-->

Makalah Tentang PHK

Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 04 Mei 2012


BAB  I
PENDAHULUAN

Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.


BAB  II
PEMBAHASAN

A.     PHK Pada Kondisi Normal
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada organisasi maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut. Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Bilamana seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa peran. Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hamper lebih separuh hidupnya. Bilamana seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini.

Apapun yang dirasakannya, orang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi masa pensiun yang pasti datang ini, sejalan dengan bertambahnya umur dan kemunduran fisik yang dialami oleh setiap orang. Noesyirwan (Kumara, Utami, dan Rosyid, 2003) mengemukakan bahwa secara teknis pensiun berarti berakhirnya suatu masa kerja, tetapi secara psikologis dan sosiologis pensiun mempunyai makna dan dampak yang tidak sama pada semua orang. Perubahan dari status aktif bekerja kepada status pensiun adalah perubahan yang biasanya cukup drastis. Lebih lanjut Kumara, dkk. (2003) mengatakan bahwa individu yang menghadapi pensiun dituntut untuk melakukan penyesuaian. Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap pensiun, yaitu:
1.      Pensiun secara sukarela dan terencana, atau pensiun secara terpaksa dan tergesa-gesa. Orang yang pensiun secara sukarela dan terencana mempunyai pandanganyang positif tentang pensiun. Orang yang harus menjalani pensiun secaraterpaksa, akan merasa berat untuk menghayatinya.
2.      Perbedaan individu yang didasari oleh faktor kepribadian, yaitu orang yang
berpandangan luas dan fleksibel dapat menerima status baru sebagai pensiunan
dan dapat beradaptasi dengan situasi yang baru.
3.      Perencanaan dan persiapan individu sebelum pensiun datang. Dalam hal ini
seseorang telah mempersiapkan diri secara matang dengan berbagai kegiatan
sebelum masa pensiun tiba. Secara mental dan material orang menjadi lebih siap.
4.      Situasi lingkungan, pensiunan yang tinggal di lingkungan sesame pensiunan
memiliki semangat atau keyakinan diri yang lebih tinggi daripada pensiunan
yang tinggal di lingkungan heterogen.
Bilamana dilihat dan dicermati, maka masa pensiun merupakan perkembangan yang harus dilalui dan terdiri atas beberapa tahapan. Flippo (1981) menguraikan proses tahapan masa pensiun yang dilalui oleh seseorang dapat digambarkan sebagai berikut:
a.      Tahap pertama, seseorang seharusnya sudah merencanakan jauh hari sebelum masa pensiun menjelang, tetapi hanya sedikit orang yang menyadari hal itu, demikian pula orang yang mengharapkan tetap bekerja sampai ajalnya tiba. Menjelang tibanya masa pensiun terdapat dua unsur penting yang harus dimiliki seorang karyawan, yaitu: kesiapan finansial dan mempersiapkan keahlian untuk mengatur waktu luang.
b.      Tahap ke dua terjadi ketika masa pensiunan ini benar-benar menjadi kenyataan. Orang lain mulai melihat seorang pensiunan di dalam kegiatan di kantor sehari-hari, keterlibatan dalam kegiatan yang penting mulai berkurang, dan mungkin seseorang diminta untuk mengikuti program latihan menjelang pensiun. Fase ini ditandai dengan terbitnya surat keputusan yang menetapkan status seseorang sebagai seorang pensiunan. Di Indonesia usia pensiun bagi pegawai pemerintah khususnya, ditetapkan berdasar Peraturan Pemerintah RI No. 32, tahun 1979 tergantung jabatannya, maka ditetapkan umur pensiun ialah: 56 tahun, 60 tahun, dan 65 tahun.
c.       Tahap ke tiga, banyak orang menyebut periode ini sebagai masa bulan madu. Pada tahap ini orang menemukan kebebasan baru, pola hidup yang berbeda sama sekali dari kebiasaan yang puluhan tahun telah dijalaninya, orang dapat hidup dengan fantasi yang bila segi finansial mengijinkan, maka ia akan banyak melakukan perjalanan wisata, memancing, bermain golf, mengunjungi dan menengok cucu di kota lain, dan kegiatan lain yang membutuhkan waktu dan biaya. Pada tahap berikutnya, seorang pensiunan akan mengalami kebosanan, tersadar dari suasana yang serba menyenangkan, dan ketika irama kehidupannya melambat, menjadikan dirinya merasa bosan, terlalu banyak “travelling”, dan kunjungan ke anak cucunya, dirasakan melelahkan. Pada saat inilah dibutuhkan sejumlah minat yang harus dikembangkan untuk mengisi kehidupannya, bilamana tidak maka pengalaman di fase ini akan dirasakan semakin berat. Kondisi demikian akan dirasakan bertambah berat bilamana seseorang harus berpindah ke komunitas yang baru, pada saat seseorang harus menghabiskan masa pensiunnya.
d.      Tahap ke empat yang dimaksudkan yaitu untuk reorientasi. Diharapkan seseorang dapat menyusun gaya hidup dan irama kehidupannya yang dapat dilaksanakan untuk beberapa tahun ke depan. Lembaga yang dapat membantu untuk mencari dan mengembangkan kegiatan ialah organisasi sosial yang baranggotakan para lansia, paguyuban pensiunan, dan tentu saja lembaga-lembaga keagamaan. Lembaga ini dapat menawarkan bagaimana bentuk keterlibatan para pensiunan dilihat dari waktu, tingkat, dan kualaitas kegiatannya. Hal ini akan menyangkut eksplorasi kesempatan-kesempatan berkreasi yang baru, dan membuat keputusan yang realistik berdasarkan pada minat dan keahlian masing-masing orang.
Pada tahap stabil diharapkan seorang pensiunan telah mencapai suatu pola keputusan yang menghasilkan kegiatan yang cukup dapat diprediksi, dan memuaskan kehidupannya. Saat ini seseorang telah memegang peran sebagai pensiunan. Seseorang telah menguasai dan mampu menangani dan menyesuaikan diri dengan penurunan kemampuan fisik, yang sejalan dengan meningkatnya atau bertambahnya umur. Orang yang demikian telah dengan sukses menghayati peran yang tanpa peran, dan menerjemahkannya ke dalam kedudukan yang terhormat, bertanggung jawab, dan bermakna di lingkungan masyarakat.
Tetapi tentu saja seseorang dapat menghadap sang Khalik setiap saat di sepanjang fasefase di depan. Bilamana Tuhan masih mengaruniai umur panjang, maka seseorang dapat memasuki fase berakhir atau terminasi yang berarti pada suatu ketika ia harus rela meninggalkan semua yang fana di dunia ini, keluarga, anak, cucu, bahkan buyut, dan, sahabat-sahabat terdekatnya, serta semua harta yang menjadi miliknya. Tahapan masa pensiun telah selesai dan seseorang telah dengan sukses dan memuaskan menghayati semua fase pensiun sebagai bagian akhir dari perjalanan karir semasa hidupnya.
B.      PHK Pada Kondisi Tidak Normal
Perkembangan suatu organisasi ditentukan oleh lingkungan dimana organisasi beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa organisasi melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu organisasi mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di organisasi tersebut. Hal ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu:
(1)     Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya
kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak
terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan
harus meninggalkan pekerjaannya.
(2)     Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan
Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya: karyawan
melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat
psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja
milik pabrik.
(3)     Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti:
penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat
berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan
sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
(4)     Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pension menjadi 3 kategori, yaitu:
(1)      Layoff, keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang
benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan
karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
(2)      Outplacement, ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan
Perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional,
manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan
melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya
tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-
batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki
kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini
ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill in masih tersembunyi.
(3)      Discharge. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan
paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja
yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan
kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan. Karyawan
yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau
perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah
pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan
yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen
yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan
kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam
kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi organisasi, dan harus
mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.
C.      Peran Inside Stakeholder
Di dalam keberadaan organisasi terdapat dua kelompok kepentingan (stakeholder), yaitu kepentingan yang berasal lingkungan di mana organisasi menjalankan fungsinya, atau dari luar organisasi (outside stakeholder), seperti: supplier, konsumen, pemerintah, dan serikat pekerja, serta masyarakat pada umumnya. Sementara kepentingan yang lain berasal dari dalam organisasi (inside stakeholder) meliputi: para pemegang saham (shareholder), manajemen, dan tentu saja tenaga kerja. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, misalnya kericuhan di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, dan aksi demonstrasi menuntut tetap dipekerjakan atau tidak dikenai pemecatan di industri Texmaco Group, Jawa Tengah dapat dicermati bagaimana para inside stakeholder menjalankan kewajibannya, dan menerima penghasilan mereka. PT Dirgantara Indonesia adalah sebuah industri strategis yang menghasilkan pesawat terbang baik bertipe fixed wing maupun tipe rotary wing. Industri ini semula menjadi andalan sebagai pemasukan devisa bagi Indonesia, akan tetapi permasalahan serius mencuat sehingga semua tenaga kerja dikenai pemecatan oleh pihak direktur utama. Texmaco group adalah sebuah kelompok industri yang memproduksi beraneka ragam produk, dari bahan tekstil atau cita, sampai dengan memproduksi jenis truk dengan kemampuan besar. Kedua perusahaan tersebut mengalami kesulitan yang hampir sama.
Para inside stakeholder pada dasarnya mempunyai kewajiban dan hak masingmasing untuk menjamin eksistensi organisasi tetap lestari di lingkungannya. Para pemegang saham (shareholder) merupakan pemilik perusahaan, karena itu kewenangan mereka dinilai lebih superior dibanding dua inside stakeholder yang lain, yaitu manajer maupun tenaga kerja. Sumbangan para pemilik ialah memberikan uang yang diinvestasikan pada modal dan perlengkapan, peralatan, serta lokasi pabrik. Penghasilan mereka berupa dividen yang diterima setiap tahun, dan surat berharga berupa saham yang mengalami perubahan (peningkatan) harga di pasar modal. Saham ini sangat mengandung risiko tinggi, kerena tidak ada jaminan uang kembali, bilamana terjadi ketidakpastian di pasar modal. Manajer adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan organisasi menjadi lebih besar. Mereka bertanggung jawab membuat koordinasi segala sumber daya yang dimiliki organisasi dan meyakinkan bahwa tujuan organisasi telah dicapai dengan tingkat keberhasilan tinggi. Para manajer puncak (top managers) bertanggung jawab untuk menginvestasikan uang pemilik ke dalam berbagai sumber daya (alat, tenaga kerja, waktu) untuk memaksimalkan output barang dan jasa. Sementara para manajer adalah andalan pemilik saham untuk mengelola urusan perusahaan (organisasi).
Sumbangan para manajer ialah penerapan keahlian mereka untuk mengarahkan responsiveness organisasi terhadap tekanan yang berasal dari dalam maupun luar diri organisasi. Sebagai contoh: bagaimana para manajer menggunakan keahliannya untuk menghadapi atau meningkatkan pasar global yang terbuka, mengidentifikasi pasar produk-produk baru, atau mengatasi masalah-masalah transaction-cost dan penerapan teknologi baru, akan sangat mempermudah pencapaian tujuan organisasi. Apa sajakah yang diterima para manajer terkait dengan sumbangan yang telah mereka berikan kepada perusahaan. Terdapat berbagai kemudahan yang menjadi hak untuk diterima, antara lain: kompensasi dalam bentuk uang, misalnya: gaji yaitu uang yang mereka terima rutin setiap bulan; bonus ialah sejumlah uang yang diterima terkait dengan prestasi kerja mereka yang sangat memuaskan; dan kemungkinan pemilikan saham perusahaan; mereka juga memperoleh kepuasan psikologis ketika merasakan keberhasilan dalam pengelolaan organisasi, merasakan bagaimana menunjukkan kekuasaan yang melekat pada dirinya.
Tenaga kerja organisasi atau karyawan terdiri atas semua pekerja yang termasuk karyawan non-manajerial. Anggota kelompok tenaga kerja mempunyai tanggung jawabm dan tugas yang biasanya digariskan di dalam deskripsi jabatan. Deskripsi jabatan merupakan uraian jabatan yang menyatakan apa sajakah yang harus mereka kerjakan, bagaimana, dan kapan mengerjakannya, serta dengan siapa mereka harus melakukan hubungan-hubungan penting dalam bekerja, sebagai pelaksanaan tanggung jawab. Karyawan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepada mereka. Sumbangan karyawan kepada organisasi ialah penampilan kerja terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya. Seberapa tingkat kualitas performansinya sedikit banyak berada di bawah pengaruh diri karyawan sendiri.
Motivasi karyawan untuk berprestasi sangat berkaitan dengan sistem reward dan sistem punishment yang digunakan olehorganisasi untuk mempengaruhi prestasi kerja. Sejauh karyawan merasakan bahwa penghasilan yang diperoleh dari perusahaan masih menunjukkan perbandingan yang lebih tinggi penghasilan daripada sumbangan yang diberikan kepada perusahaan atau organisasi, maka karyawan akan berusaha agar mereka dapat bekerja dengan sungguhsungguh dan sepenuh hati. Akan tetapi sebaliknya, ketika seorang karyawan merasakan ketidak-adilan dengan peraturan yang ada, merasakan bahwa sumbangannya tidak diimbangi dengan penghasilan yang memuaskan, maka ia cenderung akan mengurangi dukungannya pada organisasi, atau bahkan akan meninggalkan perusahaan.
Bilamana peristiwa ini terjadi maka organisasi akan kehilangan salah satu stakeholder yang sangat menentukan keberhasilan perusahaan atau organisasi. Memperhatikan sumbangan dan penghasilan yang diperoleh para stakeholder khususnya inside stakeholder, maka dapat terlihat bahwa kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang digambarkan di atas dapatlah ditinjau bagaimana para stakeholder telah memainkan perannya masing-masing. Bila dari sisi sumbangan yang diperhatikan maka tampak bahwa para karyawan telah melaksanakan tugas kewajibannya dan menunjukkan tingkat performansi yang baik, dan mereka masih layak mendapatkan hak-hak yang merupakan penerimaan penghasilan mereka sebagai karyawan. Akan tetapi sudah demikiankah para manajer sebagai inside stakeholder yang memiliki tanggungjawab dan peran pengambil keputusan melaksanakan tugas-tugas mereka.
Robbin (1986) menyatakan bahwa tujuan utama pendirian suatu organisasi sangat terkait dengan input-transformation-output process, yaitu bagaimana suatu organisasi mengambil input dari lingkungannya, dilakukan proses transformasi di dalam organisasi, kemudian menghasilkan output yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, berupa barang ataupun dalam bentuk jasa. Tujuan utama organisasi untuk menjamin eksistensinya, antara lain ialah: adanya peningkatan perolehan keuntungan, peningkatan penjualan (sales), penetrasi pasar, dan bagaimana menciptakan pasar-pasar baru untuk produk yang dihasilkannya.
Tujuan ini tentu saja telah dipercayakan pencapaiannya oleh para shareholder kepada para manajer. Para manajer memiliki kewenangan untuk menggunakan segala sumber daya yang dimiliki oleh organisasi (perusahaan) untuk merealisir tujuan yang telah ditetapkan di atas. Mereka mempunyai wewenang untuk mengalokasikan sumber daya yang ada, mempunyai kewenangan untuk pengambilan keputusan yang setepat-tepatnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Bahkan para manajerlah yang mempunyai tanggungjawab untuk memastikan bahwa tindakan korektif perlu dilakukan, bilamana dijumpai penyimpangan perilaku para karyawan dari rencana semula, dalam rentang waktu pencapaian tujuan organisasi.
Kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki oleh para manajer untuk menjalankan roda kehidupan organisasi merupakan mandat yang diberikan oleh para shareholder. Para shareholder mempercayakan uang yang dimilikinya untuk digunakan oleh para manajer guna mencapai tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Pemberian wewenang ini tentu saja berdasarkan pada kemampuan pribadi, skill yang dimiliki, dan juga keahlian para manajer. Hanya dengan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar berkualitas, memiliki integritas pribadi yang tinggi, kekayaan finansial para shareholder akan berkembang menjadi jumlah yang berlipat ganda. Akan tetapi bilamana orang-orang yang menduduki jabatan manajerial ini adalah orang-orang yang mengabaikan kepercayaan para shareholder, maka organisasi tentu saja akan mengalami kesulitan. Dalam menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka, para inside stakeholder mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi juga.
Ketika budaya organisasi telah tumbuh dan menjiwai setiap pekerja, maka hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap inside stakeholder akan berjalan selaras. Semua pihak akan mendapatkan hak-hak yang telah ditetapkan. Jones (1994) menyatakan bahwa property right ialah hak-hak yang diberikan oleh organisasi kepada anggotanya untuk menerima dan menggunakan sumber daya di dalam organisasi. Property right menentukan hak dan tanggung jawab setiap kelompok inside stakeholder dan mempengaruhi berkembangnya norma, nilai-nilai, dan sikap terhadap organisasi. Dalam hal ini, dapat dicermati property right yang dimiliki oleh para manajer maupun para karyawan sebagai sumber daya manusia. Para top managers sering memperoleh property right yang besar karena mereka diberi alokasi sejumlah besar sumber daya organisasi, misalnya: gaji yang tinggi, hak untuk memiliki sejumlah besar saham, atau golden parachutes yang berarti mereka memiliki jaminan mendapatkan sejumlah besar uang bilamana mereka harus diberhentikan karena perusahaan diambil alih oleh pihak ketiga.
Hak yang dimiliki para top manager untuk menggunakan sumber daya organisasi merupakan pencerminan kekuasaan mereka untuk membuat keputusan dan mengendalikan sumber-sumber daya organisasi. Para manager biasanya memperoleh property right yang tinggi, sebab bilamana tidak, maka mereka kemungkinan tidak termotivasi untuk bekerja atas nama organisasi atau stakeholder yang lain. Sementara itu pihak tenaga kerja juga mendapatkan property right, yang bentuknya antara lain : suatu jaminan untuk dipekerjakan sepanjang hayat; keterlibatan di dalam program pemilikan saham oleh karyawan, atau program pembagian keuntungan bersama. Walau demikian pada kenyataannya sebagian besar pekerja atau tenaga kerja tidak memperoleh property right yang memuaskan. Kadang property right yang terwujud sangat sederhana bagi pekerja, yaitu: upah yang mereka terima, dan asuransi kesehatan, serta jaminan asuransi pensiun yang diterima. Pada dasarnya hak-hak karyawan untuk menggunakan sumber daya organisasi tercermin pada taraf seberapa pengendalian merekaatas tugas-tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka. Distribusi property right ini akan berpengaruh langsung pada nilai-nilai instrumental dalam pembentukan perilaku pekerja dan motivasi anggota organisasi. Distribusi property right pada setiap kelompok inside stakeholder akan menentukan efektifitas organisasi, dan budaya yang muncul di dalam organisasi.
Jadi dalam melihat kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak normal, dapat ditinjau dari dua kelompok inside stakeholder, yaitu pihak pekerja sebagai tenaga kerja, dan pihak manajemen. Pada dasarnya manajemen termasuk penentu kebijakan yang berlaku di dalam organisasi, sekaligus akan menumbuhkan dan mengembangkan model budaya organisasi yang bagaimana yang mereka kembangkan. Dari apa yang telah didiskusikan di depan, maka tampaklah bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena seseorang telah menuntaskan karyanya dalam mempertahankan eksistensi organisasi di lingkungannya, dan telah mencapai umur pensiun yang ditetapkan undang-undang. Orang ini akan meninggalkan perusahaan dengan suka cita dan penghargaaan dari organisasi tempatnya bekerja dulu. Sementara itu, yang kedua ialah: pemutusan hubungan kerja yang dapat disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional, atau bahkan internasional, yang berdampak negatif pada kehidupan organisasi, dan pada gilirannya mempengaruhi kestabilan perolehan pekerjaan karena sesuatu organisasi harus mengurangi tenaga kerjanya. Maka masyarakat kecillah yang menderita karena tidak dapat mempertahankan penghasilannya di perusahaan.
Untuk mengatasi permasalahan yang muncul dengan masa pensiun, maka organisasi atau perusahaan perlu mempersiapkan baik secara psikologis rohaniah, dan kesiapan finansial bagi para calon pensiunan. Orang yang pensiun harus sadar akan fase-fase dalam persiapan menjelang pensiun agar dapat menjalani tahapan dengan baik. Untuk itu diperlukan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja memasuki dan menjalani masa pensiun, mempersiapkan kondisi finansial mereka dengan asuransi dana pensiun. Pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh kondisi tidak normal masih harus diperhatikan, dimanakah penyebab utamanya berada. Bila pada pihak tenaga kerja, maka untuk meningkatkan performance yang dinilai menurun, perlu pelatihan untuk lebih memacu perilaku yang diharapkan, dan memompa motivasi kerja mereka. Bilamana yang kurang berperan optimal adalah pihak manajemen, maka perlu disadarkan bahwa para manajerlah yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan, sehingga kegiatan operasional organisasi dapat dipertahankan. Penelitian Hofstede, sebagaimana dikutip oleh Robbin (1994) menemukan bahwa budaya nasional berperan besar pada pembentukan perilaku dan sikap tenaga kerja terkait dengan pelaksanan pekerjaan.
Kekhawatiran yang muncul ialah negara Indonesia terkenal sebagai negarayang tingkat korupsinya sangat meluas di kalangan lapisan masyarakat. Bila hal ini merupakan sesuatu unsur di dalam budaya nasional, maka tentu saja akan mewarnai bagaimana perilaku para manajer dalam mengelola perusahaan atau organisasi yang dipercayakan kepada mereka, sehingga dengan pengelolaan yang kurang benar, karyawan juga yang nanti menderita sebagai akibat ditutupnya tempat kerja mereka.


BAB  III
PENUTUP

KESIMPULAN
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar.
Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).


DAFTAR PUSTAKA

1.      Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGraw-Hill
International Book Company.
2.      Jones, G. R. 1994. Organizational Theory: Text and Cases. New York:
Addison-Wesley Publishing Company.
3.      Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri
4.      www.google.com. Menjelang Pensiun. Makalah : Pembekalan Purna Tugas
PNS Kabupaten Purworejo.
5.      http://dhefaly.wordpress.com/2008/01/27/makalah-msdm
6.      Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
7.      Robbins, 1984. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and
Application. New York: Prentice-Hall Company International

Previous
« Prev Post

Related Posts

Jumat, Mei 04, 2012

0 comments:

Posting Komentar