BAB I
PENDAHULUAN
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada
beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh
karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan
politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian
yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja
berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak
terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu
selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya
diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PHK Pada Kondisi Normal
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan
menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan
tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian
kepada organisasi maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang
tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut. Akan tetapi hal ini tidak
terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja seseorang
selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Bilamana seseorang
mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus
dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan
kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk
memasuki masa kehidupan yang tanpa peran. Kondisi yang demikian memungkinkan
pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya
hamper lebih separuh hidupnya. Bilamana seseorang mengalami peran dan perlakuan
yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan
berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya
dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan
perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama
ini.
Apapun yang dirasakannya, orang harus mempersiapkan diri
untuk menghadapi masa pensiun yang pasti datang ini, sejalan dengan
bertambahnya umur dan kemunduran fisik yang dialami oleh setiap orang.
Noesyirwan (Kumara, Utami, dan Rosyid, 2003) mengemukakan bahwa secara teknis
pensiun berarti berakhirnya suatu masa kerja, tetapi secara psikologis dan
sosiologis pensiun mempunyai makna dan dampak yang tidak sama pada semua orang.
Perubahan dari status aktif bekerja kepada status pensiun adalah perubahan yang
biasanya cukup drastis. Lebih lanjut Kumara, dkk. (2003) mengatakan bahwa
individu yang menghadapi pensiun dituntut untuk melakukan penyesuaian. Terdapat
beberapa factor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap pensiun,
yaitu:
1.
Pensiun
secara sukarela dan terencana, atau pensiun secara terpaksa dan tergesa-gesa.
Orang yang pensiun secara sukarela dan terencana mempunyai pandanganyang
positif tentang pensiun. Orang yang harus menjalani pensiun secaraterpaksa,
akan merasa berat untuk menghayatinya.
2.
Perbedaan
individu yang didasari oleh faktor kepribadian, yaitu orang yang
berpandangan luas dan fleksibel dapat menerima status baru sebagai pensiunan
dan dapat beradaptasi dengan situasi yang baru.
berpandangan luas dan fleksibel dapat menerima status baru sebagai pensiunan
dan dapat beradaptasi dengan situasi yang baru.
3.
Perencanaan
dan persiapan individu sebelum pensiun datang. Dalam hal ini
seseorang telah mempersiapkan diri secara matang dengan berbagai kegiatan
sebelum masa pensiun tiba. Secara mental dan material orang menjadi lebih siap.
seseorang telah mempersiapkan diri secara matang dengan berbagai kegiatan
sebelum masa pensiun tiba. Secara mental dan material orang menjadi lebih siap.
4.
Situasi
lingkungan, pensiunan yang tinggal di lingkungan sesame pensiunan
memiliki semangat atau keyakinan diri yang lebih tinggi daripada pensiunan
yang tinggal di lingkungan heterogen.
memiliki semangat atau keyakinan diri yang lebih tinggi daripada pensiunan
yang tinggal di lingkungan heterogen.
Bilamana dilihat dan dicermati, maka
masa pensiun merupakan perkembangan yang harus dilalui dan terdiri atas
beberapa tahapan. Flippo (1981) menguraikan proses tahapan masa pensiun yang
dilalui oleh seseorang dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Tahap
pertama, seseorang seharusnya sudah merencanakan jauh hari sebelum masa pensiun
menjelang, tetapi hanya sedikit orang yang menyadari hal itu, demikian pula
orang yang mengharapkan tetap bekerja sampai ajalnya tiba. Menjelang tibanya
masa pensiun terdapat dua unsur penting yang harus dimiliki seorang karyawan,
yaitu: kesiapan finansial dan mempersiapkan keahlian untuk mengatur waktu
luang.
b.
Tahap
ke dua terjadi ketika masa pensiunan ini benar-benar menjadi kenyataan. Orang
lain mulai melihat seorang pensiunan di dalam kegiatan di kantor sehari-hari,
keterlibatan dalam kegiatan yang penting mulai berkurang, dan mungkin seseorang
diminta untuk mengikuti program latihan menjelang pensiun. Fase ini ditandai
dengan terbitnya surat keputusan yang menetapkan status seseorang sebagai
seorang pensiunan. Di Indonesia usia pensiun bagi pegawai pemerintah khususnya,
ditetapkan berdasar Peraturan Pemerintah RI No. 32, tahun 1979 tergantung
jabatannya, maka ditetapkan umur pensiun ialah: 56 tahun, 60 tahun, dan 65
tahun.
c.
Tahap
ke tiga, banyak orang menyebut periode ini sebagai masa bulan madu. Pada tahap
ini orang menemukan kebebasan baru, pola hidup yang berbeda sama sekali dari
kebiasaan yang puluhan tahun telah dijalaninya, orang dapat hidup dengan
fantasi yang bila segi finansial mengijinkan, maka ia akan banyak melakukan
perjalanan wisata, memancing, bermain golf, mengunjungi dan menengok cucu di
kota lain, dan kegiatan lain yang membutuhkan waktu dan biaya. Pada tahap
berikutnya, seorang pensiunan akan mengalami kebosanan, tersadar dari suasana
yang serba menyenangkan, dan ketika irama kehidupannya melambat, menjadikan
dirinya merasa bosan, terlalu banyak “travelling”, dan kunjungan ke anak
cucunya, dirasakan melelahkan. Pada saat inilah dibutuhkan sejumlah minat yang
harus dikembangkan untuk mengisi kehidupannya, bilamana tidak maka pengalaman
di fase ini akan dirasakan semakin berat. Kondisi demikian akan dirasakan
bertambah berat bilamana seseorang harus berpindah ke komunitas yang baru, pada
saat seseorang harus menghabiskan masa pensiunnya.
d.
Tahap
ke empat yang dimaksudkan yaitu untuk reorientasi. Diharapkan seseorang dapat
menyusun gaya hidup dan irama kehidupannya yang dapat dilaksanakan untuk
beberapa tahun ke depan. Lembaga yang dapat membantu untuk mencari dan
mengembangkan kegiatan ialah organisasi sosial yang baranggotakan para lansia,
paguyuban pensiunan, dan tentu saja lembaga-lembaga keagamaan. Lembaga ini
dapat menawarkan bagaimana bentuk keterlibatan para pensiunan dilihat dari
waktu, tingkat, dan kualaitas kegiatannya. Hal ini akan menyangkut eksplorasi
kesempatan-kesempatan berkreasi yang baru, dan membuat keputusan yang realistik
berdasarkan pada minat dan keahlian masing-masing orang.
Pada tahap stabil
diharapkan seorang pensiunan telah mencapai suatu pola keputusan yang
menghasilkan kegiatan yang cukup dapat diprediksi, dan memuaskan kehidupannya.
Saat ini seseorang telah memegang peran sebagai pensiunan. Seseorang telah
menguasai dan mampu menangani dan menyesuaikan diri dengan penurunan kemampuan
fisik, yang sejalan dengan meningkatnya atau bertambahnya umur. Orang yang
demikian telah dengan sukses menghayati peran yang tanpa peran, dan menerjemahkannya
ke dalam kedudukan yang terhormat, bertanggung jawab, dan bermakna di
lingkungan masyarakat.
Tetapi tentu saja
seseorang dapat menghadap sang Khalik setiap saat di sepanjang fasefase di
depan. Bilamana Tuhan masih mengaruniai umur panjang, maka seseorang dapat
memasuki fase berakhir atau terminasi yang berarti pada suatu ketika ia harus
rela meninggalkan semua yang fana di dunia ini, keluarga, anak, cucu, bahkan
buyut, dan, sahabat-sahabat terdekatnya, serta semua harta yang menjadi
miliknya. Tahapan masa pensiun telah selesai dan seseorang telah dengan sukses
dan memuaskan menghayati semua fase pensiun sebagai bagian akhir dari
perjalanan karir semasa hidupnya.
B.
PHK Pada Kondisi Tidak Normal
Perkembangan suatu organisasi
ditentukan oleh lingkungan dimana organisasi beroperasi dan memperoleh dukungan
agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari
dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder)
dapat memaksa organisasi melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam
penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia
ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih
banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar
uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri,
dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam
proses produksi. Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu organisasi
mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di organisasi
tersebut. Hal ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan
hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa
istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu:
(1) Termination: yaitu putusnya hubungan
kerja karena selesainya atau berakhirnya
kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak
terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan
harus meninggalkan pekerjaannya.
kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak
terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan
harus meninggalkan pekerjaannya.
(2) Dismissal: yaitu putusnya hubungan
kerja karena karyawan melakukan
Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya: karyawan
melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat
psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja
milik pabrik.
Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya: karyawan
melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat
psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja
milik pabrik.
(3) Redundancy, yaitu pemutusan hubungan
kerja karena perusahaan melakukan
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti:
penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat
berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan
sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti:
penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat
berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan
sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
(4) Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan
kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi,
masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada
karyawannya.
Flippo (1981)
membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pension menjadi 3 kategori,
yaitu:
(1) Layoff, keputusan ini akan menjadi kenyataan
ketika seorang karyawan yang
benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan
karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan
karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
(2) Outplacement, ialah kegiatan pemutusan
hubungan kerja disebabkan
Perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional,
manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan
melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya
tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-
batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki
kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini
ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill in masih tersembunyi.
Perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional,
manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan
melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya
tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-
batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki
kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini
ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill in masih tersembunyi.
(3) Discharge. Kegiatan ini merupakan
kegiatan yang menimbulkan perasaan
paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja
yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan
kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan. Karyawan
yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau
perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah
pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan
yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen
yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan
kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam
kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi organisasi, dan harus
mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.
paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja
yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan
kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan. Karyawan
yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau
perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah
pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan
yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen
yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan
kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam
kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi organisasi, dan harus
mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.
C.
Peran Inside Stakeholder
Di dalam keberadaan organisasi terdapat dua kelompok
kepentingan (stakeholder), yaitu kepentingan yang berasal lingkungan di mana
organisasi menjalankan fungsinya, atau dari luar organisasi (outside
stakeholder), seperti: supplier, konsumen, pemerintah, dan serikat pekerja,
serta masyarakat pada umumnya. Sementara kepentingan yang lain berasal dari
dalam organisasi (inside stakeholder) meliputi: para pemegang saham
(shareholder), manajemen, dan tentu saja tenaga kerja. Kasus-kasus yang terjadi
di Indonesia, misalnya kericuhan di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, dan aksi
demonstrasi menuntut tetap dipekerjakan atau tidak dikenai pemecatan di
industri Texmaco Group, Jawa Tengah dapat dicermati bagaimana para inside
stakeholder menjalankan kewajibannya, dan menerima penghasilan mereka. PT
Dirgantara Indonesia adalah sebuah industri strategis yang menghasilkan pesawat
terbang baik bertipe fixed wing maupun tipe rotary wing. Industri ini semula
menjadi andalan sebagai pemasukan devisa bagi Indonesia, akan tetapi permasalahan
serius mencuat sehingga semua tenaga kerja dikenai pemecatan oleh pihak
direktur utama. Texmaco group adalah sebuah kelompok industri yang memproduksi
beraneka ragam produk, dari bahan tekstil atau cita, sampai dengan memproduksi
jenis truk dengan kemampuan besar. Kedua perusahaan tersebut mengalami
kesulitan yang hampir sama.
Para inside stakeholder pada dasarnya mempunyai kewajiban
dan hak masingmasing untuk menjamin eksistensi organisasi tetap lestari di
lingkungannya. Para pemegang saham (shareholder) merupakan pemilik perusahaan,
karena itu kewenangan mereka dinilai lebih superior dibanding dua inside
stakeholder yang lain, yaitu manajer maupun tenaga kerja. Sumbangan para
pemilik ialah memberikan uang yang diinvestasikan pada modal dan perlengkapan,
peralatan, serta lokasi pabrik. Penghasilan mereka berupa dividen yang diterima
setiap tahun, dan surat berharga berupa saham yang mengalami perubahan
(peningkatan) harga di pasar modal. Saham ini sangat mengandung risiko tinggi,
kerena tidak ada jaminan uang kembali, bilamana terjadi ketidakpastian di pasar
modal. Manajer adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan
perkembangan organisasi menjadi lebih besar. Mereka bertanggung jawab membuat
koordinasi segala sumber daya yang dimiliki organisasi dan meyakinkan bahwa
tujuan organisasi telah dicapai dengan tingkat keberhasilan tinggi. Para
manajer puncak (top managers) bertanggung jawab untuk menginvestasikan uang
pemilik ke dalam berbagai sumber daya (alat, tenaga kerja, waktu) untuk
memaksimalkan output barang dan jasa. Sementara para manajer adalah andalan
pemilik saham untuk mengelola urusan perusahaan (organisasi).
Sumbangan para manajer ialah penerapan keahlian mereka untuk
mengarahkan responsiveness organisasi terhadap tekanan yang berasal dari dalam
maupun luar diri organisasi. Sebagai contoh: bagaimana para manajer menggunakan
keahliannya untuk menghadapi atau meningkatkan pasar global yang terbuka,
mengidentifikasi pasar produk-produk baru, atau mengatasi masalah-masalah transaction-cost
dan penerapan teknologi baru, akan sangat mempermudah pencapaian tujuan
organisasi. Apa sajakah yang diterima para manajer terkait dengan sumbangan
yang telah mereka berikan kepada perusahaan. Terdapat berbagai kemudahan yang
menjadi hak untuk diterima, antara lain: kompensasi dalam bentuk uang,
misalnya: gaji yaitu uang yang mereka terima rutin setiap bulan; bonus ialah
sejumlah uang yang diterima terkait dengan prestasi kerja mereka yang sangat
memuaskan; dan kemungkinan pemilikan saham perusahaan; mereka juga memperoleh
kepuasan psikologis ketika merasakan keberhasilan dalam pengelolaan organisasi,
merasakan bagaimana menunjukkan kekuasaan yang melekat pada dirinya.
Tenaga kerja organisasi atau karyawan terdiri atas semua
pekerja yang termasuk karyawan non-manajerial. Anggota kelompok tenaga kerja
mempunyai tanggung jawabm dan tugas yang biasanya digariskan di dalam deskripsi
jabatan. Deskripsi jabatan merupakan uraian jabatan yang menyatakan apa sajakah
yang harus mereka kerjakan, bagaimana, dan kapan mengerjakannya, serta dengan
siapa mereka harus melakukan hubungan-hubungan penting dalam bekerja, sebagai
pelaksanaan tanggung jawab. Karyawan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
tugas yang dipercayakan kepada mereka. Sumbangan karyawan kepada organisasi
ialah penampilan kerja terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya. Seberapa
tingkat kualitas performansinya sedikit banyak berada di bawah pengaruh diri
karyawan sendiri.
Motivasi karyawan untuk berprestasi sangat berkaitan dengan
sistem reward dan sistem punishment yang digunakan olehorganisasi untuk
mempengaruhi prestasi kerja. Sejauh karyawan merasakan bahwa penghasilan yang
diperoleh dari perusahaan masih menunjukkan perbandingan yang lebih tinggi
penghasilan daripada sumbangan yang diberikan kepada perusahaan atau
organisasi, maka karyawan akan berusaha agar mereka dapat bekerja dengan
sungguhsungguh dan sepenuh hati. Akan tetapi sebaliknya, ketika seorang
karyawan merasakan ketidak-adilan dengan peraturan yang ada, merasakan bahwa sumbangannya
tidak diimbangi dengan penghasilan yang memuaskan, maka ia cenderung akan
mengurangi dukungannya pada organisasi, atau bahkan akan meninggalkan
perusahaan.
Bilamana peristiwa ini terjadi maka organisasi akan
kehilangan salah satu stakeholder yang sangat menentukan keberhasilan
perusahaan atau organisasi. Memperhatikan sumbangan dan penghasilan yang
diperoleh para stakeholder khususnya inside stakeholder, maka dapat terlihat
bahwa kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang digambarkan di atas dapatlah
ditinjau bagaimana para stakeholder telah memainkan perannya masing-masing.
Bila dari sisi sumbangan yang diperhatikan maka tampak bahwa para karyawan
telah melaksanakan tugas kewajibannya dan menunjukkan tingkat performansi yang
baik, dan mereka masih layak mendapatkan hak-hak yang merupakan penerimaan
penghasilan mereka sebagai karyawan. Akan tetapi sudah demikiankah para manajer
sebagai inside stakeholder yang memiliki tanggungjawab dan peran pengambil
keputusan melaksanakan tugas-tugas mereka.
Robbin (1986) menyatakan bahwa tujuan utama pendirian suatu
organisasi sangat terkait dengan input-transformation-output process, yaitu
bagaimana suatu organisasi mengambil input dari lingkungannya, dilakukan proses
transformasi di dalam organisasi, kemudian menghasilkan output yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, berupa barang ataupun dalam bentuk jasa. Tujuan
utama organisasi untuk menjamin eksistensinya, antara lain ialah: adanya
peningkatan perolehan keuntungan, peningkatan penjualan (sales), penetrasi pasar,
dan bagaimana menciptakan pasar-pasar baru untuk produk yang dihasilkannya.
Tujuan ini tentu saja telah dipercayakan pencapaiannya oleh
para shareholder kepada para manajer. Para manajer memiliki kewenangan untuk
menggunakan segala sumber daya yang dimiliki oleh organisasi (perusahaan) untuk
merealisir tujuan yang telah ditetapkan di atas. Mereka mempunyai wewenang
untuk mengalokasikan sumber daya yang ada, mempunyai kewenangan untuk
pengambilan keputusan yang setepat-tepatnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Bahkan para manajerlah yang mempunyai tanggungjawab untuk
memastikan bahwa tindakan korektif perlu dilakukan, bilamana dijumpai
penyimpangan perilaku para karyawan dari rencana semula, dalam rentang waktu
pencapaian tujuan organisasi.
Kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki oleh para manajer
untuk menjalankan roda kehidupan organisasi merupakan mandat yang diberikan
oleh para shareholder. Para shareholder mempercayakan uang yang dimilikinya
untuk digunakan oleh para manajer guna mencapai tujuan-tujuan tertentu sesuai
dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Pemberian wewenang ini tentu saja
berdasarkan pada kemampuan pribadi, skill yang dimiliki, dan juga keahlian para
manajer. Hanya dengan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar berkualitas,
memiliki integritas pribadi yang tinggi, kekayaan finansial para shareholder
akan berkembang menjadi jumlah yang berlipat ganda. Akan tetapi bilamana
orang-orang yang menduduki jabatan manajerial ini adalah orang-orang yang
mengabaikan kepercayaan para shareholder, maka organisasi tentu saja akan
mengalami kesulitan. Dalam menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka,
para inside stakeholder mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi juga.
Ketika budaya organisasi telah tumbuh dan menjiwai setiap
pekerja, maka hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap inside stakeholder
akan berjalan selaras. Semua pihak akan mendapatkan hak-hak yang telah
ditetapkan. Jones (1994) menyatakan bahwa property right ialah hak-hak yang
diberikan oleh organisasi kepada anggotanya untuk menerima dan menggunakan
sumber daya di dalam organisasi. Property right menentukan hak dan tanggung
jawab setiap kelompok inside stakeholder dan mempengaruhi berkembangnya norma,
nilai-nilai, dan sikap terhadap organisasi. Dalam hal ini, dapat dicermati
property right yang dimiliki oleh para manajer maupun para karyawan sebagai
sumber daya manusia. Para top managers sering memperoleh property right yang
besar karena mereka diberi alokasi sejumlah besar sumber daya organisasi,
misalnya: gaji yang tinggi, hak untuk memiliki sejumlah besar saham, atau
golden parachutes yang berarti mereka memiliki jaminan mendapatkan sejumlah
besar uang bilamana mereka harus diberhentikan karena perusahaan diambil alih
oleh pihak ketiga.
Hak yang dimiliki para top manager untuk menggunakan sumber
daya organisasi merupakan pencerminan kekuasaan mereka untuk membuat keputusan
dan mengendalikan sumber-sumber daya organisasi. Para manager biasanya
memperoleh property right yang tinggi, sebab bilamana tidak, maka mereka kemungkinan
tidak termotivasi untuk bekerja atas nama organisasi atau stakeholder yang
lain. Sementara itu pihak tenaga kerja juga mendapatkan property right, yang
bentuknya antara lain : suatu jaminan untuk dipekerjakan sepanjang hayat;
keterlibatan di dalam program pemilikan saham oleh karyawan, atau program
pembagian keuntungan bersama. Walau demikian pada kenyataannya sebagian besar
pekerja atau tenaga kerja tidak memperoleh property right yang memuaskan.
Kadang property right yang terwujud sangat sederhana bagi pekerja, yaitu: upah
yang mereka terima, dan asuransi kesehatan, serta jaminan asuransi pensiun yang
diterima. Pada dasarnya hak-hak karyawan untuk menggunakan sumber daya
organisasi tercermin pada taraf seberapa pengendalian merekaatas tugas-tugas
dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka. Distribusi property right
ini akan berpengaruh langsung pada nilai-nilai instrumental dalam pembentukan
perilaku pekerja dan motivasi anggota organisasi. Distribusi property right
pada setiap kelompok inside stakeholder akan menentukan efektifitas organisasi,
dan budaya yang muncul di dalam organisasi.
Jadi dalam melihat kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak
normal, dapat ditinjau dari dua kelompok inside stakeholder, yaitu pihak
pekerja sebagai tenaga kerja, dan pihak manajemen. Pada dasarnya manajemen
termasuk penentu kebijakan yang berlaku di dalam organisasi, sekaligus akan
menumbuhkan dan mengembangkan model budaya organisasi yang bagaimana yang
mereka kembangkan. Dari apa yang telah didiskusikan di depan, maka tampaklah
bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena seseorang telah menuntaskan
karyanya dalam mempertahankan eksistensi organisasi di lingkungannya, dan telah
mencapai umur pensiun yang ditetapkan undang-undang. Orang ini akan meninggalkan
perusahaan dengan suka cita dan penghargaaan dari organisasi tempatnya bekerja
dulu. Sementara itu, yang kedua ialah: pemutusan hubungan kerja yang dapat
disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional, atau bahkan internasional, yang
berdampak negatif pada kehidupan organisasi, dan pada gilirannya mempengaruhi
kestabilan perolehan pekerjaan karena sesuatu organisasi harus mengurangi
tenaga kerjanya. Maka masyarakat kecillah yang menderita karena tidak dapat
mempertahankan penghasilannya di perusahaan.
Untuk mengatasi permasalahan yang muncul dengan masa
pensiun, maka organisasi atau perusahaan perlu mempersiapkan baik secara
psikologis rohaniah, dan kesiapan finansial bagi para calon pensiunan. Orang
yang pensiun harus sadar akan fase-fase dalam persiapan menjelang pensiun agar
dapat menjalani tahapan dengan baik. Untuk itu diperlukan pelatihan untuk
mempersiapkan tenaga kerja memasuki dan menjalani masa pensiun, mempersiapkan
kondisi finansial mereka dengan asuransi dana pensiun. Pemutusan hubungan kerja
yang disebabkan oleh kondisi tidak normal masih harus diperhatikan, dimanakah
penyebab utamanya berada. Bila pada pihak tenaga kerja, maka untuk meningkatkan
performance yang dinilai menurun, perlu pelatihan untuk lebih memacu perilaku
yang diharapkan, dan memompa motivasi kerja mereka. Bilamana yang kurang
berperan optimal adalah pihak manajemen, maka perlu disadarkan bahwa para
manajerlah yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan,
sehingga kegiatan operasional organisasi dapat dipertahankan. Penelitian
Hofstede, sebagaimana dikutip oleh Robbin (1994) menemukan bahwa budaya
nasional berperan besar pada pembentukan perilaku dan sikap tenaga kerja
terkait dengan pelaksanan pekerjaan.
Kekhawatiran yang muncul ialah negara Indonesia terkenal
sebagai negarayang tingkat korupsinya sangat meluas di kalangan lapisan
masyarakat. Bila hal ini merupakan sesuatu unsur di dalam budaya nasional, maka
tentu saja akan mewarnai bagaimana perilaku para manajer dalam mengelola
perusahaan atau organisasi yang dipercayakan kepada mereka, sehingga dengan
pengelolaan yang kurang benar, karyawan juga yang nanti menderita sebagai
akibat ditutupnya tempat kerja mereka.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada
kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan
karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang
murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih
menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau
memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada
karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh
perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi
yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi,
maka terjadi penggelembungan yang sangat besar.
Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi
merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi
besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian
dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer
terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan,
dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan
ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Flippo,
E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGraw-Hill
International Book Company.
International Book Company.
2.
Jones,
G. R. 1994. Organizational Theory: Text and Cases. New York:
Addison-Wesley Publishing Company.
Addison-Wesley Publishing Company.
3.
Kumara,
A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri
5.
http://dhefaly.wordpress.com/2008/01/27/makalah-msdm
6.
Manulang,
S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
7.
Robbins,
1984. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and
Application. New York: Prentice-Hall Company International
Application. New York: Prentice-Hall Company International
0 comments:
Posting Komentar