Panglima Polem bernama
lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud adalah
salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia
yang berasal dari Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan keterangan
yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang jelas ia
berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII
Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga
terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879).
Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim
Aceh Besar.[1]
Biografi
Diangkat sebagai Panglima
Setelah dewasa,
Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari
Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia
diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891
untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah
pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku
Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud.[1]
Dalam
perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud juga memperoleh dukungan dari para
ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb,
yang kemudian diangkat menjadi panglima besar.[1]
Perjuangan melawan Belanda Bersama Teuku Umar
Sampai tahun 1896,
Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh. Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya pada
bulan September 1893, pura-pura menyerah kepada Belanda, setelah
terjadi penyerahan, patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII, Mukim Ba'et Aceh
Besar. Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh.
Sementara itu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung
dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut
pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka banyak yang
berjatuhan.Korban dalam penyerangan itu sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang
luka-luka.[1]
Pada tahun 1897
Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak
saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan
pintas mengundurkan diri ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang
keberadaannya, Teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di
wilayah pegunungan Seulimeum.[1]
Dalam sebuah
pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya
berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam
pertempuran ini, jatuh korban 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan
Oktober 1897, wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa
banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.[1]
Bertemu dengan Sultan Aceh
Pada bulan
November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah). Dia mengadakan
suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya.[1]
Pada bulan Februari
1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan
pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898,
Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta Uleebalang
terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.[1]
Pada awal tahun
1901, Sultan Muhammad Daud
Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara bersama-sama
menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat
pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan
pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan
terhadap Belanda.[1]
Karena Belanda
gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka meraka menghentikan
penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian Belanda menyusun strategi baru yang
sangat licik yaitu dengan menangkap keluarga-keluarga dekat Sultan. Mereka
berhasil menangkap isteri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang
Payong dan isteri sultan yang bernama Pocut cot Murong dan juga Putera
Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda mengancam Sultan;
apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam tempo satu bulan, maka kedua
isterinya akan dibuang.[1]
Berdamai Dengan Belanda
Menerima berita
ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903
Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939.
Hal ini menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara
terpaksa juga berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903.[1]
Referensi
0 comments:
Posting Komentar