Profesi
dan Profesionalisasi Keguruan
(tulisan
ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul ”Pengembangan
Profesionalisme Guru” atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com)
Guru
sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan,
sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang
berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya
disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai
guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang
spesifik guru/keguruan.
Secara
logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus
bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi
spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme
keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan
penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan
muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu,
pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan
menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional
guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah
ibtidaiyah.
Profesional
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.[1]
Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?
Tak
diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi
begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma
tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut
Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge).
Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan
ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2]
Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada
kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui
memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.
Pun
demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang
lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang
bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian
kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui
pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.[3]
Kompetensi
guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta
didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang
mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta
didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta
didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]
Tampaknya,
Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan
sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup
bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa
sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen
sebagai tenaga profesional.
Syarat
kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara
mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang
bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi.
Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung
bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan
diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk
sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada
sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini
bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa
sertifikasi terkait.
Bila
tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru
sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam
pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan
kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa
saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem
konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan.
Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak
bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih
ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang
studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan
keputusan rapat dewan guru.
Dalam
konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi
dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang
dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan
bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot
mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak
memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan
bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian
yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di
balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian
moral seorang tenaga profesional.
Guru
bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu
dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya.
Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional
keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas
klien (authority over clients).
Karena
memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui
dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang
bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan
demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen
kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan
beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak
bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat
apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang
berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.
Guru
profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas
guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru
atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan
mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas
profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to
help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka
suka atau tidak suka.
Syarat
terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih
kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than
self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh
semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi
seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun
secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta
altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
Adapun
karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan
penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru,
yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai
secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya,
(3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara
evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan
belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.[5]
Secara
substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang
pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang
mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6)
memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati
sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam
jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek
kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup
tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya
berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar
kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru
madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok
profesional yang utuh.
Akhirnya,
memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi
keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi,
kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal
dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan.
Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru
dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada
usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.
Kalau
transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus
of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi
dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah
profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke
organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi,
akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta
sarat dengan konflik kepentingan.
Dari
perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan
yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan
terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak
birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada
sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada
masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari
perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat
berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi
masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and
achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali
(reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan
kepada negara dan atau pemerintah?
Bila
jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata
perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah.
Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi
keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan
oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil
evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.
[1]
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[2]
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13
Maret 2007.
[3]
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
[4]
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[5]
Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
|
Profesi
dan Profesionalisasi Keguruan
(tulisan
ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul ”Pengembangan
Profesionalisme Guru” atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com)
Guru
sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan,
sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang
berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya
disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai
guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang
spesifik guru/keguruan.
Secara
logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus
bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi
spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme
keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan
penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan
muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu,
pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan
menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional
guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah
ibtidaiyah.
Profesional
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.[1]
Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?
Tak
diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi
begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma
tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut
Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge).
Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan
ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2]
Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada
kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui
memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.
Pun
demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang
lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang
bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian
kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui
pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.[3]
Kompetensi
guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta
didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang
mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta
didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta
didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]
Tampaknya,
Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan
sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup
bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa
sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen
sebagai tenaga profesional.
Syarat
kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara
mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang
bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi.
Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung
bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan
diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk
sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada
sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini
bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa
sertifikasi terkait.
Bila
tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru
sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam
pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan
kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa
saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem
konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan.
Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak
bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih
ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang
studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan
keputusan rapat dewan guru.
Dalam
konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi
dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang
dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan
bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot
mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak
memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan
bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian
yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di
balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian
moral seorang tenaga profesional.
Guru
bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu
dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya.
Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional
keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas
klien (authority over clients).
Karena
memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui
dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang
bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan
demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen
kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan
beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak
bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat
apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang
berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.
Guru
profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas
guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru
atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan
mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas
profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to
help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka
suka atau tidak suka.
Syarat
terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih
kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than
self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh
semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi
seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun
secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta
altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
Adapun
karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan
penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru,
yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai
secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya,
(3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara
evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan
belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.[5]
Secara
substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang
pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang
mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6)
memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati
sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam
jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek
kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup
tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya
berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar
kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru
madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok
profesional yang utuh.
Akhirnya,
memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi
keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi,
kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal
dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan.
Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru
dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada
usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.
Kalau
transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus
of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi
dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah
profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke
organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi,
akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta
sarat dengan konflik kepentingan.
Dari
perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan
yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan
terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak
birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada
sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada
masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari
perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat
berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi
masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and
achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali
(reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan
kepada negara dan atau pemerintah?
Bila
jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata
perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah.
Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi
keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan
oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil
evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.
[1]
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[2]
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13
Maret 2007.
[3]
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
[4]
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[5]
Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
|
PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU
Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 04 Mei 2012
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Related Posts
CB Blogger
at
Jumat, Mei 04, 2012
iQ Abad 21 : Selamat Datang Di Website resmi kami, mari kita saling berbagi antar sesama. Learning, earning and share it.
0 comments:
Posting Komentar