TENAGA KERJA DAN PERBURUHAN
Akar Masalah Perburuhan Dalam Negeri
Sudah menjadi
tradisi tahunan bagi seluruh buruh di dunia untuk memperingati 1 Mei sebagai
Hari Buruh dan pada setiap tanggal itu, bisa dipastikan bahwa seluruh buruh di
dunia termasuk Indonesia, akan selalu melakukan aksi demonstrasi dengan membawa
agenda perbaikan nasib mereka. Tentunya aksi buruh tersebut haruslah disikapi
dengan matang sebagai sebuah penegasan dari para buruh bahwa persoalan
perburuhan hingga saat ini masih saja belum terpecahkan. Hubungan industrial
antara buruh dan pengusaha, belum mencapai titik harmonis, selalu ada ganjalan
yang terselip. Dan yang paling nyata adalah adanya unsure kepentingan yang
melekat dalam setiap mengambil kebijakan dalam perburuhan.
Memang unsure
kepentingan dimaksud hampir dalam setiap kebijakan pemerintah selalu menjadi
permasalahan yang cukup menguras perhatian banyak pihak. namun dalam kasus
perburuhan, nampaknya unsure kepentingan tersebut begitu nyata dan sangat
merugikan kaum buruh sehingga memaksa kaum buruh untuk terus menyuarakan
kepentingannya demi terciptanya keadilan dalam bidang perburuhan.
Salah satu problem
nyata yang langsung menyentuh dan sangat mendesak untuk mendapat perhatian
serta menjadi akar masalah dalam bidang perburuhan dalah rendahnya atau tidak
sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh buruh dengan apa yang telah
ditetapkan dalam undang-undang. Kalaupun sebenarnya ketentuan dalam
undang-undang sudah dipenuhi, bila kita mau jujur, dari segi substansi
perundang-undangan juga buruh sangatlah dirugikan dan selalu menjadi pihak yang
dipojokkan.
Disatu sisi,
meningkatnya kebutuhan hidup, namun tidak dibarengi dengan kenaikan gaji yang
diterima atau relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum
buruh. Sementara itu fakta yang begitu sering terpampang di depan mata adalah
rendahnya gaji buruh justru dipandang menjadi penarik bagi investor asing.
Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah,
justru memelihara kondisi seperti itu.
Kondisi ini
menyebabkan pemerintah lebih sering memihak investor, dibanding buruh. Maklum,
dalam hal memberikan perhatian, pemerintah sudah mulai hitung-hitungan
pemasukan. Bila pemerintah memihak pada buruh, maka tentunya pemsukannya
sangatlah minim, sementara bila pemerintah memihak pada investor, maka
sumber-sumber pendapatan Negara, baik yang legal maupun yang illegal akan
sangat mudah untuk didapatkan.
Hubunganya
dengan SDM
Rendahnya gaji yang
diterima juga sangatlah berhubungan dengan rendahnya kualitas Sumber Daya
Manusia. Persoalannya, bagaimana SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan
mahal? Sebagaimana kita ketahui bahwa apa yang diamanatkan dalam UUD 1945
sebagai konstitusi kita dimana dikatakan bahwa pendidikan adalah merupakan
tanggung jawab Negara ternyata hanya sebatas wacana.
Kenyataan
menunjukkan justru sebaliknya. Pendidikan sekarang ini sudah mulai menciptakan
pengkotak-kotakan masyarakat. Khususnya bagi mereka yang memiliki tingkat
kemapanan ekonomi, maka sekolah favorit yang biasanya menawarkan biaya yang
tidak sedikit akan menjadi pilihan utama mereka. Sementara orang miskian hanya
akan bisa gigit jari mencermati situasi Negara yang semakin kacau balau ini.
Sementara dalam hal
membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat batas minimal gaji
yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal
dengan istilah upah minimum regional (UMR) atau upah minimum provinsi (UMP)
atau upah minimum kabupaten/kota (UMK). Intervensi pemerintah dalam hal ini
ditujukan untuk menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh
karena membayar di bawah standar hidupnya.
Sedangkan penetapan
UMR/UMP/UMK sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas
terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi
normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah
sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari
perusahaan yang bersangkutan.
Penetapan
UMR/UMP/UMK di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh malas untuk memaksa pengusaha
memberi gaji minimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit. Di
sisi lain UMR/UMP/UMK kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar
tidak terlalu tinggi, meskipun buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya
dalam proses produksi suatu perusahaan.
Tidak Mampu Menjembatani
Untuk mengatasi
problem ini, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU yang baru dalam bidang
ketenagakerjaan yaitu UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan harapan
agar masalah perburuhan dapat menemui titik tengah dan tidak menjadi akar
konflik diantara para pihak yang berkepentingan.
Namun ternyata UU
tersebut belum sepenuhnya mampu memayungi dan menjembatani kepentingan buruh
dan pengusaha. Bahkan, kehadiran UU itu, justru menjadi ganjalan yang hingga
kini tak kunjung mampu diselesaikan pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Perbedaan kepentingan antara buruh dan pengusaha yang sangat ekstrem, menjadi
titik tolak segala persoalan tersebut, yang bermuara pada masalah
kesejahteraan.
Tak kunjung
selesainya persoalan kesejahteraan tersebut, menjadi pemantik buruknya kondisi
perburuhan di Indonesia, sekaligus menjadi faktor yang menyebabkan Indonesia
tak lagi dianggap sebagai tempat yang layak untuk berinvestasi. Kepentingan
untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya guna melumasi kembali roda
perekonomian yang tak kunjung bergerak cepat, tak pernah terealisasi.
Sebaliknya, berbagai
keluhan dilontarkan pemodal, terutama asing, terkait dengan situasi perburuhan
di Indonesia. Akibatnya, tak sedikit pemodal yang memindahkan lini industrinya
di negara kita ke negara lain. Nilai investasi pun merosot. Bagi pengusaha
(pemodal), UU Ketenagakerjaan di Indonesia dianggap sangat membebani pengusaha,
terutama menyangkut pesangon. Tak hanya pemodal asing, pengusaha dalam negeri
pun banyak memberi penilaian yang sama.
Hal itu dianggap
menjadi faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia untuk menarik investasi
tak lagi kompetitif dibanding negara lain, semisal Vietnam. Apalagi, ditambah
aturan perpajakan yang dianggap tak memberi insentif bagi peningkatan investasi
asing, di tengah persaingan global yang meningkat.
Sebaliknya, bagi
buruh, kehadiran UU Ketenagakerjaan dianggap belum cukup memayungi kelangsungan
hidup mereka di tempat kerja. Buruh tetap menuntut jaminan bahwa mereka
memperoleh hak-hak kesejahteraan secara layak, yang dari kaca mata pengusaha
dianggap berlebihan.
Menghadapi kerumitan
tersebut, belakangan pemerintah sempat berencana merevisi sejumlah pasal dalam
UU 13 Tahun 2003, dengan meminta kajian dari akademis. Tujuannya adalah untuk
mencari solusi terbaik guna memacu investasi. Namun, sontak rencana gugur di
tengah jalan, karena buruh menolak keras. Buruh khawatir, revisi itu mengancam
jaminan hak-hak mereka. Posisi mereka pun tegas, UU 13 Tahun 2003 adalah
pijakan minimal, bahkan mereka menuntut lebih dari itu. Dengan mencermati berbagai
persoalan tersebut, penyempurnaan UU Ketenagakerjaan adalah sebuah keharusan,
sebagai landasan yuridis guna menciptakan hubungan industrial yang harmonis
antara buruh dan pengusaha.
Hubungan
Perburuhan
Hubungan industrial
adalah suatu system hubungan yang terbentuk antar para pelaku dalam proses
produksi barang atau jasa, yang terdiri dari pengusaha dan pemerintah.
Sementara hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
A. Alasan Karyawan
Bergabung Dalam Serikat Pekerja
Ada beberapa alsan mengapa karyawan bergabung dalam serikat
pekerja, antara lain:
1.
Hubungan Sosial
2.
Adanya Peluang untuk
kepemimpinan
3.
Tekanan dari
Lingkungan
4.
Ketidakpuasan
terhadap Manajemen
B. Tujuan Serikat
Pekerja
Serikat pekerja
memiliki beberapa tujuan antara lain :
1.
Keselamatan serikat
pekerja
2.
Keselamatan pekerja
3.
Wadah aktivitas ±
aktivitas
4.
Peningkatan
kesejahteraan pekerja
5.
Peningkatan kondisi
kerja
6.
Kewajaran dan
keadilan
C. Jenis-Jenis Serikat
Pekerja
Ada 3 jenis serikat pekerja yaitu :
1.
Craft Unions
Craft unions adalah serikat pekerja yang anggotanya terdiri
dari sekelompok karyawan dengan latar belakang ketrampilan yang sama.
2.
Industrial Unions
Industrial Unions adalah serikat pekerja yang dibentuk atas
dasar kesamaan lokasi pekerjaan. Terdiri dari sekelompok karyawan yang memiliki
ketrampilan maupun yang tidak memiliki ketrampilan.
3.
Mixed Unions
Mixed unions merupakan srikat pekerja dimana di dalamnya
terdapat karyawan yang memiliki ketrampilan, tidak mempunyai ketrampilan dan
setengah ketrampilan dari lokasi tertentu, tidak memandang dari industri mana.
D. Perundingan Kolektif
Perundingan kolektif adalah suatu
proses di mana para wakil dua kelompok bertemu dan mempunyai tujuan merundingan
( negoisasi ) suatu kontrak perjanjian yang mengatur kedua belah pihak di waktu
mendatang. Dalam hubungan serikat pekerja ± manajemen, perundingan kolektif
merupakan proses negoisasi antara pihak karyawan yang diwakili oleh serikat
pekerja dengan pihak manajemen untuk menetapkan :
1.
Traditional
Adalah tentang distribusi benefit, yaitu pengupahan, kondisi
kerja, promosi, PHK, hak ± hak manajemen dan sebagainya.
2.
Integratif
Terkait dengan bermacam ± macam masalah kepentinga timbale
balik antara kedua belah pihak yang lebih besar.
E. Faktor ± faktor yang
Berpengaruh terhadap Perundingan Kolektif
Ada beberapa unsure yang perlu diperhatikan dalam
perundingan kolektif, yang akan mempengaruhi sikap, proses, dan hasil perundingan,
di antaranya :
1.
Cakupan perundingan
2.
Tekanan ± tekanan
perundingan serikat pekerja
3.
Peranan pekerja
4.
Kesediaan organisasi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Maju mundurnya suatu industry sangat
ditunjang oleh peranan buruh. Dalam membangun tenaga kerja / buruh yang
produktif, sehat, dan berkualitas perlu adanya manajemen yang baik, khususnya
yang berkaitan masalah kesehatan dan keselamatan kerja ( K3 ).
Uraian dan tujuan manajemen K3 adalah sebagai berikut :
1.
Sebagai alat untuk
mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi ± tingginya,
2.
Sebagai upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit dan kecelakaan ± kecelakaan akibat kerja,
pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan, dan gizi tenaga kerja, perawatan dan
mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga manusia, pemberantasan
kelelahan kerja, pelipat ganda kegairahan serta kenikmatan kerja.
Faktor ± faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, baik
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan maupun kecelakaan kerja disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1.
Faktor fisik, yang
meliputi penerangan, suhu udara, kelembaban, cepat rambat udara, suara, vibrasi
mekanis, radiasi, tekanan udara, dan lain-lain.
2.
Faktor kimia, yang
berupa gas, uap, debu, kabut, awan, cairan, dan benda-benda padat.
3.
Faktorn biologi, baik
dari golongan hewan maupun dari tumbuh-tumbuhan.
4.
Faktor fisiologis,
seperti konstruksi, sikap, dan cara kerja.
5.
Faktor
mental-psikologis, yaitu sususnan kerja, hubungan diantara pekerja atau dengan
pengusaha, pemeliharaan kerja dan sebagainya.
Kondisi Kerja Masa Kini
I. Adapun faktor ±
faktor yang perlu diperhatikan dalam industry :
1.
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja ( K3 )
2.
Memilki fasilitas /
peralatan built-in ( melekat )
3.
Penggunaan peralatan
yang tidak melebihi nilai ambang batas ( NAB )
4.
Jabatan fungsional
5.
Faktor gizi yang
mendukung produktivitas
II. Keterkaitan antara keselamatan dan
kesehatan kerja serta produktivitas
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan produktivitas kerja
antara lain :
1.
Pengaturan jam kerja
Jam kerja normal adalah 40 jam seminggu. Tidak semua
pekerjaan memiliki jam kerja yang sama. Tergantung jenis pekerjaan yang
mengandung bahaya.
2.
Kemudahan menghemat
waktu dan efisiensi kerja
Setiap karyawan mengetahui spesifikasi jabatan dan deskripsi
jabatan yang apabila dikaji dengan standar untuk kerja dengan volume pekerjaan
akan diperoleh suatu jam kerja yang efisien dan efektif. Oleh karena itu telah
diadakan berbagai upaya pengurangan jam kerja untuk waktu istirahat dan libur
sebagai kompensasinya.
Sistem shift yang didukung oleh model upah shift
·
Kenyamanan kerja
·
Keamanan kerja
·
Keselamatan dan
kesehatan kerja gaya bar (K3)
III. Kebijakan Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja
a.
Budayakan K3 melalui
pendidikan formal dengan rancangan kurikulum dengan menampilkan simulasi
program K3 yang lebih menarik dan menimbulkan etos kerja dan partisipasi.
b.
Mempersiapkan tenaga
ahli K3 di semua sector pekerjaan.
c.
Memperkenalkan konsep
K3GB lewat system built-in
d.
Perlu ada
pendelegasian wewenang terhadap teknologi perlindungan K3 dan dikoordinasi
departemen tenaga kerja.
e.
Teknologi
perlindungan K3 dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru
f.
Membuat standarisasi
baru dengan tambahan komponen K3
g.
Meningkatkan
pengawasan mutu melalui uji coba teknologi
h.
Perlu ada tinjauan
untuk selalu memperbaharui konsep K3 dalam periode tertentu.
IV. Kesejahteraan Tenaga Kerja
Untuk mencegah gangguan kesehatan dan
daya kerja, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan agar karyawan tetap
produktif dan mendapatkan jaminan perlindungan keselamatan kerja, yaitu :
a.
Pemeriksaan kesehatan
sebelum bekerja.
b.
Pemeriksaan kesehatan
berkala untuks evaluasi
c.
Pendidikan tentang
kesehatan dan keselamatan kepada karyawan secara kontinu
d.
Penerangan dan
penjelasan sebelum bekerja.
e.
Pakaian, pelindung
missal masker,sarung tangan sepatu dan sebagainya.
f.
Isolasi, yaitu
mengisolasi operasi atau proses produksi dalam memperoleh yang membahayakan
karyawan.
g.
Ventilasi setempat,
adalah alat untuk menghisap udara dari suatu tempat kerja tertentu, agar
bahan-bahan dari suatu tempat dihisap dan dialirkan keluar.
h.
Substitusi, yaitu
mengganti bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang tidak berbahaya
i.
Ventilasi umum, yaitu
mengalirkan sebanyak menurut perhitungan ke dalam ruang kerja.
SEJARAH HUKUM PERBURUHAN
Pada
awalnya hukum perburuhan termasuk dalam hukum perdata yang diatur dalam BAB VII
A buku III KUHP tentang perjanjian kerja. Setelah Indonesia merdeka, hukum
perburuhan di Indonesia mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya
terbit UU No.1 tahun 1951 tentang berlakunya UU No.12 tahun 1948 tentang kerja,
UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No.14
tahun 1969 tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan lain-lain.
PENGERTIAN HUKUM
PERBURUHAN
1.
Menurut Molenaar : Hukum yang pada pokoknya mengatur hubungan antara majikan
dan buruh, buruh dengan buruh dan antara penguasa dengan penguasa.
2.
Menurut Levenbach : Sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan
hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan.
3.
Menurut Van Esveld : Hukum perburuhan tidak hanya meliputi hubungan kerja yang
dilakukan dibawah pimpinan, tetapi termasuk pula pekerjaan yang dilakukan atas
dasar tanggung jawab sendiri.
4.
Menurut Imam Soepomo : Himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berkenaan dengan kejadian seseorang bekerja pada orang lain enggan menerima
upah.
LINGKUP HUKUM
PERBURUHAN
Menurut
JHA. Logemann, “Lingkup laku berlakunya suatu hukum adalah suatu keadaan /
bidang dimana keadah hukum itu berlaku”. Menurut teori ini ada 4 lingkup Laku
Hukum antara lain :
1. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Lingkup laku pribadi
mempunyai kaitan erat dengan siapa (pribadi kodrati) atau apa (peran pribadi
hukum) yang oleh kaedah hukum dibatasi. Siapa – siapa saja yang dibatasi oleh kaedah
Hukum Perburuhan adalah :
a.
Buruh.
b.
Pengusaha.
c.
Pengusaha
(Pemerintah)
2. Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Lingkup
laku menurut waktu ini menunjukan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur
oleh kaedah hukum.
3. Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Lingkup
laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di
beri batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.
4.
Lingkup Waktu Menurut
Hal Ikhwal
Lingkup
Laku menurut Hal Ikwal di sini berkaitan dengan hal – hal apa saja yang menjadi
objek pengaturan dari suatu kaedah.
Hukum adalah
suatu norma atau aturan yang memiliki fungsi untuk mengatur hidup masyarakat
lebih teratur. Di abad 19 mulai banyak ciptaan-ciptaan besar di bidang hukum,
misalnya disusunnya hukum publik dan hukum privat. Di masa ini, bidang hukum
kemudian semakin berevolusi sehingga munculnya hukum-hukum lain yang
berlandasankan kedua hukum tersebut, contohnya seperti hukum perburuhan.
Hukum perburuhan adalah bagian
dari suatu hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara
buruh dan majikan, buruh dengan buruh, dan penguasa dengan penguasa (Monelaar).
Awal mula munculnya hukum perburuhan ini berasal dari hukum privat, namun
lambat laun karena terpengaruhi oleh campur tangan pemerintah untuk memperbaiki
kehidupan perburuhan di Indonesia, maka sifat publik pun semakin terlihat dalam
hukum perburuhan tersebut.
Menurut
teori JHA. Logemann ada empat macam lingkup laku hukum perburuhan. Pertama
adalah Lingkup Laku Pribadi yang mempunyai kaitan erat dengan siapa atau apa
yang oleh kaidah hukum dibatasi. Yang termasuk dalam lingkup ini adalah buruh,
pengusaha, dan pemerintah. Kedua adalah Lingkup Laku menurut Waktu, yang
menunjukan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaidah hukum. Dalam
hukum perburuhan ada beberapa peristiwa tertentu yang terjadi pada waktu yang
berbeda-beda. Misalnya ketika sebelum hubungan kerja, pada saat hubungan kerja,
atau pun setelah hubungan kerja terjadi. Ketiga adalah Lingkup Laku menurut
Wilayah, yang berlaku apabila suatu hubungan kerja terjadi pada daerah-derah
tertentu yang memiliki kaidah hukum tersendiri baik itu tingkat regional maupun
nasional. Yang keempat adalah Lingkup Laku menurut Ikhwal. lingkup ini
digolongkan menjadi beberapa bagian antara lain, hal – hal yang berkaitan
dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan, Perlindungan Jaminan Sosial dan
Asuransi Tenaga Kerja, serta Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
Hubungan
Perburuhan adalah hubungan antara unsur-unsur dalam produksi yaitu buruh,
pengusaha dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai – nilai yang terkandung
dalam Pancasila, inti dari pola hubungan perburuhan Pancasila adalah bahwa
setiap perselisihan perburuhan yang terjadi harus diupayakan diselesaikan
melalui musyawarah untuk mufakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada tiga asas yang digunakan yaitu :
1.
Asas Partner in
Production
Dimana buruh dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama
untuk meningkatkan kesejahteraan buruh mampu meningkatkan hasil usaha/
produksi. Hal ini tercermin dalam system ci-determination.
2.
Asas Partner in
Profit
Hasil
yang dicapai perusahaan itu seharusnya bukan untuk dinikmati oleh pengusaha
saja, tetapi harus dinikmati oleh buruh yang turut serta dalam mencapai hasil
produksi tersebut.
3.
Asas Partner in
Responsibility
Dimana
buruh dan pengusaha memiliki tanggung jawab untuk bersama – sama meningkatakan
hasil produksi. Rasa tanggung jawab kedua belah pihak ini akan mendorong hasil
produksi yang meningkat lagi.
Untuk mengeoperasikan Hubungan Perburuhan Pancasila
tersebut, telah ditetapkan berbagai sarana yaitu :
·
Lembaga Bipartite /
Tripartite
Melalui
Lembaga Bipartite/Tripartite, setiap perselisihan yang terjadi dapat
diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui
Lembaga Bipartite berarti penyelesaian yang dilaksanakan melalui dua
pihak,yaitu Buruh dan Pengusaha (secara intern). Penyelesaian melalui lembaga
Tripartite berarti mengundang pihak pemerintah untuk ikut serta menyelesaikan
perselisihan yang terjadi secara musyawarah untuk mufakat.
·
Kesepakatan Kerja
Bersama (Perjanjian Perburuhan)
Melalui
perjanjian perburuhan para pihak yang terkait dalam phubungan kerja mengetahui
secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajibannya sehingga dengan demikian
dapat diharapkan mencegah timbulnya perselisihan.
·
Peradilan Perburuhan
Melalui
peradilan perburuhan, setiap perselisihan yang timbul dapat diselesaikan secara
damai, sehingga kemungkinan untuk mogok / lock-out dapat dicegah sedini
mungkin.
·
Peraturan Perundang –
undangan Perburuhan
Peraturan
perundang-undangan perburuhan mutlakdiperlukan dan harus dapat mengakomodasi
semua kepentingan pekerja maupun pengusaha, sehingga dengan demikian kepastian
hokum dapat tercipta dan dapat mengurangi terjadinya perselisihan perburuhan
yang dapat menimbulkan tindakan mogok/lock-out.
·
Masalah khusus yang
harus diperhatikan yaitu masalah upah dan masalah pemogokan.
Melalui penanganan / pengaturan masalah pengupahan secara memadai, akan mengurangi timbulnya perselisihan peruruhan yang berkaitan dengan masalah upah. Demikian pula masalaah pemogokan yang pada hakekatnya merupakan penyelesaian perselisihan pekerja secara tidak damai, sedapat mungkin dihindari dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Melalui penanganan / pengaturan masalah pengupahan secara memadai, akan mengurangi timbulnya perselisihan peruruhan yang berkaitan dengan masalah upah. Demikian pula masalaah pemogokan yang pada hakekatnya merupakan penyelesaian perselisihan pekerja secara tidak damai, sedapat mungkin dihindari dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Pengertian dan Hukum Perburuhan
Ketika kita mendengar kata “hukum,” apa yang
pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung
membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga.
Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka
kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara,
pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang
timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara
kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum.
Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum
memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga
ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional),
tujuh ribu rupiah misalnya.
Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum
merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan
kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat
tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian
ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang
disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai “hukum.” Sehingga
pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi
keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali
pertama ini tentang proses
penciptaan hukum.
1.
Proses
Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang
marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang
diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari
perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua
kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan
antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal
bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada
situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan
tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan
menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga
kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar
kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih
adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.
2.
Proses
Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di sisi lain
terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat
pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang
mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat
feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat
hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah,
maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan
tanah tersebut. Orang-orang ‘miskin’ itu bekerja dan sepenuhnya hidup
tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur
masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi
isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang
lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak,
maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa
yang dia inginkan.
Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan
orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum
seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya
sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan
perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala
penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena
masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul
dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar
Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud
dengan hukum ialah suatu
rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah
dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana
pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.
Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu
norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma
kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang
lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi
yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman
ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan,
kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa
apabila kita menyebutkan ‘hukum’, maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan
kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga
ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:
1.
Buku-buku yang
berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
2.
Lembaga-lembaga
penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan,
kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
3.
Manusia penegak
hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan
lain-lain.
Oleh karena itu, hukum barulah dapat
ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin
menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan
yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang.
Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali
tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum
baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk
dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang
akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah
hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum
tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam
masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau
reformasi hukum.
Hukum dan Perkembangan Masyarakat
Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama
Karl Von Savigny mengatakan bahwa “Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi
tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.” Pernyataan itu dapat
diandaikan sebagai berikut:
Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar
sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata
tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun
90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan
bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah
benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan
bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan,
peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang
kendaraan bermotor.
Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau
Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal
yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak
dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu
menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus
pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan
senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum,
seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak
lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum
hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan
penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di
Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat
disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita
mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua
cara kajian:
1.
Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan
melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur
pihak-pihak yang bersengketa);
2.
Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan
pihak-pihak.
Hukum
perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas,
yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh.
Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang
kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh
jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari.
Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari
untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia.
Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal
yang berkembang dalam masyarakat.
QUO VADIS POLITIK PERBURUHAN INDONESIA ?
(Telaah
Kritis LBH Bandung
atas RPP Pesangon dan RPP Jaminan PHK)
Perjuangan kaum buruh Indonesia
untuk memperoleh jaminan kepastian kerja ternyata semakin jauh dari harapan.
Agreement yang ditandatangani oleh Soeharto dengan IMF yang tertuang dalam
Letter of Intent (LoI) telah menyebabkan kondisi buruh Indonesia makin terpuruk
tingkat kesejahteraannya. Kebijakan yang
tertuang dalam Letter of Intent tersebut mendorong terjadinya Reformasi Hukum
Perburuhan dimana pemerintah harus merubah semua produk hukum perburuhan sejak
jaman Soekarno yang cenderung pro buruh. Reformasi Hukum Perburuhan yang
melahirkan 3 Paket UU Perburuhan (UU 21/2000, UU 13/2003 dan UU 2/2004) juga
telah melepaskan proteksi Negara terhadap buruh.
Dalam posisi buruh yang subordinat, kehadiran
Negara sangatlah dibutuhkan sebagai faktor yang menyeimbangkannya. Walaupun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat
diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala
tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Dalam
proses produksi dimana hubungan buruh – majikan sangat timpang maka sangatlah
tidak adil apabila Negara memberikan perlindungan serta menempatkan posisi
keduanya dalam kedudukan yang sama. Commons dan
Andrews mengatakan “where the parties are unequal (and public purpose is
shown) then the state which refuses to redress the unequality is actually
denying to the weaker party the equal protection of the laws.”
Friedman
menyatakan bahwa peran negara adalah “pembentuk aturan dan wasit.” Terlihat di
sini bahwa di satu sisi, neo-liberalisme menginginkan agar negara tidak ikut
campur dalam arus perdagangan antar-negara. Namun disisi lainnya, negara
diharapkan ikut serta dalam memberikan aturan-aturan yang memudahkan
liberalisasi perdagangan. Di titik inilah kemudian muncul upaya untuk
mempengaruhi negara sebagai pembuat hukum yang memuluskan liberalisasi. Dalam
konteks hukum, konstitusionalis pro-neo-liberalisme semacam Schneiderman
misalnya, dengan mengutip Panitch dan Santos, menyatakan bahwa negara
seharusnya tidak dipinggirkan dalam sistem ekonomi global. Yang diperlukan
justru adalah reorganisasi negara. Hal ini dikarenakan fakta bahwa negara
adalah penyusun perangkat hukum yang dapat menata kembali batas-batas bagi
tindakan yang dapat dilakukan dalam kerangkan neo-liberalisme. Di sini lebih
jauh lagi bahkan ada upaya yang lebih sistematis untuk memanfaatkan negara
untuk menciptakan perangkat konstitusional yang menyokong neoliberalisme.
Dalam beberapa kajian, salah satu biang dari buramnya potret perburuhan di Indonesia adalah terkait kebijakan politik upah murah terhadap buruh. Inilah yang dipakai oleh rezim Orde baru sebagai keunggulan komparative dalam menarik investor demi kepentingan ekonomi dan pembangunan. Buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi layaknya modal, yang nilainya bisa dimainkan dan diperebutkan oleh mekanisme pasar. Bahkan, peraturan dan perundang-undangan yang dibuat pemerintah selalu dipengaruhi oleh para pemilik modal. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan lebih berpihak kepada pengusaha ketimbang kepada rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh.
Kondisi ini dapat dilihat dari dikeluarkannya Inpres No. 3/2006 tentang Arah Percepatan Kebijakan Investasi serta lahirnya UU 25/2007 tentang Penanaman Modal yang kental nuansa liberalnya dan cenderung berpihak pada kepentingan pemodal. Hal ini jelas menunjukkan betapa globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh, terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diimplementasikan hanya untuk mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan mengorbankan kaum buruh sebagai tumbal. Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital.
Setelah rencana untuk melakukan revisi UU 13/2003 mendapatkan resistensi yang cukup kuat dari hampir semua elemen buruh, pemerintah mulai menerapkan strategi baru dengan cara mengeluarkan rancangan peratutan yang berkaitan dengan pesangon dan jaminan akibat pemutusan hubungan kerja (RPP Pesangon dan RPP Jaminan PHK). Apabila kita melihat konsideran kedua RPP tersebut memang ada niat baik pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap buruh yang diPHK sehingga dipandang perlu adanya jaminan PHK melalui semacam asuransi PHK. Namun ternyata niat baik pemerintah tersebut tetap dalam konteks menciptakan hubungan industrial yang kondusif serta iklim usaha yang kompetitif. Artinya konstruksi hukum kedua RPP ini memang sengaja dirancang untuk kepentingan investor dan menafikan hak-hak buruh .
RPP Pesangon : Wujud Ketidakkonsistenan Pemerintah terhadap Hukum
Sebenarnya kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan kedua RPP ini sudah mulai terlihat ketika rencana untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003 ditolak oleh semua serikat buruh. Tiga Paket UU Perburuhan sebenarnya merupakan turunan dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional). Selain itu didalam Inpres 3/2006 dan juga RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) pemerintahan SBY berusaha untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas dengan cara “menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan”.
Dari sudut pandang hukum RPP Pesangon sebenarnya sudah cacat secara hukum. Sebab dalam Pasal 156 ayat (5) UU 13/2003 pemerintah telah membuka ruang bagi adanya pelanggaran hukum melalui peraturan pemerintah untuk mengatur lain dari yang ada dalam UU tersebut. Pasal 156 ayat (5) menyebutkan bahwa : “perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan peraturan pemerintah”. Dengan demikian aturan yang telah dibuat dalam UU 13/2003 dapat simpangi dan diganti oleh peraturan pemerintah.
UU No. 10 tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia mengatur sebagai berikut :
a. UUD 1945;
b. UU/Perpu;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah;
Dengan melihat UU tersebut diatas kebijakan untuk merubah besaran perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang uang penggantian hak jelas-jelas telah melanggar UU tersebut. Artinya peraturan pemerintah tidak mungkin bertentangan dengan aturan hukum yang derajatnya lebih tinggi (UU 13/2003).
Disisi lain apabila kita mencermati isi RPP Pesangon terkait dengan permasalahan besaran pesangon yang dibatasi maksimal 5 kali PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) ternyata telah menimbulkan fragmentasi antara buruh kerah putih (white collar worker) dengan buruh kerah biru (blue collar worker). Buruh kerah biru merasa tidak mempunyai kepentingan didalam menentang pasal yang terkait dengan besaran maksimal pesangon apalagi dengan melihat besaran upah yang mereka terima yang memang dibawah PTKP. Akibat yang terjadi dilapangan adalah adanya perbedaan orientasi mengenai cara dan tujuan penolakan terhadap substansi RPP Pesangon.
RPP Jaminan PHK : Hilangnya Jaminan dan Kepastian Kerja
Dalam RPP Jamsostek yang dirancang pemerintah, selain 4 program yang selama ini dikelola oleh PT. Jamsostek, pemerintah mengusulkan adanya jaminan PHK. Jaminan PHK ini sama halnya dengan Jaminan Hari Tua (JHT) dimana premi dibebankan kepada buruh dan juga perusahaan. Hanya dijelaskan dalam Pasal 2 RPP JPHK bahwa penyelenggara program jaminan PHK bukan monopoli dari PT. Jamsostek. Artinya dimungkinkan badan penyelenggara asuransi lain untuk terlibat mengelola dana ini.
Apabila melihat latarbelakang lahirnya RPP JPHK ini sebenarnya ada niat baik dari pemerintah untuk mencoba memberikan proteksi kepada buruh agar terhindar dari investor nakal yang sering kabur keluar daripada membayar upah pesangon kepada buruhnya. Namun dengan melihat pengalaman PT. Jamsostek selama ini dalam mengelola dana buruh, ada kekhawatiran bahwa dana tersebut akan diinvestasikan untuk kepentingan diluar kepentingan kesejahteraan buruh.
Apabila RPP JPHK ini berlaku, maka buruh sebagai pemegang hak jaminan PHK harus menagih klaim kepada perusahaan konsorsium asuransi, dimana PT. Jamsostek juga masuk didalamnya. Karena tanggungjawab membayar pesangon tidak lagi pada pengusaha maka dampaknya adalah pengusaha akan semakin mudah dalam mem-PHK buruh. Besaran jaminan PHK juga menjadi masalah terkait dengan pembayaran yang menjadi hak buruh dimana mekanismenya tetap pada penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Melihat tingkat kepercayaan masyarakat yang sudah pada titik nadir ke lembaga peradilan, maka pembayaran jaminan PHK setelah menunggu penetapan dari PHI sangat jelas merugikan buruh. Hal ini dengan didasarkan pada kasus-kasus yang terjadi di PHI Bandung yang selama ini ditangani oleh LBH Bandung ternyata pelaksanaannya masih menjadi masalah. UU 2/2004 tentang PPHI menyimpan bom waktu dengan tidak adanya sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak mau membayar pesangon. Dengan melihat kasus Spotec, Tong Yang dimana pengusahanya kabur dan tidak mau membayarkan pesangonnya kepada buruh seharusnya kedua RPP ini juga mengatur tentang sanksi yang cukup tegas bagi pengusaha yang tidak mau membayarkan pesangon.
Memang RPP JPHK ini mengatur mengenai ketentuan sanksi hanya ketentuan sanksi yang diatur masih terkesan “banci” dengan hanya mengenakan sanksi administratif bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pada program jaminan PHK. Selain itu mekanisme pengawasan yang masih dipegang oleh pengawai pengawas Dinas Tenaga Kerja juga menjadi masalah yang belum terpecahkan. Apalagi dengan mental birokrasi yang korup sangat tidak mungkin untuk mengharapkan pelaksanaan RPP ini secara efektif.
Dilain pihak pembahasan kedua RPP ini terkesan secara sembunyi-sembunyi dan luput dari perhatian publik. Pemerintah masih memakai strategi untuk berusaha memecah-belah buruh dengan hanya mengundang 3 konfederasi yang ada (KSPI, KSPSI, KSBSI). Padahal cukup banyak serikat buruh-serikat buruh yang ada diluar 3 konfederasi tersebut diatas. Dari sini tergambar tidak adanya prinsip keterwakilan serikat buruh yang proporsional dalam pembuatan kedua RPP. Proses demikian memiliki kelemahan dalam hal mekanisme pengawasan di internal buruh sendiri untuk menjamin bahwa RPP tersebut akan memberikan perlindungan terhadap buruh. Dengan melihat pengalaman pembahasan UU 13/2003 serikat buruh yang dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut memiliki banyak kepentingan yang tidak berpihak kepada buruh.
Rekomendasi
Dari pembahasan diatas pemerintah harus bisa melepaskan diri dari stigma dan kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh. Pemerintah hendaknya tidak lagi memanipulasi politik perburuhan dalam kerangka buruh murah. Pemerintah harus berani mereformasi paradigma yang menempatkan kaum buruh pada posisi rendah menuju peningkatan kesejahteraan kaum buruh dengan daya tawar yang tinggi. Hal ini penting bagi pemerintah demi melihat politik jangka panjang, yaitu bagaimana memenuhi tanggung jawab Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian RPP Pesangon dan RPP JPHK layak untuk DITOLAK!!!
0 comments:
Posting Komentar