PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Berfilsafat
merupakan bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul di
dunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini sekaligus membantah
pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang Barat saja, khususnya orang
Yunani. Dalam konteks hubungan filsafat Barat dengan filsafat Islam ternyata
keduanya mimiliki hubungan yang sangat akrab ini terjadi terutama dalam bentuk
tukar menukar pemikiran.
Pengaruh dominan
filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan,
bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi
Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal
dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran.
Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dipandang
sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan
alam dan lain-lain.
Alkindi dan juga
beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah dan pen-syarah
filsafat Yunani. Bahkan Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator Yunani memandang
Aristoteles sebagai seorang pemikir besar yang pernah lahir. Ia seorang
bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy
Dante mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat
Aristoteles dimasanya, mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain
seperti fisika, kedokteran dan astronomi.
Ibn Rusyd
(1126-1198), atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd atau Averroes,
adalah filosof Muslim Barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri
pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Michael
Angelo meletakkan patung khayalinya di atas atap gereja Syktien di Vatikan
karena ia dipandang sebagai filosof free thinker. Dante dalam Divine
Comedia-nya menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap sebagai
komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles.
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian tak
pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat
Islam. Secara internal muncullah kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh
kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara
eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada
hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran
Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan
Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan
kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok termasuk al-Ghazali.
Al-Ghazali menuduh
telah ada kerancuan dalam pemikiran para filosof. Sedemikian konpleknya
persoalan-persoalan yang dikritik al-Ghazali sehingga banyak komentator yang
beranggapan bahwa penolakan itu sama halnya untuk menjauhkan filsafat dari
peradaban Islam. Salah satu kritik yang dilancarkan al-Ghazali terhadap para
filosof muslim ialah kecenderungan mereka meremehkan syiar-syiar agama Islam.
Mereka (para filosof muslim) lebih tertarik pada ajaran-ajaran Socrates, Plato
dan Aristoteles di bidang logika, kosmologi dan teologi. Menurut al-Ghazali apa
yang dianggap para filosof itu sebagai suatu kebijaksanaan (wisdom) tak lain
adalah kesesatan yang nyata. Ibnu Rusyd mananggapi pernyataan tersebut dengan
dengan membuat analogi bahwa Allah sebagai sang pencipta mengeluarkan banyak
sifat produksi dan mampu mendatangkan sifat-sifat yang spektakuler, namun ada
saja yang mencemoh dan meremehkan hal tersebut. Sehingga yang meremehkan itu
menunjukkan bahwa mereka tergolong ulama yang bodoh.
Menanggapi hal
tersebut Ibnu Rusyd tampil sebagai pembela para filosof dengan menulis buku
yang cukup terkenal, tahafut at-tahafut sebagai sanggahan terhadap tuduhan
al-Gazali. Ibnu Rusyd menyanggah tuduhan al-Ghazali tersebut dengan menyatakan
bahwa tujuan al-Ghazali untuk memutlakkan kekuasaan Tuhan dengan cara menghapus
hukum sebab-akibat justru kontraproduktif. Penolakan hukum sebab-akibat akan
menghancurkan seluruh basis untuk mengarahkan seluruh proses kejadian di alam
kepada tuhan. Al-Ghazali secara tidak sadar telah menghancurkan satu-satunya
dasar logis di atas mana kekuasaan Tuhan terhadap alam bersandar. Pandangan itu
sangat membahayakan filsafat, ilmu dan juga teologi.
Persoalan ini
sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif
keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami
ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang.
Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu
Rusyd.
Al-Ghazali adalah
seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan secara
umum. Dia juga salah seorang yang berotak cemerlang yang memiliki berbagai
keunggulan dan jasa dalam berbagai aspek. Salah seorang tokoh di masanya yang
sangat menguasai ilmu agama. Ilmu pengetahuan yang dikuasainya mencakup Fiqih,
Ushul, Ilmu Kalam, Logika (Mantiq), Filsafat, Tasawuf, Akhlak dan yang lain.
Dia telah menyusun buku tentang semua bidang tersebut yang telah diakui
kedalamannya, orisinalitas, ketinggian dan memiliki jangkauan yang
panjang.
Yusuf Qardhawi
mengatakan bahwa pada sisi lain, dia adalah seorang kutub tasawuf, pejuang
spiritual dan tokoh pendidikan serta tokoh dakwah kepada Allah swt. Dia adalah
seorang ilmuwan dan sekaligus ahli ibadat, da’i, pembaharu, juga insan rabbani yang berilmu,
beramal dan juga sebagai pengajar. 1
Al-Ghazali seperti
yang diketahui dari beberapa literatur adalah sosok yang banyak melakukan
perjalanan ke berbagai daerah yang begitu luas. Dia telah menggeluti dan
mengkaji pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat dan teologi, mistisisme atau
sufi, dan ajaran-ajaran mistik gereja Kristen. Oleh karena itu, dia adalah
seorang sarjana, filosof, dan ahli kalam. 2
Sosok al-Ghazali
merupakan seorang tokoh kontroversial yang sering mengundang berbagai polemik
mengenai ajaran-ajaran, pemikiran dan karyanya. Ada yang menyanjungnya setinggi langit dan
ada pula yang merendahkannya sampai dasar lautan. Mayoritas umat Islam hingga
dewasa ini menyanjungnya bahkan secara berlebihan, beberapa karyanya masih
banyak menghiasi dunia pemikiran Islam dewasa ini, dan juga sangat banyak para
pencari ilmu yang meneliti dan membahas pemikiran-pemikirannya yang kemudian
dituangkan dalam berbagai tulisan.
Sebagian kaum
orientalis, yang diikuti oleh orang-orang Arab modern berpendapat bahwa
al-Ghazali bertanggung jawab atas kehancuran filsafat dan pemikiran bebas,
mengangkat akademi tradisional dan mengalahkan akademi rasional. Bahkan dia
bertanggung jawab atas hancurnya istana keilmuan dan peradaban Islam secara
menyeluruh. 3
Oleh karena itu
sangat menarik untuk membahas lebih dalam lagi mengenai sosok al-Ghazali
sebenarnya dan bagaimana perjalanan hidupnya, kontroversial pemikirannya dan
karya-karyanya.
B. PEMBAHASAN
1)
Biografi
Al-Ghazāli
Nama
lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau
dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia,
suatu kota di
Khurasan, Persia.
Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam. 4 Orang tuanya gemar
mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha
tangannya sendiri dan menenun wol.
Ayahnya
seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan
seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada
mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan
berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia
meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia meninggal dunia, dia menitipkan kedua
anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkapkan kalimat
bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang,
karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya
dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah
sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”
Akan
tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua
anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang
sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali
dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang
guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan
intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal
di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn. 5
Dia
mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad
al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki
pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang
lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia
kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil
belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar
pada gurunya tersebut selama 20 tahun.
Setelah
dua atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke
Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar
Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan
pelajaran tasawwuf kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali
al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar
dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke
kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan
kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi
dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase
skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap
intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna. Paham ini
kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya.
Setelah
Imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah
ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan
intelektual. Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di
Universitas Nizamiyah Baghdad,
tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama
di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya. 6
Para
mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh
karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan tersebut sering
terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan
masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak
heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif
tidak lama.
Al-Ghazali
mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja,
tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian
yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan
ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam
uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di
kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya
keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan
perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal. 7
Pada
tahun 488 H/1095 M ia menderita penyakit jiwa yang membuat dirinya secara fisik
tak dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan dalih
untuk melaksanakan haji, tetapi sebenarnya itu hanya dalih untuk meninggalkan
status guru besarnya dan karirnya secara keseluruhan selaku ahli hukum dan
teolog. Perjalanannya setelah meninggalkan Baghdad dan pergolakan batinnya
menuju sufistik, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali
mempelajari hadis dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz-Dzahābi, “Pada
akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadis dan berkumpul dengan
ahlinya serta menelaah shahihain (Shahīh Bukhāri dan Muslim). Seandainya beliau
berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau
belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa
orang putri.” 8
Abul
Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats-Tsābat
‘Indal Mamat, menukil cerita Ahmad
(saudaranya). Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat,
lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta
meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan
kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning
(menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz-Dzahābi dalam Siyār
A’lam Nubāla 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari
Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath
Thabaran (Thabaqāt Asy Syafī’iyah 6/201).
Dalam
muqaddimah kitab “Ihyā ‘Ulūmuddīn”
Dr. Badawi Thabana menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47
kitab. 9 21 kitab kategori Kitab Filsafat dan Ilmu Kalam, 7 kitab
kategori Kitab Ilmu Fiqh dan Ushulul Fiqh, 17
kitab kategori Kitab Ilmu Akhlak dan Tasawuf, dan 2 kitab kategori Kitab Ilmu
Tafsir. Dari sini
terlihat bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama’ yang lintas disiplin ilmu.
Sehingga tidaklah berlebihan jika dia dijuluki sebagai Hujjatu
al-Islam, karena keluasan dan
kedalaman ilmunya serta semangatnya yang berkobar dalam membela Islam.
2)
Kritik
Al-Ghazali Terhadap Para Filosof
Kritik al-Ghazali atas metafisika sebenarnya
meliputi kritiknya terhadap Islamic Aristotelianism (pemikiran filosof Muslim yang dipengaruhi oleh
Aristoteles), yang berkembang menjadi teologi rasional berdasarkan metafisika
Aristoteles. Karena teologi ini bersifat rasional, maka asumsi dasarnya ialah
bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalan-persoalan
teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh al-Ghazali. Dan
penolakan ini sebagaimana terjadi melibatkan pembuktian kesalahan-kesalahan
asumsi tersebut secara rasional. 10
Dalam kitab Munqiz min al-Dhalāl, al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi tiga
golongan.
1. Filosof Materialis (Dahriyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya
Tuhan.
2. Filosof Naturalis (Thabi’iyun)
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan
berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut
mereka merasa cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka
untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini. Kendatipun demikian, mereka
tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan hari berbangkit.
a. Filosof Ketuhanan
Mereka
adalah filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun
ia sendiri tidak dapat membebaskan dirinya dari sisa-sisa kekafiran dan
keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Menurut al-Ghazali, filsafat
Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi
menjadi tiga kelompok: 11
1. Filsafatnya yang harus dikafirkan (orang yang
menganut pendapat ini dianggap kafir)
1. Filsafat yang dianggap bid’ah (penganutnya berarti
telah berbuat bid’ah)
2. Filsafat yang tidak harus diingkari sama sekali.
Untuk lebih jelasnya, pengelompokan filsafat di
atas dapat dilihat dari pembagian ilmu filsafat yang dikemukakan al-Ghazali. Ia
membaginya menjadi enam bidang: ilmu matematika, logika, fisika, politik,
etika dan metafisika (ketuhanan). Selain bidang ilmu ketuhanan, oleh
al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut dapat diterima karena tidak bertentangan dengan
syariat Islam kendatipun ada hal negatif yang terkandung dalam ilmu-ilmu
tersebut.
Adapun
bidang ketuhanan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahafut
al-Falasifah, al-Ghazali memandang para
filosof sebagai ahlul bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam
bidang ketuhanan ada dua puluh masalah yaitu: Tiga dari dua puluh masalah di
atas, menurut al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir yaitu:
1. Alam dan semua substansi qadim.
2. Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih jauh
lagi mengenai ketiga hal tersebut oleh al-Ghazali:
1. Masalah qadimnya alam
Persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan paling
besar dalam kitab Tahafut al-Falasifah,
hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan keqadiman alam. Qadim mengandung arti tidak bermula, tidak
pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh karena itu dia membawa pada
pengertian tidak diciptakan. 12 Dengan demikian dapat
dipahami hanya Tuhan yang qadim.
Para filosof berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya
wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya
dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman
(taqaddum zamany), seperti keterdahuluan
sebab dari akibat seperti cahaya dari matahari. 13 Jika dirunut pemikiran filosof lebih rumit di
mengerti daripada pemikiran al-Ghazali.
2.
Masalah Tuhan tidak
mengetahui yang juz’iyyat
(parsial)
Para
filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui
zat-Nya dan tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui
segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof
muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu
terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut,
hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan
membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil
terjadi pada Allah. 14
Menurut
al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut
al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada
ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang
berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat,
dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut
al-Ghazali mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan anda
lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka
yang berubah adalah dia bukan anda. Demikianlah pula ilmu Allah, Ia mengetahui
segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah
meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan. Untuk memperkuat
argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya:
a. QS
Yunus (10): 61…..Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih
besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)
b. QS
Al-Hujurat (49): 16….. dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perbedaan pendapat antara al-Ghazali dan para
filosof muslim tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para
filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat.
Sementara menurut al-Ghazali berbedanya obyek ilmu tidak membawa perubahan pada
ilmu dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan.
Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedangkan para
filosof menarik masalah pada tataran abstrak. 15
3.
Masalah Kebangkitan Jasmani
di Akhirat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan
di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur, sehingga
yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun
ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka,
semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam. 16
Al-Ghazali
pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang
lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Ia tidak pula menolak
kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui
berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat
memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyyat).
Al-Ghazali
dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti
tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya
kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah
berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata” Demikian pula Firman-Nya:”Aku
sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak
terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang Maha Sempurna, perpaduan
di antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti
mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.
Para
filosof muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad
semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad, berarti kehidupan
telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan
baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti
mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi,
jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit
dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia dan adanya manusia
yang cacat, pincang, dan yang lainnya, maka surga nanti akan ada sifat
kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Padahal di
surga suci dari demikian. Jika tidak demikian maka akan terjadi proses yang
panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Pertentangan
antara al-Ghazali dengan filosof muslim hanya perbedaan interpretasi karena
bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ary, ia aktif
mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas
Nizamiyah Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni
dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof muslim diwarnai pemikiran
rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun,
antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan. 17
3)
Pengembaraan
Intelektual Dan Pergolakan Batin Menuju Kehidupan Sufistik
Sebagaimana
telah dijelaskan pada pembahasan pertama dalam riwayat hidup al-Ghazali, bahwa
pada tahun 484 H, saat al-Ghazali berada di puncak kejayaan karirnya, banyak
mahasiswa yang mengagumi dan mengikuti kuliahnya, begitu pula para ulama dan
masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya. Pada saat itu
pula al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga
akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah
(fisioterapi). 18 Akhirnya ia meninggalkan
pekerjaanya dan meminta saudaranya Ahmad untuk menggantikan posisinya sebagai
pengajar dan ia sendiri melakukan perjalanan (pengembaraan) untuk mencari
jawaban atas keragu-raguannya yang nanti akhirnya akan membawa beliau menuju
kehidupan sufistik.
Keputusan
al-Ghazali meninggalkan karir dan menolak semua pengetahuan yang telah
dicapainya sangat mengejutkan sekaligus membingungkan setiap orang yang
mendengarnya. Al-Ghazali menuangkan semua alasan-alasan keputusannya itu dalam
kita Al-Munqîdh min-al-Dhalāl.19 Di dalam kitab itu, al-Ghazali menyatakan, bahwa
dengan mempelajari sufisme ditemukan jalan menuju Tuhan, yaitu jalan yang tidak
sama dengan yang dialaminya selama ini.
Dengan merenungkan kedudukannya di Baghdad, al-Ghazali
merasakan adanya belenggu tangannya; Ia menganggap karya terbaiknya yang memuat
kajian dan ajarannya tidak mempunyai arti penting ataupun membantu mendekatkan
diri kepada Tuhan. Sebab motif yang mendorong di belakang penulisan karyanya
itu hanya karena ambisi demi popularitas untuk memperoleh keuntungan sendiri.
Perjalanan
pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M (menurut
versi lain 489 H/1096 M). Al-Ghazali memasuki kota tersebut dengan berpakaian orang miskin,
duduk di depan pintu Khanqah Samisatiyah, 20 akhirnya seorang fakir yang tak dikenal
memperkenankan ia masuk. Kemudian al-Ghazali menyibukkan diri dengan
membersihkan halaman yang diperuntukkan bagi pengunjung Khanqah tersebut, dan bekerja sebagai pembantu di sana. Di Masjid Umawi ia
beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah Barat sepanjang hari dengan
makan dan minum yang terbatas. Menara tersebut sekarang dikenal dengan menara
al-Ghazali (Minaret of al-Ghazali). Ia memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan
mujahadah terus-menerus selama dua tahun di Damaskus. Al-Ghazali hidup dengan
menjalani hidup asketik menggunakan pakaian yang kasar dan mengurangi makan dan
minum, mempergunakan waktunya untuk beribadah. Sedangkan waktu luangnya
digunakan untuk berkarya, di sinilah ia menulis karya terbesarnya Ihyā
Ulūm al-Dîn (menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama). 21
Setelah
itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di
sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah
mengunci pintunya untuk beruzlah dan berzikir. Ia juga
berangkat ke kota
al-Khalil untuk berziarah ke maqam
Nabi Ibrahim as. Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia
berangkat menuju Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah
ke maqam Rasulullah di Madinah. Menurut beberapa penulis, setelah ia
melaksanakan ibadah haji, ia berangkat menuju Mesir dan tinggal di Iskandariyah
beberapa lama.
Setelah
itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara mengunjungi
padepokan-pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud, asketis, dengan
makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi sedikit bekal
serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk membersihkan jiwa
melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh. Penulis biografinya
menulis,”sampai-sampai al-Ghazali menjadi poros (Quthb
al-Wujud), suatu anugerah Tuhan yang diberikan
kepada setiap makhluk dan sebagai petunjuk guna menggapi kepuasan terhadap
Allah SWT.
Pada
saat Fakhr al-Muluk Jamal as-Shuhada
menjdi wazir, dan menempati istananya, ia mendengar sosok al-Ghazali dan
reputasi ilmunya, khususnya kehandalan dalam penyucian jiwa dan perilaku
hidupnya. Maka Fakhr al-Muluk
meminta restu, mengunjunginya, mendengar ceramahnya dan akhirnya meminta agar
dia tidak menyia-nyiakan keistimewaannya tanpa meninggalkan buah bagi yang
lainnya, dan tidak memberikan sinar bagi mereka. Wazir terus mendesak dan
memohon al-Ghazali sampai ia menyetujuinya. Akhirnya al-Ghazali dibawa ke Nishapur, dan diangkat menjadi professor di Akademi Maymuna
Nizamiyah, setelah tidak dapat
mengelak dari permintaan pemerintah.
Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 499/1067-7. Al-Ghazali sendiri sadar bahwa hal ini
kehendak Allah yang telah membangkitkan hasrat Fakhr
al-Muluk agar al-Ghazali kembali membenahi keimanan
umat Islam. Dia merasa keinginan mencari kedamaian dan menjauhi hidup keduniaan
tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan mengasingkan diri. Lagi pula ia telah
berkonsultasi dengan teman sejawat sufi yang memiliki pandangan ke depan,
mereka menganjurkan agar keluar dari hidup menyendiri dan membenahi aqidah umat
Islam. Ditambah lagi mimpi dari rekan sufinya yang merestui keputusannya. Sebab
Tuhan telah menetapkan awal abad ini sebagai momen yang tepat (500 H). Karena
Allah SWT telah menjanjikan kebangkitan agama pada tiap awal abad, dan
al-Ghazali berharap bahwa inilah tugas yang dibebankan Allah padanya, dengan
tekad inilah dia pergi ke Nishapur.
Al-Ghazali
memberikan seluruh petunjuk yang ia peroleh bagi orang lain, serta memberikan
hasil-hasil selama hidup menyendiri. Al-Ghazali biasa bertukar pikiran dengan
muridnya pada malam hari. Ia menceritakan tentang apa yang telah menimpanya mulai
sejak ia memutuskan untuk mengembara menuju Tuhan, hingga ia pergi belajar
tentang sufisme di bawah asuhan al-Farmadhi. Setelah Fakhr
al-Muluk meninggal,
al-Ghazali kembali ke Tus, dan mendirikan akademi
teologi dekat kampung sufi. Pada masa ini sekali lagi ia diminta oleh wazir
al-Said untuk mengajar lagi di Akademi Nizamiyah di Baghdad, tetapi al-Ghazali
menolaknya. 22
Selama di Tus, al-Ghazali mempergunakan waktunya
untuk melayani orang yang memerlukan di sekelilingnya, mendalami Alquran, mempelajari
hadis lagi, bergaul dengan orang shaleh, mengajar dan beribadah. Sehingga tidak
ada waktu sedikitpun yang tersisa dalam menunggu “cinta” kematiannya. Sampai
akhirnya al-Ghazali meninggal pada hari Senin, 14 Jumada al-Tsani 505 H
bertepatan dengan 18 Desember 1111 M., dalam usia 53 tahun.
4)
Mendamaikan
Antara Syari’ah Dan Tasawwuf
Menurut
pemahaman kebanyakan umat Islam, agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia, Islam merupakan ajaran aqidah dan syari’ah, kalau aqidah mengenai
kepercayaan dan keyakinan, sedangkan syari’ah mengenai selainnya dalam artian
mencakup ibadah, mu’amalah dan akhlak. Islam diyakini sebagai agama universal,
tidak terbatas waktu dan tempat tertentu, bahkan Alquran menyatakan lingkup
keberlakukan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Adalah untuk
seluruh umat manusia di manapun mereka berada dan bahkan kepada seluruh alam
semesta.
Dalam
aqidah Islam memberikan kategorisasi antara dua bagian yang sempurna yaitu
lahir dan batin, yang dimaksud dalam hal ini ialah syari’ah dan haqiqah (tasawuf). Yang pertama disebut zahir sedangkan
yang kedua disebut batin yaitu bagian dalam diri manusia. Antara syari’ah dan
tasawuf bagaikan kulit dan isi atau seperti lingkaran dan titik pusatnya.
Al-Ghazali
sebagai seorang ulama besar sanggup menyusun kompromi antara syari’ah dan
tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari
kalangan penganut syari’ah maupun kalangan sufi. Al-Ghazali mengikat tasawuf
dengan dalil-dalil nash. Dan dari judul-judul karyanya yang paling
monumental ialah Ihyā ‘Ulūm al-Dîn.
Nampak betapa besar jasa al-Ghazali yaitu mampu menyusun bangunan yang dapat
menghidupkan kegairahan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan
dengan penuh ketekunan.
Apa
yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai, yaitu menghidupkan dan memperdalam
kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga terpancar dalam
kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya. Sebaliknya dengan
keterikatan yang ketat dalam pengamalan tasawufnya dengan syari’ah dan ayat-ayat
Alquran dan hadis, tasawuf mulai mendapat simpati dari kalangan ulama ahli
syari’ah dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling
kaya kerohanian dan tuntunan moral. Tasawuf bisa berfungsi sebagai obat yang
paling mujarab untuk membebaskan umat Islam dari kekakuan dan kekeringan
nasionalisme fiqhiyyah dan penyakit spritualisme
ilmu kalam.
Al-Ghazali
secara tegas mengatakan bahwa antara syari’ah dan tasawuf mempunyai hubungan
yang sangat erat. Ia membantah pendapat sebagian kalangan yang mengatakan
adanya pertentangan antara syari’ah dan tasawuf. Al-Ghazali mengatakan “ Barang
siapa yang berpendapat bahwa antara haqiqah dan syari’ah bertentangan atau yang
batin bertolak belakang (bertentangan) dengan yang lahir, maka kekufuran lebih
dekat padanya daripada keimanan”.
Bahkan
ketika al-Ghazali menjelaskan tentang jalan untuk menuju kebahagiaan, baik di
dunia maupun di akhirat maka satu-satunya jalan ialah ilmu dengan amal
(ibadah): “ Kaum Sufis dan Filosof yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat secara keseluruhan, walaupun mereka berbeda dalam tatacara pemahaman
secara garis besar mereka seluruhnya sepakat bahwa sesungguhnya kebahagiaan
adalah dalam ilmu dan ibadah. Sedangkan pemikiran mereka berada dalam perincian
ilmu dan amal.”
Dari
serangkaian keterangan-keterangan tersebut di atas jelas kiranya bahwa
penyelarasan antara hubungan syari’ah dan tasawuf haruslah dipadukan, berjalan
beriringan, tidak mengambil (mengamalkan) salah satunya lalu meninggalkan yang
lainnya, sama sekali tidak, jalan kebahagiaan adalah perpaduan antara ilmu dan
amal, atau antara syari’ah dan tasawuf.
Dalam
konteks ini al-Ghazali secara konkrit telah berhasil merumuskan bangunan
ajarannya yaitu konsepsinya yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat
antara pengamalan sufisme dan syari’ah seperti yang tersusun dalam karya
monumentalnya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn.
Contoh kompromi itu misalnya dalam kasus shalat, bagaimana gambaran praktis
hubungan syari’ah dan tasawuf (tatacara amal lahir dan batin shalat. Dalam
melakukan ibadah khusunya sholat, di mana seseorang hanya dapat mencapai
kesempurnaan dan dapat diterima sholatnya jika memenuhi syarat-syarat tertentu,
baik yang dikemukakan oleh ahli syari’ah maupun para sufi. Dalam menegakkan
shalat seorang sebelumnya harus membersihkan diri (thaharah). Menurut ahli fiqh membersihkan diri (thaharah) ialah menyucikan badan atau anggota tubuh dari
najis, tempat shalat, sedangkan menurut ahli tasawuf, membersihkan diri berarti
bersih selain di atas harus bersih pula pakaian yang dipakai dalam arti harus
diperoleh dari sumber yang halal. Sebelum berwudhu’ menurut ahli fiqh seseorang
harus membaca bismillah, sedangkan menurut sufi selain melakukan hal-hal di
atas seseorang haruslah istighfar dalam rangka pembersihan jiwa.
Kompromi
yang dicetuskan al-Ghazali mampu memberikan pemahaman keagamaan dalam beribadah
kepada Allah, pada satu sisi peribadatan ahli fiqh yang telah cenderung hanya
mementingkan segi formalitas belaka telah mendapat reaksi dari kaum yang ingin
menghayati agama dengan lebih mendalam dalam beribadah. Beribadah kepada Allah
yang formal adalah menurut tatanan syari’ah Islam, tetapi hati sufi tidak hadir
lagi dalam beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam melainkan dengan
kekhusyu’an jiwa. Selain dengan perasaan khusyu’, keikhlasan beribadah mendapat
perhatian yang serius dari kalangan sufi.
5)
Pengaruh
Al-Ghazali Di Dunia Islam
Pengaruh
al-Ghazali sangat luas, kuliah-kuliah dan karya-karyanya diterima secara luas.
Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran al-Ghazali terkenal di kalangan komunitas
muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur dan di Barat. Meskipun sudah hampir
seribu tahun al-Ghazali meninggal, namun ilmunya, dan tetesan kalam buah
penanya mengekal abadi. Karya-karyanya berpengaruh karena diperlukan dan ditelaah
oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.
Tokoh
al-Ghazali menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan pemikiran
Islam karena kedalaman ilmunya, keorisinilan pemikirannya, dan kebenaran
pengaruhnya di kalangan Islam. Dia ahli agama, pendidikan dan hukum Islam,
selain itu juga memiliki ilmu yang luas tentang filsafat, tasawuf, akhlak, dan
masalah kejiwaan serta spiritualitas Islam. Di belahan timur dunia Islam ia
amat berpengaruh bagi masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses dalam memimpin
mereka, sedangkan di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil. Sampai sekarang
pengaruh al-Ghazali masih terus ada di seluruh dunia Islam.
Di
Timur al-Ghazali mendapat sukses di bidang pembaharuan mental dan spiritual
umat, sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam.
Bukunya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn adanya bukti dari adanya
usaha tersebut. Pada waktu itu juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan
umatnya dari pengaruh negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu Kalam, dan aliran
kebatinan. Melalui pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan masyarakat
Islam, dari pemujaan akal atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah swt., yaitu
dalam arti hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan
dapat dicapai.
Di
belahan barat dunia Islam, tulisan al-Ghazali tidak saja mempengaruhi pemikir
Islam seperti Ibn Rusyd, tetapi juga mempengaruhi para pemikir Kristen
dan Yahudi seperti Thomas Aquinas dan Blaise Puscal, dan filsuf-filsuf Barat
lainnya, sebagaimana diakui oleh Asim Palaeros, yang memiliki banyak persamaan
pendirian dengan al-Ghazali, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak
diperoleh dari akal pikiran tetapi harus hati dan rasa.
Ketidakgentarannya
dalam mencari kebenaran melalui kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf
banyak pula mendatangkan kritikan dan pertentangan di kalangan Mutakallimin,
baik ketika al-Ghazali masih hidup maupun setelah meninggal. Di Andalusia,
seorang Qadhi dari Cordoba,
Abu Abdullah Muhammad bin Hamdin, menyalahkan karangan-karangan al-Ghazali.
Para Qadhi di Spanyol pada umumnya menerima pengutukan itu, hasilnya seluruh
karya-karya al-Ghazali dibakar. Masyarakat dilarang memiliki karya-karya
al-Ghazali dengan ancaman sangsi hukuman mati. Termasuk di dalamnya kitab Ihyā
‘Ulūm al-Dîn.
Karya-karya
al-Ghazali pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara. Sultan Marakash,
Ali bin Yusuf bin Tashfin, pemimpin pada daerah tersebut adalah seorang yang
berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah agama. Ia
menerima saran dari ulama ortodoks yang memiliki otoritas pada masa itu.
Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki dan menganggap bahwa filsafat dan teologi
keduanya dapat merusak keyakinan, aqidah yang benar. Oleh karena itu, ia
melarang beredarnya buku-buku al-Ghazali dan mengeluarkan perintah agar
membakar seluruh karya al-Ghazali.
Pengeritik
lainnya adalah Ibnu Rusyd, salah seorang filosof Spanyol. Ia menganggap
al-Ghazali tidak konsisten dalam doktrin emanasi, ia juga mengeritik
karya-karya al-Ghazali khususnya kitab Tahāfut al-Falāsifah dengan mengarang kitab Tahāfut
al- Tahāfut. Dia menganggap bahwa
ajaran al-Ghazali kadang-kadang merusak syari’ah, terkadang merusak filsafat,
terkadang merusak keduanya, namun juga menguntungkan keduanya.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas penulis dapat
menyimpulkan dalam beberapa kesimpulan berikut ini :
a. Kritikan al-Ghazali pada para filosof muslim yang
menganut paham Aristotelenianism yakni terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi yang
dituangkannya dalam kitab Tāhafut al-Falāsifah
terfokus pada tiga pembahasan yaitu tentang keqadiman alam, ketidaktahuan Tuhan
akan yang juz’iyyat, dan tidak adanya kebangkitan
jasad setelah mati.
b. Pengembaraan intelektual Al-Ghazali dimulai sesaat
setelah dia melepaskan tugas-tugasya sebagai Guru Besar di Kampus Nidzamiyyah Baghdad. Perjalanan
pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M. Setelah
itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di
sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah
mengunci pintunya uzlah dan berzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke maqam Nabi Ibrahim as Setelah
itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara mengunjungi
padepokan–pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud, asketis, dengan
makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi sedikit bekal
serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk membersihkan jiwa
melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh.
c. Menurut al-Ghazali makrifat bukan hanya sekedar
pengenalan biasa tetapi berupa ilmu yang tidak diragukan kebenarannya atau al-Ilmu
al-Yakin. Tersingkap secara jelas, tidak hanya
terdapat keraguan, tidak salah dan keliru. Dikatakan pula makrifat adalah
qalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi.
d. Al-Ghazali sebagai seorang ulama besar sanggup
menyusun kompromi antara syari’ah dan tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup
memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan penganut syari’ah maupun
kalangan sufi. Al-Ghazali mengikat tasawuf dengan dalil-dalil nash. Dan dari judul-judul
karyanya yang paling monumental ialah Ihyā ‘Ulūm al-Dîn.
Nampak betapa besar jasa al-Ghazali yaitu mampu menyusun bangunan yang dapat
menghidupkan kegairahan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan
dengan penuh ketekunan.
e. Pengaruh al-Ghazali sangat luas, kuliah-kuliah dan
karya-karyanya diterima secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran
al-Ghazali terkenal, di kalangan komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di
Timur maupun di Barat. Beberapa kalangan sangat menyanjung hasil karya
al-Ghazali dan sebaliknya banyak juga di kalangan pemikir Islam yang menolak
karyanya bahkan berusaha menghancurkan karya-karya al-Ghazali. Satu yang tetap
dicatat oleh sejarah bahwa pemikiran-pemikiran al-Ghazali hingga saat ini masih
hidup dan sangat kental dalam komunitas Islam Sunni.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Antara
al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam. Cet.II;
Bandung: Mizan,
2002.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihyā
‘Ulūm al-Dîn. Juz I; Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Hamdi, Ahmad Zainul. Tujuh
Filsuf Muslim; Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2004.
Hanafi, Ahmad. Pengantar
Filsafat Islam. Cet. V; . Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.
Isa, H. Ahmadi. Tokoh-tokoh
Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh. Cet. I; PT Raja Grafindo,
2000.
Jaya, Yahya. Spritualisasi
Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental. Cet. I; Jakarta:
Rahama, 1994.
Kholid Syamhudi. Imam
al-Ghazali. www.muslim.or.id (19
November 2010).
Mubarak, Zaky. Al-Akhlāk
“Inda al-Ghazāli. Mesir: Dar al-Kitab
al-Arabiy al-Taba’at al-Nasyr, 1968.
el-Muhammady, Uthman,
Muhammad. Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali. www/Scribd/com/doc/2917072/ (19 November 2010).
An-Nadawi, Abul Hasan Ali. Rijālul
fikri wad Da’wati fil Islām. Darul Qalam.
Nasution, Harun. Islam
Rasional. Cet. III; Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat
Islam. Cet.III; Jakarta:
Gaya Media
Pratama, 2002.
Poerwantama, dkk. Seluk-beluk
Filsafat Islam. Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Qardhawi, Yusuf. Pro
Kontra Pemikiran Al-Ghazali. Cet.II; Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Simuh. Tasawuf
dan Perkembangannya Dalam Islam. Cet.II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Sudarsono. Filsafat
Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Zar, H. Sirajuddin. Filsafat
Islam Filosof dan Filsafatnya. Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
0 comments:
Posting Komentar