juga
tampak dari adanya kelembagaan Negara dan aktifitasnya yang menunjukkan
akomodatifnya terhadap pelaksanaan hukum Islam seperti Departemen Agama dan
Majelis Ulama Indonesia dengan fatwa – fatwanya. Organisasi – organisasi
kemasyarakatan dan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat memberikan andil
yang sangat besar bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia.
BAB
II
HUKUM
ISLAM DI ASIA TENGARA
A. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1.
Pengaruh Kultural
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa kultur adalah kebudayaan atau pembudidayaan. Kultur suatu masyarakat
tentu akan berpengaruh terhadap semua sistem yang ada dalam masyarakat itu.
Sebagai sebuah Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, tentu hukum Islam tidak
lepas dari pergesekan dengan budaya masyarakat setempat.
Pergesekan budaya masyarakat dengan
Islam seiring dengan proses Islamisasi Nusantara atau masuknya Islam di kawasan
Asia Tenggara. Islam di kawasan Asia Tenggara memiliki sejarah paling tidak
tujuh abad dan selama waktu itu Islam telah dipengaruhi oleh lingkungan Asia
Tenggara yang unik. Dengan kata lain, Islam telah menjadi suatu tradisi
tersendiri yang secara kukuh tertanam dalam konteks sosial, ekonomi dan politik
selama tujuh abad sejarah kawasan ini.
Hukum Islam yang muncul di Indonesia
tidak lepas dari dinamika sejarah Negara Indonesia sendiri. Jauh sebelum
kedatangan penjajah dari Eropa, perkembangan Islam dengan munculnya lembaga
pendidikan agama seperti surau, langgar, madrasah dan pesantren telah
memberikan kontribusi pengetahuan sekaligus kultur agamis yang kuat di
masyarakat.
Pada saat itu, pusat – pusat
pendidikan Islam di atas merupakan sumber utama informasi dan penyuluhan
masyarakat. Mengajarkan berbagai keilmuan, utamanya ilmu agama yang didominasi
kajian fikih kajian yang tidak lepasdari permasalahan hukum Islam. Dan satu –
satunya lembaga pendidikan yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat bawah.
Sebuah komunitas yang menjadi sentral berkembangnya sebuah budaya.
Di dalam masyarakat inilah Islam memperkenalkan
tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar – dasar perilaku sosial
baru yang lebih sama rata dibanding dengan sebelumnya. Juga menyumbangkan
konsepsi baru hukum untuk Indonesia dan telah mengubah ikatan kesukuan dan
kedaerahan menjadi ikatan universal. Apalagi hukum Islam bersifat elastis,
memperhatikan berbagai segi kehidupan dan tidak memiliki dogma yang kaku, keras
dan memaksa. Elastis disini bukan berarti hukum Islam bisa menjustifikasi apa
saja tetapi keberadaan pranata ijtihad di dalam hukum Islam merupakan suatu
jaminan pasti bahwa hukum Islam akan senantiasa bersikap antisipatif terhadap
perkembangan sosial. Tak pelak lagi, dalam perkembangan berikutnya memberikan
andil yang sangat besar bagi perkembangan Hukum Islam di Indonesia.
Pada perkembangan awal hukum Islam
yang mengiringi perjalanan berkembangnya agama Islam di wilayah nusantara,
peran sultan atau raja menjadikan hukum Islam menyatu dengan tradisi sangat
dominan. Sebab para sultan atau raja – raja menjadikan hukum Islam sebagai
hukum resmi kerajaan – kerajaan Islam. Ibnu Batutah pengembara asal Maroko yang
pada tahun 1345 singgah di Samudera Pasai menyatakan bahwa Sultan Al Malik Al
Zahir pandai dalam bidang Fiqh Mazhab Syafi’i. Mazhab yang pada perkembangan berikutnya
menjadi acuan pembahasan hukum Islam dalam perundang – undangan di Indonesia.
Sejarah mencatat bagaimana pada masa
penjajahan Belanda, Hukum Islam telah menyatu dalam kehidupan sehari – hari dan
membudaya dalam lingkungan masyarakat pribumi. Sampai – sampai Instruksi
Gubernur Jenderal kepada Para Bupati di Pantura Jawa agar memberi kesempatan
kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan perdata dengan Hukum Islam.
Juga keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) Nomor 19 tanggal 24 Januari
1882 yang diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 Nomor 12 tentang pembentukan
Pristerraad (Pengadilan Agama) didasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut
paham receptio in complexu, yaitu berarti bahwa yang berlaku bagi pribumi
adalah hukum agama yang dipeluknya.
2.
Pengaruh Politik
Berbicara politik berarti berbicara
masalah kenegaraan. Suatu bahasan yang menyentuh masalah kebijakan suatu pemerintahan.
Dinamika politik suatu pemerintahan sangat berpengaruh terhadap semua kebijakan
yang ada. Termasuk kebijakan perundang – undangan yang berlaku. Sebelum
Indonesia merdeka, sistem hukum nasional terdiri dari beberapa subsistem hukum,
yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berlaku UUD 1945, sistem hukum Indonesia
berubah. Ini karena Indische Staatsregeling diganti dengan UUD 1945.
Hukum Islam dalam perpolitikan Indonesia
mengalami perjalanan yang cukup panjang dan berliku. Bermula dari pembahasan
dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia maupun
dalam siding – sidang konstituante. Baik pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945
merupakan sumber hukum, tidak saja bagi perundang – undangan yang bersifat
duniawi tetapi juga yang bersifat ukhrowi. Dari sini jelas, bahwa nilai – nilai
hukum Islam yang mengandung dasar – dasar dan norma – norma untuk mengatur
kehidupan lahiriah maupun batiniah dapat diberlakukan sebagai pelaksanaan UUD
1945.
Selanjutnya untuk mengakomodasi
berbagai kepentingan dan kemajemukan tatanan hukum, pemerintah harus mempunyai
political will. Karena itu kemudian mulai bermunculan produk UU yang
mengakomodir hukum Islam, bahkan menjadi bahan baku pembentukan hukum nasional.
Tranformasi hukum Islam ke dalam perundang – undangan nasional merupakan hasil
interaksi antara para ulama dengan elite politik atau penguasa. Baik tersurat
maupun tersirat, banyak asas – asas hukum Islam yang terserap dalam hukum
nasional. Suatu kenyataan yang akan memberikan prospek ke depan lebih baik,
dimana hukum Islam akan menjadi inspirasi utama dalam pembangunan hukum
nasional.
Memang bagaimanapun juga masalah
agama/Islam, politik dan Negara selalu terkait satu sama lainnya. Kalimat Islam
terkandung di dalamnya soal – soal politik dan hukum tata Negara. Proses
politik yang panjang akhirnya membuahkan perundang – undangan yang berlebel Islam,
misalnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang di dalam adanya Piagam Jakarta, UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan
agama dan sebagainya. UU terbaru yang muncul akibat dari perbuatan konstelasi
politik nasional adalah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Syariat
Islam di Aceh dan UU Nanggroe Aceh Darussalam yang memberikan kewenangan khusus
kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang peradilan. Suatu
kewenangan yang mustahil terjadi di era rezim Orde Baru.
3.
Pengaruh Struktural
Proses politik dalam suatu Negara akan
menghasilkan banyak kebijakan di antaranya adalah perundang – undangan.
Perundangan yang merupakan produk hukum in abstracto memerlukan komponen lain
yang akan menjadikannya ke dalam bentuk in concreto. Atau memerlukan instrumen
struktural yang mengejawantahkannya di tengah masyarakat.
Dari sini kemudian muncul institusi
atau lembaga yang melahirkan perundang – undangan atau peraturan – peraturan
yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Seperti di antaranya Departemen
Agama, Departemen Hukum dan HAM RI, Mahkamah Agung yang banyak mempengaruhi
proses berkembangnya hukum Islam di Indonesia. Contoh yang paling mononjol
adalah inisiatif Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam merumuskan Kompilasi
Hukum Islam. Kemudian dalam bentuk produk pengadilan sebagai upaya penerapan
hukum Islam dalam perkara tertentu, baik melalui Peradilan Umum maupun
Peradilan Agama. Seperti produk pengadilan yang terhimpun dalam kumpulan
yurisprudensi antara lain Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Dengan demikian
hakim memiliki peran penting dalam pembentukan Hukum Islam.
B. SEJARAH PERTUMBUHAN HUKUM – HUKUM
ISLAM DI INDONESIA
1.
Hukum Islam Pada Masa Pra
Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan
nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama Hijriyah atau
pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Dugaan bahwa Islam telah datang
ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, karena pada tahun 650 M yaitu pada
masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan sudah ada orang Islam yang datang ke
Sumatera. Sebagai gerbang masuk ke dalam
kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera lah yang kemudian dijadikan
sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan
gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak,
Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di
wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya Kerajaan Islam pertama di tanah
air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai
yang terletak di Aceh Utara. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga
ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa Kerajaan Islam
berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari
Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di Pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak,
Mataram dan Cirebon. Kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Ternate serta Tidore.
Sedang masuknya Islam ke tanah Jawa
diperkirakan sudah terjadi pada sekitar abad ke 10 M, melalui kota – kota
pesisir. Islam telah masuk ke Tanah Jawa jauh sebelum kedatangan Maulana Malik
Ibrahim. Sebelum Raja Kediri terakhir sudah ada pedagang – pedagang Islam yang
datang ke tanah Jawa, bahkan dalam permulaan abad ke 13 agama Islam sudah
tersiar luas di kalangan rakyat, hanya belum ada perhatian para ahli sejarah
oleh karena rajanya masih beragama Hindu dan Budha.
Namun, sebelum Islam datang ke
Indonesia di kepulauan nusantara ini sudah ada peradaban dan kebudayaan yang
dibangun oleh kerajaaan – kerajaan pada waktu itu. Pada abad ke 7 M kerajaan
itu antara lain Kerajaan Sriwijaya yang menguasai nusantara, Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Kutai di Kalimantan, Kerajaan Kedah di
Semenanjung Malaya. Kemudian setelah abad ke 7 M di tanah Jawa muncul antara
lain Kerajaan Mataram, Kerajaan Kediri dan Singosari dan Kerajaan Majapahit
yang meliputi seluruh nusantara sebagaimana Kerajaan Sriwijaya sebelumnya.
Kesultanan – kesultanan tersebut
sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum
Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut yang tentu saja
menguatkan pengalamannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat
muslim masa itu. Fakta – fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur –
literatur figh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan
17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke
kawasan nusantara.
2.
Hukum Islam Pada Masa Penjajahan
Belanda
Pada mulanya orang – orang Belanda
yang beragama Kristen Protestan datang ke Kepulauan Nusantara tidak ada
kaitannya dengan masalah hukum agama. Mereka mendarat di Banten pada tahun 1596
bergabung dengan Portugis, Inggris dan Spanyol untuk memburu keuntungan
terutama rempah – rempah, komoditi yang laku di pasaran eropa.
Cikal bakal penjajahan Belanda
terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan
Dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai
sebuah organisasi dagang VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di Kawasan Hindia Timur. Karena itu
disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda
dalam menjalankan fungsi – fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan
hukum Belanda yang mereka bawa.
Namun mereka menyaksikan kenyataan
bahwa di Indonesia sudah ada hukum yang berlaku, yaitu hukum agama bagi masing
– masing pemeluknya seperti Islam, Hindu dan Nasrani, disamping hukum adat
mereka. Hukum Islam telah menjadi hukum yang ditaati oleh umat Islam Indonesia
bahkan sudah menjadi hukum nasional. Dalam kenyataannya penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan, sebagai penjajah yang kebetulan beragama
Nasrani mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia yang mayoritas penganut agama
Islam, dan menyebabkan penduduk pribumi berat menerima hukum – hukum yang asing
bagi mereka.
Masa perlawanan terhadap penjajah yang
dilakukan oleh umat Islam ini secara kebetulan berbarengan dengan periode
kebangkitan umat Islam. Sehingga perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah
waktu itu menjadi seperti itu identik dengan perjuangan bangsa Indonesia yang
mayoritas penganut agama Islam untuk mengusir orang – orang Belanda yang
beragama Nasrani. Perlawanan itu menyebabkan penjajah mengambil sikap dalam
menghadapi umat Islam tersebut bagi kepentingan penjajahannya. Keadaan ini
menyebabkan kegiatan mereka tidak bisa terhindar dari terjadinya persentuhan dengan
masalah agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Bagi penjajah
Belanda umat Islam Indonesia merupakan musuh dan penghambat bagi kepentingan
mereka.
Akibatnya VOC pun membebaskan penduduk pribumi
untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan
hukum Islam dapat dicatat beberapa kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC,
yaitu :
1.
Dalam Statuta Batavia yang diterapkan
pada tahun 1642 oleh VOC dinyatakan bahwa kewarisan Islam berlaku bagi para
pemeluk agama Islam
2.
Adanya upaya kompilasi hukum
kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat
Pengakuan terhadap hukum Islam ini
terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai Gubernur selama 5 (lima) tahun dan Belanda kembali memegang kekuasaan
terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha
keras mencengkramkan kuku – kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al – islam dan
dar al – harb. Itulah sebabnya, pemerintah Hindia Belanda mengupayakan ragam
cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan menyebarkan agama Kristen
kepada rakyat pribumi dan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek –
aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan maka upaya
pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut :
1.
Pada pertengahan abad 19 pemerintah
Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum Yang Sadar, yaitu kebijakan yang
secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda.
2.
Atas dasar nota disampaikan oleh Mr.
Scholten Van Oud Haarlem, pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang
– undang agama, lembaga – lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan
yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan
dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum
Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3.
Atas dasar teori resepsi yang
dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922
kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di
Jawa dalam memeriksa kasus – kasus kewarisan ( dengan alasan ia belum diterima
oleh hukum adat setempat )
4.
Pada tahun 1925 dilakukan perubahan
terhadap pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling ( yang isinya sama dengan
pasal 78 Regerringsreglement ), yang intinya perkara perdata sesame muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum
adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus
terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah
Indonesia pada tahun 1942. Sekalipun diakui bahwa pemerintah Belanda sebagai
penjajah, dalam waktu yang cukup lama telah berhasil mengendalikan umat Islam
di daerah jajahannya yang jumlahnya jauh lebih besar disbanding dengan jumlah
penjajah tersebut.
3.
Hukum Islam Pada Masa Pendudukan
Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan
menyerah tanpa syarat kepada Panglima Militer Jepang untuk kawasan Selatan pada
tanggal 8 Maret 1942, segera pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan.
Salah satu diantaranya adalah Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang
menegaskan bahwa pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya
dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi
terakhirnya dimasa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, pemerintah
pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah :
1.
Janji Panglima Militer Jepang untuk
melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa
2. Mendirikan Shumubu ( Kantor Urusan
Agama Islam ) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam
seperti Muhammadiyah dan NU
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan Oktober 1943
5.
Menyetujui berdirinya Hizbullah
sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA
6.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh
Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
tanah air. Namun bagaimanapun juga masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah – masalah keagamaan. Kebijakan pemerintah Belanda telah
memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama
yang terlatih di mesjid – mesjid atau pengadilan – pengadilan Islam. Belanda
menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan
Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan Indonesia
yang dapat dimanfaatkan.
4.
Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Meskipun pendudukan Jepang memberikan
banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya
seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang
yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia,
Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai melirik dan memberi
dukungan kepada para tokoh – tokoh nasonalis Indonesia. Dalam hal ini nampaknya
Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa
depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite Negara seperti
Dewan Penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada Kubu Nasionalis. Hingga
Mei 1945, Komite yang terdiri dari 62 orang ini paling hanya 11 diantaranya
yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah BPUPKI bukanlah badan yang
dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad
Hatta berusaha agar anggota badan ini cukup representative mewakili berbagai
golongan dalam masyarakat Indonesia.
Perdebatan panjang tentang dasar
Negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan
Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada
pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya”. Kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai Negara sekuler dan bukan pula Negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini
sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang
– undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan
kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab
hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan
keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur.
Pada akhirnya di periode ini status
hukum Islam tetaplah samar – samar. Kejadian mencolok mata sejarah ini
dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi
kabut rahasia, suatu politik pengepungan kepada cita – cita umat Islam. Hukum
Islam pada masa kemerdekaan Periode Revolusi hingga keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1950. Selama hampir 5 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa – masa revolusi (1945 – 1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh
tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan nusantara. Dari
beberapa pertempuran Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia,
dimana ia kemudian mendirikan Negara – Negara kecil yang dimaksudkan untuk
mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian
dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati lahirlah apa yang
disebut dengan Konstitusi Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS
tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai Konstitusi Republik
Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian Negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah sangat sulit untuk dikatakan sebagai
konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini
misalnya sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan
UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya yang
bahkan dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa
Barat serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat Negara bagian RIS pada awal
tahun 1950 hanya tersisa tiga Negara saja yaitu Negara Republik Indonesia,
Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei
1950 semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi UUD 1945. Dan dengan demikian konstitusi RIS dinyatakan
tidak berlaku dan digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi jika
dikaitkan dengan hukum Islam perubahan ini tidaklah membawa dampak yang
signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
mukadimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UD 1945. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950
ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud
peraturan dan undang – undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102
UUD Sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil – wakil umat
Islam saat mengajukan rancangan undang – undang tentang perkawinan umat Islam
pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat hadangan kaum
nasionalis yang juga mengajukan Rancangan Undang – Undang Perkawinan Nasional.
Dan setelah itu semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan
pembuatan materi undang – undang baru karena konsentrasi mereka tertuju pada
bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang – undang yang bersifat
tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara
1950 itu kemudian diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk
Majelis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang
itu kemudian dilantik Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan
bulan sebelum batas akhir masa kerjanya Majelis itu dibubarkan melalui Dekrit
Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan
hukum Islam dalam peristiwa dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu
kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja mengangkat dan
memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD bahkan lebih dari sekedar sebuah
dokumen historis. Namun bagaimanapun dalam tataran aplikasi lagi – lagi faktor
politik adalah penentu utama dalam hal ini.
5.
Hukum Islam Di Era Orde Lama Dan
Orde Baru
Mungkin
tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita – citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi
umat Islam kala itu Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh – tokohnya terlibat pemberontakan PPRI di Sumatera
Barat. Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR
Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu terbentuklah MPRS yang
kemudian menghasilkan 2 ketetapan salah satunya adalah tentang upaya unifikasi
hukum yang harus memperhatikan kenyataan – kenyataan umum yang hidup di
Indonesia.
Meskipun
hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia
dan atas dasar itu TAP MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum
Islam sebagaimana mestinya, namun lagi –lagi ketidakjelasan batasan perhatian
itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul
gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam
Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka
mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di
Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh – tokoh Masyumi
yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja orde ini menegaskan
perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali ke
partai Masyumi.
Meskipun
kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu
tegas di masa awal orde ini, namun upaya – upaya untuk mempertegasnya tetap
terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan seorang Menteri
Agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang – Undang
Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi – fraksi Islam di DPR – GR.
Meskipun gagal upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum
formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No 14 Tahun 1970, yang mengakui
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah
Agung. Dengan UU ini dengan sendirinya hukum Islam telah berlaku secara
langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan
terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU No 14 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha –
usaha intensif untuk mengomplikasikan hukum Islam di bidang – bidang tertentu.
Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai
Presiden menerima hasil kompilasi itu dan menginstruksikan penyebarluasannya
kepada Menteri Agama.
6.
Hukum Islam Di Era Reformasi
Soeharto
akhirnya jatuh, gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok
Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan
MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang –
Undangan, semakin membuka peluang lahirnya aturan undang – undang yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih
dari itu disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan
hukum Islam dalam wujud undang – undang dan peraturan telah membuahkan hasil
yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan
Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan
demikian di era refomasi ini terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah
–langkah pembaruan dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan
berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum
positif yang berlaku dalam hukum nasional kita.
Jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 95 persen beragama Islam akan
memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
Demi terselenggaranya pelaksanaan hukum yang lebih efektif dan efisien, maka
solusi yang tepat adalah memenuhi aspirasi mayoritas penduduk Indonesia yang
beragama islam itu. Kesadaran umat Islam dalam praktek sehari – hari dimana
banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan
cerminan kesadaran mereka menjalankan syariat atau hukum Islam. Namun
pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan, tanpa adanya kemauan politik dari
pemerintah mustahil Hukum Islam menjadi bagian dari tata hukum di
Indonesia.
Hukum
Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat positif karena secara kultural,
yuridis dan sosiologis memiliki akar kuat. Hukum Islam menawarkan konsep hukum
yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai – nilai esensial manusia
sebagai khalifatulah bukan sebagai homo economicus. Namun demikian dalam
prakteknya efektifitas pelaksanaan hukum tetap tergantung kepada tiga komponen
seperti peraturan perundang – undangan itu sendiri, aparat pelaksana atau
penegak hukum dan masyarakat sebagai pelaksana atau yang dikenai hukum.
BAB
III
PENUTUP
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
merupakan wujud dari aktualita dinamika masyarakatnya. Keterlibatan semua
komponen bangsa telah memberikan andil besar dalam perkembangannya. Hukum Islam
meskipun telah mengalami berbagai tantangan namun tetap eksis dan terus
berkembang. Kedepan tentu saja memerlukan perhatian yang lebih serius lagi dari
semua pihak. Tantangan masa depan akan lebih besar, sebab masyarakat yang
semakin maju akan terbuka menerima segala bentuk informasi, apalagi dengan
kemajuan teknologi informasi komunikasi segala informasi global akan dengan
mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian hal ini akan memberikan
alternatif bagi masyarakat, utamanya umat Islam untuk lebih bisa
mengaktualisasikan Hukum Islam dalam kehidupan keseharian dalam berbangsa dan
bernegara.
Karena itu tantangan dan peluang ke
depan adalah tanggung jawab semua pihak. Terutama sekali adalah para praktisi
hukum, para akademis, ulama dan elit politik untuk menggali lebih banyak lagi
Hukum Islam bisa menjadi perundang – undangan di Indonesia. Upaya profesional
sesuai dengan bidang dan kemampuan masing – masing sangat diperlukan. Hakim
Agama dengan keahlian harus terus meningkatkan kemampuannya. Akademisi di
Perguruan Tinggi Islam terus menggali Hukum Islam yang relevan dn kontekstual
dengan masyarakat, para ulama dengan keahliannya mensosialisasikan Hukum Islam
ditengah umatnya dan tentu peran elit politik yang duduk di Lembaga Legislatif
dan Eksekutif harus berjuang memasukkan Hukum Islam menjadi perundang –
undangan dalam tata hukum Negara Republik Indonesia.
Bagaimanapun
juga dukungan masyarakat muslim dalam hal ini sangat dibutuhkan. Dengan mengacu
undang – undang yang sudah berlaku dan memuat Hukum Islam, seperti UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan
Zakat, UU Penyelenggaraan Keistemewaan di Aceh dan UU Otonomi Khusus di Aceh,
serta adanya kompilasi Hukum Islam maka sangat mungkin di masa yang akan datang
akan lebih banyak lagi Hukum Islam masuk dalam perudang – undangan di Negara
kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 7,
1995.
Suparman Usman, Hukum Islam Asas – Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Cet. 8, Jakarta, 2000.
0 comments:
Posting Komentar