-->

Hukum Islam Di Asia Tenggara

Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 12 April 2013



KATA PENGANTAR

 Alhamdulillah, segala puja dan puji ke Hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan karunia – Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya.  

Makalah ini berjudul Hukum Islam di Asia Tenggara yang dirangkum dari beberapa buku yang berasal dari beberapa penulis di Indonesia. Makalah ini berisi Perkembangan Hukum Islam serta Sejarah Pertumbuhan Hukum – Hukum Islam di Indonesia baik dari Pertumbuhan Sebelum Masa Penjajah, Pertumbuhan Pada Masa Penjajahan dan Pertumbuhan Pada Masa Kemerdekaan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah Hukum Islam di Asia Tenggara. Dilakukan rangkuman ini disamping tugas juga agar lebih memberikan kemudahan dalam menelaah Hukum Islam di Asia Tenggara. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih dengan harapan agar makalah ini berguna bagi siapapun yang membaca. Pada akhirnya diharapkan adanya masukan demi kesempurnaan makalah ini.



Langsa, Maret 2009




BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan artinya bahwa keberadaan Hukum Islam di Indonesia semakin eksis sampai saat ini. Bagaimanapun juga jumlah pemeluk agama Islam yang mencapai 95 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah lebih kurang 200 juta jiwa mempengaruhi perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas, yang tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syariat yang dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama yang berupa hukum – hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Sebagai tuntunan Allah SWT yang diantaranya berupa hukum – hukum Islam telah disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW dan terinci dalam Al – Quran dan Hadist Nabi.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah – tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan – pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di tanah air misalnya dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Disamping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan mengakrabkan bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan – kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan – tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai.
Sikap masyarakat yang telah menjalankan syariat Islam tersebut direspon pemerintah dengan keluarnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Serta beberapa undang – undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syariah dengan prinsip – prinsip syariahnya. Putusan – putusan Hakim, terutama Hakim Agama dan keputusan Mahkamah Agung sudah merujuk kepada undang – undang diatas serta memperhatikan hukum yang berlaku di tengah masyarakat khususnya hukum Islam.
Juga tampak dari adanya kelembagaan Negara dan aktifitasnya yang menunjukkan akomodatifnya terhadap pelaksanaan hukum Islam seperti Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia dengan fatwa – fatwanya. Organisasi – organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat memberikan andil yang sangat besar bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia.  

BAB II
HUKUM ISLAM DI ASIA TENGARA


A.   PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1.   Pengaruh Kultural
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kultur adalah kebudayaan atau pembudidayaan. Kultur suatu masyarakat tentu akan berpengaruh terhadap semua sistem yang ada dalam masyarakat itu. Sebagai sebuah Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, tentu hukum Islam tidak lepas dari pergesekan dengan budaya masyarakat setempat.
Pergesekan budaya masyarakat dengan Islam seiring dengan proses Islamisasi Nusantara atau masuknya Islam di kawasan Asia Tenggara. Islam di kawasan Asia Tenggara memiliki sejarah paling tidak tujuh abad dan selama waktu itu Islam telah dipengaruhi oleh lingkungan Asia Tenggara yang unik. Dengan kata lain, Islam telah menjadi suatu tradisi tersendiri yang secara kukuh tertanam dalam konteks sosial, ekonomi dan politik selama tujuh abad sejarah kawasan ini.
Hukum Islam yang muncul di Indonesia tidak lepas dari dinamika sejarah Negara Indonesia sendiri. Jauh sebelum kedatangan penjajah dari Eropa, perkembangan Islam dengan munculnya lembaga pendidikan agama seperti surau, langgar, madrasah dan pesantren telah memberikan kontribusi pengetahuan sekaligus kultur agamis yang kuat di masyarakat.
Pada saat itu, pusat – pusat pendidikan Islam di atas merupakan sumber utama informasi dan penyuluhan masyarakat. Mengajarkan berbagai keilmuan, utamanya ilmu agama yang didominasi kajian fikih kajian yang tidak lepasdari permasalahan hukum Islam. Dan satu – satunya lembaga pendidikan yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat bawah. Sebuah komunitas yang menjadi sentral berkembangnya sebuah budaya.
Di dalam masyarakat inilah Islam memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar – dasar perilaku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan sebelumnya. Juga menyumbangkan konsepsi baru hukum untuk Indonesia dan telah mengubah ikatan kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan universal. Apalagi hukum Islam bersifat elastis, memperhatikan berbagai segi kehidupan dan tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Elastis disini bukan berarti hukum Islam bisa menjustifikasi apa saja tetapi keberadaan pranata ijtihad di dalam hukum Islam merupakan suatu jaminan pasti bahwa hukum Islam akan senantiasa bersikap antisipatif terhadap perkembangan sosial. Tak pelak lagi, dalam perkembangan berikutnya memberikan andil yang sangat besar bagi perkembangan Hukum Islam di Indonesia.
Pada perkembangan awal hukum Islam yang mengiringi perjalanan berkembangnya agama Islam di wilayah nusantara, peran sultan atau raja menjadikan hukum Islam menyatu dengan tradisi sangat dominan. Sebab para sultan atau raja – raja menjadikan hukum Islam sebagai hukum resmi kerajaan – kerajaan Islam. Ibnu Batutah pengembara asal Maroko yang pada tahun 1345 singgah di Samudera Pasai menyatakan bahwa Sultan Al Malik Al Zahir pandai dalam bidang Fiqh Mazhab Syafi’i. Mazhab yang pada perkembangan berikutnya menjadi acuan pembahasan hukum Islam dalam perundang – undangan di Indonesia.
Sejarah mencatat bagaimana pada masa penjajahan Belanda, Hukum Islam telah menyatu dalam kehidupan sehari – hari dan membudaya dalam lingkungan masyarakat pribumi. Sampai – sampai Instruksi Gubernur Jenderal kepada Para Bupati di Pantura Jawa agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan perdata dengan Hukum Islam. Juga keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) Nomor 19 tanggal 24 Januari 1882 yang diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 Nomor 12 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama) didasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yaitu berarti bahwa yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya.   
                                 
2.   Pengaruh Politik
Berbicara politik berarti berbicara masalah kenegaraan. Suatu bahasan yang menyentuh masalah kebijakan suatu pemerintahan. Dinamika politik suatu pemerintahan sangat berpengaruh terhadap semua kebijakan yang ada. Termasuk kebijakan perundang – undangan yang berlaku. Sebelum Indonesia merdeka, sistem hukum nasional terdiri dari beberapa subsistem hukum, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berlaku UUD 1945, sistem hukum Indonesia berubah. Ini karena Indische Staatsregeling diganti dengan UUD 1945.
Hukum Islam dalam perpolitikan Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang dan berliku. Bermula dari pembahasan dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia maupun dalam siding – sidang konstituante. Baik pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945 merupakan sumber hukum, tidak saja bagi perundang – undangan yang bersifat duniawi tetapi juga yang bersifat ukhrowi. Dari sini jelas, bahwa nilai – nilai hukum Islam yang mengandung dasar – dasar dan norma – norma untuk mengatur kehidupan lahiriah maupun batiniah dapat diberlakukan sebagai pelaksanaan UUD 1945.
Selanjutnya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan kemajemukan tatanan hukum, pemerintah harus mempunyai political will. Karena itu kemudian mulai bermunculan produk UU yang mengakomodir hukum Islam, bahkan menjadi bahan baku pembentukan hukum nasional. Tranformasi hukum Islam ke dalam perundang – undangan nasional merupakan hasil interaksi antara para ulama dengan elite politik atau penguasa. Baik tersurat maupun tersirat, banyak asas – asas hukum Islam yang terserap dalam hukum nasional. Suatu kenyataan yang akan memberikan prospek ke depan lebih baik, dimana hukum Islam akan menjadi inspirasi utama dalam pembangunan hukum nasional.                   
Memang bagaimanapun juga masalah agama/Islam, politik dan Negara selalu terkait satu sama lainnya. Kalimat Islam terkandung di dalamnya soal – soal politik dan hukum tata Negara. Proses politik yang panjang akhirnya membuahkan perundang – undangan yang berlebel Islam, misalnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang di dalam adanya Piagam Jakarta, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama dan sebagainya. UU terbaru yang muncul akibat dari perbuatan konstelasi politik nasional adalah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh dan UU Nanggroe Aceh Darussalam yang memberikan kewenangan khusus kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang peradilan. Suatu kewenangan yang mustahil terjadi di era rezim Orde Baru.

3.   Pengaruh Struktural
Proses politik dalam suatu Negara akan menghasilkan banyak kebijakan di antaranya adalah perundang – undangan. Perundangan yang merupakan produk hukum in abstracto memerlukan komponen lain yang akan menjadikannya ke dalam bentuk in concreto. Atau memerlukan instrumen struktural yang mengejawantahkannya di tengah masyarakat.
Dari sini kemudian muncul institusi atau lembaga yang melahirkan perundang – undangan atau peraturan – peraturan yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Seperti di antaranya Departemen Agama, Departemen Hukum dan HAM RI, Mahkamah Agung yang banyak mempengaruhi proses berkembangnya hukum Islam di Indonesia. Contoh yang paling mononjol adalah inisiatif Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam. Kemudian dalam bentuk produk pengadilan sebagai upaya penerapan hukum Islam dalam perkara tertentu, baik melalui Peradilan Umum maupun Peradilan Agama. Seperti produk pengadilan yang terhimpun dalam kumpulan yurisprudensi antara lain Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Dengan demikian hakim memiliki peran penting dalam pembentukan Hukum Islam. 
        
B.   SEJARAH PERTUMBUHAN HUKUM – HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1.   Hukum Islam Pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama Hijriyah atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Dugaan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, karena pada tahun 650 M yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan sudah ada orang Islam yang datang ke Sumatera.  Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya Kerajaan Islam pertama di tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai yang terletak di Aceh Utara. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa Kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di Pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon. Kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Sedang masuknya Islam ke tanah Jawa diperkirakan sudah terjadi pada sekitar abad ke 10 M, melalui kota – kota pesisir. Islam telah masuk ke Tanah Jawa jauh sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim. Sebelum Raja Kediri terakhir sudah ada pedagang – pedagang Islam yang datang ke tanah Jawa, bahkan dalam permulaan abad ke 13 agama Islam sudah tersiar luas di kalangan rakyat, hanya belum ada perhatian para ahli sejarah oleh karena rajanya masih beragama Hindu dan Budha.
Namun, sebelum Islam datang ke Indonesia di kepulauan nusantara ini sudah ada peradaban dan kebudayaan yang dibangun oleh kerajaaan – kerajaan pada waktu itu. Pada abad ke 7 M kerajaan itu antara lain Kerajaan Sriwijaya yang menguasai nusantara, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Kutai di Kalimantan, Kerajaan Kedah di Semenanjung Malaya. Kemudian setelah abad ke 7 M di tanah Jawa muncul antara lain Kerajaan Mataram, Kerajaan Kediri dan Singosari dan Kerajaan Majapahit yang meliputi seluruh nusantara sebagaimana Kerajaan Sriwijaya sebelumnya.  
Kesultanan – kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut yang tentu saja menguatkan pengalamannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta – fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur – literatur figh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.       
 

2.           Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada mulanya orang – orang Belanda yang beragama Kristen Protestan datang ke Kepulauan Nusantara tidak ada kaitannya dengan masalah hukum agama. Mereka mendarat di Banten pada tahun 1596 bergabung dengan Portugis, Inggris dan Spanyol untuk memburu keuntungan terutama rempah – rempah, komoditi yang laku di pasaran eropa.
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di Kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi – fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Namun mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Indonesia sudah ada hukum yang berlaku, yaitu hukum agama bagi masing – masing pemeluknya seperti Islam, Hindu dan Nasrani, disamping hukum adat mereka. Hukum Islam telah menjadi hukum yang ditaati oleh umat Islam Indonesia bahkan sudah menjadi hukum nasional. Dalam kenyataannya penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan, sebagai penjajah yang kebetulan beragama Nasrani mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia yang mayoritas penganut agama Islam, dan menyebabkan penduduk pribumi berat menerima hukum – hukum yang asing bagi mereka.
Masa perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh umat Islam ini secara kebetulan berbarengan dengan periode kebangkitan umat Islam. Sehingga perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah waktu itu menjadi seperti itu identik dengan perjuangan bangsa Indonesia yang mayoritas penganut agama Islam untuk mengusir orang – orang Belanda yang beragama Nasrani. Perlawanan itu menyebabkan penjajah mengambil sikap dalam menghadapi umat Islam tersebut bagi kepentingan penjajahannya. Keadaan ini menyebabkan kegiatan mereka tidak bisa terhindar dari terjadinya persentuhan dengan masalah agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Bagi penjajah Belanda umat Islam Indonesia merupakan musuh dan penghambat bagi kepentingan mereka.       
 Akibatnya VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam dapat dicatat beberapa kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu :
1.   Dalam Statuta Batavia yang diterapkan pada tahun 1642 oleh VOC dinyatakan bahwa kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam
2.   Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai Gubernur selama 5 (lima) tahun dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku – kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al – islam dan dar al – harb. Itulah sebabnya, pemerintah Hindia Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi dan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek – aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
1.   Pada pertengahan abad 19 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum Yang Sadar, yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2.   Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten Van Oud Haarlem, pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang – undang agama, lembaga – lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.   
3.   Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus – kasus kewarisan ( dengan alasan ia belum diterima oleh hukum adat setempat )
4.   Pada tahun 1925 dilakukan perubahan terhadap pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling ( yang isinya sama dengan pasal 78 Regerringsreglement ), yang intinya perkara perdata sesame muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Sekalipun diakui bahwa pemerintah Belanda sebagai penjajah, dalam waktu yang cukup lama telah berhasil mengendalikan umat Islam di daerah jajahannya yang jumlahnya jauh lebih besar disbanding dengan jumlah penjajah tersebut.

3.           Hukum Islam Pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Panglima Militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang menegaskan bahwa pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya dimasa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah :
1.   Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa
2. Mendirikan Shumubu ( Kantor Urusan Agama Islam ) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3.   Mengizinkan berdirinya ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU
4.  Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan Oktober 1943
5.   Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA
6.   Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di tanah air. Namun bagaimanapun juga masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah – masalah keagamaan. Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di mesjid – mesjid atau pengadilan – pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
4.           Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Meskipun pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai melirik dan memberi dukungan kepada para tokoh – tokoh nasonalis Indonesia. Dalam hal ini nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite Negara seperti Dewan Penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada Kubu Nasionalis. Hingga Mei 1945, Komite yang terdiri dari 62 orang ini paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar anggota badan ini cukup representative mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.
Perdebatan panjang tentang dasar Negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya”. Kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai Negara sekuler dan bukan pula Negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang – undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur.
Pada akhirnya di periode ini status hukum Islam tetaplah samar – samar. Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut rahasia, suatu politik pengepungan kepada cita – cita umat Islam. Hukum Islam pada masa kemerdekaan Periode Revolusi hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir 5 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa – masa revolusi (1945 – 1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan nusantara. Dari beberapa pertempuran Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan Negara – Negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian Negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya yang bahkan dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat Negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga Negara saja yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi UUD 1945. Dan dengan demikian konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi jika dikaitkan dengan hukum Islam perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam mukadimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UD 1945. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang – undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD Sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil – wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang – undang tentang perkawinan umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat hadangan kaum nasionalis yang juga mengajukan Rancangan Undang – Undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang – undang baru karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang – undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara 1950 itu kemudian diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk Majelis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya Majelis itu dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD bahkan lebih dari sekedar sebuah dokumen historis. Namun bagaimanapun dalam tataran aplikasi lagi – lagi faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.

5.           Hukum Islam Di Era Orde Lama Dan Orde Baru
          Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita – citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh – tokohnya terlibat pemberontakan PPRI di Sumatera Barat. Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan – kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
          Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia dan atas dasar itu TAP MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi –lagi ketidakjelasan batasan perhatian itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
          Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh – tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali ke partai Masyumi.
          Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal orde ini, namun upaya – upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan seorang Menteri Agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang – Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi – fraksi Islam di DPR – GR. Meskipun gagal upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No 14 Tahun 1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini dengan sendirinya hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
          Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU No 14 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha – usaha intensif untuk mengomplikasikan hukum Islam di bidang – bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai Presiden menerima hasil kompilasi itu dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

6.         Hukum Islam Di Era Reformasi
           Soeharto akhirnya jatuh, gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang – Undangan, semakin membuka peluang lahirnya aturan undang – undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
           Lebih dari itu disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang – undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
           Dengan demikian di era refomasi ini terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah –langkah pembaruan dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum nasional kita.  
           Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 95 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya. Demi terselenggaranya pelaksanaan hukum yang lebih efektif dan efisien, maka solusi yang tepat adalah memenuhi aspirasi mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam itu. Kesadaran umat Islam dalam praktek sehari – hari dimana banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan syariat atau hukum Islam. Namun pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan, tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah mustahil Hukum Islam menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.  
           Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat positif karena secara kultural, yuridis dan sosiologis memiliki akar kuat. Hukum Islam menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai – nilai esensial manusia sebagai khalifatulah bukan sebagai homo economicus. Namun demikian dalam prakteknya efektifitas pelaksanaan hukum tetap tergantung kepada tiga komponen seperti peraturan perundang – undangan itu sendiri, aparat pelaksana atau penegak hukum dan masyarakat sebagai pelaksana atau yang dikenai hukum.                              
          
BAB III
PENUTUP

          Perkembangan Hukum Islam di Indonesia merupakan wujud dari aktualita dinamika masyarakatnya. Keterlibatan semua komponen bangsa telah memberikan andil besar dalam perkembangannya. Hukum Islam meskipun telah mengalami berbagai tantangan namun tetap eksis dan terus berkembang. Kedepan tentu saja memerlukan perhatian yang lebih serius lagi dari semua pihak. Tantangan masa depan akan lebih besar, sebab masyarakat yang semakin maju akan terbuka menerima segala bentuk informasi, apalagi dengan kemajuan teknologi informasi komunikasi segala informasi global akan dengan mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian hal ini akan memberikan alternatif bagi masyarakat, utamanya umat Islam untuk lebih bisa mengaktualisasikan Hukum Islam dalam kehidupan keseharian dalam berbangsa dan bernegara.
          Karena itu tantangan dan peluang ke depan adalah tanggung jawab semua pihak. Terutama sekali adalah para praktisi hukum, para akademis, ulama dan elit politik untuk menggali lebih banyak lagi Hukum Islam bisa menjadi perundang – undangan di Indonesia. Upaya profesional sesuai dengan bidang dan kemampuan masing – masing sangat diperlukan. Hakim Agama dengan keahlian harus terus meningkatkan kemampuannya. Akademisi di Perguruan Tinggi Islam terus menggali Hukum Islam yang relevan dn kontekstual dengan masyarakat, para ulama dengan keahliannya mensosialisasikan Hukum Islam ditengah umatnya dan tentu peran elit politik yang duduk di Lembaga Legislatif dan Eksekutif harus berjuang memasukkan Hukum Islam menjadi perundang – undangan dalam tata hukum Negara Republik Indonesia.
Bagaimanapun juga dukungan masyarakat muslim dalam hal ini sangat dibutuhkan. Dengan mengacu undang – undang yang sudah berlaku dan memuat Hukum Islam, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, UU Penyelenggaraan Keistemewaan di Aceh dan UU Otonomi Khusus di Aceh, serta adanya kompilasi Hukum Islam maka sangat mungkin di masa yang akan datang akan lebih banyak lagi Hukum Islam masuk dalam perudang – undangan di Negara kita.          
                

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 7, 1995.
Suparman Usman, Hukum Islam Asas – Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Cet. 8, Jakarta, 2000.


Previous
« Prev Post

Related Posts

Jumat, April 12, 2013

0 comments:

Posting Komentar