-->

TENAGA KERJA DAN PERBURUHAN

Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 01 Juni 2012


TENAGA KERJA DAN PERBURUHAN

Akar Masalah Perburuhan Dalam Negeri
Sudah menjadi tradisi tahunan bagi seluruh buruh di dunia untuk memperingati 1 Mei sebagai Hari Buruh dan pada setiap tanggal itu, bisa dipastikan bahwa seluruh buruh di dunia termasuk Indonesia, akan selalu melakukan aksi demonstrasi dengan membawa agenda perbaikan nasib mereka. Tentunya aksi buruh tersebut haruslah disikapi dengan matang sebagai sebuah penegasan dari para buruh bahwa persoalan perburuhan hingga saat ini masih saja belum terpecahkan. Hubungan industrial antara buruh dan pengusaha, belum mencapai titik harmonis, selalu ada ganjalan yang terselip. Dan yang paling nyata adalah adanya unsure kepentingan yang melekat dalam setiap mengambil kebijakan dalam perburuhan.
Memang unsure kepentingan dimaksud hampir dalam setiap kebijakan pemerintah selalu menjadi permasalahan yang cukup menguras perhatian banyak pihak. namun dalam kasus perburuhan, nampaknya unsure kepentingan tersebut begitu nyata dan sangat merugikan kaum buruh sehingga memaksa kaum buruh untuk terus menyuarakan kepentingannya demi terciptanya keadilan dalam bidang perburuhan.

Salah satu problem nyata yang langsung menyentuh dan sangat mendesak untuk mendapat perhatian serta menjadi akar masalah dalam bidang perburuhan dalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh buruh dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Kalaupun sebenarnya ketentuan dalam undang-undang sudah dipenuhi, bila kita mau jujur, dari segi substansi perundang-undangan juga buruh sangatlah dirugikan dan selalu menjadi pihak yang dipojokkan.
Disatu sisi, meningkatnya kebutuhan hidup, namun tidak dibarengi dengan kenaikan gaji yang diterima atau relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Sementara itu fakta yang begitu sering terpampang di depan mata adalah rendahnya gaji buruh justru dipandang menjadi penarik bagi investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah, justru memelihara kondisi seperti itu.
Kondisi ini menyebabkan pemerintah lebih sering memihak investor, dibanding buruh. Maklum, dalam hal memberikan perhatian, pemerintah sudah mulai hitung-hitungan pemasukan. Bila pemerintah memihak pada buruh, maka tentunya pemsukannya sangatlah minim, sementara bila pemerintah memihak pada investor, maka sumber-sumber pendapatan Negara, baik yang legal maupun yang illegal akan sangat mudah untuk didapatkan.

Hubunganya dengan SDM

Rendahnya gaji yang diterima juga sangatlah berhubungan dengan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia. Persoalannya, bagaimana SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal? Sebagaimana kita ketahui bahwa apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi kita dimana dikatakan bahwa pendidikan adalah merupakan tanggung jawab Negara ternyata hanya sebatas wacana.
Kenyataan menunjukkan justru sebaliknya. Pendidikan sekarang ini sudah mulai menciptakan pengkotak-kotakan masyarakat. Khususnya bagi mereka yang memiliki tingkat kemapanan ekonomi, maka sekolah favorit yang biasanya menawarkan biaya yang tidak sedikit akan menjadi pilihan utama mereka. Sementara orang miskian hanya akan bisa gigit jari mencermati situasi Negara yang semakin kacau balau ini.
Sementara dalam hal membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat batas minimal gaji yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah upah minimum regional (UMR) atau upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK). Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah standar hidupnya.
Sedangkan penetapan UMR/UMP/UMK sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan.
Penetapan UMR/UMP/UMK di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh malas untuk memaksa pengusaha memberi gaji minimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit. Di sisi lain UMR/UMP/UMK kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya dalam proses produksi suatu perusahaan.
Tidak Mampu Menjembatani
Untuk mengatasi problem ini, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU yang baru dalam bidang ketenagakerjaan yaitu UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan harapan agar masalah perburuhan dapat menemui titik tengah dan tidak menjadi akar konflik diantara para pihak yang berkepentingan.
Namun ternyata UU tersebut belum sepenuhnya mampu memayungi dan menjembatani kepentingan buruh dan pengusaha. Bahkan, kehadiran UU itu, justru menjadi ganjalan yang hingga kini tak kunjung mampu diselesaikan pemerintah dan pihak-pihak terkait. Perbedaan kepentingan antara buruh dan pengusaha yang sangat ekstrem, menjadi titik tolak segala persoalan tersebut, yang bermuara pada masalah kesejahteraan.
Tak kunjung selesainya persoalan kesejahteraan tersebut, menjadi pemantik buruknya kondisi perburuhan di Indonesia, sekaligus menjadi faktor yang menyebabkan Indonesia tak lagi dianggap sebagai tempat yang layak untuk berinvestasi. Kepentingan untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya guna melumasi kembali roda perekonomian yang tak kunjung bergerak cepat, tak pernah terealisasi.
Sebaliknya, berbagai keluhan dilontarkan pemodal, terutama asing, terkait dengan situasi perburuhan di Indonesia. Akibatnya, tak sedikit pemodal yang memindahkan lini industrinya di negara kita ke negara lain. Nilai investasi pun merosot. Bagi pengusaha (pemodal), UU Ketenagakerjaan di Indonesia dianggap sangat membebani pengusaha, terutama menyangkut pesangon. Tak hanya pemodal asing, pengusaha dalam negeri pun banyak memberi penilaian yang sama.
Hal itu dianggap menjadi faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia untuk menarik investasi tak lagi kompetitif dibanding negara lain, semisal Vietnam. Apalagi, ditambah aturan perpajakan yang dianggap tak memberi insentif bagi peningkatan investasi asing, di tengah persaingan global yang meningkat.
Sebaliknya, bagi buruh, kehadiran UU Ketenagakerjaan dianggap belum cukup memayungi kelangsungan hidup mereka di tempat kerja. Buruh tetap menuntut jaminan bahwa mereka memperoleh hak-hak kesejahteraan secara layak, yang dari kaca mata pengusaha dianggap berlebihan.
Menghadapi kerumitan tersebut, belakangan pemerintah sempat berencana merevisi sejumlah pasal dalam UU 13 Tahun 2003, dengan meminta kajian dari akademis. Tujuannya adalah untuk mencari solusi terbaik guna memacu investasi. Namun, sontak rencana gugur di tengah jalan, karena buruh menolak keras. Buruh khawatir, revisi itu mengancam jaminan hak-hak mereka. Posisi mereka pun tegas, UU 13 Tahun 2003 adalah pijakan minimal, bahkan mereka menuntut lebih dari itu. Dengan mencermati berbagai persoalan tersebut, penyempurnaan UU Ketenagakerjaan adalah sebuah keharusan, sebagai landasan yuridis guna menciptakan hubungan industrial yang harmonis antara buruh dan pengusaha.
Hubungan Perburuhan
Hubungan industrial adalah suatu system hubungan yang terbentuk antar para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa, yang terdiri dari pengusaha dan pemerintah. Sementara hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan buruh berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
A.     Alasan Karyawan Bergabung Dalam Serikat Pekerja
Ada beberapa alsan mengapa karyawan bergabung dalam serikat pekerja, antara lain:
1.      Hubungan Sosial
2.      Adanya Peluang untuk kepemimpinan
3.      Tekanan dari Lingkungan
4.      Ketidakpuasan terhadap Manajemen

B.      Tujuan Serikat Pekerja
Serikat pekerja memiliki beberapa tujuan antara lain :
1.      Keselamatan serikat pekerja
2.      Keselamatan pekerja
3.      Wadah aktivitas ± aktivitas
4.      Peningkatan kesejahteraan pekerja
5.      Peningkatan kondisi kerja
6.      Kewajaran dan keadilan

C.      Jenis-Jenis Serikat Pekerja
Ada 3 jenis serikat pekerja yaitu :
1.      Craft Unions
Craft unions adalah serikat pekerja yang anggotanya terdiri dari sekelompok karyawan dengan latar belakang ketrampilan yang sama.
2.      Industrial Unions
Industrial Unions adalah serikat pekerja yang dibentuk atas dasar kesamaan lokasi pekerjaan. Terdiri dari sekelompok karyawan yang memiliki ketrampilan maupun yang tidak memiliki ketrampilan.
3.      Mixed Unions
Mixed unions merupakan srikat pekerja dimana di dalamnya terdapat karyawan yang memiliki ketrampilan, tidak mempunyai ketrampilan dan setengah ketrampilan dari lokasi tertentu, tidak memandang dari industri mana.

D.     Perundingan Kolektif
Perundingan kolektif adalah suatu proses di mana para wakil dua kelompok bertemu dan mempunyai tujuan merundingan ( negoisasi ) suatu kontrak perjanjian yang mengatur kedua belah pihak di waktu mendatang. Dalam hubungan serikat pekerja ± manajemen, perundingan kolektif merupakan proses negoisasi antara pihak karyawan yang diwakili oleh serikat pekerja dengan pihak manajemen untuk menetapkan :
1.      Traditional
Adalah tentang distribusi benefit, yaitu pengupahan, kondisi kerja, promosi, PHK, hak ± hak manajemen dan sebagainya.
2.      Integratif
Terkait dengan bermacam ± macam masalah kepentinga timbale balik antara kedua belah pihak yang lebih besar.

E.      Faktor ± faktor yang Berpengaruh terhadap Perundingan Kolektif
Ada beberapa unsure yang perlu diperhatikan dalam perundingan kolektif, yang akan mempengaruhi sikap, proses, dan hasil perundingan, di antaranya :
1.      Cakupan perundingan
2.      Tekanan ± tekanan perundingan serikat pekerja
3.      Peranan pekerja
4.      Kesediaan organisasi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Maju mundurnya suatu industry sangat ditunjang oleh peranan buruh. Dalam membangun tenaga kerja / buruh yang produktif, sehat, dan berkualitas perlu adanya manajemen yang baik, khususnya yang berkaitan masalah kesehatan dan keselamatan kerja ( K3 ).

Uraian dan tujuan manajemen K3 adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi ± tingginya,
2.      Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit dan kecelakaan ± kecelakaan akibat kerja, pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan, dan gizi tenaga kerja, perawatan dan mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga manusia, pemberantasan kelelahan kerja, pelipat ganda kegairahan serta kenikmatan kerja.

Faktor ± faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, baik penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan maupun kecelakaan kerja disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1.    Faktor fisik, yang meliputi penerangan, suhu udara, kelembaban, cepat rambat udara, suara, vibrasi mekanis, radiasi, tekanan udara, dan lain-lain.
2.    Faktor kimia, yang berupa gas, uap, debu, kabut, awan, cairan, dan benda-benda padat.
3.    Faktorn biologi, baik dari golongan hewan maupun dari tumbuh-tumbuhan.
4.    Faktor fisiologis, seperti konstruksi, sikap, dan cara kerja.
5.    Faktor mental-psikologis, yaitu sususnan kerja, hubungan diantara pekerja atau dengan pengusaha, pemeliharaan kerja dan sebagainya.

Kondisi Kerja Masa Kini

I.      Adapun faktor ± faktor yang perlu diperhatikan dalam industry :
1.      Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K3 )
2.      Memilki fasilitas / peralatan built-in ( melekat )
3.      Penggunaan peralatan yang tidak melebihi nilai ambang batas ( NAB )
4.      Jabatan fungsional
5.      Faktor gizi yang mendukung produktivitas

II.  Keterkaitan antara keselamatan dan kesehatan kerja serta produktivitas

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan produktivitas kerja antara lain :
1.      Pengaturan jam kerja
Jam kerja normal adalah 40 jam seminggu. Tidak semua pekerjaan memiliki jam kerja yang sama. Tergantung jenis pekerjaan yang mengandung bahaya.
2.      Kemudahan menghemat waktu dan efisiensi kerja
Setiap karyawan mengetahui spesifikasi jabatan dan deskripsi jabatan yang apabila dikaji dengan standar untuk kerja dengan volume pekerjaan akan diperoleh suatu jam kerja yang efisien dan efektif. Oleh karena itu telah diadakan berbagai upaya pengurangan jam kerja untuk waktu istirahat dan libur sebagai kompensasinya.

Sistem shift yang didukung oleh model upah shift
·         Kenyamanan kerja
·         Keamanan kerja
·         Keselamatan dan kesehatan kerja gaya bar (K3)

III.  Kebijakan Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja
a.      Budayakan K3 melalui pendidikan formal dengan rancangan kurikulum dengan menampilkan simulasi program K3 yang lebih menarik dan menimbulkan etos kerja dan partisipasi.
b.      Mempersiapkan tenaga ahli K3 di semua sector pekerjaan.
c.       Memperkenalkan konsep K3GB lewat system built-in
d.      Perlu ada pendelegasian wewenang terhadap teknologi perlindungan K3 dan dikoordinasi departemen tenaga kerja.
e.      Teknologi perlindungan K3 dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru
f.        Membuat standarisasi baru dengan tambahan komponen K3
g.      Meningkatkan pengawasan mutu melalui uji coba teknologi
h.      Perlu ada tinjauan untuk selalu memperbaharui konsep K3 dalam periode tertentu.

IV.  Kesejahteraan Tenaga Kerja

Untuk mencegah gangguan kesehatan dan daya kerja, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan agar karyawan tetap produktif dan mendapatkan jaminan perlindungan keselamatan kerja, yaitu :
a.      Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja.
b.      Pemeriksaan kesehatan berkala untuks evaluasi
c.       Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada karyawan secara kontinu
d.      Penerangan dan penjelasan sebelum bekerja.
e.      Pakaian, pelindung missal masker,sarung tangan sepatu dan sebagainya.
f.        Isolasi, yaitu mengisolasi operasi atau proses produksi dalam memperoleh yang membahayakan karyawan.
g.      Ventilasi setempat, adalah alat untuk menghisap udara dari suatu tempat kerja tertentu, agar bahan-bahan dari suatu tempat dihisap dan dialirkan keluar.
h.      Substitusi, yaitu mengganti bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang tidak berbahaya
i.        Ventilasi umum, yaitu mengalirkan sebanyak menurut perhitungan ke dalam ruang kerja.

SEJARAH HUKUM PERBURUHAN

Pada awalnya hukum perburuhan termasuk dalam hukum perdata yang diatur dalam BAB VII A buku III KUHP tentang perjanjian kerja. Setelah Indonesia merdeka, hukum perburuhan di Indonesia mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbit UU No.1 tahun 1951 tentang berlakunya UU No.12 tahun 1948 tentang kerja, UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan lain-lain.

PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN

1.      Menurut Molenaar : Hukum yang pada pokoknya mengatur hubungan antara majikan dan buruh, buruh dengan buruh dan antara penguasa dengan penguasa.
2.      Menurut Levenbach : Sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan.
3.      Menurut Van Esveld : Hukum perburuhan tidak hanya meliputi hubungan kerja yang dilakukan dibawah pimpinan, tetapi termasuk pula pekerjaan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab sendiri.
4.      Menurut Imam Soepomo : Himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian seseorang bekerja pada orang lain enggan menerima upah.

LINGKUP HUKUM PERBURUHAN

Menurut JHA. Logemann, “Lingkup laku berlakunya suatu hukum adalah suatu keadaan / bidang dimana keadah hukum itu berlaku”. Menurut teori ini ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
1.      Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Lingkup laku pribadi mempunyai kaitan erat dengan siapa (pribadi kodrati) atau apa (peran pribadi hukum) yang oleh kaedah hukum dibatasi. Siapa – siapa saja yang dibatasi oleh kaedah Hukum Perburuhan adalah :
a.      Buruh.
b.      Pengusaha.
c.       Pengusaha (Pemerintah)

2.      Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Lingkup laku menurut waktu ini menunjukan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaedah hukum.
3.      Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Lingkup laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di beri batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.
4.      Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Lingkup Laku menurut Hal Ikwal di sini berkaitan dengan hal – hal apa saja yang menjadi objek pengaturan dari suatu kaedah.

Hukum adalah suatu norma atau aturan yang memiliki fungsi untuk mengatur hidup masyarakat lebih teratur. Di abad 19 mulai banyak ciptaan-ciptaan besar di bidang hukum, misalnya disusunnya hukum publik dan hukum privat. Di masa ini, bidang hukum kemudian semakin berevolusi sehingga munculnya hukum-hukum lain yang berlandasankan kedua hukum tersebut, contohnya seperti hukum perburuhan.
Hukum perburuhan adalah bagian dari suatu hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan majikan, buruh dengan buruh, dan penguasa dengan penguasa (Monelaar). Awal mula munculnya hukum perburuhan ini berasal dari hukum privat, namun lambat laun karena terpengaruhi oleh campur tangan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan perburuhan di Indonesia, maka sifat publik pun semakin terlihat dalam hukum perburuhan tersebut.

Menurut teori JHA. Logemann ada empat macam lingkup laku hukum perburuhan. Pertama adalah Lingkup Laku Pribadi yang mempunyai kaitan erat dengan siapa atau apa yang oleh kaidah hukum dibatasi. Yang termasuk dalam lingkup ini adalah buruh, pengusaha, dan pemerintah. Kedua adalah Lingkup Laku menurut Waktu, yang menunjukan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaidah hukum. Dalam hukum perburuhan ada beberapa peristiwa tertentu yang terjadi pada waktu yang berbeda-beda. Misalnya ketika sebelum hubungan kerja, pada saat hubungan kerja, atau pun setelah hubungan kerja terjadi. Ketiga adalah Lingkup Laku menurut Wilayah, yang berlaku apabila suatu hubungan kerja terjadi pada daerah-derah tertentu yang memiliki kaidah hukum tersendiri baik itu tingkat regional maupun nasional. Yang keempat adalah Lingkup Laku menurut Ikhwal. lingkup ini digolongkan menjadi beberapa bagian antara lain, hal – hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan, Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi Tenaga Kerja, serta Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.


Hubungan Perburuhan adalah hubungan antara unsur-unsur dalam produksi yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila, inti dari pola hubungan perburuhan Pancasila adalah bahwa setiap perselisihan perburuhan yang terjadi harus diupayakan diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ada tiga asas yang digunakan yaitu :
1.      Asas Partner in Production
Dimana buruh dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan buruh mampu meningkatkan hasil usaha/ produksi. Hal ini tercermin dalam system ci-determination.
2.      Asas Partner in Profit
Hasil yang dicapai perusahaan itu seharusnya bukan untuk dinikmati oleh pengusaha saja, tetapi harus dinikmati oleh buruh yang turut serta dalam mencapai hasil produksi tersebut.
3.      Asas Partner in Responsibility
Dimana buruh dan pengusaha memiliki tanggung jawab untuk bersama – sama meningkatakan hasil produksi. Rasa tanggung jawab kedua belah pihak ini akan mendorong hasil produksi yang meningkat lagi.

Untuk mengeoperasikan Hubungan Perburuhan Pancasila tersebut, telah ditetapkan berbagai sarana yaitu :
·         Lembaga Bipartite / Tripartite
Melalui Lembaga Bipartite/Tripartite, setiap perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui Lembaga Bipartite berarti penyelesaian yang dilaksanakan melalui dua pihak,yaitu Buruh dan Pengusaha (secara intern). Penyelesaian melalui lembaga Tripartite berarti mengundang pihak pemerintah untuk ikut serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi secara musyawarah untuk mufakat.
·         Kesepakatan Kerja Bersama (Perjanjian Perburuhan)
Melalui perjanjian perburuhan para pihak yang terkait dalam phubungan kerja mengetahui secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajibannya sehingga dengan demikian dapat diharapkan mencegah timbulnya perselisihan.
·         Peradilan Perburuhan
Melalui peradilan perburuhan, setiap perselisihan yang timbul dapat diselesaikan secara damai, sehingga kemungkinan untuk mogok / lock-out dapat dicegah sedini mungkin.
·         Peraturan Perundang – undangan Perburuhan
Peraturan perundang-undangan perburuhan mutlakdiperlukan dan harus dapat mengakomodasi semua kepentingan pekerja maupun pengusaha, sehingga dengan demikian kepastian hokum dapat tercipta dan dapat mengurangi terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat menimbulkan tindakan mogok/lock-out.
·         Masalah khusus yang harus diperhatikan yaitu masalah upah dan masalah pemogokan.
Melalui penanganan / pengaturan masalah pengupahan secara memadai, akan mengurangi timbulnya perselisihan peruruhan yang berkaitan dengan masalah upah. Demikian pula masalaah pemogokan yang pada hakekatnya merupakan penyelesaian perselisihan pekerja secara tidak damai, sedapat mungkin dihindari dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

Pengertian dan Hukum Perburuhan


Ketika kita mendengar kata “hukum,” apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya.

Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai “hukum.” Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.

1.      Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.

2.      Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang ‘miskin’ itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.

Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.

Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan ‘hukum’, maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:
1.      Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
2.      Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
3.      Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.

Oleh karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.
Hukum dan Perkembangan Masyarakat
Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa “Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.” Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:
Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.

Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:

1.      Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);

2.      Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak.
Hukum perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat.



QUO VADIS POLITIK PERBURUHAN INDONESIA ?
(Telaah Kritis LBH Bandung atas RPP Pesangon dan RPP Jaminan PHK)

Perjuangan kaum buruh Indonesia untuk memperoleh jaminan kepastian kerja ternyata semakin jauh dari harapan. Agreement yang ditandatangani oleh Soeharto dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) telah menyebabkan kondisi buruh Indonesia makin terpuruk tingkat kesejahteraannya.  Kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent tersebut mendorong terjadinya Reformasi Hukum Perburuhan dimana pemerintah harus merubah semua produk hukum perburuhan sejak jaman Soekarno yang cenderung pro buruh. Reformasi Hukum Perburuhan yang melahirkan 3 Paket UU Perburuhan (UU 21/2000, UU 13/2003 dan UU 2/2004) juga telah melepaskan proteksi Negara terhadap buruh.
 Dalam posisi buruh yang subordinat, kehadiran Negara sangatlah dibutuhkan sebagai faktor yang menyeimbangkannya. Walaupun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Dalam proses produksi dimana hubungan buruh – majikan sangat timpang maka sangatlah tidak adil apabila Negara memberikan perlindungan serta menempatkan posisi keduanya dalam kedudukan yang sama. Commons dan Andrews mengatakan “where the parties are unequal (and public purpose is shown) then the state which refuses to redress the unequality is actually denying to the weaker party the equal protection of the laws.”
                Friedman menyatakan bahwa peran negara adalah “pembentuk aturan dan wasit.” Terlihat di sini bahwa di satu sisi, neo-liberalisme menginginkan agar negara tidak ikut campur dalam arus perdagangan antar-negara. Namun disisi lainnya, negara diharapkan ikut serta dalam memberikan aturan-aturan yang memudahkan liberalisasi perdagangan. Di titik inilah kemudian muncul upaya untuk mempengaruhi negara sebagai pembuat hukum yang memuluskan liberalisasi. Dalam konteks hukum, konstitusionalis pro-neo-liberalisme semacam Schneiderman misalnya, dengan mengutip Panitch dan Santos, menyatakan bahwa negara seharusnya tidak dipinggirkan dalam sistem ekonomi global. Yang diperlukan justru adalah reorganisasi negara. Hal ini dikarenakan fakta bahwa negara adalah penyusun perangkat hukum yang dapat menata kembali batas-batas bagi tindakan yang dapat dilakukan dalam kerangkan neo-liberalisme. Di sini lebih jauh lagi bahkan ada upaya yang lebih sistematis untuk memanfaatkan negara untuk menciptakan perangkat konstitusional yang menyokong neoliberalisme.
                    Dalam beberapa kajian, salah satu biang dari buramnya potret perburuhan di Indonesia adalah terkait kebijakan politik upah murah terhadap buruh. Inilah yang dipakai oleh rezim Orde baru sebagai keunggulan komparative dalam menarik investor demi kepentingan ekonomi dan pembangunan. Buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi layaknya modal, yang nilainya bisa dimainkan dan diperebutkan oleh mekanisme pasar. Bahkan, peraturan dan perundang-undangan yang dibuat pemerintah selalu dipengaruhi oleh para pemilik modal. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan lebih berpihak kepada pengusaha ketimbang kepada rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh.
                    Kondisi ini dapat dilihat dari dikeluarkannya Inpres No. 3/2006 tentang Arah Percepatan Kebijakan Investasi serta lahirnya UU 25/2007 tentang Penanaman Modal yang kental nuansa liberalnya dan cenderung berpihak pada kepentingan pemodal. Hal ini jelas menunjukkan betapa globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh, terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diimplementasikan hanya untuk mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan mengorbankan kaum buruh sebagai tumbal. Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital.
                    Setelah rencana untuk melakukan revisi UU 13/2003 mendapatkan resistensi yang cukup kuat dari hampir semua elemen buruh, pemerintah mulai menerapkan strategi baru dengan cara mengeluarkan rancangan peratutan yang berkaitan dengan pesangon dan jaminan akibat pemutusan hubungan kerja (RPP Pesangon dan RPP Jaminan PHK). Apabila kita melihat konsideran kedua RPP tersebut memang ada niat baik pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap buruh yang diPHK sehingga dipandang perlu adanya jaminan PHK melalui semacam asuransi PHK. Namun ternyata niat baik pemerintah tersebut tetap dalam konteks menciptakan hubungan industrial yang kondusif serta iklim usaha yang kompetitif. Artinya konstruksi hukum kedua RPP ini memang sengaja dirancang untuk kepentingan investor dan menafikan hak-hak buruh .
 
RPP Pesangon  : Wujud Ketidakkonsistenan Pemerintah terhadap Hukum
             Sebenarnya kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan kedua RPP ini sudah mulai terlihat ketika rencana untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003 ditolak oleh semua serikat buruh. Tiga Paket UU Perburuhan sebenarnya merupakan turunan dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional). Selain itu didalam Inpres 3/2006 dan juga RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) pemerintahan SBY berusaha untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas dengan cara “menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan”.
             Dari sudut pandang hukum RPP Pesangon sebenarnya sudah cacat secara hukum. Sebab dalam Pasal 156 ayat (5) UU 13/2003 pemerintah telah membuka ruang bagi adanya pelanggaran hukum melalui peraturan pemerintah untuk mengatur lain dari yang ada dalam UU tersebut. Pasal 156 ayat (5) menyebutkan bahwa : “perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan peraturan pemerintah”.  Dengan demikian aturan yang telah dibuat dalam UU 13/2003 dapat simpangi dan diganti oleh peraturan pemerintah. 
             UU No. 10 tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia mengatur sebagai berikut :
a.      UUD 1945;
b.      UU/Perpu;
c.       Peraturan Pemerintah;
d.      Peraturan Presiden;
e.      Peraturan Daerah;
Dengan melihat UU tersebut diatas kebijakan untuk merubah besaran perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang uang penggantian hak jelas-jelas telah melanggar UU tersebut. Artinya peraturan pemerintah tidak mungkin bertentangan dengan aturan hukum yang derajatnya lebih tinggi (UU 13/2003).
             Disisi lain apabila kita mencermati isi RPP Pesangon terkait dengan permasalahan besaran pesangon yang dibatasi maksimal 5 kali PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) ternyata telah menimbulkan fragmentasi antara buruh kerah putih (white collar worker) dengan buruh kerah biru (blue collar worker). Buruh kerah biru merasa tidak mempunyai kepentingan didalam menentang pasal yang terkait dengan besaran maksimal pesangon apalagi dengan melihat besaran upah yang mereka terima yang memang dibawah PTKP. Akibat yang terjadi dilapangan adalah adanya perbedaan orientasi mengenai cara dan tujuan penolakan terhadap substansi RPP Pesangon.
 
RPP Jaminan PHK : Hilangnya Jaminan dan Kepastian Kerja
             Dalam RPP Jamsostek yang dirancang pemerintah, selain 4 program yang selama ini dikelola oleh PT. Jamsostek, pemerintah mengusulkan adanya jaminan PHK. Jaminan PHK ini sama halnya dengan Jaminan Hari Tua (JHT) dimana premi dibebankan kepada buruh dan juga perusahaan. Hanya dijelaskan dalam Pasal 2 RPP JPHK bahwa penyelenggara program jaminan PHK bukan monopoli dari PT. Jamsostek. Artinya dimungkinkan badan penyelenggara asuransi lain untuk terlibat mengelola dana ini. 
 
             Apabila melihat latarbelakang lahirnya RPP JPHK ini sebenarnya ada niat baik dari pemerintah untuk mencoba memberikan proteksi kepada buruh agar terhindar dari investor nakal yang sering kabur keluar daripada membayar upah pesangon kepada buruhnya. Namun dengan melihat pengalaman PT. Jamsostek selama ini dalam mengelola dana buruh, ada kekhawatiran bahwa dana tersebut akan diinvestasikan untuk kepentingan diluar kepentingan kesejahteraan buruh. 
             Apabila RPP JPHK ini berlaku, maka buruh sebagai pemegang hak jaminan PHK harus menagih klaim kepada perusahaan konsorsium asuransi, dimana PT. Jamsostek juga masuk didalamnya. Karena tanggungjawab membayar pesangon tidak lagi pada pengusaha maka dampaknya adalah pengusaha akan semakin mudah dalam mem-PHK buruh. Besaran jaminan PHK juga menjadi masalah terkait dengan pembayaran yang menjadi hak buruh dimana mekanismenya tetap pada penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). 
             Melihat tingkat kepercayaan masyarakat yang sudah pada titik nadir ke lembaga peradilan, maka pembayaran jaminan PHK setelah menunggu penetapan dari PHI sangat jelas merugikan buruh. Hal ini dengan didasarkan pada kasus-kasus yang terjadi di PHI Bandung yang selama ini ditangani oleh LBH Bandung ternyata pelaksanaannya masih menjadi masalah. UU 2/2004 tentang PPHI menyimpan bom waktu dengan tidak adanya sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak mau membayar pesangon. Dengan melihat kasus Spotec, Tong Yang dimana pengusahanya kabur dan tidak mau membayarkan pesangonnya kepada buruh seharusnya kedua RPP ini juga mengatur tentang sanksi yang cukup tegas bagi pengusaha yang tidak mau membayarkan pesangon. 
             Memang RPP JPHK ini mengatur mengenai ketentuan sanksi hanya ketentuan sanksi yang diatur masih terkesan “banci” dengan hanya mengenakan sanksi administratif bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pada program jaminan PHK. Selain itu mekanisme pengawasan yang masih dipegang oleh pengawai pengawas Dinas Tenaga Kerja juga menjadi masalah yang belum terpecahkan. Apalagi dengan mental birokrasi yang korup sangat tidak mungkin untuk mengharapkan pelaksanaan RPP ini secara efektif.
             Dilain pihak pembahasan kedua RPP ini terkesan secara sembunyi-sembunyi dan luput dari perhatian publik. Pemerintah masih memakai strategi untuk berusaha memecah-belah buruh dengan hanya mengundang 3 konfederasi yang ada (KSPI, KSPSI, KSBSI). Padahal cukup banyak serikat buruh-serikat buruh yang ada diluar 3 konfederasi tersebut diatas. Dari sini tergambar tidak adanya prinsip keterwakilan serikat buruh yang proporsional dalam pembuatan kedua RPP. Proses demikian memiliki kelemahan dalam hal mekanisme pengawasan di internal buruh sendiri untuk menjamin bahwa RPP tersebut akan memberikan perlindungan terhadap buruh. Dengan melihat pengalaman pembahasan UU 13/2003 serikat buruh yang dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut memiliki banyak kepentingan yang tidak berpihak kepada buruh. 
 
Rekomendasi
                    Dari pembahasan diatas pemerintah harus bisa melepaskan diri dari stigma dan kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh. Pemerintah hendaknya tidak lagi memanipulasi politik perburuhan dalam kerangka buruh murah. Pemerintah harus berani mereformasi paradigma yang menempatkan kaum buruh pada posisi rendah menuju peningkatan kesejahteraan kaum buruh dengan daya tawar yang tinggi. Hal ini penting bagi pemerintah demi melihat politik jangka panjang, yaitu bagaimana memenuhi tanggung jawab Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian RPP Pesangon dan RPP JPHK layak untuk DITOLAK!!!

Previous
« Prev Post

Related Posts

Jumat, Juni 01, 2012

0 comments:

Posting Komentar