-->

THE CONCEPT OF CIVIL SOCIETY AND DEMOCRACY IN INDONESIA

Posted by Sarjana Ekonomi on Kamis, 06 Desember 2012


THE CONCEPT OF CIVIL SOCIETY AND DEMOCRACY
 IN INDONESIA 

Febri Handayani
Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau


Abstract
Indonesia is a country of law. A State law (rechstaat) is created whenever there is new recognition of democracy and human rights. Democracy is a form or system of government of a state mechanism as the realization of popular sovereignty (the power of citizens) of the country to be run by the government of that country.
Others claim the word democracy refers to the concept of the life of the country or society, where adult citizens participate in government through a representative who is selected by popular vote. Governments in democratic countries also encourage and guarantee the freedom of speech, religion, opinion, association of every citizen, upholding the rule of law, the majority rule that respects the rights of minority groups, and citizens masyarakat who give each other the same opportunity to get a life feasible. 
Civil society is a group or society that stands independently in front of the ruler and the state which has the characteristics of public sphere (public space that is free), democratization, which has the characteristics of free public, rule of law. If carefully viewed characteristics of civil society with the concept of democracy, there are many similarities among them a guaranteed free voice by way of free public sphere (public space that is free), that is the public have full access to any public activity, which is entitled in expression, association, assembly, and to publish information to the public, and uphold the rule of law. With a sense of the word civil society, understood in passing an alternative format that puts the life of the spirit of democracy and uphold human rights values. The concept of civil society to be other alternatives as a means of control in the community in monitoring of government policies towards a society that is conscious of democratization and uphold the law and human rights. 
In other word, if the concept of civil society and democracy really to be applied in Indonesia, then Indonesia will automatically be country that its people have insight and forward thinking and have a good awareness of democracy. As a result, the ideals of Indonesia as a country of law and upholding democratic values and human rights be fully implemented that eventually formed a moral society, litigious society, and civilized society. 

Keywords: Concept, Civil Society and Democracy

A.    PENDAHULUAN

Apakah demokrasi itu dan apa pula civil society itu? Apakah negara kita Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang demokrasi, atau apakah negara Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang menerapakan konsep civil society? Jika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab maka otomatis Indonesia akan manjadi negara yang masyarakatnya memiliki wawasan dan pemikiran yang maju serta memiliki kesadaran demokrasi yang baik. Akibatnya cita-cita Indonesia sebagai negara hukum serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia benar-benar akan terlaksana seutuhnya yang pada akhirnya terbentuk suatu masyarakat bermoral, masyarakat sadar hukum, dan masyarakat beradab.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.[1] Dalam artian Indonesia sangat menjunjung tinggi hukum dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini tertuang jelas dalam UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya, yaitu dalam pembukaan dan batang tubuh yang diantaranya tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dimana suatu Negara Hukum (rechstaat) baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap Demokrasi  dan Hak Azazi Manusia.[2]
Berbicara mengenai demokrasi, sejak digulirkanya reformasi tahun 1998, wacana dan gerakan demokrasi terjadi secara masif dan luas di Indonesia. hasil penelitian menyatakan “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh para pendukungnya yang berpengaruh”[3]
Hampir semua negara di dunia menyakini demokrasi sebagai “tolak ukur tak terbantahkan dari keabsahan politik.” Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi. Awal abad ini pun kita akan terus menyaksikan gelombang aneksasi paham demokrasi mewabah ke seluruh negara berbarengan dengan isu-isu global lainnya seperti hak asasi manusia, keadilan, masalah gender, dan persoalan lingkungan hidup.
Pada saat ini, hampir semua negara mengaku bahwa sistem pemerintahannya adalah demokrasi. Hal itu menunjukkan bahwa rakyat diletakkan pada posisi penting walaupun secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak terlalu sama. tidak ada negara yang ingin dikatakan sebagai negara yang tidak demokrasi atau negara otoriter.[4]
Begitu juga halnya dengan konsep civil society atau para ahli di Indonesia menyebutnya dengan istilah masyarakat madani. Konsep masyarakat madani ini di tandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk menganti orde baru, yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid, Abdulrahman Wahid, A.S Hikam, Azumardi Azzra dan lain-lain, banyak mengemukakan tentang tatanan masyarakat madani, setelah konsep ini diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Namun demikian mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. membentuk masyarakat madani memerlukan proses panjang dan waktu, serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.[5]
Sejarah civil society pada awalnya merupakan konsep sekuler karena adanya penentangan ilmuwan pada kekuasaan gereja (yang absolut) di abad pertengahan. Kemudian berlanjut pada lahirnya sikap liberal yang mengakui hak-hak individu untuk mengartikulasikan otonomisasi di setiap pilihan-pilihan hidupnya. Akibat adanya sikap liberal ini maka ia membutuhkan ruang umum (public sphere) dan jaminan hukum (law) serta public discourse.
Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). untuk mengembangkan peran civil society maka disini diperlukan adanya sistem demokrasi dalam suatu negara.[6]
Dari konsep diataslah penulis tertarik dan akan mencoba mebahas konsep civil society dan demokrasi di Indonesia.

B.      KONSEP CIVIL SOCIETY DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Civil society atau dapat diterjemahkan dengan masyarakat sipil, menjadi perbincangan yang menarik dan didiskusikan oleh berbagai kalangan di awal tahun 90-an, mulai akademisi, agamawan, dan negarawan, terutama setelah memasuki era reformasi. Konsep civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, sekularisme, dan individualisme.
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris civil society, mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Konsep civil society ini lahir pada abad ke-17, sezaman dengan lahirnya liberalisme politik dan agama di Eropa. Oleh karena itu, civil society ini tidak bisa terlepas dari pergolakan ideologi Barat pada era renaissance (zaman pencerahan Eropa) – yang menggagas kebebasan berideologi. Sebagai sebuah konsep, harus diakui bahwa civil society memiliki akar dalam sejarah pemikiran sekuler Barat.[7]
Menurut A. Holl, civil society menekankan pada adanya ruang publik yang bebas (the free public sphere), di mana individu dan kelompok dalam masyarakat dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas, tanpa ikatan agama, bahkan negara sekalipun. Dengan demikian dalam konsep civil society terdapat unsur liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Liberalisme dan sekularisme menuntut suatu masyarakat yang toleran, mengakui kemajemukan budaya dan bebas menjalankan kehidupan tanpa kekangan gereja yang otoriter. Seiring meletusnya Revolusi Prancis pada tahun 1789, tumbuh sistem pemerintahan demokratik dan ekonomi kapitalistik – menggantikan sistem monarki yang didominasi agamawan dan gereja, lahirlah ide masyarakat demokratis, bebas, pluralistik, dan toleran. Sistem sosial ini dikenal dengan civil society.[8]
Di Indonesia, istilah civil society sebagaimana yang di ungkapkan oleh Nurcholis Madjid dipadankan dengan istilah masyarakat Madani. Meskipun mirip, namun keduanya secara prinsipil memiliki perbedaan. Civil society berakar dari Barat, sedangkan masyarakat Madani adalah hasil pemikiran yang  mengacu pada piagam Madinah, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Civil society dibentuk dengan ideologi demokratis.
Masyarakat madani timbul karena faktor-faktor:[9]
1.      Adanya penguasa politik yang cendrung mendominasi (menguasai) masayarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam meperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
2.      Masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah).  warga negara tidak memili kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan masyakat sekitarnya tanpa mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi di sini dapat mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, soaial, budaya, pendidikan dan ekonomi.
3.      Adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa ada kekhawatiran.
 Civil Society atau masyarakat madani merupakan bentuk masyarakat yang sudah beradab serta maju, baik dalam pemikiran maupun perilaku dalam menyikapi, memaknai, maupun menjalankan kehidupannya, berbeda dengan masyarakat belum maju yang hidupnya cenderung tergantung/belum mandiri, tidak mempunyai inisiatif bagi perkembangan hidupnya, serta membesar-besarkan perbedaan sehingga pada akhirnya hanya menjadi pemicu konflik yang berakibat pada perpecahan bangsa.
Terbentuknya masyarakat madani tidaklah semudah membentuk suatu kelompok masyarakat. Apalagi di Indonesia terkenal dengan keanekaragaman masyarakat baik itu ras, agama, maupun pemikiran-pemikiran yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu dibutuhkan pemerintahan negara yang demokratis dan taat pada peraturan perundangan atau hukum yang berlaku. Selain itu kebijakan politik yang ditetapkan haruslah berorientasi pada pemberdayaan masyarakat secara umum dan merata.
Tingkat kemajuan masyarakat madani ditandai dengan inisiatif individu yang menonjol, pemikiran-pemikiran baru mengenai seni, ekonomi, maupun tekhnologi. Selain itu, pelaksanaan pemerintahan yang menaati undang-undang serta hukum yang yang berlaku dengan baik. Masyarakat dapat mengembangkan potensi yang dimiliki tanpa campur tangan maupun pengawasan yang ketat dari pihak pemerintah.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control. Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Adapun pilar penegak civil society adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari control sosial yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang dekriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang yang tertindas. Dalam penegakan civil society pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan civil society. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah:[10]
1.        Lembaga Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.
2.        Pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
3.        Supremasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4.        Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.
5.        Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya membangun masyarakat madani di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
a.       Kebhinekaan masyarakat, dimana kelompok-kelompok masyarakat ada yang saling hidup berdampingan, tolong menolong, saling menghargai, dan dapat hidup dengan damai.
b.      Terselenggaranya kehidupan yang demokratis baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, dimana hak-hak warga negara diakui dan dilindungi, baik oleh aparat maupun oleh masyarakat sendiri.
c.       Bahwa untuk memelihara tata dalam masyarakat maka hukum sebagai pranata pengatur kehidupan masyarakat guna menyelenggarakan kepastian hukum dan keadilan perlu dijunjung tinggi baik oleh anggota masyarakat maupun oleh pemerintah.
d.      Untuk mewujudkan suasana tenteram dalam kehidupan bermasyarakat, maka hak-hak warga negara perlu diakui dan dilindungi baik oleh pemerintah maupun warga masyarakat.
e.       Untuk mewujudkan masyarakat yang beretika dan bermoral tinggi, maka perlu adanya norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi baik oleh warga negara maupun aparat pemerintah sehingga tindakan-tindakan tercela tidak dilakukan. Namun apabila terjadi juga, maka hukum diberlakukan kepada pelakunya, siapapun dia.

Untuk mengetahui apakah suatu masyarakat merupakan mayarakat madani atau tidak, maka harus memenuhi karakteristik masyarakat madani itu sendiri. Masyarakat madani itu tidak muncul dengan sendirinya. Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter yang khas masyarakat madani.Adapun karakteristik masyarakat madani, yaitu:[11]
1.        Ruang Publik Yang Bebas (Free Public Sphere)
Maksudnya adalah wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara harus mempunyai kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
2.        Demokratisasi
Untuk menumbuhkan demokritisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku politik praktis merupakan bagian yang terpenting menuju masyarakat madani. Keberadaan masyarakat madani hanya dapat ditunjang oleh negara yang demokratis.
3.        Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat lain yang berbeda.
4.        Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk disertai sikap tulus yang bahwa kemajemukanitu bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan. Tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala segi.
5.        Keadilan sosial
Dalam hal ini adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tiap-tiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Konsep civil society ini jika dihubungkan dengan demokrasi di Indonesia ibarat “the two side at the same coin”. Artinya jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya demokrasi.[12]
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masyarakat. Dalam praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial justru sebaliknya. Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang. Kelompok masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi.[13]
Hal ini dapat kita buktikan dari karakteristik masyarakat madani itu sendiri, salah satunya adalah demokratisasi. Kita ketahui demokratisasi tercipta karena keberadaan masyarakat madani yang hanya dapat ditunjang oleh negara yang demokratis. Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pendapat lain menyatakan kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat, dimana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang di pilih melalui pemilu. pemerintah di negara demokrasi juga mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat setiap warga negara, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas, dan masyarakat yang warga negaranya saling memberi peluang yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Untuk mengembangkan peran civil society maka disini diperlukan adanya sistem demokrasi dalam suatu negara. Dan rasanya sangat sulit bagi sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan sistem demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas, di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang indenpenden, sehingga memungkinkan control aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakatt sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekana-tekanan politik dari kaum reformasi di dalam negeri
Di sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi tersebut adalah:[14]
a.       Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
b.      Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga negara.
c.       Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negara.
d.      Penghormatan terhadap supremasi hukum.
Adapun prinsip demokrasi yang didasarkan pada konsep rule of law, antara lain sebagai berikut :
a.       Tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang;
b.      Kedudukan yang sama dalam hukum;
c.       Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang
Dengan kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memposisikan dirinya sebagai penyeimbang negara. Walhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Semua itu baru akan tercipta jika negara atau pemerintah memberikan Free public sphere (Ruang publik yang bebas) dimana masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. misal rakyat boleh berbicara apa saja, berbuat apa saja baik secara lisan maupun tertulis, melalui media massa, sekolah atau pertemuan-pertemuan asal tidak melanggar hukum atau mengganggu kepentingan umum.
Agar konsep civil society atau masyarakat madani dapat berjalan secara efektif serta demokratisasi di Indonesia terwujud maka perlu membangun dan mengembangkan pilar-pilar dari masyarakat madani itu sendiri seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepentingan, partai politik yang berada di luar kekuasaan negara, termasuk Komnas HAM dan Ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah.

C.    KESIMPULAN

Dari paparan diatas dapatlah penulis simpulkan bahwa konsep civil society dan demokrasi di Indonesia, akan dapat terlaksana dengan baik jika karakteristik dari civil society dan prinsip-prinsip yang ada dalam demokrasi berjalan dengan baik, namun jika sebaliknya yang terjadi maka konsep civil society dan demokrasi yang ada di Indonesia hanya sebuah teori yang tidak mungkin ada prakteknya, akibatnya akan menjadikan Indonesia sebuah negara yang otoriter sekalipun secara teori konsep dasarnya adalah negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsep civil society atau di Indonesia di istilahkan dengan masyarakat madani merupakan suatu konsep bentuk masyarakat yang sudah beradab serta maju, baik dalam pemikiran maupun perilaku dalam menyikapi, memaknai, maupun menjalankan kehidupannya, berbeda dengan masyarakat belum maju yang hidupnya cenderung tergantung/belum mandiri, tidak mempunyai inisiatif bagi perkembangan hidupnya, serta membesar-besarkan perbedaan sehingga pada akhirnya hanya menjadi pemicu konflik yang berakibat pada perpecahan bangsa. Salah satu cara untuk mewujudkan konsep masayrakat madani tersebut  adalah demokratisasi. Kita ketahui demokratisasi tercipta karena keberadaan masyarakat madani yang hanya dapat ditunjang oleh negara yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya.

BIBLIOGRAPHY

Frans Hendra Winarta (2000), Bantuan Hukum Suatu Hak Azazi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta: PT Elex Media.

Srijanti dkk (2008), Etika Berwarga Negara, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Swiyanto dan Muslihin, (2004), Kewarganegaraan, Klaten: Ganeca Exact.

Winarno (2008), Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Bumi Aksara.

Waqiatul Masruroh (2006), Buku Ajar Civic Education, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press.

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 Amandemen ke-3.

Kholili Hasib, www.inpasonline.com



http://mklh11demokrasi.blogspot.com/



                   


[1] Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 Amandemen ke-3.
[2] Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Azazi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT Elex Media, 2000), h. 71
[3] Unesco dalam Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2008), h. 89
[4] Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 89
[5] Srijanti dkk, Etika Berwarga Negara, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 209
[6] http://muiftaste.blogspot.com/2009/01/civil-society-dan-demokrasi.htm
[7] Kholili Hasib, www.inpasonline.com
[8] Ibid.
[9] Srijanti dkk, Etika Berwarga…, h. 211
[10] Waqiatul Masruroh, Buku Ajar Civic Education, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006), h. 61
[11] Swiyanto dan Muslihin, Kewarganegaraan, (Klaten: Ganeca Exact, 2004), h.106
[12] http://www.komunitasdemokrasi.or.id/
[13] Ibid.
[14] http://mklh11demokrasi.blogspot.com/
x;"� :] / `�� Q� an>
            I have tried in this paper to illustrate first the complexity of the history of ethical thought, the contested roles of rationality, emotion, rule and decision, with some attention to their historical contexts, but more importantly using the lens of Lacanian psychoanalysis argue for the psychological appropriateness of these tensions in the history of ethics.  Then I turned to the Islamic notion of niyya to see what resources it might have for the construction of a complex notion of the self.  In this my interest was initially in the isolated individual, but we saw even in that the ways in which the intersubjective world impinged on the isolated individual making him or her fundamentally situated in a social and temporal context that acted independently.  This was all done to make more complicated a notion of the self in the Islamic context and use that as a way to open up the question of what constitutes the public self that the notion of a Muslim citizen, either in a Muslim majority or Muslim minority country.  That led in the end to an outline of three particular implications for the work of educating Muslim citizens.  I emphasized three points.  The focus should not be on the inculcation of rules and the assertion of the existence of either a confidence that there is a system of laws or at least there once was.  Rather the development of the skills of disenchantment and criticism better equip our students for the civic, business, and personal ethical dilemmas they will face.  Second, I underlined that we need also to provide the opportunity to critically examine the material forces that constitute power in this world, both political and economic, and to understand the specific Muslim institutional contexts that have emerged.  Finally, in attempting to displace once more the centrality of the individual as the object of analysis, I underlined the social and multiple character of society and most specifically the presence of Others with whom one either interacts or whose existence must at least be acknowledge.  The binary of neighbor/stranger allows us to break any simple distinction between us and them in thinking about this world and recognize the way our ethical responsibilities to the other predicate a constant movement between the feeling of kinship and suspicion, of friend and foe, in thinking about each of our relations to our fellow human beings.













BIBLIOGRAPHY
Hanafi. Hasan, “Alternative Conceptions of Civil Society: A Reflective Islamic Approach” in Hashmi. Sohail H., ed., (2002).  Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism, and Conflict. Princeton: Princeton University Press.

Beiner. Ronald,  ed. (1995). Theorizing Citizenship. Albany: SUNY Press.

Carens. Joseph H (2000). Culture, citizenship, and community : a contextual exploration of justice as evenhandedness. Oxford: Oxford University Press

Brown. Wendy (2010). “The Sacred, the Secular and the Profane” in  Michael Warner, et al., Varieties of Secularism in a Secular Age.Cambridge: Harvard University Press.

Sami Zubaida. “Cosmopolitan citizenship in the Middle East” accessed July 20, 2010 from Open Democracy http://www.opendemocracy.net/sami-zubaida/cosmopolitan-citizenship-in-middle-east

Eagleton. Terry (2009)The Trouble with Strangers; A Study of Ethics. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell.

“Nīyya”  in H.A.R. Gibb and J. H. Kramers (1961). Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.

Ibn Rushd (1994). Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqta’id, The Distinguished Jurists Primer trs. Professor Imran Ahsan Khan Nyazee. Reading, UK: Garnet Publishing. I.1.2.1

Saleh. Nabil (2009). “The Role of Intention (niyya) under Saudi Arabian Hanbali Law” in Arab Law Quarterly 23.

March. Andrew F. (2009). Islam and Liberal Citizenship: The Search for an Overlapping Consensus. New York: Oxford University Press.

Bourdieu. Pierre (1998). Practical Reason. Stanford: Stanford University Press.

Benslama. Fethi (2009). Psychoanalysis and the Challenge of Islam. trs. by Robert Bononno (Minneapolis: University of Minnesota Press.

Tripp. Charles (2006). Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press.



[1] Hasan Hanafi, “Alternative Conceptions of Civil Society: A Reflective Islamic Approach” in Sohail H. Hashmi, ed.,  Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism, and Conflict (Princeton: Princeton University Press, 2002), h.  56-75
                 [2] Ibid., h. 65
[3] Citizenship has of course been well theorized in political theory, e.g. Ronald Beiner,  ed. Theorizing Citizenship (Albany: SUNY Press 1995) Joseph H. Carens, Culture, citizenship, and community : a contextual exploration of justice as evenhandedness (Oxford: Oxford University Press, 2000). What I think is under theorized is the psychological structure of the individual agent/citizen.  My thanks to my colleague Neil Roberts for help here.
[4] Wendy Brown, “The Sacred, the Secular and the Profane” in  Michael Warner, et al., Varieties of Secularism in a Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2010), h. 83-104
[5] Sami Zubaida, “Cosmopolitan citizenship in the Middle East” accessed July 20, 2010 from Open Democracy http://www.opendemocracy.net/sami-zubaida/cosmopolitan-citizenship-in-middle-east
[6] Terry Eagleton, The Trouble with Strangers; A Study of Ethics (Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell, 2009). h. 13.
[7] Ibid., h. 82
[8] Ibid., h. 83
[9] Ibid., h. 99
[10]  Ibid., h. 105
[11] Ibid., h. 117
[12] Ibid., h. 148
[13] Ibid., h. 163-164
[14] Ibid., h. 253-254
[15] Ibid., h. 325
[16] “Nīya”  in H.A.R. Gibb and J. H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill 1961) , h. 449-450
[17] Ibn Rushd, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid, The Distinguished Jurists Primer trs. Professor Imran Ahsan Khan Nyazee (Reading, UK: Garnet Publishing, 1994) I.1.2.1 h.  3-4
[18]Ibid.,  7.1.1.2.3, h. 341-343
[19] Nabil Saleh, “The Role of Intention (niyya) under Saudi Arabian Hanbali Law” in Arab Law Quarterly 23 (2009), h. 474-475
[20] Andrew F. March, Islam and Liberal Citizenship: The Search for an Overlapping Consensus (New York: Oxford University Press, 2009)
[21] Ibid.,
[22] Pierre Bourdieu, Practical Reason (Stanford: Stanford University Press, 1998), h. 143
[23] Ibid., h. 144-145
[24] Fethi Benslama, Psychoanalysis and the Challenge of Islam, trs. by Robert Bononno (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2009), h. 5
[25] Charles Tripp, Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism (Cambridge: Cambridge University Press, 2006)
[26] Eagleton, The Trouble with Strangers…, h. 324
[27] Ibid., h. 319
Previous
« Prev Post

Related Posts

Kamis, Desember 06, 2012

0 comments:

Posting Komentar