HUKUM JUAL BELI KREDIT DALAM ISLAM
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin berkata [dalam Fatawa Mu'ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh
Ibnu Utsaimin] :
“Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang
menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka.
Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
[Al-Baqarah : 282]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[179]
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa
dan sebagainya.
Demikian pula, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu
membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit
(angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam
bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :
Pertama
Seseorang memerlukan sebuah mobil,
lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata,
“Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya
kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak
dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si
pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan
untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan
tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan
bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli
dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan
adalah terletak pada tujuan-tujuannya.
Kedua
Bahwa sebagian orang ada yang
memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang
yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan
harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk
pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah
tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan
membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi
dirinya dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.
Gambaran yang lebih jelek lagi dari
itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu,
kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu
padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada
si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar
seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya
tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata,
“Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan
melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih
besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.
Akan tetapi yang menjadi dhabit
(ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk
mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang
halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu.
Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi
semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan
dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh
orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah
diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan
(siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal.
24. Irwa'ul Ghalil 1535]
Mengenai penjualan kredit dengan
penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] :
“”Barang siapa
menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya
(harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih
tinggi adalah, -pent) riba” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
di dalam "Al-Mushannaf (VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah
(no. 3461), Ibnu Hibban di dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim
(II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita
kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim,
dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla
(IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi
(I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi
di dalam "Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya,
Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin
Amr dengan lafazh: "Beliau melarang dua (harga) penjualan
di dalam satu penjualan"]
Al-Baihaqi berkata : “Bahwa Abdul
Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata : “Itu (barang)
untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan penundaan (seharga) Rp 20,-”
Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya
dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang
(ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang
membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga
dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam
satu penjualan.”
Dan hadits itu dengan lafazh ini
["Dua syarat di dalam satu penjualan"] adalah ringkas dan shahih.
Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah
ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.
Dan semakna dengan hadits itu
adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua
akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di
dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163,
1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih]
Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad
(I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu
Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di
dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad
jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang
mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah
kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan.
Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang
mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat
Al-Fathur-Rabbani Ma'a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman
Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan
penulisnya“. Dan sanadnya juga shahih
Demikian pula diriwayatkan oleh
Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian,
dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.
Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :
Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :
1.
Ibnu
Sirin Ayyub. Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu Sirin membenci seseorang berkata
: “Aku menjual
(barang,-pent) kepadamu seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara
tempo” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam "Al-Mushannaf
(VIII/138/14630)" dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin)].
2.
Thawus.
Dia berkata : “Apabila
(penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan sekian
jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian jika temponya
sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara) ini, maka (penjual harus
mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama.
[Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga.
Abdur Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah
(VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di atas,-pent)
secara ringkas, tanpa perkataan : "Lalu terjadi jual beli..." tetapi
dengan tambahan (riwayat) : "Kemudian (jika penjualnya, -pent) menjual
dengan salah satu dari kedua harga itu sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari
(penjual), maka tidak mengapa". Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus,
karena :Laits -yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua)].
3.
Sufyan
Ats-Tsauri. Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan
(seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”,
kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua
(harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah
satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala
dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta
terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat
mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama.
[Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri].
4.
Al-Auza’i.
Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam riwayat itu dikisahkan
bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika
(pembeli,-pent) membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua
syarat tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang
terendah dengan tempo yang lebih lama“. Al-Khaththabi
menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”. Kemudian
para imam hadits dan lughoh (bahasa Arab) berjalan mengikuti sunnah mereka,
diantaranya :
·
Imam
An-Nasa’i. Beliau berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan:
“yaitu seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham
secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.Demikian juga
An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr “Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan“.
[Hadits ini ini telah ditakhrih didalam "Al-Irwaa (1305) dan lihatlah
"Shahihul Jaami (7520)".
·
Ibnu
Hibban. Beliau berkata di dalam "Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)" :
"Telah disebutkan
larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar secara kredit, dan
seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan hal itu dibawah hadits Abu
Hurairah dengan lafazh yang ringkas.
·
Ibnul
Atsir. Di dalam "Gharibul Hadits" dia menyebutkannya di dalam
penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.
Sesungguhnya telah disebutkan pendapat-pendapat
yang lain mengenai tafsir "dua penjualan" itu, mungkin sebagiannya
akan dijelaskan berikut ini. Namun tafsir yang telah lewat di atas adalah yang
paling benar dan paling masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini
dikenal dengan (istilah) "Jual Beli Kredit". Bagaimana hukumnya ?
Dalam hal ini, para ulama telah
berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.
1.
Bahwa
hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
2.
Bahwa
hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan)
pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya
saja.
3.
Bahwa
hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih
rendah dibayarkan maka boleh.
Dalil madzhab yang pertama adalah
zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada asalnya
larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu). Inilah pendapat yang
mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang nanti disebutkan saat
membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.
Sedangkan para pelaku pendapat
kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan
harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit.
Al-Khaththabi berkata : "Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual
beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara
(harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah".
Syaikh Al Albani berkata :
"Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan'
disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal
itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam
hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba.
Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini
tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat
wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada
dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan
senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual
beli, dan ada petunjuk kearah sana,
berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian
ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang
terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan
saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang)
harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan
(uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau
berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah
Az-Zuhaili)], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”
“Jual beli al-mu’aathaah ini, yang
dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i
yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain,
pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga
telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan
tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.
Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila
demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang
dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli
dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli
membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang
diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di
atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran
yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung
kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya
harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian.
Dalil pendapat yang ketiga adalah
hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits)
Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga)
penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi
illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan
illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada.
Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi
bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana
keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil
yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya
dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu
penjualan.
Bukankah anda lihat apabila
(penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia
membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau
hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan
di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang
bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling
sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba”
[lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang
menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu
adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan
Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah
dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan
(V/97)”.
Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat
yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil
padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat
yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa
hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua
penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan
dengan ushul (fiqh,-pent).
Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah
hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum)
kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa
dilakukan dengan mudah disini.
Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim
! bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa
ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti
tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu
hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di
atas (prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka,
sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati
seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah
apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Dan sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang
lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka”
[Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no.
938]
Maka seandainya salah seorang dari
mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual
(barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu
lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan
orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di
dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan
keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka”
[Ath-Thalaq : 2]
Dan pada kesempatan ini saya
nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil
Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”,
karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya,
mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”
Sumber :
1.
Majalah
As-Sunnah Edisi 12/Th III/1420-1999, Penjualan Kredit Dengan Tambahan Harga,
Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Peneremah Abu Shalihah Muslim Al-Atsari,
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah.
2.
Al-Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
0 comments:
Posting Komentar