-->

Makalah Musaqqah

Posted by Sarjana Ekonomi on Selasa, 20 November 2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad.Mukhabarah dan muzara’ah adalah paroan sawah atau ladang yang benihnya bisa dari pemilik tanah dan penggarap.

Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedang yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peranturan seperti ini keduanya dapat hidup dengan baik. Dalam musaqah, muzara’ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalah fahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam. Dan perjanjian paroan atau bagi hasil pertanian merupakan salah satu sarana tolong menolong bagi sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, supaya tidak terjadi kesalah fahaman antara pemilik dengan penggarap
B.     Rumusan Masalah
Apabila terjadi hal, yaitu saat pohon berbuah, akad musaqahnya habis. Bagaimana mengatasinya. Jawabanya, mungkin lebih bagus menggunakan pendapat ulama Hanabilah, yang berpendapat bahwa buah itu dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap sesusai dengan kesepakatan awal. Ini kelihatan keadilannya dibandingkan dengan selain itu.
C. Tujuan Makalah
Mengetahui pengertian dari musaqah dan beserta ketentuanya sehingga dapat dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
D. Kegunaan Makalah
Bagi penulis, dengan membuat makalah ini semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kerjasama dalam bidang pertanian menurut ajaran Islam sehingga dapat mangaplikasikannya. Bagi pihak lain, tentunya dapat dijadikan sebagai suatu gambaran mengenai bagaimana menjalin kerja sama khususnya dalam bidang pertnian menurut ajaran Islam yang benar sehinngga dapat dijadikan motivasi dan panduan dalam mengaplikasikannya dikehidupann sehari-hari.
E. Prosedur Makalah
Prosedur penulisan makalah ini dibuat dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif melalui metode kajian literature atau study pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN
MUSAQAH / KERJASAMA ATAS LAHAN PERTANIAN
A.    Pengertian
Secara etimologi kalimat musaqah itu berasal dari kata al-saqa yang artinya seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya ) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus. Secara terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
1.      Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”.

2.      Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”. Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
a)      Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun;
b)      Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati;
c)      Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah;
d)     Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e)      Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya;

3.      Menurut Syafi’iyah yang di maksud dengan al-musaqah ialah : “Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.

4.      Menurut Hanabilah bahwa al-musaqah itu mencakup dua masalah :
a)      Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
b)      Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya;

5.      Menurut Syaikh Shihab al-Din al-Qolyubi dan Syaikh Umairah, bahwa al- musaqah ialah : “Memperkerjakan manusia untuk menguruspohon dengan menyiram
dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan allah dari pohon untuk mereka berdua”.
6.      Menurut Hasbi ash-Shiddiqie yang di maksud dengan al-musaqah : “ Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”
7.      Setelah diketahui semua definisi dari ahli fiqih, maka secara esensial al-musaqah itu adalah sebuah bentuk kerja sama pemilik kebun dengan penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai denagn aqad yang telah disepakati.
B. Dasar Hukum
Dalam menentukan hukum musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para ulama Fiqh; Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail : bahwa akad al-musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena al-musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagaian hasil yang akan di panen dari kebun.
Dalam hal ini di tegaskan oleh hadist Nabi Saw yang artiya : ‘siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan sebagai tanah pertanian dan jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan dipanen) dan jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. (H.R. al-Bukhori dan Muslim).
Jumhur ulama fiqh mengatakan : bahwa akad al-musaqah itu dibolehkan. Ditegaskan dalam hadist Nabi Saw. yang artinya : ‘Bahwa Rasulullah Saw, melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
C. Macam-Macam Bentuk Paroan Dalam Islam
Yang dimaksud dengan macam-macam paroan atau bagi hasil dalam pembahasan ini, hanya dikemukakan yang berkaitan dengan bidang pertanian saja. Hal ini perlu dibatasi, karena bagi hasil atau kerja sama dalam pembagian hasil dari sesuatu yang dikerjakan sangat luas, misalnya dalam bidang perdagangan, perburuhan, dan lain-lain termasuk bidang pertanian ini.
Masalah bagi hasil dalam bidang pertanian ini, maka diketahui ada dua macam bentuk kerjasama bagi hasil atau paroan, yaitu: Musaqah.
Musaqah adalah mufa’alah berasal dari kata as-saqy, adalah nama pepohonan penduduk hijaz atau madinah yang sangat memerlukan saqi atau penyiraman atau pengairan dari sumur-sumur. Karena itu al-musaqah artinya penyiraman. Menurut syara’ musaqah berarti penyerahan pohon-pohon atau tanaman kepada orang lain untuk dipelihara hingga menghasilkan, dan upah dari mereka sebagai penyiram adalah hasil dari tanaman-tanaman itu sendiri, yang diberikan setelah selesai musim panen atau petik.
Yang dimaksud dengan musaqah adalah bentuk kerjasama dalam pemeliharaan dan pengembangan tanaman. Dalam bidang ini pemilik tanaman menyerahkan pemeliharaan, perawatan, atau pengembangan tanaman kepada seorang petani penggarap, yang uapah atau pembayarannya adalah hasil dari tanaman itu sendiri setelah habis panen atau menghasilkan, besarnya bagian petani penggarap berdasarkan kesepakatan ketika pertama kali mengadakan akad.
Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan musaqah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik kebun dengan pengelola atau pemelihara, yang upah dari pemeliharaan ituadalah hasil dari kebun itu sendiri. Dalam perjanjian kerjasama pertanian bentuk musaqah baru dianggap sah apabila terpenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Rukun musaqah ada dua yaitu: ijab dan qabul.
Para fuqaha sepakat bahwa tanaman yang boleh dijadikan akad dalam musaqah adalah tumbuh atau tanaman yang bersifat tahan lama atau kuat, seperti anggur, kurma, dan lain-lain. Sedangkan tanaman yang tidak boleh dijadikan akad musaqah adalah seluruh tanaman yang tidak tahan lama, seperti sayur-sayuran.
Muzara’ah
Muzara’ah adalah kerjasama dalam bidang pertanian atau pengelolaan kebun dan sejenisnya. Pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada petani agar diusahakan, dan hasil dari pertanian itu dibagi antara kedua belah pihak. Muzara’ah berasal dari kata az-zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu; menabur benih atau bibit dan menumbuhkan.
Dari arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa muzara’ah adalah bentuk kerjasama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan lahan tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau upah dari penggarapan tersebut.
Untuk mengetahui pengertian muzara’ah secara jelas, maka dikemukakan beberapa pendapat ahli fiqih salaf yaitu:
Ø Menurut ulama Hanafi
Muzara’ah menurut pengertian syara’ adalah suatu akad perjanjian pengelolaan tanah dengan memperoleh hasil sebagian dari penghasilan tanah itu. Dalam bidang kerjasama ini boleh penggarap (petani) bertindak sebagai penyewa, untuk menanami tanah dengan imbalan biaya dari sebagian hasil tanamanya. Dan boleh juga pemilik lahan hanya meperkejakan petani dengan upah dari hasil sebagian tanaman yang tumbuh pada tanah itu.
Ø Menurut Ulama Maliki
Muzara’ah menurut pengertian syara’ adalah perjanjian kerjasama antara pemilik lahan dengan petani sebagai penggarap. Dalam hal ini pemilik lahan menyerahkan tanahnya kepada petani untuk ditanami, upah dari pengelolaan itu diambil dari hasil tanaman yang ditanam pada lahan tersebut. Jika pemilik lahan ikut membiayai penggarapan itu, seperti menyediakan bibit, maka si petani penggarap mendapat upah boleh berupa sejumlah uang dan boleh berupa sebagian dari tanah dan tanaman yang dikelolanya sesuai dengan kesepakatan mereka berdua.
Ø Menurut ulama Syafi’i
Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik tanah dengan petani untuk menggarap atau mengelola lahan itu, dengan upah atau imbalan sebagian dari hasil pengelolaanya. Dalam hal ini bibit atau benih tanaman berasal dari pemilik lahan, petani hanya membuka lahan, menanami, dan memeliharanya hingga memperolah hasil. Jika bibit atau benihnya berasal dari petani, maka disebut mukharabah. Keduanya adalah tidak sah, karena menyewakan tanah dengan imbalan dari hasil pengelolaan. Sebab bisa saja petani mengalami kerugian apabila gagal panen karena hal-hal yang tidak diinginkan.
Dari pengertian-pengertian muzara’ah menurut ulama fiqih salaf dimuka, maka dapat dipahami bahwa yang disebut muzara’ah adalah perjanjian kerjasama antara pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari hasil pertanian yang sedang diusahakan. Kebanyakan fuqaha menyatakan bahwa perjanjian muzara’ah hukumnya tidak boleh, sebab petani penggarap belum jelas akan mendapatkan hasil dari pekerjaannya itu.
D. Syarat dan Rukun
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
1)      Ucapan yang dilakukan kadang jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah), disyaratkan shigat itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan perbuatan saja;
2)      Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus yang mampu dalam bertindak yaitu dewasa (akil baligh) dan berakal;
3)      Dalam obyek al-musaqah itu terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut Hanafiyah yang menjadi obyeknya adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan terong atau pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi. Menurut ulama Malikiyah mengatakan bahwa obyeknya adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, anggur, terong dan apel, dengan syarat bahwa:
(a) Akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak panen;
(b) Tenggang waktu yang ditentukan harus jelas;
(c) Akad dilakukan setelah tanaman itu tumbuh;
(d) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengelola dan memelihara tanaman itu.

Menurut Hanabilah yang boleh dijadikan obyek al-musaqah adalah tanaman yang yang buahnya boleh dikonsumsi, maka dari itu al-musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak berbuah. Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek itu adalah kurma dan anggur saja. Sebagaimana terlampir dalam hadist Rasulullah Saw yang berbunyi :

Artinya : Rasulullah Saw. menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada Yahudi dengan ketentuan sebagian hasilnya, baik dari buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi mililk orang Yahudi itu;

4)      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemiliknya;
5)       Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi menjadi dua, atau tiga, dsb;
6)      Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi ijarah (sewa menyewa).
Rukun musaqah antara lain adalah :
Pemilik kebun (musaaqi) dan penggarap (saqiy), keduanya hendaklah orang yang berhak membelanjakan harta.
Pohon yang dipelihara baik yang buahnya musiman, tahunan maupun terus Menerus
Pekerjaan yang harus di selesaikan penggarap harus jelas baik waktu, jenis dan Sifatnya
Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu atau yang lainnya. Pembagian Hasil pekerjaan ini harus dijelaskan pada waktu akad. Akad yaitu wajib qabul berupa tulisan, perkataan atau isyarat
Berakhirnya Akad Al-Musaqah
Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
1)      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
2)      Salah satu pihak meninggal dunia;
3)      Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :

Ulama Malikiyah : bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani.

Ulama Syafi’iyah : bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.

Ulama Hanabilah : bahwa akad al-musaqah sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.
E. Contoh Musaqah
Misal si A adalah orang yang sanga t kaya dan memiliki banyak tanah /ladang dimana-mana & si B adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan lapangan pekerjaan, karena si B orang yangjujur & dapat dipercaya maka siA menyerahkan sebagian kebunnya kepada si B dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang telah di setujui oleh kedua pihak. Dan dengan disetujuinya perjanjian tersebut maka si B pun harus merawat kebun si A dengan sebaik- baiknya sampai waktu panen telah tiba.
F. Hikmah Musaqah
1)      Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
2)      Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3)      Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam hal hubungan sesama manusia terutama dibidang kerjasama haruslah sesuai dengan kaidah ajaran Islam. Karena dengan mempaktekan secara Islam maka yakinlah bahwa tidak akan ada pihak yang dirugikan, kemudian dengan menjalin kerjsama secara kaidah Islam maka yakin lah pula bahwa kerjasama yang dijalin pun akan diridhoi oleh Allah SWT.
Dilihat dari pernyataan ini diketahui bahwa memang benar paroan tanaman karet ini dapat mengentaskan kemiskinan secara individu, tetapi secara perlahan-lahan akan dapat pula mengentaskan kemiskinan secara umum, dengan kata lain perlahan-perlahan perekonomian masyarakat tersebut menuju kea rah tingkat kehidupan yang semakin baik.
Dan ditinjau dari segi cara pembagian sebesar separoh sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka dapat dikatakan bahwa hal tersebut sudah sejalan dengan syari’at Islam.
B.     Kritik dan Saran
Kritik
Makalah ini tentunya memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi, maupun dalam sistematika dan teknik penulisannya.
Saran
1.      Bagi para pembaca dihrapkan mencari sumber-sumber yang lebih lengkap mengenai topik ini supaya pengetahuan pembaca sekalian dapat lebih luas.
2.      Pembaca juga tentunya diharapkan mampu termotivasi dan mempraktekan apa yang dibahas dalam makalah ini.
3.      Bagi para pembaca yang akan melakukan kerjasama khususnya dibidang Pertanian gunakanlah sistem kerjasama yang sesuai dengan ajaran Islam.
4.      Bagi para penulis berikutnya yang akan mengangkat tema yang sama dianjurkan untuk mencari sumber yang lebih banyak supaya karya tulis yang dihasilkan dapat lebih berkualitas.


DAFTAR PUSTAKA

LKS FIQIH AL-HIKMAH SMA X-B 2009/2010
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/698
Baqir Syarif Al-Quraisyi, Al-Nizam Al-Siyasi fi al-Islam. Al-Najf : Al-Najf Al-Syarf, 1973.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III. Cet. VIII: Bairut: Dār al-Kitāb al-'Arabiya, 1987.
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, juz IV. Suriah: Dār al-Fikr, 1989.



Previous
« Prev Post

Related Posts

Selasa, November 20, 2012

0 comments:

Posting Komentar