-->

PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

Posted by Sarjana Ekonomi on Selasa, 08 Mei 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia berjalan di kehidupan dunia ini, sejak awal penciptaan dalam dirinya terdapat kepribadian yang beragam dan dikendalikan oleh kecenderungan naluri yang berbeda pula. Fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ia adalah makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dalam menyempurnakan sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat dilakukan oleh tangan dan pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai.[1] Manusia adalah makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan  zoon politicon.
                        Setiap manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran serta usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan hidup. Kepentingan-kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara manusia pemikul berbagai kepentingan itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-kepentingan sendiri, sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal yang demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.[2]

                        Meskipun setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan (chaos) antara sesama anggota masyarakat, mereka tentu menginginkan sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud. Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-Undang  Dasar negara tersebut.[3]
                        Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
                        Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.
                        Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, hukum terdiri dari hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.[4]
            Kemudian ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata, hukum dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda, sebagai contoh, hukum pidana berfungsi untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan tata negara ditaati sepenuhnya.
                        Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat  bermacam-macam hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
            Hukum pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada al-qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.
            Mengenai masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam dengan hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qisas, ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.[5]
            Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik pada hukum pidana Islam maupun pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan matinya janin.
            Ada bebarapa hal yang menjadikan kenapa penyusun tertarik untuk membahas kasus tersebut, yang pertama adalah bahwa belum adanya penelitian yang membahas kasus tersebut dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayan atau pembunuhan saja. Yang kedua adalah selama ini sering terjadi tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan yang menimbulkan berbagai akibat, salah satunya adalah kasus penganiayaan seperti yang yang dikemukakan dalam penelitian ini. Latar belakang terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan adanya kelakuan yang tidak wajar sehingga akan menimbulkan aib apabila diketahui oleh masyarakat, seperti adanya kehamilan diluar pernikahan atau akibat perkosaan. Sedangkan berkenaan dengan kasus-kasus tersebut belum ada ketegasan mengenai sanksi-sanksi hukumnya.

B. Pokok Masalah

            Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang menjadi perhatian dalam penyusunan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang delik penganiayaan serta pembunuhan ?
2.      Bagaimana ketentuan kedua sistem hukum tersebut  dalam menangani matinya janin yang ada dalam kandungan akibat penganiayaan ?
C.  Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah:
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui ketetapan-ketetapan dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang delik penganiayaan dan delik pembunuhan.
b. Untuk  menjelaskan ketentuan dari kedua hukum tersebut bagi pelaku penganiayaan yang mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan.
2.  Kegunaan
Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif mengenai  delik penganiayaan serta delik pembunuhan.
G.   Sistematika Pembahasan
         Untuk memberikan gambaran umum mengenai isi karya tulis ini dan lebih mudahnya dalam pembahasan penyusunan, maka disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan ini memuat latar belakang masalah yang kemudian dirumuskan pokok masalah, tujuan dan kegunaan, sistematika penulisan

BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab kedua, penyusun akan menguraikan tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam. Pembahasan ini akan dimulai dengan pendefisian mengenai delik penganiayaan serta delik pembunuhan dilanjutkan dengan pemaparan tentang pembagian delik penganiayaan serta pembunuhan juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan serta pembunuhan.
BAB    III : Metodologi Penelitian
 Dalam bab ini akan membahas tentang cara penelitian yang meliputi Jenis Penelitian, Metode Penelitian, Sumber Penelitian dan Teknis Analisis Data
BAB IV :, penyusun menguraikan  penganiayaan serta pembunuhan ditinjau dari segi hukum pidana positif. pembahasan ini juga meliputi pengertian pengertian delik penganiayaan serta delik pembunuhan, klasifikasi kedua delik tersebut dan diakhiri dengan penjelasan sanksi-sanksinya.
Serta berisi kajian perbandingan terhadap sistem hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif dihadapkan pada kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin yang dikandung. Analisis tersebut dari dua segi, yaitu segi tindak pidana dan segi pidananya, yang keduanya berisikan persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.
BAB V : Sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam di masa depan.


BAB II
DELIK PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
Pengertian istilah delik dalam hukum pidana positif sama dengan penggunaan istilah jarimah dalam hukum Islam. Jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara' yang diancam dengan hukuman had, qisas, atau ta'zir. Larangan yang dimaksud adalah mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, karena perintah dan larangan tersebut datang dari syara' maka perintah dan larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang yang mukallaf.
Para fuqaha' sering menggunakan kata jinayah untuk jarimah. Mereka mengartikan jinayah dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh syara' baik  perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lainnya. Selain itu terdapat beberapa fuqaha' yang membatasi kata jarimah pada jarimah hudud dengan mengesampingkan perbedaan pemakaian kata jinayah dan jarimah, sehingga dapat dikatakan kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama Untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah dan pelakunya dapat dikenai pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur formil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang diancam hukuman.
2. Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau sikap tidak berbuat
3. Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah haruslah mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya
 Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, kata jinayat adalah bentuk jamak, adapun bentuk tunggalnya adalah jinayah yang diambil dari kata jana, yajni yang artinya memetik. Dikatakan: "Jana as-Samara" yang artinya ialah: bilamana ia mengambil buah dari pohonnya. Dan dikatakan pula: "Jana 'Ala Qawmihi Jinayatan" yang artinya adalah: ia telah melakukan tindakan kriminalitas terhadap kaumnya, karena itu ia dipidana.
2.   Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
            Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar قتلا, dari fi’il madhi قتل   yang artinya membunuh.[6] Adapun secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan. Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.
            Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim qisas (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas), yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong organ tubuhnya.[7]

B. Klasifikasi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam


1.      Klasifikasi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam

 Para ulama membagi jinayah terhadap tubuh menjadi lima macam, yaitu :
a.  Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya
b.  Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban buta, tuli, bisu dan sebagainya
Sedangkan Abu Bakar al-Jazairi sebagaimana disebutkan dalam definisi penganiayaan, membagi jinayah terhadap tubuh menjadi 3 macam, yaitu :
a.    Jinayatul Atraf,
b.    Asy-Syijjaj, dan
c.     Al-Jirah,

2.      Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

         Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Pembunuhan yang diharamkan; setiap pembunuhan karena ada unsur permusuhan dan penganiayaan
2.      Pembunuhan yang dibenarkan; setiap pembunuhan yang tidak dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qisas.[8]
Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Pembunuhan sengaja (qatl al- ‘amd)
      Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian
2.      Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd)
      Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti memukul dengan batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu, pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak terlalu panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat dan menahun sehingga membawa pada kematian, jika tidak terjadi kematian, maka tidak dinamakan qatl al-‘amd, karena umumnya keadaan seperti itu dapat mematikan
3.      Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata’)
      Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia (orang lain), kemudian mati.[9]
Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat menyebabkan mati.[10] Sedangkan menurut Abdul Qodir ‘Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak bermaksud membunuh, semata-mata hanya menyengaja menyiksa, maka tidak dinamakan dengan pembunuhan sengaja, walaupun pada akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati (masuk dalam katagori syibh ‘amd).[11]
Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pembunuhan yaitu[12] :
a.      Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu seperti alat yang tajam, melukai, dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan.
b.      Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qisas atau syibh ‘amd yang sengaja mewajibkan diyat.
c.      Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan pistol, dan lain-lain.
d.      Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan sebab-sebab yang dapat mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat menjadikan perantara atau sebab kematian.
Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam,[13] yaitu :
1)     Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh.
2)     Sebab Syar’iy, seperti persaksian palsu yang membuat terdakwa terbunuh, keputusan hakim untuk membuat seseorang yang diadilinya dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena  keadilan) untuk menganiaya secara sengaja.
3)     Sebab ‘Urfiy, seperti menyuguhkan makanan beracun terhadap orang lain yang sedang makan atau menggali sumur dan menutupinya sehingga ada orang terperosok dan mati.
e.      Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan, seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala, harimau, ular dan lain sebagainya.
f.       Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar.
g.      Pembunuhan dengan cara mencekik.
h.      Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa memberinya makanan dan minuman.
i.        Pembunuhan dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi. Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena terjadi juga melalui perbuatan ma’nawi yang berpengaruh pada psikis seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi dan lain sebagainya.
Dalam syari’at Islam, pembunuhan diatur di dalam al-Qur’an
tBurÇÒÌÈ
Terjemahnya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.(Q.s An-Nisa’ ayat 13)

C.           Sanksi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang berasal dari kata عقب , yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau yang lainnya.[14] Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggungjawaban pidana guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain hukuman dijadikan sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat.[15]
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat diperberat begitu pula sebaliknya.[16]
1.      Sanksi Delik Penganiayaan
Sanksi-sanksi yang dikenakan terhadap orang yang melakukan tindak pidana terhadap tubuh menurut ketentuan hukum pidana Islam adalah sebagai berikut :
a. Qisas
Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut[17]:
1.      Pelaku berakal
2.      Sudah mencapai umur balig
3.      Motivasi kejahatan disengaja
4.       Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.
Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka.[18] Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.
      Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:[19]
a.  Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka tidak boleh diqisas,
b.  Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan diyat,
c.  Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
d.  Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah buta,
e.  Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut.
Kemudian dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah swt.,

Terjemahnya :  Bulan Haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati[119], berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(Q.s Al-Baqarah ayat 194)[20]
Dan Allah telah berfirman pula dalam ayat lain,

Terjemahnya :  Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.(Q.s As-Syura ayat 40)[21]

b. Diyat
Dalam hal penganiayaan jenis jinayatul atraf, pelaksanaan diyat dibagi menjadi dua, yaitu yang dikenakan sepenuhnya dan yang dikenakan hanya setengahnya saja, adapun diyat yang dikenakan sepenuhnya adalah dalam hal sebagai berikut[22] :
1. Menghilangkan akal,
2. Menghilangkan pendengaran dengan menghilangkan kedua telinga,
3. Menghilangkan penglihatan dengan membutakan kedua belah mata,
4. Menghilangkan suara dengan memotong lidah atau dua buah bibir,
5. Menghilangkan penciuman dengan memotong hidung,
6. Menghilangkan kemampuan bersenggama/jima' dengan memotong zakar atau memecahkan dua buah pelir
7. Menghilangkan kemampuan berdiri atau duduk dengan mematahkan tulang punggung.
Sedangkan diyat yang dikenakan hanya setengahnya saja adalah dalam hal melukai[23] :
1. Satu buah mata
2. Satu daun telinga
3. Satu buah kaki
4. Satu buah bibir
5. Satu buah pantat
6. Satu buah alis
7. Satu buah payudara wanita
.Dalam hal mematahkan tulang rusuk diyatnya sebanyak satu ekor unta (ba'ir)
Dalam hal mematahkan lengan tangan atas, bawah ataupun betis diyatnya sebanyak dua ekor unta (ba'ir)[24].
  Dan selain apa yang telah disebutkan di atas hukumnya diqiyaskan kepada yang lebih mudah yaitu al-Mudihah.
2. Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
            Ada tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum pidana islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qisas, kedua, sanksi pengganti, berupa diyat dan ta’zir, dan ketiga, sanksi penyerta/tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.[25]
a. Sanksi Asli/Pokok
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah pihak. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa di samping qisas, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah.[26]
Qisas diakui keberadaannya oleh al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ulama, demikian pula akal memandang bahwa disyari’atkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan.[27] Hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam sebuah ayat;
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ
Terjemahnya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan qisas[28], yaitu : 
a.      Syarat-syarat bagi pembunuh
Ada 3 syarat, yaitu :
1.      pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah diqisas apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif.[29] Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat atau maksud yang sah.
2.      Bahwa pembunuh menyengaja perbuatannya.    
Dalam al-Hadis disebutkan,
3.      Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas, tetapi menurut Jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b.      Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban)
Juga ada 3, yaitu :
1.      Korban adalah orang yang dilindungi darahnya.[30]  Adapun orang yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan, penganut zindiq dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmy membunuh mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.
2.      Bahwa korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak), tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat ke bawah, berdasarkan pada hadis;
3.      Adalah korban derajatnya sama dengan pembunuh dalam islam dan kemerdekaanya, pernyataan ini dikemukakan oleh Jumhur (selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini, maka tidak diqisas seorang islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.
c.      Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qisas, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung, bukan karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya dikenakan hukuman membayar diyat. Sedangkan Jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan langsung atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qisas, karena keduanya berakibat sama.[31]
d.      Syarat-syarat bagi wali korban
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah orang yang diketahui identitasnya. Jika tidak, maka tidak wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qisas adalah pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak dari orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
            Qisas wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban. Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qisas.[32] Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Terjemahnya : ang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih( Q.s Al-Baqarah ayat 178)[33]
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan tidak hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka menghendaki qisas, maka dilaksanakan hukum qisas, tapi jika menginginkan diyat, maka wajiblah pelaku membayar diyat.
Dasar hukum yang digunakan adalah sebuah hadis Rasul;
Dan firman Allah swt.
فمن عفى له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف...[34]
            Hukum qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut[35]:
a.      Matinya pelaku kejahatan
Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali korban si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam asy-Syafi’i. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b.      Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c.      Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dengan wali korban.[36]
d.      Adanya penuntutan qisas



b.    Sanksi Pengganti
1) Diyat
            Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang. Sedangkan diyat untuk anggota badan disebut ‘Irsy.
            Dalil disyari’atkannya diyat adalah,
          وماكان لمؤمن ان يقتل مؤمنا الاخطأ, ومن قتل مؤمناخطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية مسلمة الى أهله إلا أن يصدقوا...[37]

            Dan hadis Rasul yang berbunyi,
            من قتل له قتيل فهوبخير النظرين : إما يودى وإما يقاد[38]

            Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.

Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugallazah yang dikhususkan pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat pembunuhan syibh ‘amd adalah diyat yang pembayarannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga kepada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas. Jika qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid[39] pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah, karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi ‘aqilah.[40] 
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya sendiri. ‘Aqilah tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain.
c.    Sanksi Penyerta/Tambahan
Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris dan wasiat. Ketetapan ini dimaksudkan untuk sadd az-zara’i; agar seseorang tidak tamak terhadap harta pewaris sehingga menyegarakannya dengan cara membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar kifarah, sebagai pertanda bahwa ia telah bertaubat kepada Allah. Kifarah tersebut berupa memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu’min. Kalau tidak bisa, maka diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut.
            Sedangkan mengenai pembunuhan janin, dijelaskan bahwa apabila ada janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham, atau sebanyak seratus kambing.Dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.
            Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadis:   
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki maka jumlah diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
            Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam kandungan ibunya, yaitu diketahui bahwa benar-benar sudah terbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu berupa gurrah ataupun diyat.
            Sedangkan apabila seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas si ibu dan diyat atas si janin, karena matinya si ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin.[41]
            Para ulama sepakat bahwa dalam hal janin yang mati setelah keluar dari kandungan, selain diwajibkan diyat juga diwajibkan kifarah. Sedangkan mengenai janin yang mati di dalam kandungan ibunya masih dipertanyakan, namun as-Syafi’i dan lainnya berpendapat tetap diwajibkan kifarah, karena menurutnya kifarah diwajibkan dalam perbuatan sengaja maupun karena kesalahan.
           


BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode pengumpulan data
      Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling  akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.[42]
            Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.   Jenis Penelitian
      jenis penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau majalah.[43]  Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang berbeda mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan kematian janin melalui kajian pustaka.
2.   Sifat Penelitian
       Sifat penelitian ini adalah deskriptif, analitik serta komparatif. Metode deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta tersebut[44], sedang analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna[45], kemudian komparatif dengan membandingkan  hasil yang didapat, dalam hal ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran masalah dan landasan penyelesaian.
3.    Pengumpulan Data
       Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan mengumpulkan pendapat dari para sarjana dan ulama melalui buku-buku,  kitab-kitab serta karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun skunder akan diuji  kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.
       Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah, dari segi hukum Islam: al-Fiqh wa Adillatuh karya Wahbah az-Zuhaili, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami karya Abdul Qadir ‘Audah, Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj al-Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi,  At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib  karya Mustafa Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana positif, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Moeljatno, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya Leden Marpaung, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana oleh Chidir Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M. Sudradjat Bassar dan lain-lain.
5.    Analisa Data
       Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah  analisa kualitatif dengan cara berfikir induktif, deduktif dan komparatif. Induktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum, metode ini penyusun gunakan untuk menganalisis kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, sedangkan deduktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus.[46] Dengan metode ini penyusun mencoba menganalisa data untuk mengungkapkan ketentuan-ketentuan hukum tentang penganiayaan juga tentang pembunuhan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan persamaan   antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut, sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.



BAB IV
PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF

A.  Pengertian Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif

1.    Pengertian Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
a.Sebelum membahas mengenai pengertian penganiayaan, penyusun terlebih dahulu akan mengemukakan apa yang dimaksud dengan delik. Dalam kamus hukum delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.[47] Dalam hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Dan secara umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya[48]. Dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagi perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Utrecht memandang rumusan yang dikemukakan oleh Simon itu merupakan rumusan yang lengkap.
. Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan. Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan Utrecht menyalin istiah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana, di mana beliau menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.[49] Meskipun terdapat banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua bersumber pada strafbaar feit. Dan mengenai penggunaan istilah tersebut A.Z.Abidin sependapat bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu delik.[50]
Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan”, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenang-wenang...”[51].
Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.
Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.[52]
2.    Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan (hal, dsb) membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.
Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang.[53]

B.   Klasifikasi Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif

1.    Klasifikasi Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari :
a.        Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
1.    Penganiayaan biasa
2.    Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
3.    Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati
b.        Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
c.        Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan rincian sebagai berikut :
1.    Mengakibatkan luka berat
2.    Mengakibatkan orangnya mati
d.        Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
1.    Mengakibatkan luka berat
2.    Mengakibatkan orangnya mati
e.        Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
1.    Penganiayaan berat dan berencana
2.    Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya mati.[54].
(1)  Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2)  Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(3)  Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum. [55]
Yang termasuk Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang.
Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352 KUHP, sehingga dalam penerapannya timbul kerumitan, terutama karena pelanggaran terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak pidana ringan), yang berdasarkan KUHAP (Pasal 205(1)), langsung diajukan penyidik ke Pengadilan Negeri, dengan demikian tidak melibatkan Penuntut Umum.[56]
Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga) jenis penganiayaan biasa, yaitu :
1.    Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang,
2.    Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat,
3.    Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.
Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit, tetapi pada prakteknya kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2),
Sebagian pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk menyatakan ukuran.[57]
Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai berikut ;
Luka berat berarti:
1)     jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan   sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2)     tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3)     kehilangan salah satu pancaindra;
4)     mendapat cacat berat (verminking);
5)     menderita sakit lumpuh;
6)     terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7)     gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.[58]
b.    Penganiayaan ringan
Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.[59] 
c.    Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu
Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1)  Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
(2)  Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3)  Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[60]
d.        Penganiayaan Berat
Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.[61]
e.      Penganiayaan Berat Dan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi ;
(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.[62]
Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat yakni, luka berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat tersebut maka perbuatan itu, tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 358 KUHP..
2.      Klasifikasi Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :
a.      Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah : “barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
 “Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu. 
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun  pembunuhan itu dilakukan  terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan.

b.      Pembunuhan Dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
c.      Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
d.      Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu dengan sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan  tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP.
e.      Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
f.       Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 344 ini membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan.

g.      Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus provocatus” yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan : “membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh Pasal-Pasal  Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguguran kandungan, yaitu ;
a.      janin
b.      ibu yang mengandung
c.      orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.
Tujuan Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai  (1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”. Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua hal tersebut.[63]
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai berikut :
1)       Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
2)       Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut :
(1)Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
3.        Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1)Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2)Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun
C.    Sanksi Penganiayaan dan Pemunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tuuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.[64]
1)                                                                 Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang kelihatannya sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para ahli hukum.
 maka diharapkan hendaknya masyarakat menjadi takut dan jangan sampai melakukan tindak pidana pembunuhan atau kejahatan lainnya yang dapat dihukum mati. Di samping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum dengan menghukum mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan pemerintah. Karena itu hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.
1.   Sanksi Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Sanksi atau ancaman pidana yang dimuat pada KUHP merupakan sanksi sejak tahun 1915. Adapun penerapan sanksi terhadap delik penganiayaan yang termuat dalam KUHP, yaitu yang tercantum dalam Pasal 351-358 adalah sebagai berikut :
a.        Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP, apabila tidak mengakibatkan luka berat dan korban tidak mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, apabila korban luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, sedangkan apabila meyebabkan korban mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
b.        Penganiayaan ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
c.        Penganiayaan berencana yang tidak mengakibatkan luka berat atau mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, apabila mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
d.         Penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
Khusus bagi tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati, tidak dapat dihindarkan untuk tidak mendakwakan Pasal 338 KUHP bahkan Pasal 340 KUHP karena permasalahan adalah pada unsure "dolus" atau "bentuk kesengajaan" terutama dengan bentuk "dolus eventualis".
2.      Sanksi Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHPI adalah sebagai berikut :
a.        Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun
b.    Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
c.    Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
d.    Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun
e.    Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
f.     Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
g.    Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
h.    Pengguguran kandungan
2.    Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
3.    Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-       dua belas tahun
-       lima belas tahun, jika perempuan itu mati
4.    Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-       lima tahun enam bulan
-       tujuh tahun, jika perempuan itu mati
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa
. 
B. ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
            Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif mengenai delik penganiayaan yang masuk ke dalam sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga janin yang dikandungnya mati, maka dalam bab ini akan dianalisis mengenai hal-hal yang berkaitan, baik mengenai tindak pidana penganiayaan itu sendiri sehingga mengakibatkan kematian janin maupun berkenaan dengan sanksi hukuman yang harus ditanggung oleh pelaku penganiayaan tersebut dilihat dari dua sistem hukum yang berbeda yaitu hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Sehingga dengan analisis ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam menangani kasus tersebut.  
A. Analisis Dari Segi Tindak Pidana
1. Persamaan
            Berdasar pada pembahasan Bab II dan Bab III, penyusun menyimpulkan bahwa antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif sama-sama melarang adanya perbuatan penganiayaan serta pembunuhan dan telah mengatur keduanya dengan memberikan ancaman hukuman tertentu. Kedua sistem hukum tersebut juga pada dasarnya sama dalam merumuskan delik penganiayaan serta delik pembunuhan, yaitu penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit terhadap orang lain secara melawan hukum sedangkan pembunuhan dirumuskan sebagai tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau jiwa orang lain tanpa adanya hak yang sah.
            Dalam hukum pidana Islam penganiayaan terhadap ibu yang sedang hamil sehingga janin yang ada dalam kandungannya itu mati mendapatkan satu macam tindak pidana yang berlanjut, yaitu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan tindak pidana pembunuhan, demikian juga dalam hukum pidana positif.
            Berkenaan dengan kasus yang dikemukakan di sini, yaitu tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, dapat dilihat bahwa dalam kasus tersebut perbuatan yang dilakukan oleh pelaku jelas merupakan sebuah delik. Baik itu dipandang dari segi hukum pidana Islam maupun dari segi hukum pidana positif. Dalam kasus tersebut terdapat satu macam delik yang mengakibatkan dua peristiwa pidana, yang pertama adalah delik penganiayaan yang ditujukan terhadap si ibu dan yang kedua adalah kematian janin sebagai akibat dari penganiayaan tersebut.
            Di samping hal tersebut, kasus tersebut telah lengkap mengandung unsur-unsur yang telah disebutkan di atas. Sehingga apabila ada orang yang melakukan perbuatan itu dia dapat dikenakan pidana sesuai dengan aturan yang telah ditentukan masing-masing sistem hukum.

2.  Perbedaan

            Kedua sistem hukum tersebut sama dalam memandang bahwa dari segi tindak pidana perbuatan yang dilakukan dalam kasus itu merupakan delik penganiayaan serta delik pembunuhan, akan tetapi dalam merumuskan jenis dari tindak pidana tersebut ada beberapa perbedaan.
            Hukum pidana Islam membagi penganiayaan menjadi berbagai jenis. Pembagian tersebut berdasar bentuk perbuatan serta akibat yang ditimbulkan. Sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan hukum pidana Islam membaginya berdasarkan sifat dari perbuatan tersebut. Secara garis besar penganiayaan dalam hukum Islam terbagi atas jinayah al-atraf, asy-syijjaj, serta al-jirah, sedangkan pembunuhan terbagi atas qatl al-‘amd, qatl syibh ‘amd serta qatl khata’.
            Dalam hukum pidana positif pembagian keduanya berdasarkan atas berat ringannya tindakan, akibat yang ditimbulkan serta unsur-unsur lain yang ada, seperti adanya perencanaan terlebih dahulu dan lain sebagainya.
            Kasus yang dikemukakan dalam pembahasan kali ini dilihat dari segi tindak pidana menurut hukum pidana Islam belum dapat dispesifikkan ke dalam jenis mana, hal tersebut hanya dapat dilihat dari akibat yang diderita oleh si ibu, apakah itu berupa luka-luka, terpotong anggota tubuhnya, atau luka dalam. Sehingga sanksi yang harus diterima oleh pelaku juga tergantung dari akibat yang diderita si korban.
 Kemudian mengenai tindak pidana pembunuhannya pun menurut hukum pidana Islam dalam mengkatagorikan jenisnya juga harus melihat sifat dari pembunuhan tersebut apakah sengaja untuk membunuh si janin, ataukah hanya kesalahan saja. Setelah itu baru dapat ditentukan  jenis hukuman yang harus diterima oleh pelaku.
Sedangkan dalam hukum pidana positif, apabila  mencermati KUHP lebih dalam terdapat pasal yang menyinggung tentang gugurnya janin dalam kandungan, yaitu pada Pasal 90 KUHP tentang pengertian “luka berat”, dalam pasal tersebut disebutkan,
Luka berat berarti:
1)     jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan   sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2)     tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3)     kehilangan salah satu pancaindra;
4)     mendapat cacat berat (verminking);
5)     menderita sakit lumpuh;
6)     terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7)     gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan [65]  
            Sedangkan pasal 355 berbunyi:
(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.[66]
Maka harus ada unsur perencanaan terlebih dahulu dalam penganiayaan itu atau pada Pasal 358 KUHP yang berbunyi:
Sedangkan apabila matinya janin itu dikatagorikan pada pembunuhan, maka pasal yang berkenaan adalah Pasal  347 KUHP tentang pengguguran janin tanpa persetujuan si ibu. Dalam pasal tersebut dijelaskan:     
      Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
B. Analisis Dari Segi Pidana
1. Persamaan
            Baik di dalam hukum pidana Islam maupun pidana positif telah dirumuskan tentang sanksi hukuman bagi setiap perbuatan yang melawan hukum. Mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga mengakibatkan kematian janin yang dikandung apabila ditinjau dari kedua sistem hukum, hukum pidana Islam dan hukum pidana positif pada dasarnya hanya ada sedikit persamaan akibat hukumnya. Persamaan tersebut terletak pada masalah pemberian pidana serta tujuan dari diadakannya sanksi pidana, yaitu bahwa dengan adanya hukuman atau sanksi pidana sama-sama bertujuan untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat serta individu.
            Dalam hukum pidana Islam delik penganiayaan merupakan suatu delik dengan ancaman sanksi tertentu yang telah ditetapkan.,
Pasal 352 KUHP  bunyinya sebagai berikut :
(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.[67]
Pasal 353 KUHP  bunyinya sebagai berikut :
(1)Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.[68]

Pemberian pidana atau sanksi dalam hukum pidana Islam dapat dikenakan apabila pelaku penganiayaan ataupun pembunuhan telah memenuhi kualifikasi dan syarat-syarat dari suatu delik penganiayaan atau pula delik pembunuhan, demikian juga berlaku dalam hukum pidana positif.
2. Perbedaan
            Ditinjau dari hukum pidana Islam, secara umum ketentuan hukuman bagi pelaku penganiayaan yang tertuang dalam al-Qur'an maupun beberapa hadis yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis hukuman untuk delik penganiayaan, yang besar kecilnya tergantung dari tingkat penganiayaan itu sendiri. Hukuman tersebut adalah berupa qisas, diyat,  ta’zir serta kifarah. Penetapan dari sanksi tersebut disesuaikan pada bentuk dari kejahatan yang dilakukan. Sedangkan untuk delik pembunuhan sanksi hukumannya lebih berat lagi, yaitu hukum qisas dengan cara membalas membunuh pelaku delik pembunuhan, hukum qisas ini dilakukan oleh wali si korban (waliy ad-dam). Akan tetapi selain sanksi qisas tersebut bagi waliy ad-dam diperbolehkan memilih jenis sanksi hukuman bagi pelaku, yaitu antara hukum qisas atau mengambil diyat atau bahkan memaafkan pelaku. Hal ini berlaku pada jenis pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, dasar dari hal tersebut adalah
            Sedangkan pelaksanaan diyat dengan cara menyerahkan sejumlah harta kepada wali si korban sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Harta tersebut bisa berasal dari harta si pelaku sendiri atau juga dari ‘aqilah. Untuk pembunuhan sengaja diyat diambilkan dari harta kekayaan si pelaku, sedangkan untuk pembunuhan serupa dengan sengaja atau pembunuhan karena kesalahan ditanggung oleh ‘aqilah,
Dalam hukum pidana positif, ketentuan sanksi hukuman bagi pelaku penganiayaan disertakan dalam pasal yang mengatur ketentuan mengenai penganiayaan itu sendiri, yaitu pada Pasal 351-358 KUHP. Dalam Pasal-pasal tersebut termuat ancaman hukuman bagi pelaku penganiayaan sesuai dengan jenis penganiayaannya, sanksi hukuman tersebut berupa hukuman penjara serta hukuman denda. Dalam hal delik penganiayaan ini tidak ditetapkan adanya hukuman mati, karena hukuman mati dalam hal kejahatan hanya ada dalam delik pembunuhan, itupun tidak semua pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Dalam KUHP ancaman hukuman mati untuk delik pembunuhan hanya pada jenis pembunuhan berencana yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Sedangkan dalam delik penganiayaan sendiri hukuman penjara paling lama adalah lima belas tahun, yaitu pada jenis penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan kematian si korban, hal ini tertuang dalam Pasal 354 KUHP selain mengatur penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan luka berat dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.              
            Berdasarkan pada ketentuan hukuman dari kedua sistem hukum tersebut terdapat perbedaan jenis hukuman untuk delik penganiayaan maupun pembunuhan, yaitu adanya hukuman penjara dalam hukum pidana positif, sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak mengenal adanya hukuman penjara.
            Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati merupakan jenis hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, yang disebut dengan qisas (pembalasan). Di dalam qisas terdapat hak manusia yang berkaitan dengan kepentingan pribadi seseorang dan hak tersebut lebih kentara. Sehingga penetapan terhadap suatu hukuman dapat digugurkan apabila pihak wali korban memaafkan pelaku kejahatan tersebut.
            Dalam hukum positif (KUHP), hukuman mati merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan merupakan hukuman pokok yang bersifat khusus dengan pertimbangan yang khusus pula. Mengenai keberadaan pidana mati sampai sekarang masih dipertahankan meskipun banyak muncul pro dan kontra di kalangan pakar-pakar hukum, sebagian pakar hukum menyetujui diberlakukannya hukuman mati dengan alasan bahwa hukuman mati itu diperlukan dan ditujukan kepada kejahatan-kejahatan tertentu yang digolongkan pada kejahatan berat dan bagi penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagian pakar hukum lain menolak palaksanaan hukumam mati tersebut dengan alasan pemberlakuan hukuman tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap tidak berperikemanusiaan. Dan apabila terdapat kekeliruan Hakim dalam menjatuhkan vonis tidak dapat diperbaharui lagi.
            Dalam hukum pidana Islam qisas juga bisa berupa balasan terhadap tindak penganiayaan, yaitu dengan cara membalas serupa apa yang dilakukan oleh pelaku baik itu yang menyebabkan cacat, seperti terpotong tangan atau hanya menimbulkan rasa sakit seperti dalam hal penempelengan.
            Kemudian mengenai hukuman yang berupa pidana penjara, dalam hukum pidana Islam secara jelas tidak disebutkan, namun sebagaimana pendapat sebagian besar ulama hukuman penjara adalah sebagai wujud dari hukuman pengasingan. Hukuman pengasingan tersebut ada di dalam ketentuan mengenai jarimah perampokan yang pelakunya hanya menakut-nakuti masyarakat tanpa melakukan perampasan harta maupun pembunuhan. Akan tetapi ketentuan lamanya pengasingan tersebut tidak ditentukan, yaitu sampai si pelaku bertaubat.
            Dalam KUHP, pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang berwujud perampasan atau pengurangan kemerdekaan seseorang, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat bertindak dengan bebas selama dalam penjara, ia harus mematuhi segala perturan yang ada dalam penjara tersebut. Lamanya  berada dalam penjara tergantung pada jenis hukuman dari perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya.
Selain hukuman penjara, KUHP juga terkadang menyertakan pidana pokok lain yaitu pidana denda, seperti dalam KUHP Pasal 352 tentang penganiayaan ringan, di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penganiayaan ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Pidana denda ini oleh pembuat undang-undang hukum pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, yang ditentukan hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan 15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960).[69] Dalam rancangan KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar paling sedikit lima ratus rupiah.
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus si terhukum, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya.
            Dalam hukum pidana Islam denda diistilahkan dengan diyat, merupakan pilihan kedua setelah qisas dalam hal pembunuhan, apabila pihak wali korban tidak menghendaki qisas, maka akan beralih kepada hukuman diyat, begitu juga dalam penganiayaan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan qisas maka secara otomatis akan beralih pada hukuman diyat. Besar dari diyat telah ditetapkan oleh syara’ melalui beberapa hadis yang mengatur tentang  jarimah pembunuhan ataupun jarimah selain jiwa (penganiayaan).
            Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
            Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200 setel pakaian untuk pemilik pakaian.[70]
Dalam kasus yang dikemukakan oleh penyusun dalam penelitian ini, yaitu penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, berdasarkan apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa menurut hukum pidana positif sebagaimana tercantum dalam KUHP, terdapat dua buah delik yang berlanjut, yaitu delik penganiayaan yang dilanjutkan delik pembunuhan. Pembunuhan terhadap bayi yang masih berada dalam kandungan (aborsi) diatur dalam KUHP dalam Pasal 346, 347 dan 348. Jika melihat pada kasus yang ada, maka yang dapat dikenakan untuk memberikan ancaman pidana lebih mengarah pada Pasal 347  KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1)  Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2)  Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun[71]

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai jenis tindakan yang menyebabkan matinya janin. Jadi, bisa dikatakan bahwa setiap perbuatan yang tidak dikehendaki oleh sang ibu dan sengaja ditujukan untuk menggugurkan janin yang ada dalam kandungan, baik itu berupa penganiayaan atau yang lain dapat dikenai Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun, dan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan si ibu dari janin tersebut ikut mati, maka pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
            Apabila berdasarkan Pasal 90 KUHP dalam mengartikan luka berat dan diterapkan dalam pasal-pasal penganiayaan, maka dalam Pasal 351 KUHP ayat (2) tentang penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat yang menyatakan: “Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”[72], maka perbuatan penganiayaan dalam kasus yang dibicarakan merupakan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
            Pasal yang lain dari penganiayaan yang mengakibatkan luka berat adalah Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu, bunyi dari pasal tersebut:
(1)  Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
(2)  Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3)  Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[73]

Pembagian dari jenis ini dikatagorikan berdasar akibat yang ditimbulkannya yaitu luka berat dan kematian, jadi apabila kasus yang dikemukakan dikatagorikan ke dalam jenis ini maka ancaman hukumannya adalah selama-lamanya delapan tahun     Dan yang terakhir adalah Pasal 355 KUHP yaitu tentang penganiayaan berat dan berencana. Pasal ini merupakan gabungan dari dua pasal sebelumnya. Dalam pasal ini disebutkan:
(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.[74]                 
Dalam pasal di atas khususnya pada ayat (1) dijelaskan bahwa penganiayaan berat yang direncanakan lebih dahulu diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, penggolongan penganiayaan tersebut juga berdasarkan dari akibat yang ditimbulkan yaitu luka berat serta kematian, jadi kasus yang dikemukakan juga bisa dimasukkan ke dalam jenis penganiayaan ini apabila memang ada unsur direncanakan terlebih dahulu.
               Sedangkan dari segi hukum pidana Islam, dijelaskan bahwa apabila ada janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka dalam hal tersebut diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.
            Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham seperti yang dikatakan Sya’bani dan Ahnafi, atau sebanyak seratus kambing seperti dalam hadisnya Abu dawud dan Nasa’i dari Abu Buraidah. Dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki maka jumlah diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
            Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam kandungan ibunya, yaitu diketahui bahwa benar-benar sudah terbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu berupa gurrah ataupun diyat.
            Sedangkan apabila seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas si ibu dan diyat atas si janin, karena matinya si ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin.[75]
            Menurut Imam Malik dan sahabat-sahabatnya, Hasan Basri serta ulama Basrah bahwa diyat atas janin tersebut dibayarkan dari harta pelaku, sedangkan menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah serta ulama Kuffah diyat tersebut dibayarkan oleh ‘aqilah, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai jinayah khata’ . Dan diyat janin tersebut dibayarkan kepada ahli waris si janin, akan tetapi juga dikatakan bahwa diyat tersebut dibayarkan kepada si ibu, karena janin bagaikan satu anggota dari tubuh si ibu untuk itu diyatnya hanya dibayarkan kepada si ibu saja.[76]
            Para ulama sepakat bahwa dalam hal janin yang mati setelah keluar dari kandungan, selain diwajibkan diyat juga diwajibkan kifarah. Sedangkan mengenai janin yang mati di dalam kandungan ibunya masih dipertanyakan, namun as-Syafi’i dan yang lainnya berpendapat tetap diwajibkan kifarah, karena menurutnya kifarah diwajibkan dalam perbuatan sengaja maupun karena kesalahan.[77]


BAB V

PENUTUP




A.      Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah penyusun uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.          Berdasarkan pada hukum pidana Islam delik penganiayaan serta delik pembunuhan dikatagorikan dalam Jara’im al-Qisas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas. Lebih khususnya lagi adalah penganiayaan merupakan jinayah terhadap selain jiwa yaitu perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa sakit tubuhnya tanpa hilangnya nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan jinayah terhadap jiwa yaitu tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa manusia.  Ancaman hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kedua delik tersebut ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir, kifarah.
Dalam hukum pidana positif, penganiayaan secara umum adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. sedangkan pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Sanksi hukuman pokok yang dikenakan ada beberapa macam, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, serta hukuman denda, dengan hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan Hakim.
2.  Hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam menangani kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin terdapat beberapa persaman dan perbedaan. Persamaannya dari segi tindak pidana,  bahwa perbuatan yang ada dalam kasus tersebut merupakan sebuah delik, karena telah memenuhi unsur-unsur yang merupakan syarat suatu perbuatan dapat dikatakan sebuah delik. Dari segi pidana, bahwa kedua sistem sama-sama memberikan ancaman pidana untuk orang yang melakukan penganiayaan serta pembunuhan dan sama juga dalam merumuskan tujuan pemberian pidana yaitu untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat serta individu. Perbedaannya adalah, dalam segi pengkatagorian, dalam hukum pidana Islam perbuatan tersebut merupakan tindak penganiayaan sengaja, sedangkan dalam hukum pidana positif perbuatan tersebut bisa dikatagorikan ke dalam jenis pengguguran bayi dalam kandungan tanpa persetujuan si ibu atau juga ke dalam penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, dengan rumusan luka berat seperti yang ada dalam Pasal 90 KUHP. Dari segi jenis pidana,  dalam hukum pidana Islam ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir, penghalangan pelaku dari mendapat wasiat dan warisan, serta adanya kifarah. Sedang dalam hukum pidana positif sanksi terhadap pelaku penganiayaan ada dua macam, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu juga dapat disertai pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertantu dan pengumuman putusan Hakim.

D.    Saran-saran
1. Delik penganiayaan serta delik pembunuhan merupakan dua buah perbuatan yang sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa dan raga manusia serta dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu sangat diharapkan bagi aparatur hukum untuk selalu siap siaga dalam menghadapi segala bentuk kejahatan dan mampu bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan dengan memberikan pidana kepada mereka sesuai dengan undang-undang yang ada dan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat tanpa pandang bulu. Selain itu perlu adanya peran aktif dari masyarakat dalam menciptakan keamanan dan kedamaian masyarakat, sehingga supremasi hukum di negara ini dapat ditegakkan dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
2. Indonesia merupakan negara yang  besar dan sebagian besar penduduknya beragama Islam, akan tetapi hukum pidana yang masih diberlakukan adalah hukum pidana yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda. Untuk itu, perlu adanya sebuah pembaharuan serta pembinaan hukum Nasional, sehingga diharapkan adanya transformasi hukum pidana Islam atau setidak-tidaknya memberi nafas terhadap pemberlakuan hukum nasional. Selain itu para pakar hukum Islam dapat memberikan informasi mengenai hukum Islam tersebut sehingga dapat diterima dengan baik di masyarakat untuk mewujudkan ketentraman dan kedamaian masyarakat yang diberkati oleh Allah swt.   
DAFTAR PUSTAKA



A.     Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an


Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya , Jakarta: 1984.

Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.


B.    Hadis

Baihaqi al-, As-Sunnah al-Kubra,  Beirut: Dari al-Fikr, t.t.

Bukhari, Abu ‘abdillah Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Darami, Abdullah ibn ‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Qazwani, al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah,  Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952.

Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1930.

Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.


C.     Fiqh dan Usul Fiqh


Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid, Beirut: Dar al-Urubah, 1963.

Baga, Mustafa Raib al-, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya: Bungkul Indah, 1978.

Bakri, Asfri Jaya, Konsep Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Semarang: Thoha Putra, t.t.

I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Jazairi, Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8 juz, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Quddamah, Ibn, al-Mugni, 9 jilid, Mesir: Maktabah Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet. ke-18, Jakarta: Attahiriyah, 1981.

Sabiq, Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li al-Ilm al-Arabi, 1990.

Santoso, Topo,  Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Sayis, Ali Muhammad al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Syarbaini, Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-, Mugni al-Muhtaj, Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi  wa Aulad, 1958.

Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-, Al-Asybah wa an-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.

 



D.      Hukum / Ilmu Hukum


Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico, 1985.

Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.

Erwin, Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta: Pradya Paramita, 1989.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. ke-1 Bandung:  Bina Cipta, 1986.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1.cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Grafika, 1991.

Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Ngani, Nico dan A. Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.

Sudarsono,  Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana,  Jakarta: Fasco, 1955.

Wahyono, Padmo, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

E. Kamus


Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992.

P dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-5, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.


F. Lain-Lain

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998.

Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial : Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, cet. ke-9, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet.  ke-7, Bandung: Tnp, 1994.

















DAFTAR PUSTAKA



A.     Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an


Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya , Jakarta: 1984.

Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.


B.    Hadis

Baihaqi al-, As-Sunnah al-Kubra,  Beirut: Dari al-Fikr, t.t.

Bukhari, Abu ‘abdillah Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Darami, Abdullah ibn ‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Qazwani, al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah,  Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952.

Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1930.

Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.


C.     Fiqh dan Usul Fiqh


Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid, Beirut: Dar al-Urubah, 1963.

Baga, Mustafa Raib al-, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya: Bungkul Indah, 1978.

Bakri, Asfri Jaya, Konsep Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Semarang: Thoha Putra, t.t.

I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Jazairi, Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8 juz, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Quddamah, Ibn, al-Mugni, 9 jilid, Mesir: Maktabah Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet. ke-18, Jakarta: Attahiriyah, 1981.

Sabiq, Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li al-Ilm al-Arabi, 1990.

Santoso, Topo,  Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Sayis, Ali Muhammad al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Syarbaini, Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-, Mugni al-Muhtaj, Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi  wa Aulad, 1958.

Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-, Al-Asybah wa an-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.

 



D.      Hukum / Ilmu Hukum


Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico, 1985.

Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.

Erwin, Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta: Pradya Paramita, 1989.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. ke-1 Bandung:  Bina Cipta, 1986.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1.cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Grafika, 1991.

Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Ngani, Nico dan A. Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.

Sudarsono,  Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana,  Jakarta: Fasco, 1955.

Wahyono, Padmo, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

E. Kamus


Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992.

P dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-5, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.


F. Lain-Lain

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998.

Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial : Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, cet. ke-9, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet.  ke-7, Bandung: Tnp, 1994.


























Lampiran I

TERJEMAHAN

NO
Hlm
F.N
TERJEMAHAN  BAB I
1
14
28
Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah menuntut balasan.




TERJEMAHAN BAB II
2
32
23
Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah
3
32
24
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta meyediakan azab yang besar baginya
4
32
25
Darah seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku adalah Rasul-Nya tidaklah halal, kecuali disebabkan oleh tiga hal, yaitu orang yang telah kawin kemudian berzina, membunuh orang (secara sengaja dan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syara’) dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamahnya (Murtad).
20
43
60
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) 
21
43
61
Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka balasannya adalah qisas.
22
44
62
Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
23
44
63
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,.
24
45
66
Diyat adalah harta yang wajib dibayarkan karena adanya kejahatan terhadap jiwa atau yang searti dengannya.
25
45
67
Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah
26
46
68
Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
27
46
70
Bahwasanya Umar dalam khutbahnya, berkata : ingatlah sesungguhnya unta itu telah mahal, maka kemudian ia memperkirakannya seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas ribu dirham untuk pemilik perak, dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ribu ekor domba bagi pemilik domba, dan dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.
28
47
72
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa membunuh seorang mu'min secara sengaja, hukumnya dikembalikan kepada para wali si terbunuh, apabila mereka menghendaki membunuh maka mereka membunuhnya, dan apabila mereka menghendaki mengambil diyat, maka diyatnya adalah tiga puluh unta hiqqah, tiga puluh unta jaz'ah, empat puluh unta khalifah, dan sesuatu yang pantas bagi mereka, yang demikian itu untuk memberatkan hukuman
29
48
73
Sesungguhnya Nabi bersabda: dalam pembunuhan tersalah diyatnya dua puluh unta jaz'ah, dua puluh unta hiqqah, dua puluh unta binta labun, dua puluh unta ibn labun, dan dua puluh unta binta makhad
30
49
76
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya
31
49
78
... maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yng beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut...
32
50
79
Dan bagi seorang pembunuh tidak mewarisi apa-apa.
33
50
80
Barangsiapa tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, dibalas dengan terhalang mendapatkannya.
34
50
81
Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
35
50
83
Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam membunuh janin diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau amat (wanita), yang harganya adalah lima ratus dirham






TERJEMAHAN BAB IV
36
95
8
Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah
37
95
9
Dan dalam hal memotong hidung dikenakan diyat (penuh), dalam hal memotong lidah dikenakan diyat, dalam hal memotong dua buah bibir dikenakan diyat, dalam hal memotong dua buah pelir dikenakan diyat, dalam hal memotong zakar dikenakan diyat, dalam mematahkan tulang belakang dikenakan diyat, dalam hal meluaki dua buah mata dikenakan diyat, dan dalam hal mematahkan sebelah kaki dikenakan setengahnya diyat.
38
95
10
Diyatnya memotong jari-jari baik jari-jari kedua tangan atau jari-jari kedua kaki adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari
39
98
17
Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
40
98
18
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,.
41
99
19
Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
42
106
27
Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
43
106
29
Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam membunuh janin diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau amat (wanita), yang harganya adalah lima ratus dirham

Lampiran II

BIOGARAFI TOKOH DAN ULAMA




Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit ibn Zauta ibn Mah al-Tamimi al-Kufi. Beliau lahir pada tahun 80 H/ 699M, pada masa pemerintahan Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah ke-5 dari dinasti Bani Umayah. Wafat pada tahun 150 H/767 M, dalam usia 70 tahun. Beliau adalah tokoh mazhab Rasional-Liberal, dan terkenal dengan nama Abu Hanifah, karena beliau mempunyai putra yang bernama Hanifah. Alasan lain disebut demikian adalah karena kerajinannya beribadah kepada Allah, selain itu juga karena beliau selalu akrab dengan tinta untuk mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya dan para ulama-ulama lainnya. Murid-muridnya yang terkenal dan berjasa besar terhadap perkembangan mazhabnya adalah Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan. Hasil karyanya antara lain adalah al-Mabsut, al-Jami’ as-Sagir, serta al-Jami’ al-Kabir.

Imam Malik ibn Anas

Nama lengkap beliau adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amr ibn Haris ibn Imam ibn Khusail Abu ‘Abdillah al-Madani. Beliau lahir pada tahun 93 H/ 712 M, pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman ibn ‘Abd Malik, Khalifah ke-7 dari dinasti Bani Umayah. Wafat pada tahun 179 H/ 798 M, dalam usia 87 tahun. Beliau adalah tokoh mazhab Tradisional-Konservatif. Karya monumentalnya adalah kitab al-Muwatta’.

Imam Ahmad ibn Hambal

Nama lengkap beliau adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal ibn Hilal ibn Asy’as ibn Idris ibn Syaiban ibn Zahl. Beliau lahir pada tahun 164 H/ 780 M, pada masa pemerintahan Khalifah Muhammad al-Mahdi, Khalifah ke-3 dari Bani Abbas. Wafat pada tahun 241 H/ 855 M dalam usia 77 tahun. Beliau dikenal sebagai tokoh mazhab Ekstrim-Fundamental. Salah satu karyanya adalah al-Musnad.

Imam asy-Syafi’i

Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn Sa’iq ibn Abi Yazid ibn Hasyim ibn Mutallaib ibn Abd Manaf. Beliau lahir pada tahun 150 H/ 767 M di Gazza, dan wafat di Mesir pada Tahun 204 H/ 822 M. Imam asy-Syafi’i mencari ilmu ke Madinah pada akhir abad ke-2 Hijriyah, pada waktu Madinah merupakan kota cemerlang karena menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Islam, sebab di sinilah berdomosili para Tabi’ini dan Tabi’ at-Tabi’ini. Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam asy-Syafi’i antara lain ar-Risalah, al-Umm, Ikhtilaf al-Hadis, dan sebagainya.

Imam at-Turmuzi

Nama lengkap beliau adalah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Swarat ibn Musa ad-Dahhak al-Silmi ad-Darir al-Bughi at-Turmuzi. Beliau lahir pada tahun 200 H/ 815 M dan wafat pada tahun 892 M. beliau merupakan ulama hadis yang terkenal, karya-karyanya antara lain, al-Jami’ al-Mukhtasaru min al-Sunnani ar-Rasulillah dikenal dengan al-Jami’ as-Sahih, dan Jami’ at-Turmuzi yang dikenal dengan Sunan at-Turmuzi, dan lain sebaginya.  

Abdul Qadir ‘Audah

Beliau adalah seorang ulama terkenal Alumnus Fakultas Hukum Universitas l-Azhar Cairo pada tahun 1930 sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh utama dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai hakim yang disegani rakyat. Beliau juga turut ambil bagian dalam merumuskan Revolusi Mesir yang berhasil gemilang pada tahun 1952 yang dipelopori oleh Jendral M. Najib dan Letkol Gamal Abdul Naser. Ia mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan polotiknya pada tanggal 8 Desember 1954 bersama lima kawannya. Hasil karyanya antara lain adalah kitab at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami dan al-Islam wa Awda’ana al-Islami.

As-Sayyid Sabiq
Beliau adalah ulama terkenal di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, teman sejawat dengan Hasan al-Banna pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, beliau termasuk salah seorang yang menganjurkan ijtihad, dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, karya beliau yang terkenal adalah Fiqh as-Sunnah, Qa’idah al-Fiqhiyyah, dan Aqidah Islam.

Ibn Rusyd

Nama lengkap beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad. Beliau lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Maroko pada tahun 1198 M. Beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan tokoh filsafat yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam. Hasil karyanya antara lain Kitab al-Kulliyat, Bidayah al-Mujtahid, Kitab Fash al-Maqal fi ma Baina asy-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal.

Ibn Hazm

Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm az-Zahiri ibn Galib ibn Saleh ibn Khalaf ibn Madam ibn Yazid, gelarnya adalah Muhammad. Beliau adalah ulama terkenal di Andalusia dan pembela mazhab Zahiri, lahir di Cordova tahun 344 H. Pada mulanya  beliiau adalah penganut mazhab Syafi’iyah dan kemudian tertarik dengan mazhab Zahiri setelah beliau mendalaminya lewat buku-buku dan dari para yang ada di daerahnya. Di samping sebagai pengajar, beliau juga terkenal dengan karya-karyanya yang mencapai 400 buah, salat satunya adalah al-Muhalla.

Ibn Quddamah

Nama lengkap beliau adalah Wuwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Quddamah. Lahir di Jerusalem pada tahun 541 H/ 1147 M. Wafat di Damaskus pada tahun 620 H/ 1223 M. Beliau merupakan seorang ulama besar dan penulis kitab-kitab fiqh standar mazhab Hambali. Beliau hidup pada masa perang salib berlangsung, khususnya di daerah Syam. Hasil karyanya antara lain adalah, al-Mugni, al-Kafi, al-Umdah fi al-Fiqh, dan lain-lain.


P.A.F. Lamintang

Beliau adalah dosen Koordinator dalam mata kuliah Hukum Pidana I dan II serta sebagi pengajar mata kuliah hukum Penitensier, Penologi dan Pemasyarakatan pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Beliau dengan Djisman Samosir telah menulis buku Hukum Pidana dan Delik-delik Khusus Terhadap Hak-hak Milik, dan lainnya. 

Sumber :
      


[1]Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
[2]Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 25.

[3]Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 1.
[4]Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 26.
[5]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18  (Jakarta: Attahiriyah, 1981), hlm. 406.
[6] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992), hlm. 172.
[7] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan  li at-Turas, 1990 ), II : 263.

[8] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh,VI : 220.
[9] Ibn Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, t.t.) VIII : 636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1972 ), hlm. 152-153.
[10]As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 435.
[11]Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i., II : 10.

[12] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut: Dar al-Fikr, 1981 ) II : 232.

[13] Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi  wa Aulad, 1958), IV : 6.
[14] Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hm. 6. 
[15] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 55.

[16] Ahmad Jazuli, Fiqh Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26-27.
[17] As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38.


[18]  Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 425.
[19] Ibid.
[20] Al-Baqarah (2) : 194.
[21] Asy-Syura (42) : 40.
[22] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428.  
[23] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428-429.
[24] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 430
[25] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 261.
[26] Ibid.
[27] Ibid., VI : 264
[28] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 297.
[29] Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, Al-Muhazzab,   (Semarang: Toha Putra, t.t.), II : 173.

[30] Ibn Qudamah, Al-Mugni., VI : 648.

[31]Abdul Qodir ‘Audah, at-Tasyri’., II : 132.

[32] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., IV: 276.

[33] Al-Baqarah (2) : 178.
[34] Al-Baqarah (2) : 178.
[35]Abdul Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 777-778 dan II : 155-169. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 294.

[36]Perbedaannya dengan al-‘Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran qisas dengan ganti rugi (kompensasi), sedang al-‘Afwu terkadang pengampunan qisas secara mutlak.
[37] An-Nisa )4) : 92
[38]Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini, IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
[39]Yaitu orang yang melakukan pembunuhan sengaja
[40] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 307.
[41] Ibid., V : 373.

[42]Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 9

[43]Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7 (Bandung: t.np.,1994), hlm. 25.
[44]Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 10.

[45]Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4 (Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998), hlm. 43.
[46]Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977), hlm. 50. 
[47]  Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 144.
[48] Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika, 1991), hlm. 4.

[49] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hm. 4.
[50] Ibid., hlm. 65.
[51] Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).

[52] Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana , (Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
[53]Ibid.
[54] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
[55] Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
[56] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 52.
[57] Ibid., hlm. 53.

[58] Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
[59] Ibid., hlm. 150
[60] Ibid., hlm. 150-151.
[61]  Moeljatno, KUHP., hlm. 151. 
[62] Ibid
.
[63] Ibid., hlm.47.

[64]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Pradya Paramita, 1989), hlm. 16.

[65]Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), hlm. 44-45.
[66] Ibid.

[67] Ibid.

[68] Ibid. hlm. 151.
[69] Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.  

[70]As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 552-553.
[71] Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
[72] Ibid., hlm. 150.

[73] Ibid., hlm.150-151.
[74] Ibid.
[75] Ibid., V : 373.
[76] As-Sayyid Sabiq, al-Fiqh., III : 64.
[77] Ibid., III : 373. 
Previous
« Prev Post

Related Posts

Selasa, Mei 08, 2012

0 comments:

Posting Komentar