-->

JIHAD DAN TERORISME: SUATU ANALISA PERBANDINGAN

Posted by Sarjana Ekonomi on Kamis, 06 Desember 2012



JIHAD DAN TERORISME: SUATU ANALISA PERBANDINGAN

MUKHLISH MUHAMMAD NUR

Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe



ABSTRAK
Terorisme telah menimbulkan kepanikan dunia internasional. Namun usaha-usaha dalam menangani terorisme belum maksimal. Di antaranya disebabkan oleh masih banyaknya tafsiran terorisme mengikuti kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya. Sehingga beberapa aksi teror yang dilakukan oleh
sebagian orang dianggap sebagai terorisme namun di lain pihak dengan kasus yang sama, namun tidak dikategorikan sebagai terorisme. Multi tafsir terorisme tentunya sangat membahayakan gerakan penanganan terorisme yang lebih adil dan manusiawi. Walaupun demikian, pendekatan-pendekatan yang Islami dan manusiawi patut dikedepankan dalam rangka penanganan terorisme. Dan ini mengindikasikan bahwa terorisme bukanlah jihad sehingga pemberantasan terorisme bukanlah berarti pemberantasan jihad. Karena subtansi, konsepsi dan manifestasi jihad sangat jauh berbeda dari terorisme.


Keywords: terorisme, jihad, subtansi dan manifestasi.

PENDAHULUAN

Dewasa ini, terorisme telah menjadi isu global dan sekaligus musuh global. Dalam seminar internasional penanggulangan terorisme di Nusa Dua Bali, senin (18/10), Ansyaad Mbai,- Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT)-, mengatakan bahwa terorisme musuh bersama (global) dan tidak bisa ditanggulangi sendiri. Secara konkret, bentuk kerja sama yang dijalin, antara lain, pertukaran informasi antarnegara terkait terorisme, peningkatan sumber daya manusia, dan kapasitas kelembagaan[1].
Dunia Internasional yang diprakarsai oleh Amerika Serikat telah menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Sehingga isu terorisme hangat diperbincangkan di forum-forum resmi dan tidak resmi baik skala nasional maupun skala internasional. Pada skala internasional, perbincangan tentang terorisme telah diprakarsai oleh PBB semenjak tahun 1972, bahkan PBB telah membentuk Dewan Khusus Terorime Internasional. Sedangkan pada skala negara, Amerika dan Sekutunya telah menggiring beberapa negara di dunia untuk melakukan kerjasama mencegah terorisme internasional. Di antaranya termasuk Indonesia yang mendapatkan suntikan dana dan pelatihan pasukan anti terorisme; Densus 88.
Berkembangnya isu terorisme sebagai isu global tidak luput dari peran dan pengaruh media cetak dan media elektronik. Di mana kedua media tersebut senantiasa mempublikasikan  setiap aksi kejadian yang dilakukan oleh jaringan terorisme. Beberapa kejadian penting aksi terorisme internasional yang tidak luput dari pemberitaan media elektronik dan cetak seperti peristiwa pemboman gedung WTC oleh dua pesawat komersial yang tidak terlacak oleh radar pada tanggal 11 September 2001, serangan terhadap Gedung Pentagon di Pensylvania.
Beberapa aksi terorisme di Indonesia juga tidak luput dari liputan media cetak dan media elektronik. Tri Poetranto menyebutkan beberapa peristiwa pengeboman memakan korban jiwa dan merusak sarana dan prasarana.  Aksi teroris yang terjadi di Indonesia antara lain 1998, di Gedung Atrium Senin, Jakarta, 1999, di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta, 2000, di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan serta rumah Dubes Filipina, 2000 dan 2001, Peledakan di beberapa Gereja di malam Natal, 2002, Peledakan di Kuta Bali, Mc Donald Makasar, 2003, Peledakan di JW Marriot, 2004, Peledakan di Kedubes Australia, 2005. Peledakan bom Bali II [2]. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian aksi terorisme di Indonesia.
Kejadian-kejadian di atas telah menimbulkan kepanikan dan kekacauan di segala bidang. Sehingga penanganan terhadap gerakan terorisme perlu dilakukan dengan berbagai cara. Karena mengedepankan cara-cara ala militeristik hanyalah mampu menuntaskan fenomena-fenomena terorisme namun tidak akan mampu menuntaskan akar dari terorisme itu sendiri.
Upaya-upaya untuk menangani terorisme telah banyak dilakukan baik dalam bentuk kerjasama militer dan intelijen maupun operasi militer. Namun demikian, istilah terorisme belum difahami oleh berbagai bangsa dengan makna yang sama. Sehingga terorisme difahami menurut kepentingan politik, ekonomi, militer dan sebagainya. Dengan demikian, tafsiran terorisme akan berbeda maknanya dari suatu negara ke negara lain apabila kepentingan politiknya berbeda. Maka tidak heran, apabila Amerika Serikat dan Sekutunya menggunakan standar ganda dalam memaknai terorisme.

TERMINASI TERORISME

Kata terorisme atau dalam kamus arab moderen diterjemahkan dengan kata ”irhab” merupakan salah satu istilah Arab modern. Oleh sebab itu kata irhab tidak ditemukan dalam kajian ulama-ulama terdahulu. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam kajian para ulama klasik untuk menggambarkan suatu tindakan menimbulkan kekacauan di antaranya seperti al-Baghyu yaitu yaitu pemberontakan bersenjata menentang pemerintahan yang sah dan adil, intimidasi kepada khalayak banyak dan penyelidikan atas tujuan politik yang bermaksud memecah belah serta membahayakan keutuhan nasional. Istilah lainnya juga didapati seperti al-harabah, yang berdefinisi "penggunaan senjata, di darat dan di laut, siang atau malam hari, untuk mengintimidasi rakyat, kota-kota atau daerah lainnya, oleh laki-laki atau perempuan lemah dan kuat[3] (QS. 5:33). Kita juga mendapati teks Islam yang berkenaan dengan ini, misalnya pembunuhan (al-fatk), penipuan (al-ghilah) dan persekongkolan jahat (al- I’timar).   
Lebih jauh lagi, kita juga mendapati persyaratan sistem moral Islam yang terdiri dari konsep-konsep yang tidak diketahui oleh hukum positif namun berakar secara mendalam pada sistem ini. Misalnya berbohong termasuk dosa besar dan begitu pula fitnah. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa Islam benar-benar melindungi seluruh bentuk kebebasan manusia yang sebenarnya, dan melindungi harkat martabat individu dan masyarakat, juga kepaduan masyarakat dan integritas keluarga. Islam memandang segala bentuk penyerangan atas mereka sebagai kejahatan besar yang mesti dihukum seberat-beratnya seperti hukuman mati, penyaliban dan sebagainya.
Islam menegakkan prinsip tanggung jawab personal dan memandang serangan berupa apapun terhadap orang tak berdosa sebagai kejahatan besar. Islam berorientasi pada perlindungan pada si lemah, si tertindas dan menyeru jihad untuk melindungi mereka: "Dan mengapakah engkau tidak berperang karena Allah, dan orang-orang tua laki-laki dan wanita yang tidak berdaya …" [4].
Apabila dikaji dari sejarah penggunaan istilah terorisme,  maka penggunaan kata terorisme dengan pengertian sekarang ini bermula dari ideologi Eropa pada masa revolusi Prancis tahun (1789-1794 M). Walaupun telah diketahui bahwa pada masa Yunani, Romawi dan abad pertama masehi telah tercatat beberapa kejadian terorisme[5].
Dan para ilmuwan pada zaman ini berselisih pendapat dalam memberikan definisi tentang terorisme ini, padahal kalimat terorisme adalah kalimat yang paling banyak digunakan di tahun-tahun terakhir ini. Menurut Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), “Terorisme adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa atau menghancurkan kebebasan asasi atau melanggar kehormatan manusia[6].”
Menurut peraturan internasional, “Terorisme ialah sejumlah perbuatan yang dilarang oleh peraturan-peraturan kenegaraan pada kebanyakan negara[7].”
Dalam kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme, dikatakan bahwa “Terorisme adalah setiap perbuatan berupa aksi-aksi kekerasan atau memberi ancaman dengannya, apapun pemicu dan maksudnya. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan atau keamanan mereka, atau melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan (umum atau khusus), atau menduduki maupun menguasainya, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara[8].”
Demikian beberapa definisi terorisme dan masih banyak lagi definisi lain yang tidak ada keperluan untuk menyebutkannya disini. Karena kebanyakan definisi tersebut hanya memberikan batasan sesuai dengan tujuan dan kemashlahatan untuk pihak tertentu saja, sehingga kalau ada negara atau komunitas yang terzhalimi membela diri mereka dengan menyerang pihak musuh yang merampas tanah dan kehormatan mereka seperti yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Iraq dan lain-lainnya, maka hal tersebut masih tergolong terorisme dalam sebagian definisi di atas. Bahkan belakangan ini setiap muslim yang teguh menjalankan agamanya sesuai dengan tuntunan yang benar juga dianggap teroris.
Sepanjang tidak ada kesepakatan dari seluruh negara tentang definisi terorisme, maka seharusnya kita tidak menoleh kepada definisi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dalam penggunaan kalimat terorisme tersebut. Dan seharusnya kita memperhatikan definisi yang telah disebutkan oleh ulama sekarang tentang masalah ini.

Majma’ Al-Buhûts Al-Islâmiyah di Al-Azhar, setelah kejadian 11 September 2001, menyebutkan bahwa “Terorisme adalah membuat takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemashlahatan, tonggak-tonggak kehidupan mereka, dan melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan manusia dengan penuh kesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi[9].”
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan syar’iy oleh Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmy. Lembaga fiqih internasional ini pada tanggal 15/10/1421H bertepatan 10/1/2001 (yaitu sepuluh bulan sebelum kejadian 11 September 2001M) mengeluarkan definisi tentang terorisme, “Terorisme adalah suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah, akal, harta dan kehormatannya). Dan ia mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman dan pembunuhan tanpa haq serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentuk-bentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara atau umum. Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ[10].”
Dan definisi di atas adalah definisi untuk kata terorisme karena mencakup seluruh makna terorisme yang tercela dan menjelaskan secara tidak langsung kesalahan atau kekurangan yang terdapat dalam definisi-definisi yang pernah diletakkan oleh lembaga-lembaga internasional sebelum Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy.
Dan dalam sebuah wawancara Harian “al-Syarq al-Ausath” bersama Prof. DR. Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlân hafizhahullâh mengenai masalah irhâb (terorisme), beliau menerangkan tentang terorisme dengan penjelasan sangat jelas dan terang.  Beliau berkata, “Bila kita hendak berbicara tentang irhâb, sudah selayaknya untuk meletakkan gambaran tentang makna irhâb. Apakah irhâb itu secara bahasa?, dan apa yang dimaksud dengannya secara istilah?.
Al-Irhâb secara bahasa adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang aman, menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan dan interaksi.
Adapun maknanya dalam syari’at adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhâb. Allah Ta’âla berfirman, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”.[11]. Yakni hal itu menyebabkan ketakutan pada mereka dan pengurungan keinginan mereka (yang tidak baik) terhadap kaum muslimin dan hal lainnya. Inilah maknanya secara istilah[12].
Berangkat dari keterangan di atas tampak bagi kita bahwa Al-Irhâb kadang boleh dan kadang haram. Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga tidak lancang terhadap kita, agama, aqidah dan individu-individu umat. Ini adalah perkara yang dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin. Maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk dilalaikan oleh Al-Lahwu (perkara tidak bermanfaat), perhiasan dan gemerlapnya kehidupan sehingga lengah dari maksud dan sasaran musuh-musuh mereka. Bahkan wajib bagi mereka untuk memiliki kekuatan sebagaimana firman Allah, “Kamu meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”.   Inilah Al-Irhâb yang disyari’atkan.  Adapun Al-Irhâb yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku (irhâb) ini dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tentram dan lapang yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezhaliman, lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan atau selain itu, baik dari kalangan orang kafir atau dari kalangan kaum muslimin.
Diperkecualikan darinya apa yang terjadi antara negara muslim dan negara harby. Kalau negara (muslim) memerangi negara kafir dan tidak ada antara keduanya mu’âhad atau hilif (perjanjian) dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, maka dalam keadaan ini (boleh) bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang dengannya bisa mengalahkan musuh mereka, dan menahan musuh dan kezhalimannya, mengembalikan harta benda mereka, menjaga bumi dan kehormatan mereka dan selainnya. Semua ini dianggap perkara yang boleh.
Adapun apa yang berkaitan dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari laki-laki dan perempuan kaum muslimin, orang-orang kafir dan selain mereka, maka mereka itu tidak boleh diserang secara tiba-tiba khususnya kalau antara kaum muslimin dan bangsa-bangsa (kafir) ini ada mu’âhad, hilif dan selain itu.
Berdasarkan keterangan Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlân di atas bahwa Al-Irhâb (terorisme) terbagi dua yaitu al-Irhâb yang disyari’atkan. Terorisme tercela. Dan tulisan ini hanya difokuskan terhadap terorisme yang dicela oleh syariat.

TERORISME BUKAN JIHAD

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa terorisme memiliki dwi makna. Terkadang makna terorisme bermakna positif dan pada saat lain bermakna negatif. Terorisme bermakna positif ketika diarahkan untuk tujuan damai dengan cara menakut-nakuti musuh Allah dan musuh  umat Islam melalui persiapan peralatan militer, pelatihan perang dan sebagainya. Aktivitas menakut-nakuti musuh Allah dan musuh umat Islam seperti itu merupakan bagian dari jihad yang diperintahkan Allah di dalam al-Quran surat Al-Anfâl : 60.
Namun, makna teror berubah menjadi negatif ketika aksi terorisme ditujukan untuk menimbulkan kekacauan politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya seperti membunuh orang tidak bersalah, melakukan penculikan dan sebagainya. Aksi terorisme seperti itu sangat dilarang di dalam syariat Islam bahkan digolongkan dalam dosa-dosa besar[13].
Oleh sebab itu, pemahaman komprehensif dan integratif tentang jihad harus dilakukan agar tidak mencampur-adukkan antara jihad yang positif dengan terorisme yang negatif. Walaupun membunuh musuh merupakan salah satu aksi jihad namun pembunuhan tidak boleh dilakukan bagi orang-orang yang tidak yang tidak terlibat langsung dengan peperangan. Antara jihad dan terorisme diibaratkan seperti umum dan khusus. Di mana dalam unsur jihad terdapat unsur teror akan tetapi dalam dalam unsur terorisme tidak terdapat unsur jihad.  Sehingga kadang-kadang terorisme bisa dimasukkan dalam bahagian jihad tapi sebaliknya jihad tidak bisa dimasukkan bahagian daripada jihad. Hal ini sebagaimana difahami dari al-Anfâl : 60.
Maka pemahaman jihad secara parsial telah menjerumuskan sebagian umat Islam ke dalam mis-interpretasi makna jihad. Padahal kata jihad dan terorisme, masing-masing memiliki makna yang berbeda. Namun demikian dua istilah tersebut telah dipahami secara rancu oleh sebagian masyarakat modern khususnya dunia Barat dan sebagian umat Islam. Di mana terorisme difahami sebagai manifestasi dari jihad. Padahal sesungguhnya dua istilah tersebut memiliki subtansi definisi yang berbeda.
Dalam kajian literatur bahasa didapati kata jihad berasal dari kata kerja jadahada, yujahidu, jihadan. Kata jahada dibina di atas wazan fiil mufa’alah. Oleh karena itu, ini merupakan bentuk kata kerja dari jahada-yajhadu-juhdan wa jahdan. Kata ini diartikan oleh para ahli bahasa dengan al-Masyaqqah wa al-Thaqah yaitu menempuhi jalan yang susah dan penuh tantangan[14].
Sedangkan terorisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan kata irhab. Kata tersebut berasal dari kata kerja muta’addi (transitif) ,”arhab-yurhibu-irhaban,”. Kata ini diartikan dalam Lisan al-Arab dengan akhafa wa az’aja yaitu sebagai bentuk menakut-nakuti dan menimbulkan rasa tidak aman[15]. 
Berkata al-Raghib al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’âlâ, “Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya[17].”
Adapun secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir[18].”
Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.  Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama[19].”
Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan keutamaannya. Akan tetapi, - sebagaimana dijelaskan sebelumnya tentang terminasi terorisme-, aksi terorisme yang dilancarkan oleh sebagian umat Islam dengan mengatasnamakan jihad, telah mendiskreditkan konsep jihad seutuhnya. Walaupun tidak dapat dinafikan bahwa jihad juga memiliki subtansi teror akan tetapi teror tersebut bukanlah tujuan daripada jihad. Karena jihad mempunyai tujuan mulia yaitu meninggikan agama Allah dan dilakukan dengan cara-cara yang diridhai Allah.Kekeliruan dalam memahami konsep di antaranya dapat dilihat dari kekeliruan definisi jihad, kekeliruan seputar hukum jihad, kekeliruan tahapan-tahapan jihad, kepemimpinan dan target jihad[20].
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa jihad bukanlah terorisme. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari konsep dan manifestasi dari jihad dan terorisme. Jihad disyariatkan oleh Allah s.w.t. untuk tujuan damai. Sedangkan terorisme diciptakan oleh manusia untuk tujuan menimbulkan kepanikan dan kekacauan. Bagi seorang muslim, jihad wajib hukumnya akan tetapi akan berbeda dari satu orang kepada orang lainnya. Seseorang bisa melakukan jihad dengan jiwa, bisa dengan harta, bisa ibadah haji, bisa dengan menuntut ilmu dan sebagainya. sedangkan terorisme senantiasa identik dengan kekerasan seperti bom bunuh, penculikan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.


LATAR BELAKANG KEMUNCULAN TERORISME

Munculnya jaringan dan sel-sel terorisme baik nasional, regional  dan internasional tidak dapat dipisahkan dari latar belakangnya. Menurut Muladi Mughni, terdapat beberapa faktor yang dapat menyulut dan memunculkan aksi terorisme-radikalisme. Di antara faktor yang menyulut munculnya aksi terorisme-radikalisme sebagai berikut[21]

1. Faktor Pemikiran

Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama.
Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan penentangannya terhadap alam realitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme.
Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produktif bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.
Di samping itu, banyaknya sekelompok orang yang lebih memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar (rusukh). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Qur’an, ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad.
Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lain-lain.
Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri.

2. Faktor Ekonomi 

William Nock pengarang buku “Perwajahan Dunia Baru” mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia”. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional.
Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mengatakan, salah satu faktor utama berkembangnya terorisme di Indonesia adalah kemiskinan. ''Kemiskinan menjadi sumber masalah, seperti terorisme, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kegoncangan sosial [22],''

3. Faktor Politik

Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.
Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.
Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini.

4. Faktor Sosial

Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang.
Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.

5. Faktor Psikologis

Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.
Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.

6. Faktor Pendidikan

Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.
Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar

ANTISIPASI TERORISME

Pendekatan Militeristik

Terorisme sudah menjadi isu global bahkan dunia internasional sudah menjadikan terorisme sebagai musuh utama. Hal ini disebabkan oleh dampak negatif terorisme yang kian haris semakin meresahkan masyarakat internasional. Di antara kejadian besar aksi terorisme yang menjadi fokus dunia internasional adalah peledekan pusat dagang dunia (WTC) pada tanggal 11 september tahun 2001.

Pasca kejadian tersebut, pemerintah Amerika Serikat Melalui Resolusi Dewan Keaman PBB 1373, AS mendapat kewenangan untuk memimpin perang global terhadap terorisme[23]. Dan AS menuduh jaringan al-Qaedah yang berpusat di Afghanistan bertanggungjawab atas peledakan gedung WTC tersebut. Dan pada akhirnya menjadikan isu tersebut untuk justifikasi invasi ke Afghanistan. Namun sehingga sekarang, dunia Internasional dan Amerika Serikat sendiri belum bisa menetapkan tersangka utama peledakan tersebut.

Ternyata, invasi AS dan Sekutunya ke Afghanistan untuk mencari dalang pemboman WTC tidak dapat mengungkap lebih banyak informasi tentang pelaku utama pemboman. Bahkan skandal baru terjadi, di mana para tersangka terorisme yang ditangkapi bumi Afghanistan dan ditahan di teluk Guantanamo mendapatkan perlakuan yang tidak manusia. Sehingga kasus penjara Guantanamo menjadi polemik global dan kemudian memaksa AS untuk mengakui kekeliruan dalam menangani para tersangka terorisme.

Apabila dilihat beberapa kasus penanganan terorisme di tanah air, maka akan didapati pemerintah Indonesia lebih mengedepankan cara-cara militeristik. Di antara beberapa kasus penanganan terorisme di Indonesia dapat dilihat mengedepankan pendekatan kekerasan (militeristik), di antaranya penggerebekan dan penyerangan kantong teroris Noordin M Top, buronan berbagai kasus terorisme yang sudah sembilan tahun diburu, dan tewas dalam penangkapan di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah pada Kamis. Dalam insiden penangkapan itu polisi juga menembak mati tiga tersangka lain yakni Bagus Budi Pranoto alias Urwah, Hadi Susilo dan Aryo Sudarso alias Aji[24].  

Di samping melakukan penggerebekan dan menembak mati tersangka terorisme, pemerintah melalui pendekatan militeristik juga berhasil menangkap beberapa tersangka terorisme di antaranya; Dany als Taufik Bin Abdul Halim, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada tanggal 9 Agustus 2001 – Pelaku peledakan Bom Atrium Senen ( 1 Agustus 2001 ), Abbas ditangkap di Tasikmalaya pada tanggal 11 September 2001 - Pelaku peledakan Bom Atrium Senen ( 1 Agustus 2001 ), Umar Al Faruq warga Yaman , ditangkap bulan Juni 2002 di Bogor dan dikirim ke dikirim ke Pangkalan Udara di Bagram, Afghanistan atas permintaan Pemerintah Amerika – diduga sebagai operator Al- Qaeda di Asia Tenggara, Ustad Abu Bakar Ba’asyir Ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 18 Oktober 2002 – dikaitkan dengan pengakuan Umar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman Bali, Amrozy ditangkap di Jawa Timur pada tanggal 5 November 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 Oktober 2002 ), Imam Samudera als Abdul Aziz ditangkap di pelabuhan Merak pada tanggal 26 November 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 0ktober 2002 ), Ali Gufron als Muklas als Huda Bin abdul Haq als Sofyan ditangkap di Klaten pada tanggal 3 Desember 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 0ktober 2002 ), Hambali als Cecep Nurjaman als Riduan Isamudin ditangkap di Thailand pada tanggal 12 Agustus 2003 – diduga sebagai otak serangkaian pemboman di Indonesia, Jabfar ( WN malaysia ) ditangkap di ds Grinsing Batang, Jawa Tengah pada tanggal 5 Pebruari 2004, berdasarkan keterangan dari Jabfar ditangkap Amran bin Mansur als Andi Saputra – Pelaku peledakan Bom Marriot ( 5 agustus 2003 ), Iwan Darmawan als Rois ditangkap di Bogor beserta 3 orang rekannya ( Hasan als Purnomo als Agung , Sogir Als Anshori , Apuy als Saipul Bahri, pada tanggal 5 November 2004 – Pelaku peledakan Bom Kuningan ( kedubes Australia 9 September 2004 )[25]

Namun kebijakan mengedepankan pendekatan militeristik mendapatkan kritik dari berbagai kalangan sehingga pada akhir-akhir ini pemerintah juga melakukan pendekatan deradikalisasi yaitu merekrut para sarjana agama. Mereka menjadi bagian tim deradikalisasi di bawah Densus 88[26].



Pendekatan Komprehensif

Berdasarkan uraian terdahulu tentang konsep jihad dan terorisme, nampak jelas perbedaan yang sangat signifikan di antara kedua istilah tersebut. Di mana istilah jihad senantiasa dikaitkan dengan suatu perjuangan menegakkan agama Allah s.w.t di muka bumi namun pelaksanaannya senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal. Sedangkan terorisme senantiasa dikaitkan dengan suasana kekacauan di mana pelaksanaannya tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip universal dan kemanusiaan.

Dari itu, Islam tidak menggalakkan terorisme untuk tujuan kekacauan tapi menggalakkan jihad untuk tujuan kedamaian. Jihad akan senantiasa sesuai dengan konteks kekinian. Sedangkan terorisme hanya memiliki satu model aplikasi yaitu menimbulkan kekacauan pada umat manusia. Di antara bentuk jihad yang senantiasa kontektual dan untuk tujuan damai adalah haji[27]..Dan bentuk lain dari jihad adalah menuntut ilmu[28] dan lain-lain.

Kemunculan terorisme yang menjelma menjadi sebagai salah satu kekuatan yang sangat menakutkan bukanlah tanpa ada latar belakangnya. Berdasarkan kajian latar belakang munculnya terorisme, sebagaimana disebutkan oleh Muladi Mughni di dalam pesantren virtual. com, di mana di antara faktor yang menyebabkan timbulnya radikalisme-terorisme di tubuh umat Islam adalah faktor pemikiran, ekonomi, politik, sosial, psikologi, dan pendidikan. Enam faktor tersebut telah menyumbang tumbuh dan berkembangnya radikalisme-terorisme di dalam tubuh umat Islam.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sudah sepantasnya penanganan terhadap isu-isu terorisme harus mengedepankan pendekatan-pendekatan yang komprehensif. Sehingga tidak hanya mengedepankan pendekatan militeristik saja.

Lebih lanjut, apabila diteliti dari cara-cara penanganan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia secara khusus dan dunia internasional secara global, maka akan didapati penanganan terorisme ala militeristik sangat dikedepankan. Sehingga pembentukan unsur-unsur militer dan pelatihan pasukan khusus anti teror menjadi prioritas. Di Indonesia, Densus 88 merupakan salah satu unsur militer yang mendapat pelatihan khusus dari pasukan anti teror Amerika dan diberikan mandat khusus untuk melakukan pengejaran, penyerbuan dan melumpuhkan jaringan terorisme.

Dengan mengedepankan pendekatan ala militeristik maka dari beberapa peristiwa penggerebekan terhadap kantong-kantong terorisme di Indonesia, pasukan Densus 88 terbukti mampu melumpuhkan dengan menembak mati beberapa gembong terorisme seperti Nurdin M. Top, Dr. Azhari, Ibrahim. Di samping itu, juga berhasil menangkap hidup-hidup beberapa pelaku terorisme seperti Amrozi, Ali Imran dan Mukhlas dan sebagainya. Sebut saja Amerika, dengan alasan memburu teroris di Afghanistan maka pengerahan militer dilakukan. Demikian juga untuk melumpuhkan Iraq dan Saddam Husein maka militer menjadi alasan utama. Sedangkan negara Israel dibiarkan dengan penuh keleluasaan membantai dan mengintimidasi warga negara Palestina setiap saat.

Pendekatan militeristik di satu sisi dan standar ganda Amerika Serikat dan sekutunya, sedikit banyak menyumbang kepada tumbuhnya terorisme dalam skala besar. Dan di satu sisi lainnya juga menyebabkan terorisme tidak dapat ditangani sampai ke akar-akarnya karena akan menyebabkan terseretnya Israil yang dilindungi ke meja hijau mahkamah internasional.


Adapun pendekatan-pendekatan secara komprehensif selain pendekatan militeristik sangat jarang dilakukan. Padahal apabila dikaji lebih jauh, terorisme tidaklah muncul dari sebuah kekosongan ideologi bahkan terorisme sudah menjadi sebagai ideologi kelompok-kelompok ekstrimis. Sehingga dalam beberapa penelitian menyebutkan kemunculan terorisme di seluruh dunia pada saat ini tidak lagi terikat dengan jaringan-jaringan tertentu. Bahkan mereka tumbuh sebagai kekuatan yang tidak terikat dengan komando-komando militer.

Di antara pendekatan lainnya yang patut dipertimbangkan dalam menangani terorisme adalah metode dakwah. Dalam metode dakwah, al-Quran melakukan pendekatan yang variatif dalam menghadapi keingkaran golongan ahlul kitab terhadap ajaran Islam. Di antaranyanya seperti dalam firman Allah s.w.t. berikut ini:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Maksudnya:
Serulah manusia pada jalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.....[29].
Walaupun teks ayat di atas berbicara dalam konteks dakwah terhadap ahlul kitab, namun konteks dakwah tersebut dapat digunakan dalam konteks yang lainnya. Dalam konteks terorisme, tiga metode dakwah dalam ayat di atas sangat relevan untuk digunakan dalam rangka mencegah terorisme yaitu metode dakwah dengan hikmah, metode dakwah dengan mau’izhah hasanah dan metode diskusi ilmiah.
Sebagaimana dijelaskan dalam faktor-faktor munculnya terorisme-radikalisme di antaranya adalah disebabkan oleh pemahaman syariat jihad secara parsial dan keliru sehingga memunculkan aksi perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap telah tersesat jauh dari syariat Islam yang benar. Sehingga mereka menjadikan pemerintah Islam dan non-Islam sebagai sasaran aksi terorisme.
Maka untuk meluruskan pemahaman terhadap hakikat jihad, melalui tiga metode dakwah tersebut dapat dilakukan untuk meluruskan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari aqidah islamiyah yang suci, syariah Islam yang lurus dan moral Islam yang sempurna. Metode dakwah juga bisa berperan melakukan counter ideologi terorisme.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan militeristik juga diperlukan namun tentunya pendekatan melalui metode dakwah harus mendahului pendekatan-pendekatan lainnya. Karena apabila diteliti, akar utama terjadinya aksi terorisme adalah disebabkan oleh pemahaman teks-teks al-Quran dan al-Hadits yang melenceng jauh dari subtansi yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari dalil yang digunakan oleh kaum khawarij ketika mengkafirkan Ali bin Abi Thalib kwh dan beberapa shahabat utama lainnya. Di mana mereka menggunakan teks al-Quran (5:44) dan memahaminya secara keliru dalam ayat berikut:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Maksudnya:
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hokum yang diturunkan Allah maka merekalah orang-orang kafir[30].

Namun teks tersebut telah ditafsirkan secara tidak benar, sehingga Ali bin Abi Thalib kwh menjawab,” kalimat kebenaran akan tetapi digunakan untuk kebatilan”,. Dan pada zaman modern sekarang, ungkapan-ungkapan kebenaran sebagaimana dikatakan kepada Ali bin Abi Kwh juga diulang-ulang kembali oleh penganut ideologi ekstrim neo-khawarij. Maka tak heran, apabila mereka berani menghilangkan nyawa Ali bin Abi kwh tempo, pasti mereka juga tidak akan segan untuk menghilangkan nyawa manusia yang lebih rendah kualitas ilmu dan imannnya dibandingkan Ali bin Abi Thalib.

Ketika golongan khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib beserta shahabat-shahabat nabi lainnya, diceritakan dalam kitab Bada’i al-Silk fi Thaba’i al-Mulk (1:181), Ibnu Abbas r.a. menyelinap masuk ke dalam kalangan khawarij dan melakukan diskusi dan perdebatan ilmiah. Dan ternyata beliau berhasil menyadarkan dua ribu atau tiga ribu orang pengikut khawarij[31].

Latar belakang pendidikan juga merupakan salah satu akar timbulnya terorisme. Maka Pendekatan melalui pendidikan dapat juga menyumbang dalam menangani pertumbuhan ideologi terorisme. Karena dari beberapa pengamatan terhadap mantan anggota terorisme, didapati lembaga pendidikan ikut menyumbang tumbuh dan berkembangnya ideologi terorisme di kalangan pelajar. Oleh sebab itu, sangat urgen untuk mengembangkan lembaga pendidikan islami yang jauh dari ajaran ideologi terorisme tercela. Hal ini bisa dilakukan melalui evaluasi dan pengawasan terhadap kurikulum pendidikan, bahan ajar dan para staf pengajar serta lingkungan akademik.

Pendekatan lainnya yang juga patut dikedepankan dalam menangani terorisme adalah pendekatan pemberdayaan ekonomi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan juga ikut mempengaruhi sikap kalangan orang miskin untuk menjadi bagian dari terorisme. Maka pemberdayaan ekonomi melalui beberapa mekanisme syariat dapat diketengahkan di antaranya seperti dalam bentuk bantuan konsumtif dan produktif. Di samping itu juga perlu dilakukan penguatan lembaga keluarga, masyarakat dan negara agar senantiasa berada dalam jamaah mayoritas kaum muslim ahlussunnah wal jamaah.

Dan masih banyak lagi, pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam menangani terorisme. Dan pendekatan komprehensiflah yang harus dikedepankan dalam menangani terorisme. Sehingga pendekatan militeristik bukanlah satu-satunya pendekatan dalam menangani terorisme.


PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu tentang terorisme dan jihad maka dapat disimpulkan bahwa terorisme tidak dikatakan sebagai jihad karena aplikasi terorisme sangat jauh dari konsep jihad yang bertujuan damai. Oleh sebab itu, usaha-usaha yang dilakukan untuk menjustifikasi terorisme sebagai bagian dari jihad tidak akan mendapatkan tempat yang layak dalam percaturan kajian-kajian ilmu keislaman.
Dengan demikian, jihad tidak dapat dipersamakan dengan terorisme walaupun di dalam unsure jihad juga terdapat unsure terorisme. Namun unsure tersebut tidak lebih dari usaha untuk defensive umat Islam dalam mewasdapadai serangan musuh Islam agar tidak menyerang negara Islam dan menghancurkan Islam.
Walaupun Islam tidak menjustifikasi aksi-aksi terorisme namun Islam juga tidak menjustifikasi pendekatan-pendekatan yang tidak islami dan manusia dalam penanganan terorisme. Maka dalam penanganan terorisme harus dikedepankan pendekatan yang komprehensif dengan melakukan tahapan-tahapan yang sesuai dengan tuntutan peristiwa. Namun pendekatan dakwah harus dikedepankan terlebih dahulu dibandingkan pendekatan militeristik yang cenderung menciptakan konflik baru yang lebih subuh.





BIBLIOGRAPHY


Al-Quran al-Karim
‘Âdil ‘Abdul Jabbâr, (t.t),  Al-Irhâb Fii Mîzân Asy-Syarî’ah,  t.pt:t.tp

Al-Bukhari. Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, (1407 H/1987 M), Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Kathir.

al-Harby, DR. Muthî’ullah (t.t), Haqiqutul Irhâb, t.tp: t.p

al-Husainy, Muhammad, (t.t), Al-Irhâb Mazhôhiruhu wa Asykâluhu, t.tp:t.p.

al-Kailani, Dr. Haitsam (t.t), Al-Irhab Yu-Assassu Daulati Namuudzaji Israa-Il, terjemahan : Siapa Teroris Dunia?, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah

al-Turmuzi. Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmizi al-Silmy (t.t), Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby

Bayân Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah fi al-Azhar Bisya`ni Zhahirat al-Irhâb (1422H).

Ibnu Hajar, Syihab al-Din Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Kannany al-Asqalany al-Syafii (t.t), Fath al-Bari, Beirut: Dar Ibn Kathir.

Ibnu Manzur, Muhammad bin Makram bin Manzur al-Ifriqy al-Mashry (t.t), Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shadir.

Qarârât Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islâmy

www. astiol.com
www. Jihadbukankenistaan.com


[1] www.politikindonesia.com, diakses pada 18-10- 2010
[2] http://buletinlitbang.dephan.go.id  STT No. 2289 Volume 10 Nomor 19 T.A. 2007
[3] QS. 5: 33
[4] al-Quran 4:75
[5]DR. Muhammad ‘Azîz Syukry, Al-Irhâb Ad-Duwaly,  h. 21 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah al-Harby, h. 13-14
[6] DR. Haitsam al-Kailâny, Al-Irhâb Yu`assisu Daulah, h. 17 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah al-Harby hal. 7.
[7] DR. Haitsam Al-Kailâny, ibid,  h. 51 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah Al-Harby, h. 7.
[8] Bagian pertama dari kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme. DR. ‘Âdil ‘Abdul Jabbâr, Al-Irhâb Fii Mîzân Asy-Syarî’ah,  h. 20, Prof. DR. Muhammad Al-Husainy, Al-Irhâb Mazhôhiruhu wa Asykâluhu,  h. 8, DR. Muthî’ullah Al-Harby, ibid, h. 8.
[9]Bayân Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah fil Azhar bisya`ni zhohiratil Irhâb 1422H.
[10] Qarârât Al-Majma al-Fiqhi al-Islâmy, h. 355-356
[11] QS. Al-Anfâl : 60
[12] al-Syarq al-Awsath dalam http://www.ahlussunnah-jakarta.com
[13] Lihat hadits Jenis-Jenis Dosa Besar dalam al-Bukhari, al-Shahih, Juz 10, h. 142, nomor hadits 2766
[14] Ibnu Manzur, Muhammad bin Makram bin Manzur al-Ifriqy al-Mashry (t.t), Lisan al-Arab, Dar Shadir, Beirut-Lubnan, Juz 1, h. 133
[15] Ibid, Juz 1, h. 436

[16] Qs, al-Hajj: 17
[17]Ibnu Taimiyah dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد
[18]  Hâsyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’, Juz. 4, h. 253 dan Nail al- Awthâr, Juz  7, h. 246.
[19] Fathul Bâri , Juz. 6, h. 4-5 dan  Nail al-Awthâr, Juz 7, h. 246-247
[20] www.jihadbukankenistaan.com

[22] www.republika.co.id , senin 12 Maret 2010
[23] Aspiannor Masrie dalam http://yadmi.or.id
[24] http://m.antaranews.com, kamis 17 September 2009

[25] http://www. astiol.com
[26] Kombes Herwan Chaidir dalam http://www.suarakarya-online.com, Senin, 8 November 2010
[27] al-Bukhari, al-Shahih, juz. 7, h. 116, nomor hadits 1861
[28] Turmuzi, Sunan Turmuzi, juz. 10, h. 148,  nomor hadits 2859.
[29] Al-Quran, al-Nahl: 125
[30] Al-Quran, 5:44
[31] Bada’i al-Silk fi Thaba’i al-Mulk  dalam al-Maktabat al-Syamilah, Juz 1, h.181
Previous
« Prev Post

Related Posts

Kamis, Desember 06, 2012

0 comments:

Posting Komentar