Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.
Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase.
Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan :
1. Apakah Pengadilan berwenang memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya?
2. Sejauh mana keterkaitan antara pengadilan dengan lembaga arbitrase
Definisi Arbitrase
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetapdiperbolehkan.
Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
• kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
• keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
• para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
• para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya
• para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
• putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya
Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.
Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus berikut :
Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.
Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer.
Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676,
Arrest “Artis de Laboureur”
(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkara ini.
Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding.
Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan :
Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.
Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.
Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik.
Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif.
Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai.
Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.
Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.
Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :
1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau
3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.
Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist de Labourer.
Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
Kesimpulan
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
Sumber : Fakultas Hukum Universitas Indonesia
0 comments:
Posting Komentar