Abū
Abdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي)
yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (Gaza,
Palestina, 150 H / 767
- Fusthat, Mesir 204H / 819M)
adalah seorang mufti besar Sunni
Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam
Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim,
yang merupakan kakek Muhammad.
Saat
usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat
itu, Imam Malik. Dua
tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada
murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam
Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim
dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Kelahiran
Kebanyakan
ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza,
Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat
pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan;
sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli
sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini
wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Nasab
Imam
Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin
Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid
bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf
bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari
nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian
juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin
Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada
Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie
Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan
karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“
|
Hanyalah
kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari
satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan
beliau.
|
”
|
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65
- 66
|
Masa belajar
Setelah
ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim.
Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari
seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di
Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az
Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan
sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di
Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai
mufti Makkah.
Kemudian
beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari
Sufyan bin Uyainah.
Guru
yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun
semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di
berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian
beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya,
Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di
majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat
Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan
dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah.
Beliau
menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal
berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya
akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut
kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka
Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab
Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih
bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari
berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling
beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di
samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’
yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf
bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di
majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan
terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan
berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal
dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau
tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai
periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam
Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah
sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin
Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman,
beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini
beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di
negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian
pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin
Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir
Imam
Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad
tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya,
ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis
madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan
menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul
ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah
satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak
dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah
orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang
pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’
Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul,
hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki
sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud,
wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi.
Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i
Dasar
madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil
Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak
maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah
(pembela sunnah),”
Al-Hujjah
Kitab
“Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara
kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam
Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan
dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku
di belakang tembok,”
Referensi
- ^ The Origins of Islamic Law: The Qurʼan, the Muwaṭṭaʼ and Madinan ʻAmal, by Yasin Dutton, pg. 16
0 comments:
Posting Komentar