-->

MAKALAH - HADIST TENTANG PRODUKSI

Posted by Sarjana Ekonomi on Sabtu, 02 Juni 2018



Makalah Hadist tentang Produksi 

BAB 
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Selain sebagai sumber, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut, maka kajian tentang hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber dalam Islam. Banyak hadis yang menjelaskan Al-Qur’an yang dikenal dengan hadis tafsir dan dari hal itu banyak ulama tafsir menulis tafsirnya dengan menggunakan hadis sebagai sumber tafsir di antaranya dilakukan oleh al-Suyuti dalam karyanya al-Durar al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’sur.[1]

Antara Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran Islam terdapat perbedaan. Salah satu perbedaan yang cuup mendasar adalah terletak pada periwayatannya. Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir sedangkan tidak semua hadis diriwayatkan secara mutawatir.[2] Kecuali terhadap hadis mutawatir, terhadap hadis ahad kritik tidak saja ditujukan kepada sanad tetapi juga terhadap matan. Oleh sebab itu, penelitian hadis diperlukan.[3]
Dalam hadis Nabi berikut menganjurkan agar manusia dalam berproduksi selalu mengembangkan sumber daya alam secara efisien, bahkan seandainya tidak mampu mengembangkannya maka dianjurkan bekerja sama dengan yang lain. Ibnu Majah mengatakan, Nabi bersabda “Barang siapa yang mempunyai tanah maka tanamilah, jika tidak mampu maka supaya ditanami oleh saudaranya” 
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Produksi dapat meningkatkan kesejahteraan manusia dimuka bumi. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dengan uang, sedangkan dalam Islam kesejahteraan ekonomi terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dan keikutsertaan sejumlah orang dalam proses produksi.[4]


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Produksi
Produksi dalam bahasa arab adalah al-intaaj dari akar kata nataja, tetapi dalam istilah fiqih lebih dikenal dengan kata tahsil, yaitu mengandung arti penghasilan atau menghasilkan sesuatu. Begitupun dengan Ibnu Khaldun,menggunakan kata tahsil untuk produksi ketika ia membahas pembagian spesialisasi tenaga kerja.[5] Dalam kamus Bahasa Indonesia produksi berarti hasil atau penghasilan.[6]
Salah satu defenisi tentang produksi adalah aktivitas menciptakan manfaat dimasa kini dan mendatang.Disamping pengertian di atas,pengertian produksi juga merujuk kepada prosesnya yang mentransformasikan input menjadi output. Segala jenis input yang masuk dalam proses produksi untuk menghasilkan output produksi disebut faktor produksi.
Pemahaman produksi dalam Islam memiliki arti sebagai bentuk usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber produksi yang diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Qur’an surah Al-Maidah ayat 87. Islam menghargai seseorang yang mengolah bahan baku kemudian menyedekahkannya atau menjualnya sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk meningkatkan ekonomi untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Pekerjaan seseorang yang sesuai keterampilan yang dimiliki, dikategorikan sebagai produksi, begitupun kesibukan untuk mengolah sumber penghasilan juga dapat dikatakan produksi.[7]
Produksi tidak hanya menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada menjadi ada,tetapi menjadikan sesuatu dari unsur-unsur lama yaitu alam menjadi bermanfaat. Dari binatang ternak misalnya, orang dapat mengambil kulitnya untuk dijadikan pakaian dan barang jadi lainnya, dari susu binatang ternak dapat diperas dijadikan minuman susu segar ataupun susu bubuk untuk bayi. Manusia harus mengoptimalkan pikiran dan keahliannya untuk mengembangkan sumber-sumber investasi dan jenis-jenis usaha dala menjalankan apa yang telah disyari’atkan.



B.  Redaksi Hadis Dalam Kutub Al-Sittah
Hadis yang akan diteliti adalah berdasarkan kitab Sunan Ibnu Majah Nomor 2452. Setelah diadakan penelusuran dalam kitab tersebut maka didapatkan informasi bahwa hadis tersebut terletak pada Kitab Ruhn dalam Bab al-muzara’ah bi al-tsulutsi wa al-rub’i. Kegiatan selanjutnya adalah pentakhrijan hadis. Upaya tersebut didukung dengan kitab al-Mu’jam.[8] Dan didapatkan hasil bahwa yang menyamai redaksi dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah tersebut adalah Shahih Bukhari dan Sahih Muslim. Adapun haditsnya sebagai berikut:
1. Shahih Bukhari Kitab Al-Muzara’ah Bab Man Kaa Na Min Ash-Habi Al-Nabiyyi SAW No. 2340.[9]
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانُوا يَزْرَعُونَهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ وَقَالَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ['Ubaidullah bin Musa] telah mengabarkan kepada kami [Al Awza'iy] dari ['Atha'] dari [Jabir radliallahu 'anhu] berkata: "Dahulu orang-orang mempraktekkan pemanfaatan tanah ladang dengan upah sepertiga, seperempat atau setengah maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memiliki tanah ladang hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia hibahkan. Jika dia tidak lakukan maka hendaklah dia biarkan tanahnya". Dan berkata, [Ar-Rabi' bin Nafi' Abu Taubah] telah menceritakan kepada kami [Mu'awiyah] dari [Yahya] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memiliki tanah ladang hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia berikan kepada saudaranya (untuk digarap). Jika dia tidak lakukan maka hendaklah dia biarkan tanahnya".
2. Shahih Bukhari Bab Hibah Wa Fadhliha Wa Al-Takhridh Alaiha Bab Fadhli Al-Manihah No. 2632.[10]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي عَطَاءٌ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُولُ أَرَضِينَ فَقَالُوا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ الْهِجْرَةِ فَقَالَ وَيْحَكَ إِنَّ الْهِجْرَةَ شَأْنُهَا شَدِيدٌ فَهَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَتُعْطِي صَدَقَتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَهَلْ تَمْنَحُ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَتَحْلُبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاعْمَلْ مِنْ وَرَاءِ الْبِحَارِ فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ يَتِرَكَ مِنْ عَمَلِكَ شَيْئًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf] telah menceritakan kepada kami [Al Awza'iy] berkata, telah menceritakan kepadaku ['Atho'] dari [Jabir radliallahu 'anhu] berkata; Ada orang-orang dari kami yang memiliki banyak lahan tanah. Mereka berkata: "Kami akan sewakan dengan pembagian sepertiga, seperempat dan atau setengah". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memiliki lahan hendaklah dia tanami atau dia berikan kepada saudaranya untuk digarap. Jika dia tidak mau, hendaklah dia biarkan tanahnya". Dan Mujahid bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami Al Awza'iy telah menceritakan kepadaku Az Zuhriy telah menceritakan kapadaku 'Atho' bin Yazid telah menceritakan kapadaku Abu Sa'id berkata: "Datang seorang Baduy kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya tentang hijrah. Maka Beliau menjawab: "Bagaimana kamu ini, sesungguhnya hijrah adalah perkara yang berat. Apakah kamu ada memiliki unta?" Dia menjawab: "Ya punya". Lalu Beliau bertanya: "Apakah kamu mengeluarkan zakatnya?" Dia menjawab: "Ya". Beliau bertanya lagi: "Apakah ada darinya yang kamu berikan (hadiahkan)?" Dia menjawab: "Ya". Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memberinya susu saat kehausan?" Dia menjawab: "Ya". Maka Beliau bersabda: "Beramallah kamu dari seberang lautan karena Allah tidak akan mengurangi sedikitpun dari amalan kamu".

3.  Shahih Muslim Kitab Al-Buyu’ Bab Kira’a Al-Ardhi No. 1544.[11]
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Husain bin Ali Al-Hulwani] telah menceritakan kepada kami [Abu Taubah] telah menceritakan kepada kami [Mu'awiyah] dari [Yahya bin Abi Katsair] dari [Abu Salamah bin Abdurrahman] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa memiliki sebidang tanah, hendaklah ia menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya (supaya menanami-nya), Namun jika ia tidak mau, hendaklah ia menjaganya".

4. Sunan Ibn Majah Kitab Al-Ruhn Bab Al-Muzara’ah Bi Al-Tsulutsi Wa Al-Rub’i No. 2452.[12]
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Artinya:  Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Sa'id Al Jauhari] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Taubah Ar Rabi' bin Nafi'] berkata, telah menceritakan kepada kami [Mu'awiyah bin Salam] dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa memiliki sebidang tanah hendaklah ia menanaminya atau ia berikan pengolahannya kepada saudaranya, namun jika menolak hendaklah ia tahan tanahnya."

C.  Penjelasan Istilah Kunci
لِيَمْنَحْهَا  (hendaklah dia memberikan secara gratis). Maksudnya, diberikan untuk diambil manfaatnya secara gratis. Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Mathar al-Warraq dari Atha’, dari Jabir dengan lafadz أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ كِرَاء الْأَرْض (Sesungguhnya Nabi SAW melarang menyewakan tanah). Pada jalur dari Mathar disebutkan, مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْض فَلْيَزْرَعْهَا فَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسْلِم وَلَا يُؤَاجِرهَا  (Barang siapa memiliki lahan, maka hendaklah menanaminya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah memberikannya kepada saudaranya sesama muslim, dan janganlah dia menyewakannya). riwayat al-Auza’i yang disebutkan Imam Bukhari menjelaskan maksud larangan ini, karena dalam riwayat itu disebutkan sebab larangan tersebut.
فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ  (apabila tidak melakukannya, maka hendaklah dia menahan tanahnya). Yakni, jika tidak mau mengelolanya dan tidak mau memberikan kepada orang lain untuk dikelola secara gratis, maka hendaklah menahan dan tidak menyewakannya.
Dalam hal ini timbul kemusykilan bahwa menahan tanah tanpa dikelola berarti menyia-nyiakan manfaat tanah itu. Dalam hal ini termasuk menyia-nyiakn harta, sedangkan sikap seperti ini dilarang.
Kemusykilan ini dijawab dengan memahami bahwa yang dilarang adalah menyia-nyiakan harta itu sendiri atau manfaat yang ada gantinya. Sebab, jika tanah itu ditinggalkan tanpa dikelola, maka manfaatnya tidak terputus. Bahkan, akan tumbuh rerumputan dan kayu-kayu sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan dan lain sebagainya.
Meskipun apa yang kami sebutkan tidak ada, tetapi membiarkan lahan tidak digarap tetap dapat menyuburkan lahan tersebut. Mungkin saja hasil yang diperoleh pada tahun ini dapat menutupi hasil ketika tanah itu dibiarkan tanpa digarap.[13]



D.  Tahqiq Hadits
Adapun kualitas hadis ini adalah shahih lighairih, hadis shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal[14]. Hal berdasarkan hasil jarh wa ta’dhil dalam software mausu’ah hadis, yaitu:
Hadits Pertama yang terdapat di dalam Shahih Bukhari Kitab Al-Muzara’ah Bab Man Kaa Na Min Ash-Habi Al-Nabiyyi SAW No. 2340.
ثقة كان يتشيع
عبيد الله بن موسى
ثقة
الأوزاعي
ثقة كثيرالإرسال
عطاء
من الصحابة
جابر
ثقة حجة
الربيع بن نافع أبو توبة
ثقة
معاوية
ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل
يحيى
ثقة
ابى سلمة
من الصحابة
ابو هريرة

Hadits Kedua yang terdapat di dalam Shahih Bukhari Bab Hibah Wa Fadhliha Wa Al-Takhridh Alaiha Bab Fadhli Al-Manihah No. 2632
ثقة
محمد بن يوسف
ثقة مأمون
الأوزاعي
ثقة كثيرالإرسال
عطاء
من الصحابة
جابر
ثقة حافظ
أبو سعيد
ثقة
ابى سلمة

Hadits Ketiga yang terdapat di dalam Shahih Muslim Kitab Al-Buyu’ Bab Kira’a Al-Ardhi No. 1544.
ثقة كان يتشيع
حسن بن علي
ثقة حجة
أبو توبة
ثقة
معاوية بن سلام
ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل
يحيى بن أبي كثير
ثقة
ابى سلمة
من الصحابة
أبو هريرة

Hadits Keempat yang terdapat di dalam Sunan Ibn Majah Kitab Al-Ruhn Bab Al-Muzara’ah Bi Al-Tsulutsi Wa Al-Rub’i No. 2452.
ثقة حافظ
إبراهيم بن سعيد
ثقة حجة
أبو توبة
ثقة
معاوية بن سلام
ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل
يحيى بن أبي كثير
ثقة
ابى سلمة
من الصحابة
أبو هريرة

E.  Kontekstualisasi Hadist
Penggunaan tanah untuk pertanian telah dimulai sejak cara yang paling sederhana sampai dengan abad teknologi sekarang ini dengan mempergunakan mekanisasi pertanian yang modern. Hal ini didukung pula oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah memungkinkan tanah memberikan hasil yang berlipat ganda, yaitu meningkatkan produksi panen dari tahun ke tahun. Hal ini bisa dicapai karena pengolahan tanah yang efektif dan efisien, seperti penggunaan pupuk, irigasi, mekanisasi alat-alat pertanian, penggunaan bibit unggul disertai obat-obat pebasmi hama, dan lain-lain.[15]
Di Indonesia sendiri di dalam pengolahan lahannya untuk memproduksi terutama gula sangat minim. Produksi gula di Indonesia hanya 1,68% sedangkan gula yang dikonsumsi sebesar 2,79% dari total konsumsi gula dunia Swasembada gula dapat dicapai antara lain dengan ekstensifikasi lahan tebu dan pengkajian potensi lahan di Indonesia untuk penanaman dan produksi tebu. Total area tebu di Indonesia saat ini sekitar 430.000 ha, masih kurang 420.000 ha untuk swasembada gula. Kekurangan ini secara teknis dapat diatasi karena potensi lahan dan karakteristik tanah yang cocok untuk ditanami tebu tersedia. Daerah yang sesuai berdasarkan kesesuaian lahan mencapai 33,80 juta ha, yang terdiri dari lahan sangat sesuai 12,70 juta ha, moderta cocok dengan 6,30 juta ha, dan marjinal sesuai sekitar 14,80 juta ha. Penyebaran areal yang cocok untuk tebu adalah terluas di Kalimantan, Papua, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, dan Lampung.[16]
Begitu juga dengan hutan produksi yang dimiliki oleh Indonesia, seharusnya bisa di berdayakan secara maksimal sehingga membantu perekonomian Indonesia sendiri. Berdasarkan data yang ada luas hutan produksi di Indonesia adalah 57,7 juta ha dan yang dikelola oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 37,58 juta ha serta sisanya seluas 20,12 juta  ha tidak terdapat pengelolanya. Hal ini menunjukan bahwa hanya 65,13 % dari luas hutan produksi yang dikelola sedangkan sisanya atau 34,87 % dari luas hutan produksi tidak dikelola (Pusat Wilayah Pembentukan Kawasan Hutan, 2006). Pada kawasan yang tidak terdapat pengelolanya maka pemerintah dan pemerintah daerah harus mengambil peran dalam pembangunan hutan tersebut, hal ini telah diamanahkan pada UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kabupaten Gowa adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Sulawesi Selatan, memiliki luas wilayah 1.883,33 kilometer persegi atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Gowa adalah dataran tinggi yaitu sekitar 72,26 persen. Dari total luas kabuaten Gowa, 35,30 persen adalah daerah yang memiliki kemiringan lereng  di atas 40 persen. Luas penggunaan lahan kering di Kabupaten Gowa mencapai 153.965 ha dan diantaranya terdapat 43,04 persen adalah hutan (Kabupaten Gowa dalam Angka, 2006). Besarnya  persentase luas kawasan hutan dilahan kering kabupaten Gowa dapat diperkirakan akan mempunyai peranan yang cukup besar baik dari aspek ekologi, sosial maupun ekonomi. Untuk mengetahui seberapa besar peranan sumber dayahutan ini terhadap perekonomian dan kelestarian hutan itu sendiri, maka perlu dikaji peranan ini pada berbagai sektor ekonomi.[17]
Pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam mengembang-kan dan pelestarian segala hasil cipta dan pekerjaan manusia itu. Juga terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia mencipta dan bekerja. Selain itu, manusia senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram lalu ia menjaga terpeliharanya tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya dan di pergaulan ramai di masyarakatnya. Hal yang demikian inilah yang diisyaratkan dalan ajaran Sunnah yang menegaskan bahwa kalian (manusia) adalah pemeliharaan (ra’in). Dan pemeliharaan itu haruslah memikul tanggungjawab (mas’ul).[18]
Dalam rangka menggali manfaat dari lingkungan, tidak boleh diabaikan pula upaya untuk melestarikan lingkungan itu sendiri, artinya, hendaklah dijaga keseimbangan ekologi dan dihindari pencemaran serta diupayakan agar kekayaan alam itu dipergunakan sehemat mungkin. Bumi ini dikatakan bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan pinjaman dari anak cucu kita. Selaku peminjam kita harus pandai dan adil, tidak ceroboh, supaya barang pinjaman itu dapat kita kembalikan sebagaimana aslinya, atau mungkin lebih baik lagi.[19]
Tujuan produksi adalah menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan individu dan kesejahteraan kolektif (sosial). Setiap muslim harus bekerja secara maksimal dan optimal, sehingga tidak hanya dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus dapat mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya. Hasil yang dimakan oleh dirinya sendiri dan keluarganya oleh Allah dihitung sebagai sedekah, sekalipun itu sebagai kewajiban. Ini menunjukan betapa mulianya harga sebuah produksi apalagi jika sampai mempekerjakan karyawan yang banyak sehingga mereka dapat menghidupi keluarganya.
Menurut Chapra tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan menjamin setiap orang mempunyai standard hidup manusiawi, terhormat dan sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat menimbulkan masalah mendasar bagi manusia. Oleh sebab itu, setiap muslim juga harus berusaha meningkatkan pendapatan agar menjadi mustahiq yang dapat membantu kaum lemah melalui pembayaran zakat, infaq, sedeqah dan wakaf.[20][20] Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surah al-Qashash mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat.[21]
Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam produksi yang surplus dan berkembang baik secara kwantitatif maupun kwalitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah arti produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.[22]
Dari ungkapan Nabi SAW dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah s.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti diungkapkan dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah – 29).
Dengan membiarkan tanah yang kosong mempunyai kemanfaatan lain, yaitu dengan menjaga ekosistem tanah tersebut, salah satunya menjaga unsur hara yang terkandung di dalamnya, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga dan dapat digunakan untuk hal pertanian pada periode berikutnya.
Al-Qur’an  dan Hadits Rasulullah SAW memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut[23]:
1.           Tugas manusia dimuka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya.
2.           Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhanan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Qur’an dan Hadits.
3.           Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda: “Kalian lebih mngetahui urusan dunia kalian”
4.           Dalam berinovasi dan bereksperimen,pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat.




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan produksi  melibatkan banyak faktor produksi. Beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain : Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks. Maka Hadits Jabir bin Abdullah RA ini merupakan larangan menelantarkan lahan, karena hal ini termasuk perbuatan yang tidak bermanfaat. Dalam menelantarkan lahan, Rasulullah SAW menyarankan untuk memanfaatkan dan mengupah orang lain untuk mengelolahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Husain, Ekonomi Islam,Prinsip,Dasar,Tujuan, Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2004.

A.J. Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis, juz V Leiden: E.J. Brill, 1936.
‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah Bandung: Mizan, 1994.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Bukhari) Jilid 13, terj. Amiruddin Jakarta: Pustaka Azzam.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: al-Maktabah,1930.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz II Kairo: Mustafa al-Bab al-Hubla wa Auladuh, t.th
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 1998.
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Durr al-Mansur fi Tafsir al-Ma’sur Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M./1411 H.

Imam Muslim, Shahih Muslim, Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 1998.
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, Jombang: Lintas Media,1999.

Khaelany HD, Islam, Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Memet Hakim, Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Tanaman Tebu di Indonesia, Jurnal Agrikultura 2010 Vol. I.

Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2007.

Samsul Alam dan Hajawa, Peranan Sumber Daya Hutan Dalam Perekonomian dan Dampak Pemungutan Rente Hutan Terhadap Kelestarian Hutan Di Kabupaten Gowa, Jurnal Perennila, Vol. 3.

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya Cet. I; Jakarta Gema Insani Press, 1995.

______________, Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
______________, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telah Kritis dan tinjauan dengan pendekatan Ilmu Sejarah Cet, II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri Jakarta: Gema Insani Press, Tazkiah Institute, 2000.




[1] Imam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Durr al-Mansur fi Tafsir al-Ma’sur (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M./1411 H.).
2 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya (Cet. I; Jakarta Gema Insani Press, 1995), hal. 92-108.
[3]Adanya penelitian hadis dilatarbelakangi oleh hadis adalah merupakan salah satu sumber ajaran Islam, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Rasulullah saw., jumlah kitab hadis banyak dan beragam metode penyusunanya dan terjadi periwayatan secara makna. Lihat Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 7-21. lihat juga Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telah Kritis dan tinjauan dengan pendekatan Ilmu Sejarah (Cet, II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 85-118.
[4] Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 38.

[5] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Kairo: al-Maktabah,1930), hal. 35.
[6] Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas Media,1999), hal. 239.
[7] Abdul Husain, Ekonomi Islam,Prinsip,Dasar,Tujuan, (Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2004), hal. 161.
[8] A.J. Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z al-H}adi>s, juz V (Leiden: E.J. Brill, 1936), h. 500.
[9] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 1998), hal. 440.
[10] Ibid., hal. 497.
[11] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 1998), hal. 629.
[12] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz II (Kairo: Mustafa al-Bab al-Hubla wa Auladuh, t.th.), hal. 720.

[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Bukhari) Jilid 13, terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 272-273.
[14] M. ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hal. 277.

[15] Khaelany HD, Islam, Kependudukan dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 90.
[16] Memet Hakim, Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Tanaman Tebu di Indonesia, Jurnal Agrikultura 2010 Vol. I, hal. 5-12.
[17] Samsul Alam dan Hajawa, Peranan Sumber Daya Hutan Dalam Perekonomian dan Dampak Pemungutan Rente Hutan Terhadap Kelestarian Hutan Di Kabupaten Gowa, Jurnal Perennila, Vol. 3, hal. 60.
[18] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1994) hal. 139-140.
[19] Khaelany HD, Islam, Kependudukan dan Lingkungan Hidup...., hal. 96.
[20] M.Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, Tazkiah Institute, 2000), hal.12.
[21] Mustafa Edwin Nasution,dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2007), hal.104.
[22] Ibid, hal.107.

[23] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Media Group,2007), hal. 104.
Previous
« Prev Post

Related Posts

Sabtu, Juni 02, 2018

0 comments:

Posting Komentar