BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia berjalan di kehidupan dunia ini, sejak awal
penciptaan dalam dirinya terdapat kepribadian yang beragam dan dikendalikan
oleh kecenderungan naluri yang berbeda pula. Fitrah telah menentukan bahwa
individu tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dalam
menyempurnakan sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat dilakukan oleh tangan dan
pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan
ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari
kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling mengatur
semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai.[1]
Manusia adalah makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon.
Setiap
manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran serta
usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan hidup.
Kepentingan-kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan
kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling
menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara manusia pemikul berbagai kepentingan
itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-kepentingan sendiri,
sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal yang demikian sangat
membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jika
tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.[2]
Meskipun
setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki kepentingan yang
berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan
(chaos) antara sesama anggota masyarakat, mereka tentu menginginkan
sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud.
Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang
merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut.
Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib bermasyarakat yang
berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-Undang Dasar negara tersebut.[3]
Terwujudnya
stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya
sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht)
dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota
masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada
dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan
dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi
terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah
peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan
dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat
berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Sebuah
peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas).
Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum
itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.
Di
negara Indonesia,
hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, hukum terdiri dari hukum
privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum privat diserahkan kepada
masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu adalah
horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada
negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.[4]
Kemudian
ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata, hukum dagang dan
hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda,
sebagai contoh, hukum pidana berfungsi untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan
hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan tata negara ditaati
sepenuhnya.
Sementara
itu, dalam hukum Islam juga terdapat
bermacam-macam hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah
di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau
hukum privat, al-Ahwal al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
Hukum
pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada al-qur’an
yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding
dengan perbuatan itu.
Mengenai
masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam dengan
hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qisas,
ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas
dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan
hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang
membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam
masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar
sepertiganya.[5]
Ketentuan-ketentuan
hukum yang ada, baik pada hukum pidana Islam maupun pidana positif yang telah
disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika keduanya dihadapkan
pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus
penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan matinya janin.
Ada
bebarapa hal yang menjadikan kenapa penyusun tertarik untuk membahas kasus tersebut,
yang pertama adalah bahwa belum adanya penelitian yang membahas kasus tersebut
dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada umumnya yang
dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayan atau pembunuhan
saja. Yang kedua adalah selama ini sering terjadi tindak-tindak kekerasan
terhadap perempuan yang menimbulkan berbagai akibat, salah satunya adalah kasus
penganiayaan seperti yang yang dikemukakan dalam penelitian ini. Latar belakang
terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan adanya kelakuan yang tidak
wajar sehingga akan menimbulkan aib apabila diketahui oleh masyarakat, seperti
adanya kehamilan diluar pernikahan atau akibat perkosaan. Sedangkan berkenaan
dengan kasus-kasus tersebut belum ada ketegasan mengenai sanksi-sanksi
hukumnya.
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di
atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang menjadi perhatian
dalam penyusunan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perspektif hukum pidana Islam dan hukum
pidana positif tentang delik penganiayaan serta pembunuhan ?
2. Bagaimana ketentuan kedua sistem hukum tersebut dalam menangani matinya janin yang ada dalam
kandungan akibat penganiayaan ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan pada rumusan masalah
di atas, maka tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah:
1.
Tujuan
a. Untuk mengetahui ketetapan-ketetapan
dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang delik penganiayaan dan
delik pembunuhan.
b. Untuk
menjelaskan ketentuan dari kedua hukum tersebut bagi pelaku penganiayaan
yang mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan.
2.
Kegunaan
Kegunaan dari
penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap
khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum dengan mencoba
membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif
mengenai delik penganiayaan serta delik
pembunuhan.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran umum mengenai isi karya
tulis ini dan lebih mudahnya dalam pembahasan penyusunan, maka disusunlah
sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB
I : Pendahuluan
Pendahuluan ini memuat latar belakang masalah yang
kemudian dirumuskan pokok masalah, tujuan dan kegunaan, sistematika penulisan
BAB
II : Tinjauan Pustaka
Bab kedua, penyusun akan menguraikan tindak pidana
penganiayaan dan pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam. Pembahasan
ini akan dimulai dengan pendefisian mengenai delik penganiayaan serta delik
pembunuhan dilanjutkan dengan pemaparan tentang pembagian delik penganiayaan
serta pembunuhan juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak
pidana penganiayaan serta pembunuhan.
BAB III : Metodologi Penelitian
Dalam bab ini akan membahas tentang cara
penelitian yang meliputi Jenis Penelitian, Metode Penelitian,
Sumber Penelitian dan Teknis Analisis Data
BAB IV :,
penyusun menguraikan penganiayaan serta
pembunuhan ditinjau dari segi hukum pidana positif. pembahasan ini juga
meliputi pengertian pengertian delik penganiayaan serta delik pembunuhan,
klasifikasi kedua delik tersebut dan diakhiri dengan penjelasan
sanksi-sanksinya.
Serta berisi kajian perbandingan terhadap sistem hukum
pidana Islam dengan hukum pidana positif dihadapkan pada kasus penganiayaan
terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin yang dikandung. Analisis
tersebut dari dua segi, yaitu segi tindak pidana dan segi pidananya, yang
keduanya berisikan persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.
BAB V : Sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga
tentunya berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini,
saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam
di masa depan.
BAB II
DELIK PENGANIAYAAN DAN
PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian
Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
Pengertian istilah delik dalam hukum pidana positif
sama dengan penggunaan istilah jarimah dalam hukum Islam. Jarimah
mempunyai arti larangan-larangan syara' yang diancam dengan hukuman had,
qisas, atau ta'zir. Larangan yang dimaksud adalah mengerjakan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, karena
perintah dan larangan tersebut datang dari syara' maka perintah dan larangan
tersebut hanya ditujukan kepada orang yang mukallaf.
Para fuqaha' sering menggunakan kata jinayah untuk jarimah.
Mereka mengartikan jinayah dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh
syara' baik perbuatan tersebut mengenai
harta, jiwa dan lainnya. Selain itu terdapat beberapa fuqaha' yang membatasi
kata jarimah pada jarimah hudud dengan mengesampingkan perbedaan
pemakaian kata jinayah dan jarimah, sehingga dapat dikatakan
kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama Untuk mengetahui suatu
perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah dan pelakunya dapat
dikenai pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi beberapa unsur,
yaitu:
1. Unsur formil, yaitu adanya ketentuan
atau aturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang diancam
hukuman.
2. Unsur materiil, yaitu adanya
perbuatan yang melawan hukum baik itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau sikap
tidak berbuat
3. Unsur moril, yaitu unsur yang
terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah haruslah mukallaf, yaitu
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang
dilakukannya
Sedangkan menurut
as-Sayyid Sabiq, kata jinayat adalah bentuk jamak, adapun bentuk
tunggalnya adalah jinayah yang diambil dari kata jana, yajni yang
artinya memetik. Dikatakan: "Jana as-Samara" yang artinya
ialah: bilamana ia mengambil buah dari pohonnya. Dan dikatakan pula: "Jana
'Ala Qawmihi Jinayatan" yang artinya adalah: ia telah melakukan
tindakan kriminalitas terhadap kaumnya, karena itu ia dipidana.
2. Pengertian
Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pembunuhan
secara etimologi, merupakan bentuk masdar قتلا, dari fi’il madhi قتل yang artinya membunuh.[6]
Adapun secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili,
pembunuhan didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan
seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan. Sedangkan menurut
Abdul Qadir ‘Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang
untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.
Dalam
hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim qisas (tindakan
pidana yang bersanksikan hukum qisas), yaitu tindakan kejahatan yang
membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya nyawa,
atau terpotong organ tubuhnya.[7]
B. Klasifikasi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Klasifikasi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
Para ulama
membagi jinayah terhadap tubuh menjadi lima macam, yaitu :
a. Ibanat al-Atraf,
yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki,
jari, hidung, gigi dan sebagainya
b. Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan itu tetap ada
tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban buta, tuli, bisu dan
sebagainya
Sedangkan Abu Bakar al-Jazairi
sebagaimana disebutkan dalam definisi penganiayaan, membagi jinayah
terhadap tubuh menjadi 3 macam, yaitu :
a. Jinayatul
Atraf,
b.
Asy-Syijjaj, dan
c. Al-Jirah,
2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pada
dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Pembunuhan yang diharamkan; setiap pembunuhan karena
ada unsur permusuhan dan penganiayaan
2. Pembunuhan yang dibenarkan; setiap pembunuhan yang
tidak dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh
algojo dalam melaksanakan hukuman qisas.[8]
Adapun secara spesifik mayoritas ulama
berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (qatl al- ‘amd)
Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena
adanya permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau tidak
langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan besi,
pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun tidak vital
(paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan sakit terus
menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi
luka dan membawa pada kematian
2. Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd)
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap
orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti memukul
dengan batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara pukulan
yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu, pukulannya bukan pada
tempat yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak kecil atau orang yang
lemah, cuacanya tidak terlalu panas/dingin yang dapat mempercepat kematian,
sakitnya tidak berat dan menahun sehingga membawa pada kematian, jika tidak
terjadi kematian, maka tidak dinamakan qatl al-‘amd, karena umumnya
keadaan seperti itu dapat mematikan
3. Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata’)
Yaitu
pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat
dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya seseorang melempari pohon atau binatang
tetapi mengenai manusia (orang lain), kemudian mati.[9]
Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, yang dimaksud
pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf
kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada
umumnya dapat menyebabkan mati.[10]
Sedangkan menurut Abdul Qodir ‘Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya
bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu mempunyai
kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak bermaksud
membunuh, semata-mata hanya menyengaja menyiksa, maka tidak dinamakan dengan
pembunuhan sengaja, walaupun pada akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan
pukulan yang menyebabkan mati (masuk dalam katagori syibh ‘amd).[11]
Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat
dikatagorikan sebagai tindak pidana pembunuhan yaitu[12] :
a. Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu seperti alat
yang tajam, melukai, dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan.
b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang
tidak tajam, seperti tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda
pendapat apakah termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qisas atau syibh
‘amd yang sengaja mewajibkan diyat.
c. Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa
perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan pistol, dan
lain-lain.
d. Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan
sebab-sebab yang dapat mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan
yang pada hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat menjadikan perantara
atau sebab kematian.
Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam,[13]
yaitu :
1) Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan
untuk membunuh.
2) Sebab Syar’iy, seperti persaksian palsu yang
membuat terdakwa terbunuh, keputusan hakim untuk membuat seseorang yang
diadilinya dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena keadilan) untuk menganiaya secara sengaja.
3) Sebab ‘Urfiy, seperti menyuguhkan makanan
beracun terhadap orang lain yang sedang makan atau menggali sumur dan
menutupinya sehingga ada orang terperosok dan mati.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang
membinasakan, seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala,
harimau, ular dan lain sebagainya.
f. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar.
g. Pembunuhan dengan cara mencekik.
h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya
tanpa memberinya makanan dan minuman.
i.
Pembunuhan dengan
cara menakut-nakuti atau mengintimidasi. Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan
suatu perbuatan fisik, karena terjadi juga melalui perbuatan ma’nawi yang
berpengaruh pada psikis seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi dan
lain sebagainya.
Dalam syari’at Islam, pembunuhan diatur
di dalam al-Qur’an
tBurÇÒÌÈ
Terjemahnya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.(Q.s
An-Nisa’ ayat 13)
C. Sanksi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah
yang berasal dari kata عقب , yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya
adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas ketentuan
hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan
kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau
yang lainnya.[14] Hukuman
merupakan suatu cara pembebanan pertanggungjawaban pidana guna memelihara
ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain hukuman dijadikan
sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat.[15]
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu
mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan
pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah
tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan
kemaslahatan masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat
maka hukuman dapat diperberat begitu pula sebaliknya.[16]
1. Sanksi Delik Penganiayaan
Sanksi-sanksi yang dikenakan terhadap orang yang
melakukan tindak pidana terhadap tubuh menurut ketentuan hukum pidana Islam
adalah sebagai berikut :
a. Qisas
Qisas
terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut[17]:
1. Pelaku berakal
2. Sudah mencapai umur balig
3. Motivasi kejahatan disengaja
4. Hendaknya darah
orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.
Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya
dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas
seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak
pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau
memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut
secara sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama
di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan
perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota
yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka.[18]
Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan
pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang
dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:[19]
a. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka
apabila ada kebohongan maka tidak boleh diqisas,
b. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas
itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan diyat,
c. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang
terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong
anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki,
tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
d. Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah
dalam hal kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat
karena memotong tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat
karena melukai mata yang sudah buta,
e. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj),
maka tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada
tulang, dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas,
maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya
tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal
tersebut.
Kemudian dalam hal tindakan menempeleng,
seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai dengan apa yang telah dilakukannya,
hal ini sesuai firman Allah swt.,
Terjemahnya : Bulan Haram dengan bulan haram dan pada
sesuatu yang patut dihormati[119], berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu
barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.(Q.s Al-Baqarah ayat 194)[20]
Dan Allah telah berfirman pula dalam ayat lain,
Terjemahnya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.(Q.s
As-Syura ayat 40)[21]
b. Diyat
Dalam hal penganiayaan jenis jinayatul
atraf, pelaksanaan diyat dibagi menjadi dua, yaitu yang dikenakan
sepenuhnya dan yang dikenakan hanya setengahnya saja, adapun diyat yang
dikenakan sepenuhnya adalah dalam hal sebagai berikut[22] :
1. Menghilangkan akal,
2. Menghilangkan pendengaran dengan
menghilangkan kedua telinga,
3. Menghilangkan penglihatan dengan
membutakan kedua belah mata,
4. Menghilangkan suara dengan memotong lidah atau dua
buah bibir,
5. Menghilangkan penciuman dengan memotong hidung,
6. Menghilangkan kemampuan
bersenggama/jima' dengan memotong zakar atau memecahkan dua buah pelir
7. Menghilangkan kemampuan berdiri atau
duduk dengan mematahkan tulang punggung.
Sedangkan diyat
yang dikenakan hanya setengahnya saja adalah dalam hal melukai[23] :
1. Satu buah mata
2. Satu daun telinga
3. Satu buah kaki
4. Satu buah bibir
5. Satu buah pantat
6. Satu buah alis
7. Satu buah payudara wanita
.Dalam hal mematahkan
tulang rusuk diyatnya sebanyak satu ekor unta (ba'ir)
Dalam hal mematahkan lengan tangan atas, bawah ataupun
betis diyatnya sebanyak dua ekor unta (ba'ir)[24].
Dan selain apa yang telah disebutkan di atas hukumnya diqiyaskan
kepada yang lebih mudah yaitu al-Mudihah.
2. Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Ada
tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum pidana islam, yaitu
pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qisas, kedua, sanksi
pengganti, berupa diyat dan ta’zir, dan ketiga, sanksi
penyerta/tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.[25]
a. Sanksi Asli/Pokok
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah
dinaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini
disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku
pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh diganti dengan harta),
kecuali ada kerelaan dari kedua belah pihak. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa
di samping qisas, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah.[26]
Qisas diakui
keberadaannya oleh al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ulama, demikian pula akal memandang
bahwa disyari’atkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan.[27]
Hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam sebuah ayat;
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Terjemahnya : Dan dalam qishaash itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa.
Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat
dilaksanakan qisas[28],
yaitu :
a. Syarat-syarat bagi pembunuh
Ada 3 syarat, yaitu :
1. pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal),
maka tidaklah diqisas apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang
gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif.[29]
Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat atau
maksud yang sah.
2. Bahwa pembunuh menyengaja perbuatannya.
Dalam al-Hadis disebutkan,
3. Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya
jika membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas,
tetapi menurut Jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban)
Juga ada 3, yaitu :
1. Korban adalah orang yang dilindungi darahnya.[30] Adapun orang yang dipandang tidak dilindungi
darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan, penganut zindiq
dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmy membunuh mereka, maka
hukum qisas tidak berlaku.
2. Bahwa korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada
hubungan bapak dan anak), tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang
membunuh anak/cucunya sampai derajat ke bawah, berdasarkan pada hadis;
3. Adalah korban derajatnya sama dengan pembunuh dalam
islam dan kemerdekaanya, pernyataan ini dikemukakan oleh Jumhur (selain
Hanafiyah). Dengan ketentuan ini, maka tidak diqisas seorang islam yang
membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.
c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat
dikenakan qisas, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak
pidana langsung, bukan karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya
dikenakan hukuman membayar diyat. Sedangkan Jumhur tidak mensyaratkan
itu, baik pembunuhan langsung atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qisas,
karena keduanya berakibat sama.[31]
d. Syarat-syarat bagi wali korban
Menurut Hanafiyah, wali korban yang
berhak untuk mengqisas haruslah orang yang diketahui identitasnya. Jika
tidak, maka tidak wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qisas
adalah pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak dari orang yang
tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Qisas
wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban.
Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan
sengaja adalah qisas.[32]
Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Terjemahnya : ang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih( Q.s Al-Baqarah ayat 178)[33]
Hanabilah berpendapat bahwa
hukuman bagi pelaku pembunuhan tidak hanya qisas, tetapi wali korban
mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka menghendaki qisas, maka
dilaksanakan hukum qisas, tapi jika menginginkan diyat, maka
wajiblah pelaku membayar diyat.
Dasar hukum yang digunakan
adalah sebuah hadis Rasul;
Dan
firman Allah swt.
فمن عفى له من
أخيه شيء فاتباع بالمعروف...[34]
Hukum qisas menjadi gugur
dengan sebab-sebab sebagai berikut[35]:
a. Matinya pelaku kejahatan
Kalau orang yang akan menjalani qisas
telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa
pelakulah yang menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat
yang diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali korban si
terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam
asy-Syafi’i. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat,
sebab hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hak tersebut telah
tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat
dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban
dengan syarat pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara
pembunuh dengan wali korban.[36]
d. Adanya penuntutan qisas
b. Sanksi Pengganti
1) Diyat
Dengan
definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang
semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan
dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang. Sedangkan diyat untuk
anggota badan disebut ‘Irsy.
Dalil disyari’atkannya diyat
adalah,
وماكان
لمؤمن ان يقتل مؤمنا الاخطأ, ومن قتل مؤمناخطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية مسلمة الى
أهله إلا أن يصدقوا...[37]
Dan hadis Rasul yang berbunyi,
من قتل له قتيل فهوبخير النظرين : إما يودى
وإما يقاد[38]
Pada
mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit
ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas,
perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
Jadi diyat pembunuhan
sengaja adalah diyat mugallazah yang dikhususkan pembayarannya oleh
pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat
pembunuhan syibh ‘amd adalah diyat yang pembayarannya tidak hanya
pada pelaku, tetapi juga kepada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan
dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Jumhur ulama berpendapat
bahwa diyat pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya
karena diyat merupakan pengganti qisas. Jika qisas dilakukan
sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian
tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid[39]
pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat
dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah, karena keringanan (pemberian
tempo) itu hanya berlaku bagi ‘aqilah.[40]
Para ulama sepakat bahwa diyat
pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya sendiri. ‘Aqilah
tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas
perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain.
c. Sanksi Penyerta/Tambahan
Sanksi ini berupa
terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris dan wasiat. Ketetapan ini
dimaksudkan untuk sadd az-zara’i; agar seseorang tidak tamak terhadap
harta pewaris sehingga menyegarakannya dengan cara membunuh, selain itu ada
juga hukuman lain yaitu membayar kifarah, sebagai pertanda bahwa ia
telah bertaubat kepada Allah. Kifarah tersebut berupa memerdekakan
seorang hamba sahaya yang mu’min. Kalau tidak bisa, maka diwajibkan puasa
selama dua bulan berturut-turut.
Sedangkan
mengenai pembunuhan janin, dijelaskan bahwa apabila ada janin yang mati karena
adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau kesalahan dan ibunya
tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin
itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan serta baik
janin itu laki-laki atau perempuan.Gurrah dalam hal hukuman tersebut
adalah sebesar lima ratus dirham, atau sebanyak seratus kambing.Dan juga
dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.
Dasar dari pemberian hukuman gurrah
tersebut adalah hadis:
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup
kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin
itu laki-laki maka jumlah diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila
janin itu perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan
janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas,
tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
Imam
Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam kandungan ibunya, yaitu
diketahui bahwa benar-benar sudah terbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh
dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia
yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila hal itu tidak ada, maka menurut
beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu berupa gurrah ataupun diyat.
Sedangkan apabila seorang ibu mati
karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu
mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas
si ibu dan diyat atas si janin, karena matinya si ibu merupakan salah
satu sebab dari matinya janin.[41]
Para ulama sepakat bahwa dalam hal
janin yang mati setelah keluar dari kandungan, selain diwajibkan diyat
juga diwajibkan kifarah. Sedangkan mengenai janin yang mati di dalam
kandungan ibunya masih dipertanyakan, namun as-Syafi’i dan lainnya berpendapat
tetap diwajibkan kifarah, karena menurutnya kifarah diwajibkan
dalam perbuatan sengaja maupun karena kesalahan.
BAB III
METODE
PENELITIAN
1. Metode
pengumpulan data
Setiap
penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian
itu. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut diperlukan suatu metode. Metode
dalam sebuah penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan
atau memperoleh data yang diperlukan.[42]
Adapun metode yang digunakan dalam
penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
jenis
penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian
pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas
pustaka seperti buku, kitab atau majalah.[43] Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan
dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di
atas, yang lebih jelasnya adalah membandingkan dan memahami ketetapan dari dua
sistem hukum yang berbeda mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil yang
menyebabkan kematian janin melalui kajian pustaka.
2. Sifat
Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif,
analitik serta komparatif. Metode deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala
atau fakta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala atau
fakta tersebut[44], sedang
analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data
penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna[45],
kemudian komparatif dengan membandingkan
hasil yang didapat, dalam hal ini perbandingan antara sistem hukum
pidana Islam dan hukum pidana positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran
masalah dan landasan penyelesaian.
3. Pengumpulan Data
Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi
ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang ditempuh
adalah dengan meneliti dan mengumpulkan pendapat dari para sarjana dan ulama
melalui buku-buku, kitab-kitab serta
karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Kemudian dari
sumber-sumber yang ada, baik primer maupun skunder akan diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang
benar-benar akurat.
Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang
dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah, dari segi hukum Islam: al-Fiqh
wa Adillatuh karya Wahbah az-Zuhaili, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami
karya Abdul Qadir ‘Audah, Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj
al-Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi,
At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib karya Mustafa Raib al-Bagha, dan lainnya.
Sedangkan dari segi hukum pidana positif, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum
Pidana oleh Moeljatno, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya
Leden Marpaung, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana
oleh Chidir Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M.
Sudradjat Bassar dan lain-lain.
5. Analisa Data
Adapun
metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan cara berfikir
induktif, deduktif dan komparatif. Induktif adalah pengambilan kesimpulan dari
pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum, metode ini
penyusun gunakan untuk menganalisis kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang
mengakibatkan kematian janin, sedangkan deduktif adalah pengambilan kesimpulan
dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus.[46]
Dengan metode ini penyusun mencoba menganalisa data untuk mengungkapkan
ketentuan-ketentuan hukum tentang penganiayaan juga tentang pembunuhan dalam
hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menggunakan analisa
komparatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum
yang berbeda mengenai permasalahan yang sama, dengan tujuan menemukan dan
mencermati perbedaan dan persamaan antar elemen dalam kedua sistem hukum
tersebut, sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari
sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.
BAB IV
PENGANIAYAAN DAN
PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM PIDANA
POSITIF
A. Pengertian Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
a.Sebelum membahas mengenai pengertian penganiayaan,
penyusun terlebih dahulu akan mengemukakan apa yang dimaksud dengan delik.
Dalam kamus hukum delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.[47]
Dalam hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang
juga menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum.
Dan secara umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit.
Prof. Simon mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya[48].
Dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagi perbuatan atau tindakan yang
dapat dihukum. Utrecht memandang rumusan yang dikemukakan oleh Simon itu
merupakan rumusan yang lengkap.
. Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaar feit
ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan. Sebagaimana yang dikutip oleh
Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana
meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan Utrecht
menyalin istiah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana, di mana beliau
menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.[49]
Meskipun terdapat banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua
bersumber pada strafbaar feit. Dan mengenai penggunaan istilah tersebut
A.Z.Abidin sependapat bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang
banyak digunakan yaitu delik.[50]
Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu
kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang.
Pada KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan”, tetapi KUHP sendiri tidak
memuat arti penganiayaan tersebut. penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenang-wenang...”[51].
Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut
“perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana
adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.
Kemudian ilmu
pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain”.[52]
2. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh;
perbuatan (hal, dsb) membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.
Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan
dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh
pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki
oleh Undang-undang.[53]
B. Klasifikasi Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
1. Klasifikasi Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP
disebut “penganiayaan”. Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari :
a.
Penganiayaan yang
berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
1. Penganiayaan biasa
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
3. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati
b.
Penganiayaan
ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
c.
Penganiayaan
berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan rincian sebagai berikut :
1. Mengakibatkan luka berat
2. Mengakibatkan orangnya mati
d.
Penganiayaan
berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
1. Mengakibatkan luka berat
2. Mengakibatkan orangnya mati
e.
Penganiayaan
berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai
berikut :
1. Penganiayaan berat dan berencana
2. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan
orangnya mati.[54].
(1) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang
bersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang
dengan sengaja.
(3) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh
dihukum. [55]
Yang termasuk Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan
ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan
luka berat atau matinya orang.
Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan
Pasal 352 KUHP, sehingga dalam penerapannya timbul kerumitan, terutama karena
pelanggaran terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak
pidana ringan), yang berdasarkan KUHAP (Pasal 205(1)), langsung diajukan
penyidik ke Pengadilan Negeri, dengan demikian tidak melibatkan Penuntut Umum.[56]
Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga)
jenis penganiayaan biasa, yaitu :
1. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau
matinya orang,
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat,
3. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.
Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan yang
mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit, tetapi
pada prakteknya kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2),
Sebagian
pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada luka karena
pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk menyatakan ukuran.[57]
Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai
berikut ;
Luka berat berarti:
1) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
2) tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian;
3) kehilangan salah satu pancaindra;
4) mendapat cacat berat (verminking);
5) menderita sakit lumpuh;
6) terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7) gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.[58]
b. Penganiayaan ringan
Hal
ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1)
Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang tidak
menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan,
dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2)
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.[59]
c. Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu
Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang
bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[60]
d.
Penganiayaan
Berat
Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai
berat orang lain dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat
orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sepuluh tahun.[61]
e. Penganiayaan Berat Dan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi ;
(1) Penganiayaan berat dengan
direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat
orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.[62]
Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat
yakni, luka berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat tersebut maka
perbuatan itu, tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 358 KUHP..
2. Klasifikasi Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang
kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab
XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas
beberapa jenis, yaitu :
a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP
merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah
dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah : “barangsiapa
sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun”.
“Dengan
sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus
timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud
dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa
direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340
adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang
terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah
nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan
tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan
itu dilakukan terhadap bapak/ibu
sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita
tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai
sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang
mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga,
melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena
orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat
dipertanggung jawabkan.
b. Pembunuhan Dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut :
Pembunuhan
yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan
maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan
diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang
didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan
hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
c. Pembunuhan Berencana
Hal ini
diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.
d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini
diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa
anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena
takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa
seorang ibu dengan sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia
melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan
unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si
ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan
takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh
oleh si ibu adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga
pembunuhan tersebut haruslah pada saat
anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang
dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk
dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP.
e. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini
diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu
dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan
bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu
pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu dihukum karena
membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
tahun.
f. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini
diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 344
ini membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan.
g. Pengguguran Kandungan
Kata
“pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus provocatus”
yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan : “membuat keguguran”.
Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh Pasal-Pasal Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka akan
dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguguran
kandungan, yaitu ;
a. janin
b. ibu yang mengandung
c. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran
tersebut.
Tujuan
Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai
(1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua
bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”.
Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun pembuat
undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua hal tersebut.[63]
Pengaturan
KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai berikut :
1) Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu
Hal ini
diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
2) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin
Perempuan yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya
sebagai berikut :
(1)Barang siapa dengan
sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan
izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun
3.
Pengguguran
Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
(1)Barangsiapa dengan sengaja
menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan
itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2)Jika perbuatan itu berakibat
perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun
C. Sanksi Penganiayaan dan Pemunuhan Menurut Hukum Pidana
Positif
Hakikat
dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tuuan sanksi pidana adalah
penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka
yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi
masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para
penjahat.[64]
1)
Sistem hukuman
yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan
dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan
benar-benar, maka kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang
kelihatannya sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat
obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal
inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para
ahli hukum.
maka diharapkan
hendaknya masyarakat menjadi takut dan jangan sampai melakukan tindak pidana
pembunuhan atau kejahatan lainnya yang dapat dihukum mati. Di samping itu suatu
pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum dengan menghukum mati seseorang
karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan pemerintah.
Karena itu hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa
keadilannya.
1. Sanksi Penganiayaan Menurut Hukum Pidana
Positif
Sanksi atau
ancaman pidana yang dimuat pada KUHP merupakan sanksi sejak tahun 1915. Adapun
penerapan sanksi terhadap delik penganiayaan yang termuat dalam KUHP, yaitu
yang tercantum dalam Pasal 351-358 adalah sebagai berikut :
a.
Penganiayaan
berdasarkan Pasal 351 KUHP, apabila tidak mengakibatkan luka berat dan korban
tidak mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan
bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, apabila korban luka
berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, sedangkan
apabila meyebabkan korban mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
tujuh tahun.
b.
Penganiayaan
ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan
atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau
denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
c.
Penganiayaan
berencana yang tidak mengakibatkan luka berat atau mati dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun, apabila mengakibatkan luka berat dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dan apabila mengakibatkan
kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
d.
Penganiayaan berat yang mengakibatkan luka
berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun dan apabila
mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh
tahun.
Khusus bagi
tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati, tidak dapat
dihindarkan untuk tidak mendakwakan Pasal 338 KUHP bahkan Pasal 340 KUHP karena
permasalahan adalah pada unsure "dolus" atau "bentuk
kesengajaan" terutama dengan bentuk "dolus eventualis".
2. Sanksi Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Adapun
sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHPI adalah sebagai berikut :
a.
Pembunuhan biasa,
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun
b. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
c. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
d. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya tujuh tahun
e. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
f. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang
membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
g. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya
membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
empat tahun
h. Pengguguran kandungan
2. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
3. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin
perempuan yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-
dua belas tahun
-
lima belas tahun,
jika perempuan itu mati
4. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang
mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-
lima tahun enam
bulan
-
tujuh tahun, jika
perempuan itu mati
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan
hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga
pada kejahatan terhadap nyawa
.
B.
ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN
KEMATIAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara
hukum Islam dan hukum positif mengenai delik penganiayaan yang masuk ke dalam
sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga janin yang dikandungnya
mati, maka dalam bab ini akan dianalisis mengenai hal-hal yang berkaitan, baik
mengenai tindak pidana penganiayaan itu sendiri sehingga mengakibatkan kematian
janin maupun berkenaan dengan sanksi hukuman yang harus ditanggung oleh pelaku
penganiayaan tersebut dilihat dari dua sistem hukum yang berbeda yaitu hukum
pidana Islam dan hukum pidana positif. Sehingga dengan analisis ini dapat
diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif dalam menangani kasus tersebut.
A.
Analisis Dari Segi Tindak Pidana
1.
Persamaan
Berdasar pada pembahasan Bab II dan Bab III, penyusun
menyimpulkan bahwa antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif sama-sama
melarang adanya perbuatan penganiayaan serta pembunuhan dan telah mengatur
keduanya dengan memberikan ancaman hukuman tertentu. Kedua sistem hukum
tersebut juga pada dasarnya sama dalam merumuskan delik penganiayaan serta
delik pembunuhan, yaitu penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit terhadap orang lain secara melawan hukum sedangkan
pembunuhan dirumuskan sebagai tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau
jiwa orang lain tanpa adanya hak yang sah.
Dalam hukum pidana Islam
penganiayaan terhadap ibu yang sedang hamil sehingga janin yang ada dalam
kandungannya itu mati mendapatkan satu macam tindak pidana yang berlanjut,
yaitu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan tindak pidana pembunuhan,
demikian juga dalam hukum pidana positif.
Berkenaan dengan kasus yang
dikemukakan di sini, yaitu tentang penganiayaan terhadap ibu hamil yang
mengakibatkan kematian janin, dapat dilihat bahwa dalam kasus tersebut
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku jelas merupakan sebuah delik. Baik itu
dipandang dari segi hukum pidana Islam maupun dari segi hukum pidana positif.
Dalam kasus tersebut terdapat satu macam delik yang mengakibatkan dua peristiwa
pidana, yang pertama adalah delik penganiayaan yang ditujukan terhadap si ibu
dan yang kedua adalah kematian janin sebagai akibat dari penganiayaan tersebut.
Di samping hal tersebut, kasus
tersebut telah lengkap mengandung unsur-unsur yang telah disebutkan di atas.
Sehingga apabila ada orang yang melakukan perbuatan itu dia dapat dikenakan
pidana sesuai dengan aturan yang telah ditentukan masing-masing sistem hukum.
2. Perbedaan
Kedua sistem hukum tersebut sama
dalam memandang bahwa dari segi tindak pidana perbuatan yang dilakukan dalam
kasus itu merupakan delik penganiayaan serta delik pembunuhan, akan tetapi
dalam merumuskan jenis dari tindak pidana tersebut ada beberapa perbedaan.
Hukum pidana Islam membagi
penganiayaan menjadi berbagai jenis. Pembagian tersebut berdasar bentuk
perbuatan serta akibat yang ditimbulkan. Sedangkan dalam tindak pidana
pembunuhan hukum pidana Islam membaginya berdasarkan sifat dari perbuatan
tersebut. Secara garis besar penganiayaan dalam hukum Islam terbagi atas jinayah
al-atraf, asy-syijjaj, serta al-jirah, sedangkan pembunuhan
terbagi atas qatl al-‘amd, qatl syibh ‘amd serta qatl khata’.
Dalam hukum pidana positif pembagian
keduanya berdasarkan atas berat ringannya tindakan, akibat yang ditimbulkan
serta unsur-unsur lain yang ada, seperti adanya perencanaan terlebih dahulu dan
lain sebagainya.
Kasus yang dikemukakan dalam
pembahasan kali ini dilihat dari segi tindak pidana menurut hukum pidana Islam
belum dapat dispesifikkan ke dalam jenis mana, hal tersebut hanya dapat dilihat
dari akibat yang diderita oleh si ibu, apakah itu berupa luka-luka, terpotong
anggota tubuhnya, atau luka dalam. Sehingga sanksi yang harus diterima oleh pelaku
juga tergantung dari akibat yang diderita si korban.
Kemudian
mengenai tindak pidana pembunuhannya pun menurut hukum pidana Islam dalam
mengkatagorikan jenisnya juga harus melihat sifat dari pembunuhan tersebut
apakah sengaja untuk membunuh si janin, ataukah hanya kesalahan saja. Setelah
itu baru dapat ditentukan jenis hukuman
yang harus diterima oleh pelaku.
Sedangkan
dalam hukum pidana positif, apabila
mencermati KUHP lebih dalam terdapat pasal yang menyinggung tentang
gugurnya janin dalam kandungan, yaitu pada Pasal 90 KUHP tentang pengertian
“luka berat”, dalam pasal tersebut disebutkan,
Luka berat berarti:
1) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
2) tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian;
3) kehilangan salah satu pancaindra;
4) mendapat cacat berat (verminking);
5) menderita sakit lumpuh;
6) terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7) gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan [65]
Sedangkan pasal 355 berbunyi:
(1) Penganiayaan berat dengan
direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat
orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.[66]
Maka
harus ada unsur perencanaan terlebih dahulu dalam penganiayaan itu atau pada
Pasal 358 KUHP yang berbunyi:
Sedangkan apabila matinya janin itu dikatagorikan pada
pembunuhan, maka pasal yang berkenaan adalah Pasal 347 KUHP tentang pengguguran janin tanpa
persetujuan si ibu. Dalam pasal tersebut dijelaskan:
Barang
siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan
tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
dua belas tahun
B.
Analisis Dari Segi Pidana
1.
Persamaan
Baik di dalam hukum pidana Islam
maupun pidana positif telah dirumuskan tentang sanksi hukuman bagi setiap
perbuatan yang melawan hukum. Mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil
sehingga mengakibatkan kematian janin yang dikandung apabila ditinjau dari
kedua sistem hukum, hukum pidana Islam dan hukum pidana positif pada dasarnya
hanya ada sedikit persamaan akibat hukumnya. Persamaan tersebut terletak pada
masalah pemberian pidana serta tujuan dari diadakannya sanksi pidana, yaitu
bahwa dengan adanya hukuman atau sanksi pidana sama-sama bertujuan untuk
menegakkan hukum dan memberikan perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat
serta individu.
Dalam
hukum pidana Islam delik penganiayaan merupakan suatu delik dengan ancaman
sanksi tertentu yang telah ditetapkan.,
Pasal
352 KUHP bunyinya sebagai berikut :
(1)
Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang tidak
menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan,
dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
boleh dihukum.[67]
Pasal 353 KUHP
bunyinya sebagai berikut :
(1)Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang
bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Pasal 354 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai
berat orang lain dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat
orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sepuluh tahun.[68]
Pemberian pidana atau sanksi dalam hukum pidana Islam
dapat dikenakan apabila pelaku penganiayaan ataupun pembunuhan telah memenuhi
kualifikasi dan syarat-syarat dari suatu delik penganiayaan atau pula delik pembunuhan,
demikian juga berlaku dalam hukum pidana positif.
2.
Perbedaan
Ditinjau
dari hukum pidana Islam, secara umum ketentuan hukuman bagi pelaku penganiayaan
yang tertuang dalam al-Qur'an maupun beberapa hadis yang telah dikemukakan pada
bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis hukuman
untuk delik penganiayaan, yang besar kecilnya tergantung dari tingkat
penganiayaan itu sendiri. Hukuman tersebut adalah berupa qisas, diyat, ta’zir serta kifarah. Penetapan
dari sanksi tersebut disesuaikan pada bentuk dari kejahatan yang dilakukan.
Sedangkan untuk delik pembunuhan sanksi hukumannya lebih berat lagi, yaitu
hukum qisas dengan cara membalas membunuh pelaku delik pembunuhan, hukum
qisas ini dilakukan oleh wali si korban (waliy ad-dam). Akan
tetapi selain sanksi qisas tersebut bagi waliy ad-dam
diperbolehkan memilih jenis sanksi hukuman bagi pelaku, yaitu antara hukum qisas
atau mengambil diyat atau bahkan memaafkan pelaku. Hal ini berlaku pada
jenis pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, dasar dari hal tersebut adalah
Sedangkan pelaksanaan diyat
dengan cara menyerahkan sejumlah harta kepada wali si korban sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Harta tersebut bisa berasal dari
harta si pelaku sendiri atau juga dari ‘aqilah. Untuk pembunuhan sengaja
diyat diambilkan dari harta kekayaan si pelaku, sedangkan untuk
pembunuhan serupa dengan sengaja atau pembunuhan karena kesalahan ditanggung
oleh ‘aqilah,
Dalam hukum pidana positif, ketentuan sanksi hukuman
bagi pelaku penganiayaan disertakan dalam pasal yang mengatur ketentuan
mengenai penganiayaan itu sendiri, yaitu pada Pasal 351-358 KUHP. Dalam
Pasal-pasal tersebut termuat ancaman hukuman bagi pelaku penganiayaan sesuai
dengan jenis penganiayaannya, sanksi hukuman tersebut berupa hukuman penjara
serta hukuman denda. Dalam hal delik penganiayaan ini tidak ditetapkan adanya
hukuman mati, karena hukuman mati dalam hal kejahatan hanya ada dalam delik
pembunuhan, itupun tidak semua pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Dalam
KUHP ancaman hukuman mati untuk delik pembunuhan hanya pada jenis pembunuhan
berencana yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau
penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Sedangkan
dalam delik penganiayaan sendiri hukuman penjara paling lama adalah lima belas
tahun, yaitu pada jenis penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan
kematian si korban, hal ini tertuang dalam Pasal 354 KUHP selain mengatur
penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan luka berat dengan ancaman
hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Berdasarkan pada ketentuan hukuman dari kedua sistem
hukum tersebut terdapat perbedaan jenis hukuman untuk delik penganiayaan maupun
pembunuhan, yaitu adanya hukuman penjara dalam hukum pidana positif, sedangkan
dalam hukum pidana Islam tidak mengenal adanya hukuman penjara.
Dalam hukum pidana Islam, hukuman
mati merupakan jenis hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melakukan
pembunuhan dengan sengaja, yang disebut dengan qisas (pembalasan). Di
dalam qisas terdapat hak manusia yang berkaitan dengan kepentingan
pribadi seseorang dan hak tersebut lebih kentara. Sehingga penetapan terhadap
suatu hukuman dapat digugurkan apabila pihak wali korban memaafkan pelaku
kejahatan tersebut.
Dalam hukum positif (KUHP), hukuman
mati merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan hukuman yang diatur
dalam Pasal 10 KUHP dan merupakan hukuman pokok yang bersifat khusus dengan
pertimbangan yang khusus pula. Mengenai keberadaan pidana mati sampai sekarang
masih dipertahankan meskipun banyak muncul pro dan kontra di kalangan
pakar-pakar hukum, sebagian pakar hukum menyetujui diberlakukannya hukuman mati
dengan alasan bahwa hukuman mati itu diperlukan dan ditujukan kepada
kejahatan-kejahatan tertentu yang digolongkan pada kejahatan berat dan bagi
penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagian pakar hukum lain
menolak palaksanaan hukumam mati tersebut dengan alasan pemberlakuan hukuman
tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap tidak
berperikemanusiaan. Dan apabila terdapat kekeliruan Hakim dalam menjatuhkan
vonis tidak dapat diperbaharui lagi.
Dalam hukum pidana Islam qisas
juga bisa berupa balasan terhadap tindak penganiayaan, yaitu dengan cara
membalas serupa apa yang dilakukan oleh pelaku baik itu yang menyebabkan cacat,
seperti terpotong tangan atau hanya menimbulkan rasa sakit seperti dalam hal
penempelengan.
Kemudian mengenai hukuman yang
berupa pidana penjara, dalam hukum pidana Islam secara jelas tidak disebutkan,
namun sebagaimana pendapat sebagian besar ulama hukuman penjara adalah sebagai
wujud dari hukuman pengasingan. Hukuman pengasingan tersebut ada di dalam
ketentuan mengenai jarimah perampokan yang pelakunya hanya
menakut-nakuti masyarakat tanpa melakukan perampasan harta maupun pembunuhan.
Akan tetapi ketentuan lamanya pengasingan tersebut tidak ditentukan, yaitu
sampai si pelaku bertaubat.
Dalam KUHP, pidana penjara merupakan
salah satu pidana pokok yang berwujud perampasan atau pengurangan kemerdekaan
seseorang, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat bertindak dengan bebas selama
dalam penjara, ia harus mematuhi segala perturan yang ada dalam penjara
tersebut. Lamanya berada dalam penjara
tergantung pada jenis hukuman dari perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya.
Selain
hukuman penjara, KUHP juga terkadang menyertakan pidana pokok lain yaitu pidana
denda, seperti dalam KUHP Pasal 352 tentang penganiayaan ringan, di dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa penganiayaan ringan yang tidak menyebabkan sakit atau
halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus
rupiah. Pidana denda ini oleh pembuat undang-undang hukum pidana tidak ditentukan
batas maksimum secara umum, yang ditentukan hanya batas minimumnya saja,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen
(dikalikan 15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960).[69]
Dalam rancangan KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar
paling sedikit lima ratus rupiah.
Ketentuan yang mengatur hukuman denda
ini dicantumkan dalam Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus
si terhukum, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya.
Dalam
hukum pidana Islam denda diistilahkan dengan diyat, merupakan pilihan
kedua setelah qisas dalam hal pembunuhan, apabila pihak wali korban
tidak menghendaki qisas, maka akan beralih kepada hukuman diyat,
begitu juga dalam penganiayaan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan qisas
maka secara otomatis akan beralih pada hukuman diyat. Besar dari diyat
telah ditetapkan oleh syara’ melalui beberapa hadis yang mengatur tentang jarimah pembunuhan ataupun jarimah
selain jiwa (penganiayaan).
Pada mulanya pembayaran diyat
menggunakan unta, tapi jika unta sulit ditemukan maka pembayarannya dapat
menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang
kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib
adalah 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000
ekor domba bagi pemilik domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham
bagi pemilik perak dan 200 setel pakaian untuk pemilik pakaian.[70]
Dalam kasus
yang dikemukakan oleh penyusun dalam penelitian ini, yaitu penganiayaan
terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, berdasarkan apa yang
telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa menurut hukum
pidana positif sebagaimana tercantum dalam KUHP, terdapat dua buah delik yang
berlanjut, yaitu delik penganiayaan yang dilanjutkan delik pembunuhan.
Pembunuhan terhadap bayi yang masih berada dalam kandungan (aborsi)
diatur dalam KUHP dalam Pasal 346, 347 dan 348. Jika melihat pada kasus yang
ada, maka yang dapat dikenakan untuk memberikan ancaman pidana lebih mengarah
pada Pasal 347 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau
mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun[71]
Dalam
pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai jenis tindakan yang
menyebabkan matinya janin. Jadi, bisa dikatakan bahwa setiap perbuatan yang
tidak dikehendaki oleh sang ibu dan sengaja ditujukan untuk menggugurkan janin
yang ada dalam kandungan, baik itu berupa penganiayaan atau yang lain dapat
dikenai Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya dua belas
tahun, dan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan si ibu dari janin tersebut
ikut mati, maka pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Apabila
berdasarkan Pasal 90 KUHP dalam mengartikan luka berat dan diterapkan dalam
pasal-pasal penganiayaan, maka dalam Pasal 351 KUHP ayat (2) tentang
penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat yang menyatakan: “Jika
perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun”[72],
maka perbuatan penganiayaan dalam kasus yang dibicarakan merupakan penganiayaan
yang mengakibatkan luka berat dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya
lima tahun.
Pasal
yang lain dari penganiayaan yang mengakibatkan luka berat adalah Pasal 353 KUHP
tentang penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu, bunyi dari pasal
tersebut:
(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang
bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[73]
Pembagian dari jenis ini dikatagorikan berdasar akibat
yang ditimbulkannya yaitu luka berat dan kematian, jadi apabila kasus yang
dikemukakan dikatagorikan ke dalam jenis ini maka ancaman hukumannya adalah
selama-lamanya delapan tahun Dan yang
terakhir adalah Pasal 355 KUHP yaitu tentang penganiayaan berat dan berencana.
Pasal ini merupakan gabungan dari dua pasal sebelumnya. Dalam pasal ini
disebutkan:
(1) Penganiayaan berat dengan
direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat
orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.[74]
Dalam
pasal di atas khususnya pada ayat (1) dijelaskan bahwa penganiayaan berat yang
direncanakan lebih dahulu diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun, penggolongan penganiayaan tersebut juga berdasarkan dari akibat
yang ditimbulkan yaitu luka berat serta kematian, jadi kasus yang dikemukakan
juga bisa dimasukkan ke dalam jenis penganiayaan ini apabila memang ada unsur
direncanakan terlebih dahulu.
Sedangkan dari segi hukum pidana Islam, dijelaskan bahwa apabila ada
janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja
atau kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka dalam hal tersebut diwajibkan
hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari
kandungan atau mati di dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau
perempuan.
Gurrah dalam hal hukuman
tersebut adalah sebesar lima ratus dirham seperti yang dikatakan Sya’bani dan
Ahnafi, atau sebanyak seratus kambing seperti dalam hadisnya Abu dawud dan
Nasa’i dari Abu Buraidah. Dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.
Apabila janin tersebut
keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat
utuh, apabila janin itu laki-laki maka jumlah diyatnya adalah seratus
ekor unta. Apabila janin itu perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh
ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya
nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal
janin yang mati di dalam kandungan ibunya, yaitu diketahui bahwa benar-benar
sudah terbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau
menjelaskan dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan
dan jari-jari. Dan apabila hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada
tanggungan apa-apa baik itu berupa gurrah ataupun diyat.
Sedangkan
apabila seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan
hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu
diyat atas si ibu dan diyat atas si janin, karena matinya si ibu merupakan
salah satu sebab dari matinya janin.[75]
Menurut
Imam Malik dan sahabat-sahabatnya, Hasan Basri serta ulama Basrah bahwa diyat
atas janin tersebut dibayarkan dari harta pelaku, sedangkan menurut ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah serta ulama Kuffah diyat tersebut dibayarkan oleh ‘aqilah,
karena perbuatan tersebut dianggap sebagai jinayah khata’ . Dan diyat
janin tersebut dibayarkan kepada ahli waris si janin, akan tetapi juga
dikatakan bahwa diyat tersebut dibayarkan kepada si ibu, karena janin
bagaikan satu anggota dari tubuh si ibu untuk itu diyatnya hanya
dibayarkan kepada si ibu saja.[76]
Para
ulama sepakat bahwa dalam hal janin yang mati setelah keluar dari kandungan,
selain diwajibkan diyat juga diwajibkan kifarah. Sedangkan
mengenai janin yang mati di dalam kandungan ibunya masih dipertanyakan, namun
as-Syafi’i dan yang lainnya berpendapat tetap diwajibkan kifarah, karena
menurutnya kifarah diwajibkan dalam perbuatan sengaja maupun karena
kesalahan.[77]
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
penyusun uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Berdasarkan pada hukum pidana Islam delik penganiayaan
serta delik pembunuhan dikatagorikan dalam Jara’im al-Qisas, yaitu
tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas. Lebih khususnya lagi
adalah penganiayaan merupakan jinayah terhadap selain jiwa yaitu
perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa sakit tubuhnya tanpa hilangnya
nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan jinayah terhadap jiwa yaitu
tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa
manusia. Ancaman hukuman yang diterapkan
terhadap pelaku kedua delik tersebut ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat,
ta’zir, kifarah.
Dalam hukum pidana positif, penganiayaan secara umum adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
atau luka pada orang lain. sedangkan pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Sanksi hukuman pokok yang dikenakan ada
beberapa macam, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, serta hukuman denda,
dengan hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu serta pengumuman putusan Hakim.
2.
Hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam menangani kasus
penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin terdapat
beberapa persaman dan perbedaan. Persamaannya dari segi tindak pidana, bahwa perbuatan yang ada dalam kasus tersebut
merupakan sebuah delik, karena telah memenuhi unsur-unsur yang merupakan syarat
suatu perbuatan dapat dikatakan sebuah delik. Dari segi pidana, bahwa kedua
sistem sama-sama memberikan ancaman pidana untuk orang yang melakukan
penganiayaan serta pembunuhan dan sama juga dalam merumuskan tujuan pemberian
pidana yaitu untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan serta
pengayoman kepada masyarakat serta individu. Perbedaannya adalah, dalam segi
pengkatagorian, dalam hukum pidana Islam perbuatan tersebut merupakan tindak
penganiayaan sengaja, sedangkan dalam hukum pidana positif perbuatan tersebut
bisa dikatagorikan ke dalam jenis pengguguran bayi dalam kandungan tanpa
persetujuan si ibu atau juga ke dalam penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat, dengan rumusan luka berat seperti yang ada dalam Pasal 90 KUHP. Dari
segi jenis pidana, dalam hukum pidana
Islam ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir,
penghalangan pelaku dari mendapat wasiat dan warisan, serta adanya kifarah.
Sedang dalam hukum pidana positif sanksi terhadap pelaku penganiayaan ada dua
macam, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu juga dapat disertai
pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertantu dan pengumuman putusan Hakim.
D.
Saran-saran
1. Delik
penganiayaan serta delik pembunuhan merupakan dua buah perbuatan yang sangat
membahayakan bagi keselamatan jiwa dan raga manusia serta dapat mengancam
keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu sangat diharapkan bagi
aparatur hukum untuk selalu siap siaga dalam menghadapi segala bentuk kejahatan
dan mampu bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan dengan memberikan
pidana kepada mereka sesuai dengan undang-undang yang ada dan sesuai dengan apa
yang telah mereka perbuat tanpa pandang bulu. Selain itu perlu adanya peran
aktif dari masyarakat dalam menciptakan keamanan dan kedamaian masyarakat,
sehingga supremasi hukum di negara ini dapat ditegakkan dan dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat.
2. Indonesia
merupakan negara yang besar dan sebagian
besar penduduknya beragama Islam, akan tetapi hukum pidana yang masih
diberlakukan adalah hukum pidana yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda.
Untuk itu, perlu adanya sebuah pembaharuan serta pembinaan hukum Nasional,
sehingga diharapkan adanya transformasi hukum pidana Islam atau
setidak-tidaknya memberi nafas terhadap pemberlakuan hukum nasional. Selain itu
para pakar hukum Islam dapat memberikan informasi mengenai hukum Islam tersebut
sehingga dapat diterima dengan baik di masyarakat untuk mewujudkan ketentraman
dan kedamaian masyarakat yang diberkati oleh Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya
, Jakarta: 1984.
Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu
Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
B.
Hadis
Baihaqi al-, As-Sunnah
al-Kubra, Beirut: Dari al-Fikr, t.t.
Bukhari, Abu ‘abdillah
Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr,
1981.
Darami, Abdullah ibn
‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-Tamimi
as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Qazwani,
al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah, Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah,
1952.
Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud,
4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar
al-Fikr, 1930.
Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih
wa huwa Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
C. Fiqh dan Usul Fiqh
Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid,
Beirut: Dar al-Urubah, 1963.
Baga, Mustafa Raib al-,
At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya: Bungkul
Indah, 1978.
Bakri, Asfri Jaya, Konsep
Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta:
Bulan Bintang, 1976
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Semarang: Thoha Putra, t.t.
I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
Jazairi,
Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr,
1995.
Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8
juz, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam
Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Quddamah, Ibn, al-Mugni, 9
jilid, Mesir: Maktabah Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t.
Rasjid,
Sulaiman, Fiqh Islam, cet. ke-18, Jakarta: Attahiriyah, 1981.
Sabiq,
Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li
al-Ilm al-Arabi, 1990.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan
Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press,
2003.
Sayis, Ali Muhammad
al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Syarbaini,
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-, Mugni al-Muhtaj, Mesir: Mustafa
al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958.
Suyuti,
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-, Al-Asybah wa an-Nazair, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
D. Hukum / Ilmu Hukum
Ali, Chidir, Responsi
Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico,
1985.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak
Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Erwin,
Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan
Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1980.
Hamzah, Andi, Sistem
Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta: Pradya Paramita,
1989.
Kansil, C.S.T., Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta: Balai Pustaka,
1986.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik
Khusus, cet. ke-1 Bandung: Bina
Cipta, 1986.
Marpaung, Leden, Tindak
Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1.cet.
ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Marpaung,
Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Grafika, 1991.
Moeljatno, KUHP :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Ngani, Nico dan A.
Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum
Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum
Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2,
Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.
Wahyono, Padmo, Sistem
Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato Ilmiah Pada Peringatan
Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
E. Kamus
Hamzah, Andi, Kamus Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Munawwir,
Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1992.
P
dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum
Bahasa Indonesia, cet. ke-5, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.
F. Lain-Lain
Hadi, Sutrisno, Metodologi
Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.
Muhajir, Noeng, Metodologi
Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998.
Sadli,
Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang, cet. ke-1,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Soehartono, Irawan, Metode
Penelitian Sosial : Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu
Sosial Lainnya, cet. ke-9, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Surakhmad, Winarno, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet.
ke-7, Bandung: Tnp, 1994.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya
, Jakarta: 1984.
Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu
Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
B.
Hadis
Baihaqi al-, As-Sunnah
al-Kubra, Beirut: Dari al-Fikr, t.t.
Bukhari, Abu ‘abdillah
Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr,
1981.
Darami, Abdullah ibn
‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-Tamimi
as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Qazwani,
al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah, Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah,
1952.
Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud,
4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar
al-Fikr, 1930.
Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih
wa huwa Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
C. Fiqh dan Usul Fiqh
Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid,
Beirut: Dar al-Urubah, 1963.
Baga, Mustafa Raib al-,
At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya: Bungkul
Indah, 1978.
Bakri, Asfri Jaya, Konsep
Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta:
Bulan Bintang, 1976
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Semarang: Thoha Putra, t.t.
I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam,
Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Jazairi,
Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr,
1995.
Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8
juz, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam
Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Quddamah, Ibn, al-Mugni, 9
jilid, Mesir: Maktabah Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t.
Rasjid,
Sulaiman, Fiqh Islam, cet. ke-18, Jakarta: Attahiriyah, 1981.
Sabiq,
Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li
al-Ilm al-Arabi, 1990.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan
Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press,
2003.
Sayis, Ali Muhammad
al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Syarbaini,
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-, Mugni al-Muhtaj, Mesir: Mustafa
al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958.
Suyuti,
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-, Al-Asybah wa an-Nazair, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
D. Hukum / Ilmu Hukum
Ali, Chidir, Responsi
Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico,
1985.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak
Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Erwin,
Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan
Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1980.
Hamzah, Andi, Sistem
Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta: Pradya Paramita,
1989.
Kansil, C.S.T., Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta: Balai Pustaka,
1986.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik
Khusus, cet. ke-1 Bandung: Bina
Cipta, 1986.
Marpaung, Leden, Tindak
Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan Prevensinya, Ed. 1.cet.
ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Marpaung,
Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Grafika, 1991.
Moeljatno, KUHP :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Ngani, Nico dan A.
Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum
Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum
Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2,
Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.
Wahyono, Padmo, Sistem
Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato Ilmiah Pada Peringatan
Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
E. Kamus
Hamzah, Andi, Kamus Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Munawwir,
Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1992.
P
dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum
Bahasa Indonesia, cet. ke-5, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.
F. Lain-Lain
Hadi, Sutrisno, Metodologi
Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.
Muhajir, Noeng, Metodologi
Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Yogyakarta: Roke Sarasin, 1998.
Sadli,
Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang, cet. ke-1,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Soehartono, Irawan, Metode
Penelitian Sosial : Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu
Sosial Lainnya, cet. ke-9, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Surakhmad, Winarno, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet.
ke-7, Bandung: Tnp, 1994.
Lampiran I
TERJEMAHAN
NO
|
Hlm
|
F.N
|
TERJEMAHAN BAB I
|
1
|
14
|
28
|
Barangsiapa terbunuh
saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia
meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
|
|
|
|
TERJEMAHAN BAB II
|
2
|
32
|
23
|
Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah
|
3
|
32
|
24
|
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka
balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta meyediakan azab yang besar baginya
|
4
|
32
|
25
|
Darah seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah dan aku adalah Rasul-Nya tidaklah halal, kecuali
disebabkan oleh tiga hal, yaitu orang yang telah kawin kemudian berzina,
membunuh orang (secara sengaja dan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh
syara’) dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari
jamahnya (Murtad).
|
20
|
43
|
60
|
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)
|
21
|
43
|
61
|
Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka
balasannya adalah qisas.
|
22
|
44
|
62
|
Barangsiapa terbunuh
saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia
meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
|
23
|
44
|
63
|
Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik,.
|
24
|
45
|
66
|
Diyat adalah harta yang
wajib dibayarkan karena adanya kejahatan terhadap jiwa atau yang searti
dengannya.
|
25
|
45
|
67
|
Dan tidak layak bagi seorang
mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga si terbunuh) bersedekah
|
26
|
46
|
68
|
Barangsiapa terbunuh
saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia
meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
|
27
|
46
|
70
|
Bahwasanya Umar dalam khutbahnya, berkata :
ingatlah sesungguhnya unta itu telah mahal, maka kemudian ia memperkirakannya
seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas ribu dirham untuk pemilik perak,
dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ribu ekor domba bagi pemilik
domba, dan dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.
|
28
|
47
|
72
|
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa membunuh seorang mu'min
secara sengaja, hukumnya dikembalikan kepada para wali si terbunuh, apabila
mereka menghendaki membunuh maka mereka membunuhnya, dan apabila mereka
menghendaki mengambil diyat, maka diyatnya adalah tiga puluh
unta hiqqah, tiga puluh unta jaz'ah, empat puluh unta khalifah,
dan sesuatu yang pantas bagi mereka, yang demikian itu untuk memberatkan
hukuman
|
29
|
48
|
73
|
Sesungguhnya Nabi bersabda: dalam pembunuhan tersalah diyatnya dua
puluh unta jaz'ah, dua puluh unta hiqqah, dua puluh unta binta
labun, dua puluh unta ibn labun, dan dua puluh unta binta
makhad
|
30
|
49
|
76
|
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya
|
31
|
49
|
78
|
... maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yng beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut...
|
32
|
50
|
79
|
Dan bagi seorang pembunuh tidak mewarisi
apa-apa.
|
33
|
50
|
80
|
Barangsiapa tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, dibalas
dengan terhalang mendapatkannya.
|
34
|
50
|
81
|
Dua orang wanita dari bani Huzail saling
bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang
lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya.
Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulillah S.A.W., maka
Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah
gurrah baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
|
35
|
50
|
83
|
Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam
membunuh janin diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau
amat (wanita), yang harganya adalah lima ratus dirham
|
|
|
|
TERJEMAHAN BAB IV
|
36
|
95
|
8
|
Dan tidak layak bagi seorang
mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga si terbunuh) bersedekah
|
37
|
95
|
9
|
Dan dalam hal memotong hidung dikenakan diyat (penuh), dalam hal
memotong lidah dikenakan diyat, dalam hal memotong dua buah bibir
dikenakan diyat, dalam hal memotong dua buah pelir dikenakan diyat,
dalam hal memotong zakar dikenakan diyat, dalam mematahkan tulang
belakang dikenakan diyat, dalam hal meluaki dua buah mata dikenakan diyat,
dan dalam hal mematahkan sebelah kaki dikenakan setengahnya diyat.
|
38
|
95
|
10
|
Diyatnya memotong jari-jari baik jari-jari kedua tangan atau
jari-jari kedua kaki adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari
|
39
|
98
|
17
|
Barangsiapa terbunuh
saudaranya, maka ia boleh memilih salah satu dari dua alternatif, apakah ia
meminta tebusan ataukah menuntut balasan.
|
40
|
98
|
18
|
Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik,.
|
41
|
99
|
19
|
Dua orang wanita dari bani Huzail saling
bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang
lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya.
Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulillah S.A.W., maka
Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah
gurrah baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
|
42
|
106
|
27
|
Dua orang wanita dari bani Huzail saling
bertengkar, kemudian salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang
lain, maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam perutnya.
Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke hadapan Rasulillah S.A.W., maka
Rasul memutuskan bahwa diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah
gurrah baik laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
|
43
|
106
|
29
|
Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam
membunuh janin diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau
amat (wanita), yang harganya adalah lima ratus dirham
|
Lampiran II
BIOGARAFI TOKOH DAN ULAMA
Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya adalah Nu’man bin
Tsabit ibn Zauta ibn Mah al-Tamimi al-Kufi. Beliau lahir pada tahun 80 H/ 699M,
pada masa pemerintahan Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah ke-5 dari
dinasti Bani Umayah. Wafat pada tahun 150 H/767 M, dalam usia 70 tahun. Beliau
adalah tokoh mazhab Rasional-Liberal, dan terkenal dengan nama Abu
Hanifah, karena beliau mempunyai putra yang bernama Hanifah. Alasan lain
disebut demikian adalah karena kerajinannya beribadah kepada Allah, selain itu
juga karena beliau selalu akrab dengan tinta untuk mencatat ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari para gurunya dan para ulama-ulama lainnya. Murid-muridnya
yang terkenal dan berjasa besar terhadap perkembangan mazhabnya adalah Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan. Hasil karyanya antara lain adalah al-Mabsut,
al-Jami’ as-Sagir, serta al-Jami’ al-Kabir.
Imam Malik ibn Anas
Nama lengkap beliau adalah Malik
ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amr ibn Haris ibn Imam ibn Khusail Abu ‘Abdillah
al-Madani. Beliau lahir pada tahun 93 H/ 712 M, pada masa pemerintahan Khalifah
Sulaiman ibn ‘Abd Malik, Khalifah ke-7 dari dinasti Bani Umayah. Wafat pada
tahun 179 H/ 798 M, dalam usia 87 tahun. Beliau adalah tokoh mazhab Tradisional-Konservatif.
Karya monumentalnya adalah kitab al-Muwatta’.
Imam Ahmad ibn Hambal
Nama lengkap beliau adalah Ahmad
ibn Muhammad ibn Hambal ibn Hilal ibn Asy’as ibn Idris ibn Syaiban ibn Zahl.
Beliau lahir pada tahun 164 H/ 780 M, pada masa pemerintahan Khalifah Muhammad
al-Mahdi, Khalifah ke-3 dari Bani Abbas. Wafat pada tahun 241 H/ 855 M dalam
usia 77 tahun. Beliau dikenal sebagai tokoh mazhab Ekstrim-Fundamental. Salah
satu karyanya adalah al-Musnad.
Imam asy-Syafi’i
Nama lengkap beliau adalah
Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn Sa’iq ibn Abi Yazid ibn
Hasyim ibn Mutallaib ibn Abd Manaf. Beliau lahir pada tahun 150 H/ 767 M di
Gazza, dan wafat di Mesir pada Tahun 204 H/ 822 M. Imam asy-Syafi’i mencari
ilmu ke Madinah pada akhir abad ke-2 Hijriyah, pada waktu Madinah merupakan
kota cemerlang karena menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Islam, sebab di
sinilah berdomosili para Tabi’ini dan Tabi’ at-Tabi’ini. Kitab-kitab yang
ditulis oleh Imam asy-Syafi’i antara lain ar-Risalah, al-Umm, Ikhtilaf
al-Hadis, dan sebagainya.
Imam at-Turmuzi
Nama lengkap beliau adalah Abu
Isa Muhammad ibn Isa ibn Swarat ibn Musa ad-Dahhak al-Silmi ad-Darir al-Bughi
at-Turmuzi. Beliau lahir pada tahun 200 H/ 815 M dan wafat pada tahun 892 M.
beliau merupakan ulama hadis yang terkenal, karya-karyanya antara lain, al-Jami’
al-Mukhtasaru min al-Sunnani ar-Rasulillah dikenal dengan al-Jami’
as-Sahih, dan Jami’ at-Turmuzi yang dikenal dengan Sunan
at-Turmuzi, dan lain sebaginya.
Abdul Qadir ‘Audah
Beliau adalah seorang ulama
terkenal Alumnus Fakultas Hukum Universitas l-Azhar Cairo pada tahun 1930
sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh utama dalam gerakan Ikhwanul
Muslimin dan sebagai hakim yang disegani rakyat. Beliau juga turut ambil bagian
dalam merumuskan Revolusi Mesir yang berhasil gemilang pada tahun 1952 yang
dipelopori oleh Jendral M. Najib dan Letkol Gamal Abdul Naser. Ia mengakhiri
hidupnya di tiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan polotiknya pada
tanggal 8 Desember 1954 bersama lima kawannya. Hasil karyanya antara lain
adalah kitab at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami dan al-Islam wa Awda’ana
al-Islami.
As-Sayyid Sabiq
Beliau adalah ulama terkenal di
Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, teman sejawat dengan Hasan al-Banna pemimpin
gerakan Ikhwan al-Muslimin, beliau termasuk salah seorang yang menganjurkan
ijtihad, dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, karya beliau
yang terkenal adalah Fiqh as-Sunnah, Qa’idah al-Fiqhiyyah, dan Aqidah
Islam.
Ibn Rusyd
Nama lengkap beliau adalah Abu
al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad. Beliau lahir di Cordova pada tahun
1126 M dan wafat di Maroko pada tahun 1198 M. Beliau adalah seorang dokter,
ahli hukum dan tokoh filsafat yang paling menonjol pada periode perkembangan
filsafat Islam. Hasil karyanya antara lain Kitab al-Kulliyat, Bidayah
al-Mujtahid, Kitab Fash al-Maqal fi ma Baina asy-Syari’ah wa al-Hikmah
min al-Ittisal.
Ibn Hazm
Nama lengkapnya adalah Ali ibn
Ahmad ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm az-Zahiri ibn Galib ibn Saleh ibn Khalaf ibn
Madam ibn Yazid, gelarnya adalah Muhammad. Beliau adalah ulama terkenal di
Andalusia dan pembela mazhab Zahiri, lahir di Cordova tahun 344 H. Pada
mulanya beliiau adalah penganut mazhab
Syafi’iyah dan kemudian tertarik dengan mazhab Zahiri setelah beliau
mendalaminya lewat buku-buku dan dari para yang ada di daerahnya. Di samping
sebagai pengajar, beliau juga terkenal dengan karya-karyanya yang mencapai 400
buah, salat satunya adalah al-Muhalla.
Ibn Quddamah
Nama lengkap beliau adalah
Wuwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Quddamah. Lahir di Jerusalem
pada tahun 541 H/ 1147 M. Wafat di Damaskus pada tahun 620 H/ 1223 M. Beliau
merupakan seorang ulama besar dan penulis kitab-kitab fiqh standar mazhab
Hambali. Beliau hidup pada masa perang salib berlangsung, khususnya di daerah
Syam. Hasil karyanya antara lain adalah, al-Mugni, al-Kafi, al-Umdah
fi al-Fiqh, dan lain-lain.
P.A.F. Lamintang
Beliau adalah dosen Koordinator
dalam mata kuliah Hukum Pidana I dan II serta sebagi pengajar mata kuliah hukum
Penitensier, Penologi dan Pemasyarakatan pada Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan Bandung. Beliau dengan Djisman Samosir telah menulis buku Hukum
Pidana dan Delik-delik Khusus Terhadap Hak-hak Milik, dan lainnya.
Sumber :
[1]Muhammad
Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
[2]Nico
Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm.
25.
[3]Padmo
Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah
pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta:
Rajawali, 1983), hlm. 1.
[4]Nico
Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 26.
[5]Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18
(Jakarta: Attahiriyah, 1981), hlm. 406.
[6] Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992),
hlm. 172.
[7]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, 1990 ), II : 263.
[8]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh,VI : 220.
[9]
Ibn Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah,
t.t.) VIII : 636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut
Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1972 ), hlm. 152-153.
[10]As-Sayyid
Sabiq, Fiqh., II : 435.
[11]Abdul
Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i., II : 10.
[12] Ibn
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut:
Dar al-Fikr, 1981 ) II : 232.
[13]
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir:
Mustafa al-Bab al-Halabi wa Aulad,
1958), IV : 6.
[14]
Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam (Jakarta: Rineka
Cipta, 1992), hm. 6.
[15]
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 55.
[16] Ahmad
Jazuli, Fiqh Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26-27.
[17]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38.
[18] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj
al-Muslim, hlm. 425.
[19] Ibid.
[20]
Al-Baqarah (2) : 194.
[21]
Asy-Syura (42) : 40.
[22]
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428.
[23]
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428-429.
[24]
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 430
[25]
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 261.
[26]
Ibid.
[27]
Ibid., VI : 264
[28]
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 297.
[29]
Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, Al-Muhazzab, (Semarang:
Toha Putra, t.t.), II : 173.
[30]
Ibn Qudamah, Al-Mugni., VI : 648.
[31]Abdul
Qodir ‘Audah, at-Tasyri’., II : 132.
[32]
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., IV: 276.
[33]
Al-Baqarah (2) : 178.
[34]
Al-Baqarah (2) : 178.
[35]Abdul
Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 777-778 dan II : 155-169. Wahbah
az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 294.
[36]Perbedaannya
dengan al-‘Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran qisas
dengan ganti rugi (kompensasi), sedang al-‘Afwu terkadang pengampunan qisas
secara mutlak.
[37]
An-Nisa )4) : 92
[38]Abu
‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab
ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini, IV: 38.
Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
[39]Yaitu
orang yang melakukan pembunuhan sengaja
[40]
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 307.
[41] Ibid.,
V : 373.
[42]Irawan
Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 9
[43]Winarno
Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7
(Bandung: t.np.,1994), hlm. 25.
[44]Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press,
1986), hlm. 10.
[45]Noeng
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4 (Yogyakarta: Roke
Sarasin, 1998), hlm. 43.
[46]Sutrisno
Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977),
hlm. 50.
[47] Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 144.
[48]
Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta:
Grafika, 1991), hlm. 4.
[49]
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hm.
4.
[50] Ibid.,
hlm. 65.
[51] Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
[52]
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana
, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
[53]Ibid.
[54]
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
[55]
Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
[56]
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 52.
[57] Ibid.,
hlm. 53.
[58]
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
[59] Ibid.,
hlm. 150
[60] Ibid.,
hlm. 150-151.
[61] Moeljatno, KUHP., hlm. 151.
[62] Ibid
.
[63] Ibid.,
hlm.47.
[64]Andi
Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta:
Pradya Paramita, 1989), hlm. 16.
[65]Moeljatno,
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi
Aksara, 1990), hlm. 44-45.
[66] Ibid.
[67] Ibid.
[68] Ibid.
hlm. 151.
[69]
Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.
[70]As-Sayyid
Sabiq, Fiqh., II : 552-553.
[71]
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
[72] Ibid.,
hlm. 150.
[73] Ibid.,
hlm.150-151.
[74] Ibid.
[75] Ibid.,
V : 373.
[76]
As-Sayyid Sabiq, al-Fiqh., III : 64.
0 comments:
Posting Komentar