MULTI LEVEL MARKETING MENURUT SYARIAH ISLAM
Belakangan ini semakin banyak muncul perusahaan-perusahaan yang menjual
produknya melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas
hukumnya menurut syari’ah Islam. Perlu dicatat, bahwa perusahaan money game yang berkedok MLM
bukanlah termasuk MLM., seperti BMA dan sejenisnya. Perusahaan BMA adalah bisnis
paling zalim dan jelas-jelas menipu orang. Bisnis haram yang menggunaan sistem
piramida itu pasti merugikan sebagian besar masyarakat dan hanya menguntungkan
segelintir orang yang lebih dahulu masuk. Tulisan ini tidak membahas money
game/penggandaan uang tersebut, karena ia tidak termasuk kepada MLM, dan
hukumnya telah jelas haram. Tulisan empat serangkai, Prof. Bahauddin
Darus,Drs.Agustianto,MAg, Dr. Ramli Abdul Wahab dan Miftahuddin, SE,MBA, telah mengemukakan dua belas dalil dan alasan keharaman bisnis BMA dan sejenisnya tersebut.
Sistem Pemasaran MLM
Pakar marketing ternama Don Failla, membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct
selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga multi level marketing
(pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan
memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran).
Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM).Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.(Ahmad Basyuni Lubis, Al-Iqtishad, November 2000).
Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM).Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.(Ahmad Basyuni Lubis, Al-Iqtishad, November 2000).
Perspektif Islam
Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya
adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta
yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum
dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya). Islam
memahami bahwa perkembangan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis.
Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi
dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan
sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar
(bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil
terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di
atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur.
1, Maysir (judi), 2, Aniaya (zhulm), 3. Gharar (penipuan), 4 Haram,5, Riba
(bunga), 6. Iktinaz atau Ihtikar dan 7. Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang
dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak
syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.di atas.
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi)
mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan
sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila
demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah.
Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam
melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada
suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.(Lihat, Azhari
Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002,
hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan
penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang
berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus,
hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa
marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam
istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih Sunnah, III, hlm 159).
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi
rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang
dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan
bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status
halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa
mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
Insentif Dan
Penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang
mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya
dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif
dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh
mengatakan:” Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada
kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up-Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya
(Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah,
pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas
jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras
dengan sabda Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan
maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa
dikurangi sedikitpun”(hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh
dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa
berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja. ?
Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan berorientasi falah
(keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Up line ) tidak
boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (downline), sehingga tidak ada yang
dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh
anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus), para
anggota perlu diikutsertakan, sebagaimana yang terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional.
Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus
tidak sepihak. Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada
keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan
bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan
akhirat maksudnya, bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah
dianggap menjalankan ibadah, (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya
tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur
(bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan. MLM yang Islami senantiasa berpedoman pada akhlak Islam.
Sebagaimana disebut di atas bahwa penghargaan yang diberikan kepada
anggota yang sukses mengembangkan jaringan, dan secara sungguh-sunguh memberikan pembinaan
(tarbiyah), pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah), harus selaras dengan
ajaran agama Islam. Karena itu, applause ataupun gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang, haruslah
sesuai dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak. Ekspressi penghargaan atas
kesuksesan anggota MLM, tidak boleh melampaui batas (bertantangan dengan ajaran
Islam).
Applause yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus individu,
mendewakan seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya menjai
takabbur, dan ‘ujub. Perayaan kesuksesan seharusnya dilakukan dalam bingkai tasyakkur. (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA,
Analisis Teoritis Normatif MLM dalam Perspektif Muamalah, 2002)
Karena itu pula, Islam sangat mengecam seseorang yang dalam menjalankan aktivitas bisnis
dan perdagangannya semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Firman Allah, “
Mereka tidak lalai dari mengingat Allah dalam melakukan bisnis dan jual beli.
Mereka mendirikan shalat dan membayar zakat”… (QS.24:37)
Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa seluruh aktivitas bisnis tidak boleh melupakan Tuhan dan jauh dari nilai-nilai keilahian, baik dalam kegiatan produksi,
distribusi, strategi pemasaran, maupun pada saat menikmati kesuksesan (menerima
penghargaan dan applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis MLM perlu diwaspadai dampak negatif
psikologis yang mungkin timbul, sehingga membahayakan kepribadian, seperti yang
dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan, yaitu adanya eksploitasi obsesi yang berlebihan untuk
mencapai terget jaringan dan penjualan. Karena terpacu oleh sistem ini, suasana
yang tak kondusif kadang mengarah pada pola hidup hura-hura ala jahiliyah,
seperti ketika mengadakan acara pertemuan para members.
Kewajaran Harga Produk
Setiap perdagangan pasti berorientasi pada keuntungan.
Namun Islam sangat menekankan kewajaran dalam memperoleh keuntungan tersebut.
Artinya, harga produk harus wajar dan tidak dimark up sedemikian rupa dalam
jumlah yang amat mahal, sebagaimana yang banyak terjadi di perusahaan bisnis
MLM saat ini. Sekalipun Al-quran tidak menentukan secara fixed besaran nominal
keuntungan yang wajar dalam perdagangan, namun dengan tegas Al-quran berpesan,
agar pengambilan keuntungan dilakukan secara fair, saling ridha dan
menguntungkan. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu. )QS.4:29).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu. )QS.4:29).
Dalam konteks ini, tidak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa produk
yang ditawarkan perusahaan MLM sangat mahal dan terlalu eksklusif, sehingga
kerap kali memberatkan anggota yang berada di level bawah (down line) serta
masyarakat pemakai dan sangat menguntungkan level di atasnya (up line).
Seringkali harga produk dimark up sampai dua bahkan tiga kali lipat dari harga
yang sepatutnya. Hal ini seharusnya dihindari, karena cara ini adalah mengambil
keuntungan dengan cara yang bathil, karena mengandung unsur kezaliman, yakni
memberatkan masyarakat konsumen.
Penetapan harga yang terlalu tinggi dari harga normal, sehingga
memberatkan konsumen, dapat dianalogikan dengan ghabn, yaitu menjual satu
barang dengan harga tinggi dari harga pasar.
12 Syarat Agar MLM Menjadi Syari’ah
- Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
- Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
- Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
- Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
- Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
- Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.
- Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
- Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir
- Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
- Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
- Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
- Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.
Misi Syari’ah
Usaha bisnis MLM, (khususnya yang dikelola oleh kaum muslimin), seharusnya
memiliki misi mulia dibalik kegiatan bisnisnya. Di antara misi mulia itu adalah
:
1. Mengangkat derajat ekonomi ummat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan
syari’at Islam.
2. Meningkatkan jalinan ukhuwah ummat Islam di seluruh dunia
3. Membentuk jaringan ekonomi ummat yang berskala internasional, baik
jaringan produksi, distribusi maupun konsumennya sehingga dapat mendorong
kemandirian dan kejayaan ekonomi ummat.
4. Memperkokoh ketahanan akidah dari serbuan idiologi, budaya dan produk yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami.
5. Mengantisipasi dan mempersiapkan strategi dan daya saing menghadapi era
globalisasi dan teknologi informasi.
6. Meningkatkan ketenangan konsumen dengan tersedianya produk-produk halal
dan thayyib.
0 comments:
Posting Komentar