Cut Nyak Dhien
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Dikenal karena
|
|
Agama
|
|
Pasangan
|
Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
|
Anak
|
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet
Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan
Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat,
6 November
1908; dimakamkan di
Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim
Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan
Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar,
salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut
Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam
medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai
anak yang diberi nama Cut Gambang.[1]
Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar
bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki
penyakit encok dan
rabun, sehingga
satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3]
Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan
penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan
rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum
tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal
pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kehidupan awal
Cut Nyak Dhien
dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama
Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga
merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera
Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul
Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau[2][4].
Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada masa
kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2]
Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan
rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan
sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka
pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah
dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek
Ibrahim Lamnga[2][4],
putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel
van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur
melawan Belanda
yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu,
Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat
di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.
Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
“
|
”
|
Kesultanan
Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan
kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
J.B.
van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan
Jenderal Jan
van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada
tahun 1873,
sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien
dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada
tanggal 24
Desember 1875.
Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim
Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat
Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]
Teuku Umar,
tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam
medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku
Umar pada tahun 1880.
Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe
Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki
anak yang diberi nama Cut Gambang.
Teuku Umar,
suami kedua Cut Nyak Dhien.
Perang
dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar
tahun 1875, Teuku
Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan
hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30
September 1893,
Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan
"menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda
sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan
rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang
Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan
memakinya.[1][2]
Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun,
Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk
mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin
orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan
tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan
mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1]
Teuku Umar dan
Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan
amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang
mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk
menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2]
Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka
mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya,
Jend. Jakobus
Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada
pada kekacauan.[1]
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya.[2]
Dien dan Umar
terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas
basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang
bertugas.[1]
Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap
biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan
pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon
yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1]
Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van
der Heyden membubarkan unit "De Marsose".[1]
Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak
orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan
masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan
ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan
pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar
untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari
1899. Akhirnya,
Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien,
menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya
dan berkata:
Cut Nyak Dien
lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah
terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah
semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga
jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]
Cut Nyak Dien,
setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Anak buah Cut
Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda
karena iba.[2][3]
Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka
terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda
Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi
Dien sampai kematiannya.[1]
Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien
berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi
Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.[5][6]
Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang
sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]
Masa tua dan kematian
Setelah
ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda
Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok
berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat,
karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat
perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk.
Ia dibawa ke
Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati
Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka
pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas
tahanan.[1]
Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak
Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]
Pada tanggal 6
November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam
"Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[6]
"Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK
Presiden RI
No.106 Tahun 1964
pada tanggal 2 Mei
1964.[1][2]
Makam
Menurut penjaga
makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang
ditemukan di Belanda.[6]
Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada
acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar
dua kilometer.[6]
Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung
sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu,
orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap
bulan November
Makam Cut Nyak
Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat
pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh
Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember
1987. Makam Cut Nyak
Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di
belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu
nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[6]
Pada batu
nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab,
Surah
At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah
ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di
Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam ini
sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[6]
Kini, makam ini
mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana.[6]
Apresiasi
Biografi dalam seni
Poster Film
Tjoet Nja' Dhien
Perjuangan Cut
Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai
oleh Eros
Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet
Burnama sebagai Pang Laot, Slamet
Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor.
Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia
pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Biografinya
juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam
majalah anak-anak Ananda.
Pengabadian
- Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
- Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
- Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
- Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Lihat pula
Referensi
Catatan kaki
5.
^ Sudarmanto,
Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbitan Surat Keputusan No 23
(Kolonial Verslag 1907 : 12).
Daftar pustaka
- Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit: Pustaka Ananda.
- Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbit: Grasindo.
- Muhazir. 1984 .Pahlawan Repulusi Aceh
Pranala luar
- (Indonesia) "Perempuan Aceh Berhati Baja" Bio Cut Nyak Dien di Ensiklopedi Tokoh Indonesia
- (Indonesia) Biografi Cut Nyak Dhien di tokohindonesia.com
- (Indonesia) Biografi Cut Nyak Dhien di Website Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
- (Indonesia) Film Perjuangan Tempo Dulu
- (Inggris) Tjoet Njak Dien Story @ Victory News Magazine
- (Indonesia) Cut Nyak Dien Pahlawan Tanah Rencong @ WartaNews.com
0 comments:
Posting Komentar