Latar Belakang
Hadis
adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Selain sebagai sumber,
hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an. Berdasarkan hal
tersebut, maka kajian tentang hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam
studi ilmu-ilmu sumber dalam Islam. Banyak hadis yang menjelaskan Al-Qur’an
yang dikenal dengan hadis tafsir dan dari hal itu banyak ulama tafsir menulis
tafsirnya dengan menggunakan hadis sebagai sumber tafsir di antaranya dilakukan
oleh al-Suyuti dalam karyanya al-Durar al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’sur.[1]
Antara Al-Qur’an
dan hadis sebagai sumber ajaran Islam terdapat perbedaan. Salah satu perbedaan yang cuup mendasar
adalah terletak pada periwayatannya. Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir
sedangkan tidak semua hadis diriwayatkan secara mutawatir.[2]
Kecuali terhadap hadis mutawatir, terhadap hadis ahad kritik
tidak saja ditujukan kepada sanad tetapi juga terhadap matan.
Oleh sebab itu, penelitian hadis diperlukan.[3]
Dalam hadis Nabi berikut
menganjurkan agar manusia dalam berproduksi selalu mengembangkan sumber daya
alam secara efisien, bahkan seandainya tidak mampu mengembangkannya maka
dianjurkan bekerja sama dengan yang lain. Ibnu Majah mengatakan, Nabi
bersabda “Barang siapa yang mempunyai tanah maka tanamilah, jika tidak mampu
maka supaya ditanami oleh saudaranya”
مَنْ
كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى
فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Produksi dapat meningkatkan kesejahteraan manusia dimuka bumi. Dalam ilmu
ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dengan uang, sedangkan dalam Islam
kesejahteraan ekonomi terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan
oleh meningkatnya produksi dan keikutsertaan sejumlah orang dalam proses
produksi.[4]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Produksi
Produksi
dalam bahasa arab adalah al-intaaj dari akar kata nataja, tetapi
dalam istilah fiqih lebih dikenal dengan kata tahsil, yaitu mengandung
arti penghasilan atau menghasilkan sesuatu. Begitupun dengan Ibnu
Khaldun,menggunakan kata tahsil untuk produksi ketika ia membahas
pembagian spesialisasi tenaga kerja.[5] Dalam kamus Bahasa Indonesia
produksi berarti hasil atau penghasilan.[6]
Salah satu
defenisi tentang produksi adalah aktivitas menciptakan manfaat dimasa kini dan
mendatang.Disamping pengertian di atas,pengertian produksi juga merujuk kepada prosesnya
yang mentransformasikan input menjadi output. Segala jenis input yang masuk
dalam proses produksi untuk menghasilkan output produksi disebut faktor
produksi.
Pemahaman
produksi dalam Islam memiliki arti sebagai bentuk usaha keras dalam pengembangan
faktor-faktor sumber produksi yang diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Qur’an surah Al-Maidah ayat 87. Islam menghargai seseorang yang
mengolah bahan baku kemudian menyedekahkannya atau menjualnya sehingga manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk meningkatkan ekonomi untuk
mencukupi kebutuhannya sendiri. Pekerjaan seseorang yang sesuai keterampilan
yang dimiliki, dikategorikan sebagai produksi, begitupun kesibukan untuk
mengolah sumber penghasilan juga dapat dikatakan produksi.[7]
Produksi
tidak hanya menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada menjadi ada,tetapi
menjadikan sesuatu dari unsur-unsur lama yaitu alam menjadi bermanfaat. Dari
binatang ternak misalnya, orang dapat mengambil kulitnya untuk dijadikan pakaian
dan barang jadi lainnya, dari susu binatang ternak dapat diperas dijadikan
minuman susu segar ataupun susu bubuk untuk bayi. Manusia harus mengoptimalkan
pikiran dan keahliannya untuk mengembangkan sumber-sumber investasi dan
jenis-jenis usaha dala menjalankan apa yang telah disyari’atkan.
B. Redaksi Hadis Dalam Kutub
Al-Sittah
Hadis
yang akan diteliti adalah berdasarkan kitab Sunan Ibnu Majah Nomor 2452. Setelah diadakan
penelusuran dalam kitab tersebut maka didapatkan informasi bahwa hadis tersebut
terletak pada Kitab Ruhn dalam Bab al-muzara’ah bi
al-tsulutsi wa al-rub’i.
Kegiatan selanjutnya adalah
pentakhrijan hadis. Upaya tersebut didukung dengan kitab al-Mu’jam.[8] Dan
didapatkan hasil bahwa yang menyamai redaksi dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Ibn Majah tersebut adalah Shahih Bukhari dan Sahih Muslim. Adapun haditsnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ
جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانُوا يَزْرَعُونَهَا بِالثُّلُثِ
وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا فَإِنْ لَمْ
يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ وَقَالَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ أَبُو تَوْبَةَ
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ
فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami ['Ubaidullah bin Musa] telah mengabarkan kepada kami [Al Awza'iy]
dari ['Atha'] dari [Jabir radliallahu 'anhu] berkata: "Dahulu orang-orang
mempraktekkan pemanfaatan tanah ladang dengan upah sepertiga, seperempat atau setengah
maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memiliki
tanah ladang hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia hibahkan. Jika
dia tidak lakukan maka hendaklah dia biarkan tanahnya". Dan berkata,
[Ar-Rabi' bin Nafi' Abu Taubah] telah menceritakan kepada kami [Mu'awiyah] dari
[Yahya] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memiliki
tanah ladang hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau dia berikan kepada
saudaranya (untuk digarap). Jika dia tidak lakukan maka hendaklah dia biarkan
tanahnya".
2. Shahih
Bukhari Bab Hibah Wa Fadhliha Wa Al-Takhridh Alaiha Bab Fadhli Al-Manihah No.
2632.[10]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي عَطَاءٌ عَنْ
جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُولُ أَرَضِينَ
فَقَالُوا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ
لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
يُوسُفَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنِي عَطَاءُ
بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ الْهِجْرَةِ فَقَالَ وَيْحَكَ
إِنَّ الْهِجْرَةَ شَأْنُهَا شَدِيدٌ فَهَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَتُعْطِي صَدَقَتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَهَلْ تَمْنَحُ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ
نَعَمْ قَالَ فَتَحْلُبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاعْمَلْ مِنْ
وَرَاءِ الْبِحَارِ فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ يَتِرَكَ مِنْ عَمَلِكَ شَيْئًا
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami [Muhammad bin Yusuf] telah menceritakan kepada kami [Al Awza'iy]
berkata, telah menceritakan kepadaku ['Atho'] dari [Jabir radliallahu 'anhu]
berkata; Ada orang-orang dari kami yang memiliki banyak lahan tanah. Mereka
berkata: "Kami akan sewakan dengan pembagian sepertiga, seperempat dan
atau setengah". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Siapa yang memiliki lahan hendaklah dia tanami atau dia berikan kepada
saudaranya untuk digarap. Jika dia tidak mau, hendaklah dia biarkan
tanahnya". Dan Mujahid bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami
Al Awza'iy telah menceritakan kepadaku Az Zuhriy telah menceritakan kapadaku
'Atho' bin Yazid telah menceritakan kapadaku Abu Sa'id berkata: "Datang
seorang Baduy kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya tentang
hijrah. Maka Beliau menjawab: "Bagaimana kamu ini, sesungguhnya hijrah
adalah perkara yang berat. Apakah kamu ada memiliki unta?" Dia menjawab:
"Ya punya". Lalu Beliau bertanya: "Apakah kamu mengeluarkan
zakatnya?" Dia menjawab: "Ya". Beliau bertanya lagi:
"Apakah ada darinya yang kamu berikan (hadiahkan)?" Dia menjawab:
"Ya". Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memberinya susu saat
kehausan?" Dia menjawab: "Ya". Maka Beliau bersabda:
"Beramallah kamu dari seberang lautan karena Allah tidak akan mengurangi
sedikitpun dari amalan kamu".
3. Shahih Muslim Kitab
Al-Buyu’ Bab Kira’a Al-Ardhi No. 1544.[11]
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا
أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ
فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami [Husain bin Ali Al-Hulwani] telah menceritakan kepada kami [Abu
Taubah] telah menceritakan kepada kami [Mu'awiyah] dari [Yahya bin Abi Katsair]
dari [Abu Salamah bin Abdurrahman] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah
Shallallu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa memiliki sebidang
tanah, hendaklah ia menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya (supaya
menanami-nya), Namun jika ia tidak mau, hendaklah ia menjaganya".
4. Sunan
Ibn Majah Kitab Al-Ruhn Bab Al-Muzara’ah Bi Al-Tsulutsi Wa Al-Rub’i No.
2452.[12]
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ
بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي
كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ
لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim
bin Sa'id Al Jauhari] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Taubah Ar
Rabi' bin Nafi'] berkata, telah menceritakan kepada kami [Mu'awiyah bin Salam]
dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah] ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
memiliki sebidang tanah hendaklah ia menanaminya atau ia berikan pengolahannya
kepada saudaranya, namun jika menolak hendaklah ia tahan tanahnya."
C. Penjelasan Istilah Kunci
لِيَمْنَحْهَا (hendaklah dia memberikan secara
gratis). Maksudnya, diberikan untuk diambil manfaatnya secara gratis. Imam
Muslim meriwayatkan melalui jalur Mathar al-Warraq dari Atha’, dari Jabir
dengan lafadz أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ كِرَاء الْأَرْض (Sesungguhnya Nabi SAW melarang menyewakan tanah). Pada jalur
dari Mathar disebutkan, مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْض
فَلْيَزْرَعْهَا فَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسْلِم وَلَا
يُؤَاجِرهَا (Barang siapa memiliki lahan, maka
hendaklah menanaminya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah memberikannya kepada
saudaranya sesama muslim, dan janganlah dia menyewakannya). riwayat al-Auza’i
yang disebutkan Imam Bukhari menjelaskan maksud larangan ini, karena dalam riwayat
itu disebutkan sebab larangan tersebut.
فَإِنْ لَمْ
يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ (apabila tidak melakukannya, maka
hendaklah dia menahan tanahnya). Yakni, jika tidak mau mengelolanya dan tidak
mau memberikan kepada orang lain untuk dikelola secara gratis, maka hendaklah
menahan dan tidak menyewakannya.
Dalam hal ini timbul kemusykilan
bahwa menahan tanah tanpa dikelola berarti menyia-nyiakan manfaat tanah itu.
Dalam hal ini termasuk menyia-nyiakn harta, sedangkan sikap seperti ini
dilarang.
Kemusykilan ini dijawab dengan
memahami bahwa yang dilarang adalah menyia-nyiakan harta itu sendiri atau
manfaat yang ada gantinya. Sebab, jika tanah itu ditinggalkan tanpa dikelola,
maka manfaatnya tidak terputus. Bahkan, akan tumbuh rerumputan dan kayu-kayu sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan dan lain sebagainya.
Meskipun apa yang kami sebutkan
tidak ada, tetapi membiarkan lahan tidak digarap tetap dapat menyuburkan lahan
tersebut. Mungkin saja hasil yang diperoleh pada tahun ini dapat menutupi hasil
ketika tanah itu dibiarkan tanpa digarap.[13]
D. Tahqiq Hadits
Adapun kualitas hadis ini adalah shahih
lighairih, hadis shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal[14]. Hal
berdasarkan hasil jarh wa ta’dhil dalam software mausu’ah hadis, yaitu:
Hadits Pertama yang terdapat di
dalam Shahih Bukhari Kitab Al-Muzara’ah
Bab Man Kaa Na Min Ash-Habi Al-Nabiyyi SAW No. 2340.
ثقة كان يتشيع
|
عبيد الله بن موسى
|
ثقة
|
الأوزاعي
|
ثقة كثيرالإرسال
|
عطاء
|
من الصحابة
|
جابر
|
ثقة حجة
|
الربيع بن نافع أبو توبة
|
ثقة
|
معاوية
|
ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل
|
يحيى
|
ثقة
|
ابى سلمة
|
من الصحابة
|
ابو هريرة
|
Hadits Kedua yang terdapat di dalam Shahih Bukhari Bab Hibah Wa
Fadhliha Wa Al-Takhridh Alaiha Bab Fadhli Al-Manihah No. 2632
ثقة
|
محمد بن يوسف
|
ثقة مأمون
|
الأوزاعي
|
ثقة كثيرالإرسال
|
عطاء
|
من الصحابة
|
جابر
|
ثقة حافظ
|
أبو سعيد
|
ثقة
|
ابى سلمة
|
Hadits Ketiga yang terdapat di dalam Shahih Muslim Kitab
Al-Buyu’ Bab Kira’a Al-Ardhi No. 1544.
ثقة كان يتشيع
|
حسن بن علي
|
ثقة حجة
|
أبو توبة
|
ثقة
|
معاوية بن سلام
|
ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل
|
يحيى بن أبي كثير
|
ثقة
|
ابى سلمة
|
من الصحابة
|
أبو هريرة
|
Hadits Keempat yang terdapat di dalam Sunan Ibn Majah Kitab
Al-Ruhn Bab Al-Muzara’ah Bi Al-Tsulutsi Wa Al-Rub’i No. 2452.
ثقة حافظ
|
إبراهيم بن سعيد
|
ثقة حجة
|
أبو توبة
|
ثقة
|
معاوية بن سلام
|
ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل
|
يحيى بن أبي كثير
|
ثقة
|
ابى سلمة
|
من الصحابة
|
أبو هريرة
|
E.
Kontekstualisasi Hadist
Penggunaan
tanah untuk pertanian telah dimulai sejak cara yang paling sederhana sampai
dengan abad teknologi sekarang ini dengan mempergunakan mekanisasi pertanian
yang modern. Hal ini didukung pula oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah memungkinkan tanah memberikan hasil yang berlipat ganda, yaitu
meningkatkan produksi panen dari tahun ke tahun. Hal ini bisa dicapai karena
pengolahan tanah yang efektif dan efisien, seperti penggunaan pupuk, irigasi,
mekanisasi alat-alat pertanian, penggunaan bibit unggul disertai obat-obat
pebasmi hama, dan lain-lain.[15]
Di Indonesia sendiri di dalam
pengolahan lahannya untuk memproduksi terutama gula sangat minim. Produksi gula
di Indonesia hanya 1,68% sedangkan gula yang dikonsumsi sebesar 2,79% dari
total konsumsi gula dunia Swasembada gula dapat dicapai antara lain dengan
ekstensifikasi lahan tebu dan pengkajian potensi lahan di Indonesia untuk penanaman
dan produksi tebu. Total area tebu di Indonesia saat ini sekitar 430.000 ha,
masih kurang 420.000 ha untuk swasembada gula. Kekurangan ini secara teknis
dapat diatasi karena potensi lahan dan karakteristik tanah yang cocok untuk
ditanami tebu tersedia. Daerah yang sesuai berdasarkan kesesuaian lahan
mencapai 33,80 juta ha, yang terdiri dari lahan sangat sesuai 12,70 juta ha,
moderta cocok dengan 6,30 juta ha, dan marjinal sesuai sekitar 14,80 juta ha.
Penyebaran areal yang cocok untuk tebu adalah terluas di Kalimantan, Papua,
Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, dan Lampung.[16]
Begitu juga dengan hutan produksi
yang dimiliki oleh Indonesia, seharusnya bisa di berdayakan secara maksimal
sehingga membantu perekonomian Indonesia sendiri. Berdasarkan
data yang ada luas hutan produksi di Indonesia adalah 57,7 juta ha dan yang dikelola oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 37,58 juta ha serta sisanya seluas 20,12 juta ha tidak terdapat
pengelolanya. Hal ini menunjukan bahwa hanya
65,13 % dari luas hutan produksi yang dikelola
sedangkan sisanya atau 34,87 % dari luas hutan
produksi tidak dikelola (Pusat Wilayah
Pembentukan Kawasan Hutan, 2006). Pada kawasan
yang tidak terdapat pengelolanya maka
pemerintah dan pemerintah daerah harus mengambil
peran dalam pembangunan hutan tersebut, hal ini telah diamanahkan pada UU No.41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kabupaten Gowa adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Sulawesi Selatan, memiliki luas wilayah 1.883,33 kilometer persegi atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah Kabupaten
Gowa adalah dataran tinggi yaitu sekitar 72,26
persen. Dari total luas kabuaten Gowa, 35,30
persen adalah daerah yang memiliki kemiringan
lereng di atas 40 persen. Luas penggunaan lahan kering di Kabupaten Gowa mencapai 153.965 ha dan diantaranya terdapat 43,04 persen adalah hutan (Kabupaten Gowa dalam Angka, 2006). Besarnya persentase luas kawasan hutan dilahan kering
kabupaten Gowa dapat diperkirakan akan mempunyai
peranan yang cukup besar baik dari aspek
ekologi, sosial maupun ekonomi. Untuk mengetahui
seberapa besar peranan sumber dayahutan ini terhadap perekonomian dan
kelestarian hutan itu sendiri, maka perlu dikaji peranan ini pada berbagai sektor ekonomi.[17]
Pemeliharaan
dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam mengembang-kan dan
pelestarian segala hasil cipta dan pekerjaan manusia itu. Juga terhadap segala
sumber daya yang memungkinkan ia mencipta dan bekerja. Selain itu, manusia
senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram lalu ia menjaga terpeliharanya
tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya dan di pergaulan ramai
di masyarakatnya. Hal yang demikian inilah yang diisyaratkan dalan ajaran
Sunnah yang menegaskan bahwa kalian (manusia) adalah pemeliharaan (ra’in).
Dan pemeliharaan itu haruslah memikul tanggungjawab (mas’ul).[18]
Dalam rangka
menggali manfaat dari lingkungan, tidak boleh diabaikan pula upaya untuk
melestarikan lingkungan itu sendiri, artinya, hendaklah dijaga keseimbangan
ekologi dan dihindari pencemaran serta diupayakan agar kekayaan alam itu
dipergunakan sehemat mungkin. Bumi ini dikatakan bukanlah warisan dari nenek
moyang kita, melainkan pinjaman dari anak cucu kita. Selaku peminjam kita harus
pandai dan adil, tidak ceroboh, supaya barang pinjaman itu dapat kita
kembalikan sebagaimana aslinya, atau mungkin lebih baik lagi.[19]
Tujuan
produksi adalah menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan individu dan
kesejahteraan kolektif (sosial). Setiap muslim harus bekerja secara maksimal
dan optimal, sehingga tidak hanya dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus
dapat mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya. Hasil yang dimakan oleh dirinya
sendiri dan keluarganya oleh Allah dihitung sebagai sedekah, sekalipun itu
sebagai kewajiban. Ini menunjukan betapa mulianya harga sebuah produksi apalagi
jika sampai mempekerjakan karyawan yang banyak sehingga mereka dapat menghidupi
keluarganya.
Menurut
Chapra tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan
menjamin setiap orang mempunyai standard hidup manusiawi, terhormat dan sesuai
dengan martabat manusia sebagai khalifah. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut
dapat menimbulkan masalah mendasar bagi manusia. Oleh sebab itu, setiap muslim
juga harus berusaha meningkatkan pendapatan agar menjadi mustahiq yang dapat
membantu kaum lemah melalui pembayaran zakat, infaq, sedeqah dan wakaf.[20][20] Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb
semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata
bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting mencapai
maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surah al-Qashash mengingatkan manusia
untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya,
urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat.[21]
Pada
prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi
kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang
memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi
Islam produksi yang surplus dan berkembang baik secara kwantitatif maupun
kwalitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi
masyarakat. Apalah arti produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan
untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.[22]
Dari
ungkapan Nabi SAW dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah
hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk
menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan
lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi
kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya
dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan
pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya
menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah
s.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang
Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti diungkapkan dalam
firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ
اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui
segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah – 29).
Dengan
membiarkan tanah yang kosong mempunyai kemanfaatan lain, yaitu dengan menjaga
ekosistem tanah tersebut, salah satunya menjaga unsur hara yang terkandung di
dalamnya, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga dan dapat digunakan untuk hal
pertanian pada periode berikutnya.
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW memberikan arahan
mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut[23]:
1.
Tugas manusia dimuka bumi sebagai
khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya.
2.
Islam selalu mendorong kemajuan di
bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode
ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen,
dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhanan terhadap hasil
karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Qur’an dan Hadits.
3.
Teknik produksi diserahkan kepada
keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda: “Kalian lebih mngetahui
urusan dunia kalian”
4.
Dalam berinovasi dan
bereksperimen,pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari
mudarat dan memaksimalkan manfaat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kegiatan produksi merupakan mata
rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan
barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka
kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan
barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi.
Beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian
secara keseluruhan, antara lain : Seluruh kegiatan produksi terikat pada
tataran nilai moral dan teknikal yang Islami, kegiatan produksi harus
memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul
bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks. Maka Hadits Jabir bin
Abdullah RA ini merupakan larangan menelantarkan lahan, karena hal ini termasuk
perbuatan yang tidak bermanfaat. Dalam menelantarkan lahan, Rasulullah
SAW menyarankan untuk memanfaatkan dan mengupah orang lain untuk mengelolahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Husain, Ekonomi
Islam,Prinsip,Dasar,Tujuan, Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2004.
A.J.
Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis, juz V Leiden: E.J.
Brill, 1936.
‘Ajaj
al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998.
Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah Bandung:
Mizan, 1994.
Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Bukhari) Jilid 13,
terj. Amiruddin Jakarta: Pustaka Azzam.
Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, Kairo: al-Maktabah,1930.
Ibnu
Majah, Sunan Ibnu Majah, juz II Kairo: Mustafa al-Bab al-Hubla wa
Auladuh, t.th
Ilfi Nur
Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Imam
Bukhari, Shahih Bukhari, Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 1998.
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Durr
al-Mansur fi Tafsir al-Ma’sur Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990
M./1411 H.
Imam
Muslim, Shahih Muslim, Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 1998.
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia Masa Kini, Jombang: Lintas Media,1999.
Khaelany HD,
Islam, Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta:
Rineka Cipta, 1996.
Memet Hakim, Potensi Sumber Daya
Lahan Untuk Tanaman Tebu di Indonesia, Jurnal Agrikultura 2010 Vol. I.
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2007.
Samsul Alam dan Hajawa, Peranan
Sumber Daya Hutan Dalam Perekonomian dan Dampak Pemungutan Rente Hutan Terhadap
Kelestarian Hutan Di Kabupaten Gowa, Jurnal Perennila, Vol. 3.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi
menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya Cet. I; Jakarta Gema Insani
Press, 1995.
______________,
Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
______________, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadis: Telah Kritis dan tinjauan dengan pendekatan Ilmu Sejarah Cet,
II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Umar
Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri
Jakarta: Gema Insani Press, Tazkiah Institute, 2000.
[1]
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Durr al-Mansur fi Tafsir al-Ma’sur (Beirut:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M./1411 H.).
[3]Adanya
penelitian hadis dilatarbelakangi oleh hadis adalah merupakan salah satu sumber
ajaran Islam, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Rasulullah saw., jumlah
kitab hadis banyak dan beragam metode penyusunanya dan terjadi periwayatan
secara makna. Lihat Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (Cet.
I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 7-21. lihat juga Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis:
Telah Kritis dan tinjauan dengan pendekatan Ilmu Sejarah (Cet, II; Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hal.
85-118.
[4]
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
hal. 38.
[5] Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, (Kairo: al-Maktabah,1930), hal. 35.
[6] Indrawan
WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas
Media,1999), hal. 239.
[7] Abdul
Husain, Ekonomi Islam,Prinsip,Dasar,Tujuan, (Yogyakarta: Magistra Insani
Press, 2004), hal. 161.
[8] A.J.
Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z al-H}adi>s, juz V
(Leiden: E.J. Brill, 1936), h. 500.
[12] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz
II (Kairo: Mustafa al-Bab al-Hubla wa Auladuh, t.th.), hal. 720.
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Penjelasan
Kitab Shahih Bukhari) Jilid 13, terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam),
hal. 272-273.
[14] M. ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok
Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hal. 277.
[16] Memet Hakim, Potensi Sumber Daya Lahan
Untuk Tanaman Tebu di Indonesia, Jurnal Agrikultura 2010 Vol. I, hal. 5-12.
[17] Samsul Alam dan Hajawa, Peranan Sumber Daya
Hutan Dalam Perekonomian dan Dampak Pemungutan Rente Hutan Terhadap Kelestarian
Hutan Di Kabupaten Gowa, Jurnal Perennila, Vol. 3, hal. 60.
[18] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal
Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1994) hal. 139-140.
[20] M.Umar Chapra, Islam
dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema
Insani Press, Tazkiah Institute, 2000), hal.12.
[21] Mustafa Edwin
Nasution,dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana
Media Group, 2007), hal.104.
[23] Mustafa
Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana Media Group,2007), hal. 104.
0 comments:
Posting Komentar