BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia berjalan di kehidupan dunia
ini, sejak awal penciptaan dalam dirinya terdapat kepribadian yang beragam dan
dikendalikan oleh kecenderungan naluri yang berbeda pula. Fitrah telah
menentukan bahwa individu tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain dalam memenuhi
kebutuhannya, dalam menyempurnakan sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat
dilakukan oleh tangan dan pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa
oleh kekuatannya. Dengan ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok,
dalam setiap individu dari kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun
masyarakat, dan saling mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang
damai.[1]
Manusia adalah makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon.
Setiap
manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran serta
usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan hidup.
Kepentingan-kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan
kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling
menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara manusia pemikul berbagai kepentingan
itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-kepentingan sendiri,
sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal yang demikian sangat
membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jika
tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.[2]
Meskipun
setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki kepentingan yang
berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan
(chaos) antara sesama anggota masyarakat, mereka tentu menginginkan
sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud.
Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang
merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut.
Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib bermasyarakat yang berupa
tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-Undang Dasar negara tersebut.[3]
Terwujudnya stabilitas
dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah
peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan
hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat
agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan
berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan
kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap
perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah
peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam
masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung
terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Sebuah
peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas).
Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum
itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.
Di
negara Indonesia,
hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, hukum terdiri dari hukum
privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum privat diserahkan kepada
masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu adalah
horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada
negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.[4]
Kemudian
ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata, hukum dagang dan
hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda,
sebagai contoh, hukum pidana berfungsi untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan
hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan tata negara ditaati
sepenuhnya.
Sementara
itu, dalam hukum Islam juga terdapat
bermacam-macam hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah
di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau
hukum privat, al-Ahwal al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
Hukum
pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada al-qur’an
yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding
dengan perbuatan itu.
Mengenai
masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam dengan
hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qisas,
ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas
dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan
hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang
membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam
masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar
sepertiganya.[5]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. QISAS
Pengertian
Qisas
Qisas adalah istilah dalam bahasa arab yang berarti
pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam
kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk
meminta hukuman mati kepada pembunuh. Dasarnya adalah:
"Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang
dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang
mema'afkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al
Baqarah:178]
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]
Meski
demikian dikatakan Al Qur'an bila hak Qisas dilepaskan oleh korban maka itu
menjadi penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan
meminta penebus dalam bentuk materi.
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah, 2 : 178)
Maaf, ayatnya tidak terposting
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah : 178)
Hadits riwayat Bukhari ra. Beliau
berkata :
Dari
Abdullah Ibnu Abbas ra, dia berkata: Dahulu pada Bani Israil adanya qishash dan
tidak ada pada mereka diyat, lalu Allah berfirman kepada umat ini:”Diwajibkan
atas kami qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang mendeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih”. Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Pemaafan adalah keluarga korban
pembunuhan menerima diyat (tidak menindak Qishash) dalam pembunuhan disengaja”.
Ibnu Abbas berkata: “Mengikuti dengan cara yang baik adalah menuntut (diyat
dari pembunuh) dengan cara yang baik, dan (pembunuh) supaya memenuhi dengan
terbaik”.
B.
PENGERTIAN
DELIK PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
Pengertian istilah
delik dalam hukum pidana positif sama dengan penggunaan istilah jarimah
dalam hukum Islam. Jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara' yang
diancam dengan hukuman had, qisas, atau ta'zir. Larangan yang
dimaksud adalah mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan
yang diperintahkan, karena perintah dan larangan tersebut datang dari syara'
maka perintah dan larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang yang mukallaf.
Para fuqaha' sering
menggunakan kata jinayah untuk jarimah. Mereka mengartikan jinayah
dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan
lainnya. Selain itu terdapat beberapa fuqaha' yang membatasi kata jarimah
pada jarimah hudud dengan mengesampingkan perbedaan pemakaian kata jinayah
dan jarimah, sehingga dapat dikatakan kedua istilah tersebut mempunyai
makna yang sama Untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah
dan pelakunya dapat dikenai pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi
beberapa unsur, yaitu:
1.
Unsur formil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang menunjukkan larangan
terhadap suatu perbuatan yang diancam hukuman.
2.
Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik itu perbuatan
nyata-nyata berbuat atau sikap tidak berbuat
3.
Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah
haruslah mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
terhadap jarimah yang dilakukannya
Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, kata jinayat
adalah bentuk jamak, adapun bentuk tunggalnya adalah jinayah yang
diambil dari kata jana, yajni yang artinya memetik. Dikatakan: "Jana
as-Samara" yang artinya ialah: bilamana ia mengambil buah dari
pohonnya. Dan dikatakan pula: "Jana 'Ala Qawmihi Jinayatan"
yang artinya adalah: ia telah melakukan tindakan kriminalitas terhadap kaumnya,
karena itu ia dipidana.
1. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Islam
Pembunuhan secara
etimologi, merupakan bentuk masdar قتلا,
dari fi’il madhi قتل yang artinya membunuh.[6]
Adapun secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili,
pembunuhan didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan
seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan. Sedangkan menurut Abdul
Qadir ‘Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk
menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.
Dalam hukum pidana
Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim qisas (tindakan pidana yang
bersanksikan hukum qisas), yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa
atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong
organ tubuhnya.[7]
2. Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
Para ulama membagi jinayah terhadap
tubuh menjadi lima macam, yaitu :
a. Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan,
termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya
b. Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota
badan (anggota badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat
korban buta, tuli, bisu dan sebagainya
Sedangkan
Abu Bakar al-Jazairi sebagaimana disebutkan dalam definisi penganiayaan,
membagi jinayah terhadap tubuh menjadi 3 macam, yaitu :
a.
Jinayatul Atraf,
b.
Asy-Syijjaj, dan
c. Al-Jirah,
3. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pada
dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Pembunuhan yang diharamkan; setiap
pembunuhan karena ada unsur permusuhan dan penganiayaan
2. Pembunuhan yang dibenarkan; setiap
pembunuhan yang tidak dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan
yang dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qisas.[8]
Adapun
secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (qatl al- ‘amd)
Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena
adanya permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau tidak
langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan besi,
pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun tidak vital
(paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan sakit terus
menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi
luka dan membawa pada kematian
2. Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl
syibh al-‘amd)
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya
terhadap orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti
memukul dengan batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara
pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu, pukulannya bukan
pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak kecil atau orang
yang lemah, cuacanya tidak terlalu panas/dingin yang dapat mempercepat
kematian, sakitnya tidak berat dan menahun sehingga membawa pada kematian, jika
tidak terjadi kematian, maka tidak dinamakan qatl al-‘amd, karena
umumnya keadaan seperti itu dapat mematikan
3. Pembunuhan kesalahan (qatl
al-khata’)
Yaitu
pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat
dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya seseorang melempari pohon atau
binatang tetapi mengenai manusia (orang lain), kemudian mati.[9]
Mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pembunuhan
yaitu[10]
:
a. Pembunuhan dengan muhaddad,
yaitu seperti alat yang tajam, melukai, dan menusuk badan yang dapat
mencabik-cabik anggota badan.
b. Pembunuhan dengan musaqqal,
yaitu alat yang tidak tajam, seperti tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha
berbeda pendapat apakah termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qisas
atau syibh ‘amd yang sengaja mewajibkan diyat.
c. Pembunuhan secara langsung, yaitu
pelaku melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung
(tanpa perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan pistol,
dan lain-lain.
d. Pembunuhan secara tidak langsung
(dengan melakukan sebab-sebab yang dapat mematikan). Artinya dengan melakukan
suatu perbuatan yang pada hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat
menjadikan perantara atau sebab kematian.
Adapun
sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam,[11]
yaitu :
1) Sebab Hissiy
(perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh.
2) Sebab Syar’iy, seperti
persaksian palsu yang membuat terdakwa terbunuh, keputusan hakim untuk membuat
seseorang yang diadilinya dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena keadilan) untuk menganiaya secara sengaja.
3) Sebab ‘Urfiy, seperti
menyuguhkan makanan beracun terhadap orang lain yang sedang makan atau menggali
sumur dan menutupinya sehingga ada orang terperosok dan mati.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan
ke tempat yang membinasakan, seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke
kandang srigala, harimau, ular dan lain sebagainya.
f.
Pembunuhan
dengan cara menenggelamkan dan membakar.
g. Pembunuhan dengan cara mencekik.
h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan
atau menahannya tanpa memberinya makanan dan minuman.
i.
Pembunuhan
dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi. Pembunuhan tidak hanya terjadi
dengan suatu perbuatan fisik, karena terjadi juga melalui perbuatan ma’nawi
yang berpengaruh pada psikis seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi
dan lain sebagainya.
Dalam
syari’at Islam, pembunuhan diatur di dalam al-Qur’an
Maaf, ayatnya tidak terposting
Terjemahnya
: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.(Q.s An-Nisa’ ayat 13)
4.
Syarat Qisas
Qisas terhadap selain
jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut[12]:
1. Pelaku berakal
2. Sudah mencapai umur
balig
3. Motivasi kejahatan
disengaja
4. Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat
dengan darah orang yang melukai.
Yang
dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan
kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang
melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas
seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila
pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak
memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan
kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap
korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota yang terpotong, melukai
serupa dengan anggota yang terluka.[13]
Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan
pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang
dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat
qisas dalam pelukaan:[14]
i.
Tidak
adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka tidak boleh
diqisas,
ii.
Memungkinkan
untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan,
maka diganti dengan diyat,
iii.
Anggota
yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian
yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri,
tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli
(sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
iv.
Adanya
kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan
kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang
cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah
buta,
v.
Apabila
pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak
dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan
setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka
tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya
tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal
tersebut.
Kemudian
dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai
dengan apa yang telah dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah swt.,
Maaf, ayatnya tidak terposting
Terjemahnya
: Bulan Haram dengan bulan haram dan
pada sesuatu yang patut dihormati[119], berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu
barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.(Q.s Al-Baqarah ayat 194)[15]
Dan Allah telah berfirman pula dalam
ayat lain,
Maaf, ayatnya tidak terposting
Terjemahnya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.(Q.s
As-Syura ayat 40)[16]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penyusun uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Berdasarkan pada hukum pidana
Islam delik penganiayaan serta delik pembunuhan dikatagorikan dalam
Jara’im al-Qisas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas.
Lebih khususnya lagi adalah penganiayaan merupakan jinayah terhadap selain
jiwa yaitu perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa sakit tubuhnya
tanpa hilangnya nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan jinayah terhadap
jiwa yaitu tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, menghilangkan ruh
atau jiwa manusia. Ancaman hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kedua
delik tersebut ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir, kifarah.
Dalam hukum pidana positif, penganiayaan secara umum adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. sedangkan pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Sanksi hukuman pokok yang dikenakan ada beberapa macam, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, serta hukuman denda, dengan hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan Hakim.
2. Hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif dalam menangani kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang
mengakibatkan kematian janin terdapat beberapa persaman dan perbedaan.
Persamaannya dari segi tindak pidana, bahwa perbuatan yang ada dalam kasus
tersebut merupakan sebuah delik, karena telah memenuhi unsur-unsur yang
merupakan syarat suatu perbuatan dapat dikatakan sebuah delik. Dari segi
pidana, bahwa kedua sistem sama-sama memberikan ancaman pidana untuk orang yang
melakukan penganiayaan serta pembunuhan dan sama juga dalam merumuskan tujuan
pemberian pidana yaitu untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan serta
pengayoman kepada masyarakat serta individu. Perbedaannya adalah, dalam segi
pengkatagorian, dalam hukum pidana Islam perbuatan tersebut merupakan tindak
penganiayaan sengaja, sedangkan dalam hukum pidana positif perbuatan tersebut
bisa dikatagorikan ke dalam jenis pengguguran bayi dalam kandungan tanpa
persetujuan si ibu atau juga ke dalam penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat, dengan rumusan luka berat seperti yang ada dalam Pasal 90 KUHP. Dari
segi jenis pidana, dalam hukum pidana Islam ada beberapa macam, yaitu qisas,
diyat, ta’zir, penghalangan pelaku dari mendapat wasiat dan warisan, serta
adanya kifarah. Sedang dalam hukum pidana positif sanksi terhadap pelaku
penganiayaan ada dua macam, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu
juga dapat disertai pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertantu dan pengumuman putusan Hakim.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2003)
Nico
Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek
Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985)
Padmo Wahjono, Sistem Hukum
Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies
Natalis Universitas Indonesia
ke-33 (Jakarta: Rajawali, 1983)
Nico Ngani dan A.
Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi.
Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam, cet. ke-18 (Jakarta:
Attahiriyah, 1981)
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,
cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992)
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,
cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan li
at-Turas, 1990 ), II
Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh,VI
Ibn
Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, t.t.)
VIII : 636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus
Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1972)
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut: Dar al-Fikr, 1981 ) II.
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib
asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958), IV.
[1]Muhammad
Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
[2]Nico
Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm.
25.
[3]Padmo
Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah
pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta:
Rajawali, 1983), hlm. 1.
[4]Nico
Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 26.
[5]Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18
(Jakarta: Attahiriyah, 1981), hlm. 406.
[6] Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992),
hlm. 172.
[7]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, 1990 ), II : 263.
[8]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh,VI : 220.
[9]
Ibn Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah,
t.t.) VIII : 636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut
Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1972 ), hlm. 152-153.
[10] Ibn
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut:
Dar al-Fikr, 1981 ) II : 232.
[11]
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir:
Mustafa al-Bab al-Halabi wa Aulad,
1958), IV : 6.
[12]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38.
[13] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj
al-Muslim, hlm. 425.
[14] Ibid.
[15]
Al-Baqarah (2) : 194.
[16]
Asy-Syura (42) : 40.
0 comments:
Posting Komentar