-->

Sumber Hukum

Posted by Sarjana Ekonomi on Kamis, 25 Oktober 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Yang mana telah kita ketahui bersama didalam keduanya terdapat hukum-hukum yang relevan dalam kehidupan kita bermasyarakat, beragama dan menjalani kehidupan kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Sejarah yang terkandung dalam keduanya memberi kita contoh dalam bermasyarakat untuk meneladaninya, dalam segi beragama kita dituntut untuk bisa mengungkap isinya agar ibadah kita didunia ini tidak sia-sia dan hanya berupa formalitas semata. Sedangkan dalam mengerjakan tugas hidup kita sebagi khalifah, al-quran dan sunnah punya ilmu yang sangat melimpah dari ilustrasi dasar lampu, dan banyak lagi.

Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Namun seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit, timbul istilah ijtihad.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN HUKUM
            Hukum “al-hukmu”menurut bahas alarangan, istilah adalah menetapkan suatu hal atau perkara terhadap suatu hal atau perkara[1].
            As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki mengemukakan definisi hukum adalah[2] :
Perkataan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan Mukallaf (aqil, baliq) dan berkaitan dengan hukum tujuh : wajib, sunnah, mubah, makruh, haram, sah dan fasid
            Menurut Imam Syafi’i susunan kaidah baik buruk itu ada lima yaitu yang terkenal dengan istilah “ al-khamsah “ (lima penggolongan hukum). Seluruh perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam salah satu golongan hukum yang lima tersebut. Hukum itu adalah: Fardhu (wajib), sunnah, mubah (ja’iz), makruh (tercelah), haram.

B.       SUMBER HUKUM ISLAM
            Hukum islam tidak terlepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, manakala keduannya menjadi dasar hukum dalam syri’at islam. Dari keduannyalah ditetapkan hukum-hukum islam yang berlaku sejak zaman Nabi saw sampai kepada kita sekarang
            Pengertian sumber hukum adalah: Segala apa saja yang melahirkan atau menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifata mengikat, yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangsi yang tegas dan nyata. Sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam terutama Al-Qur’an dan hadits. Di samping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam, yaitu : Ijma’, ijtihad, istishab, istislah, maslah mursalah, qiyas, ra’yu dan ‘urf.[3]
1.    Al Qur’an[4]
Apabila dikaji lebih mendalam hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an terdiri dari:
1. Hukum I’tiqadiyah,  
2. Hukum-hukum Amaliyah,  
3. Hukum-hukum Khuluqiyah
Khusus di bidang hukum syari’at terdapat dua bagian pokok yaitu :
1. Hukum Ibadah,        
2. Hukum-hukum Mu’amalah
Menurut Amir Syarifuddin[5] hukum-hukum mu’amalah ini dirinci menjadi beberapa bidang hukum yaitu : Hukum mu’amalah, hukum perkawinan, hukum waris, hukum jinayah (pidanah), hukum murafaat (acara), hukum dusturiyah (tata negara), hukum dauliyah (antara bangsa).
2.    Al Hadits
Hadits menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al Qur’an, memberikan perincian tentang hukum didalam Al Qur’an hanya dibahas secara global, menetapkan suatu hukum yang belum diatur di dalam Al Qur’an secara jelas.
3.    Ijtihad


C.      IJTIHAD
            Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa upaya ijtihad antara lain :
·      Ijma'
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
·           Qiyâs
Maksud dari Qiyas adalah Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
·           Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.Merupakan tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan atau tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
·           Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
·           Sududz Dzariah
       Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
·           Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
·           Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata ; جـهــد – يـجـهــد – جــهــدا yang berarti ; berusaha dengan sungguh-sungguh. Dan kata الاجتهاد tidak dipakai  melainkan  kepada sesuatu yang mengandun arti كـلـفــة و مـشـقــة (kesukaran, kesulitan ),      
Dari pengertian bahasa ini , para ulama ‘ merumuskan pengertian menurut istilah dengan berbeda–beda .Bagi ulama’ yang mendekatinya melalui pemikiran holistick dan integral, ijtihad diartikan dengan”segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu,seperti bidang fiqhi,teologi,filsafat dan tasawuf ”. Sementara ulama, usul fiqhi melihat bahwa ijtihad sebagai aktivitas yang berkaitan dengan masalah fiqhi . Oleh karena itu mereka berpendapat bahwah upaya memahami nash tentang masalah – masalah teologi , filsafat dan tasawuf tidak dikategorikan sebagai aktivitas ijtihad.
1.   Definisi yang ditengahkan oleh Muhammad Abu Zahrah :
            بذل الفقيه وسعه في استنباط الاحكا م العملية من ادلتها التفصيلية
”Usaha seorang faqih yang menggunakan seluruh kemampunnya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah ( amaliah ) dari dalil-dalil yang terperinci “.
            Definisi yang diketengahkan oleh Abu Zahrah ini menekankan adanya subyek ijtihad adalah seorang faqih dan obyeknya adalah hukum-hukum yang bersifat amaliyah / praktis.
            Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ usul fiqhi di atas dapat dipahami bahwa ijtihad adalah upaya optimal yang dilakukan oleh mujtahid / faqih untuk menemukan suatu hukum yang bersifat amaliyah / praktis dan nilai kebenarannya adalah zhanni.

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum islam yang ketiga sesudah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut bahasa, ijtihad berasal dari bahasa Arab Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
   Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dengan demikian kata Ijtihad berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”. Sedangkan menurut istilah jtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam). Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2.  Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Lalu, masalah seperti apa yang dilakukan secara ijtihad? Masalah apapun, selama tidak ada dalilnya secara pasti baik didalam Al-Qur’an atau As-Sunnah. Masalah yang sudah jelas hukumnya seperti shalat, zakat, haji, dan puasa tidak boleh di ijtihadkan lagi. Tetapi bagaimana dengan masalah bayi tabung, keluarga berencana, Shalat di kapal laut atau pesawat? Itulah diantaranya yang harus diijtihadkan. Kemudian apakah dibolehkan kita berijtihad pada masa sekaran? Tentu saja boleh, bahkan di anjurkan. Nabi Muhammad sendiri berkata:
Artinya: ”Apabila seorang hakim di dalam menghukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila salah ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala”
Jenis-jenis ijtihad antara lain yaitu:
Contoh penyelesaian masalah melalui ijtihad saat ini adalah tentang bayi tabung. Nah, pertanyaannya adalah pengadaan bayi tabung itu dihalalkan menurut agama islam atau tidak? Jika kita cari hukum yang mengatur tentang pengadaan bayi tabung pada sumber hukum utama, maka kita tidak akan menemukannya. Nah, Oleh karena itu kita harus menyelesaikannya melalui ijtihad. Arti dari bayi tabung ini adalah pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, Selanjutnya tetap akan berkembang di janin ibu melalui berbagi teknologi yang canggih. Secara hukum islam pengadan bayi tabung ini dapat dihalalkan selama benih yang dibuahi berasal dari orang yang terikat hubungan suami-istri secara syah menurut agama Islam. Dan sebaliknya dapat diharamkan, Jika benih berasal dari orang yang tidak memilki keterikatan hubungan suami istri secara syah menurut agama Islam.


Macam-Macam Ijtihad
Dari segi kajiannya , menurut al- Syatibi dibagi menjadi dua :
a)      Ijtihad Istinbathi
            Ijtihad istimbati adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendarkan pada nash-nadh syari’ah dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya.Dalam ijtihad istimbati ini seorang mujtahid diharuskan memenuhi pensyaratan mujtahid-seperti yang ditengahkan nanti . Hal ini disebabkan mujtahid dalam ijtihad istimbati berhadan langsung dengan nash-nash syari,aht. Karena sulitnya persyaratan sebagai mujtahid sempurna , maka menurut al-Syatibi ,mujtahid dalam ijtihad istimbati ini kemungkinan akan putus , khususnya dizaman modern yang spesialisasi ilmu semakin diperketat dan dipersempit, sehingga orang lebih cenderung menguasai satu bisang ilmu saja. Hal ini berbeda dengan ulama’ terdahulu yang pada umumnya menguasai berbagai bidang ilmu secara integral.
b.   Ijtihad Tatbiqi
            Ijtihad tatbiqi adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi di lapangan . dalam ini seorang mujtahid langsung berhadapan dengan objek hukum di mana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istimbati akan diterapkan . Bagi seorang mujtahid dalam ijtihad tatbiqi dtuntut untuk memahami maqashid al syari’ah secara mendalam. Hal ini dimaksudkan agar dia dapat menentukan apakah ide hukum yang telah dihasilkan tersebut jika diterapkan pada kasus yang sedang dihadapkan bisa mencapai maqashid syari’ah atau tidak . Menurut al- Syatibi , bentuk ijtihad inilah yang tidak akan terputus dari waktu-kewaktu sampai kapan pun,sebab ini menyangkut penerapan hukum dari masalah-masalah kehidupan sepanjang masa.
            Adapun ijtihad dilihad dari segi relevansinya dengan masalah-masalah kontemporer ,menurut Yusuf al- Qardawi dibagi menjadi dua:
a) Ijtihad Intiqa’i
            Ijtihad intiqa’i ini dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dengan cara memilih pendapat para ahli fiqhi terdahulu dalam suatu masalah , sebagai mana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqhi, dengan menyeleksi pendapat yang lebih kuat yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan untuk diterapkan pada kondisi sekarang. Ijtihad intiqa’i yang rumusannya secara teoritis dikemukakan oleh Yusuf al-Qardawi ini , secara praktis sebenarnya sudah dilakukan oleh para ulama’ fiqhi klasik, seperti Ibnu Qudamah (tokoh fiqhi hambali) dalam bukunya       al-Mughnida dan an-Nawawi (tokoh fiqhi al-Syafi’i dalam bukunya al-Majmu, Syarah al-Muhadzdzab).
b) Ijtihad Insya’i
            Ijtihad insya’i yang dimaksud adalah pengambilan hukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh parah ahli fiqhi sebelumnya,baik mengenai masalah yang baru maupun yang lama. Jika masalah yang dikaji itu baru yang sama sekali belum pernah ditemukan kasus dan hukumnya ,maka mujtahid munsyi’ berupaya untuk menentukan hukumnya dengan memahami dan meneliti secara menyeluruh kasus yang dihadapi, sehingga dengan tepat ia dapat menentukan hukumnya sesuai demgan tujuan syari’at yang ada . Jika masalah yang dikaji itu sudah pernah diketengahkan kasus dan hukumnya oleh para ulama’sebelumnya,maka mujtahid munsyi’ dapat melakukan ijtihad dengan memunculkan pendapat yang baru diluar pendapat yang ada.
·      Tingkatan Mujtahid
Mujtahid dapat dikelompokkan kedalam 4 klasifikasi :
1.   Mujtahid yang berkemampuan berijtihad seluruh masalah hukum islam dan hasilnya diikuti oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri, tanpa memungut pendapat orang lain. Dinamakan dengan mujtahid fisysyar’i .Misalnya : Imam Malik, Hanafi, Hambali, Syafi’i.
2.   Mujtahid fil madzhab adalah mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat salah satu madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya : Abu Yusuf yang mengikuti pendapat madzhab Hanafi.
3.   Mujtahid fil masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah tertentu. Ciri-ciri mujtahid ini yaitu :
  • Dalam berijtihad mengikuti  pendapat Imam madzhab tertentu
  • Lapangan ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-hal yang cabang saja. Contohnya :Al-Ghzali
BAB III
KESIMPULAN

1.  Ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fIqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
2.  Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :
a).  Ijma
b).  Qiyas
c).   Istihsan
d).   Maslahat al Murasalah
3.  Seorang Mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni.












DAFTAR PUSTAKA

Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. pokok-pokok hukum islam MKDU.
Syarah Mandumatul Waraqat fii Usulil Fiqhi
Mubarak, Zakky.2007. Menjadi Cendikiawan Muslim; Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah
http://almanaar.workut dpress.com/2007/10/22/pengertian-ijtihad/








[1] Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. pokok-pokok hukum islam MKDU. Hal :77
[2] Syarah Mandumatul Waraqat fii Usulil Fiqhi
[3] Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. pokok-pokok hukum islam MKDU. Hal : 1
[4] Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. pokok-pokok hukum islam MKDU. Hal : 7-9
[5] Ibid op. Cet. H : 3
Previous
« Prev Post

Related Posts

Kamis, Oktober 25, 2012

0 comments:

Posting Komentar