JIHAD DAN
TERORISME: SUATU ANALISA PERBANDINGAN
MUKHLISH
MUHAMMAD NUR
Dosen pada
Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
ABSTRAK
Terorisme
telah menimbulkan kepanikan dunia internasional. Namun usaha-usaha dalam
menangani terorisme belum maksimal. Di antaranya disebabkan oleh masih banyaknya
tafsiran terorisme mengikuti kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya.
Sehingga beberapa aksi teror yang dilakukan oleh
sebagian orang dianggap sebagai terorisme namun di lain pihak dengan kasus yang sama, namun tidak dikategorikan sebagai terorisme. Multi tafsir terorisme tentunya sangat membahayakan gerakan penanganan terorisme yang lebih adil dan manusiawi. Walaupun demikian, pendekatan-pendekatan yang Islami dan manusiawi patut dikedepankan dalam rangka penanganan terorisme. Dan ini mengindikasikan bahwa terorisme bukanlah jihad sehingga pemberantasan terorisme bukanlah berarti pemberantasan jihad. Karena subtansi, konsepsi dan manifestasi jihad sangat jauh berbeda dari terorisme.
sebagian orang dianggap sebagai terorisme namun di lain pihak dengan kasus yang sama, namun tidak dikategorikan sebagai terorisme. Multi tafsir terorisme tentunya sangat membahayakan gerakan penanganan terorisme yang lebih adil dan manusiawi. Walaupun demikian, pendekatan-pendekatan yang Islami dan manusiawi patut dikedepankan dalam rangka penanganan terorisme. Dan ini mengindikasikan bahwa terorisme bukanlah jihad sehingga pemberantasan terorisme bukanlah berarti pemberantasan jihad. Karena subtansi, konsepsi dan manifestasi jihad sangat jauh berbeda dari terorisme.
Keywords: terorisme, jihad,
subtansi dan manifestasi.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, terorisme telah menjadi isu global dan sekaligus musuh global. Dalam
seminar internasional penanggulangan terorisme di Nusa Dua Bali, senin (18/10),
Ansyaad Mbai,- Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT)-, mengatakan bahwa
terorisme musuh bersama (global) dan tidak bisa ditanggulangi sendiri. Secara
konkret, bentuk kerja sama yang dijalin, antara lain, pertukaran informasi
antarnegara terkait terorisme, peningkatan sumber daya manusia, dan kapasitas
kelembagaan[1].
Dunia Internasional yang diprakarsai oleh Amerika Serikat telah menjadikan
terorisme sebagai musuh bersama. Sehingga isu terorisme hangat diperbincangkan
di forum-forum resmi dan tidak resmi baik skala nasional maupun skala
internasional. Pada skala internasional, perbincangan tentang terorisme telah
diprakarsai oleh PBB semenjak tahun 1972, bahkan PBB telah membentuk Dewan
Khusus Terorime Internasional. Sedangkan pada skala negara, Amerika dan
Sekutunya telah menggiring beberapa negara di dunia untuk melakukan kerjasama
mencegah terorisme internasional. Di antaranya termasuk Indonesia yang
mendapatkan suntikan dana dan pelatihan pasukan anti terorisme; Densus 88.
Berkembangnya isu terorisme sebagai isu global tidak luput dari peran dan
pengaruh media cetak dan media elektronik. Di mana kedua media tersebut
senantiasa mempublikasikan setiap aksi kejadian
yang dilakukan oleh jaringan terorisme. Beberapa kejadian penting aksi
terorisme internasional yang tidak luput dari pemberitaan media elektronik dan
cetak seperti peristiwa pemboman gedung WTC oleh dua pesawat komersial yang
tidak terlacak oleh radar pada tanggal 11 September 2001, serangan terhadap
Gedung Pentagon di Pensylvania.
Beberapa aksi terorisme di Indonesia juga tidak luput
dari liputan media cetak dan media elektronik. Tri Poetranto menyebutkan
beberapa peristiwa pengeboman memakan korban jiwa dan merusak sarana dan
prasarana. Aksi teroris yang terjadi di
Indonesia antara lain 1998, di Gedung Atrium Senin, Jakarta, 1999, di Plaza
Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta, 2000, di Gereja GKPI dan Gereja
Katolik Medan serta rumah Dubes Filipina, 2000 dan 2001, Peledakan di beberapa
Gereja di malam Natal, 2002, Peledakan di Kuta Bali, Mc Donald Makasar, 2003,
Peledakan di JW Marriot, 2004, Peledakan di Kedubes Australia, 2005. Peledakan
bom Bali II [2].
Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian aksi terorisme di Indonesia.
Kejadian-kejadian di atas telah menimbulkan kepanikan dan
kekacauan di segala bidang. Sehingga penanganan terhadap gerakan terorisme
perlu dilakukan dengan berbagai cara. Karena mengedepankan cara-cara ala
militeristik hanyalah mampu menuntaskan fenomena-fenomena terorisme namun tidak
akan mampu menuntaskan akar dari terorisme itu sendiri.
Upaya-upaya untuk menangani terorisme telah banyak
dilakukan baik dalam bentuk kerjasama militer dan intelijen maupun operasi
militer. Namun demikian, istilah terorisme belum difahami oleh berbagai bangsa
dengan makna yang sama. Sehingga terorisme difahami menurut kepentingan
politik, ekonomi, militer dan sebagainya. Dengan demikian, tafsiran terorisme
akan berbeda maknanya dari suatu negara ke negara lain apabila kepentingan
politiknya berbeda. Maka tidak heran, apabila Amerika Serikat dan Sekutunya
menggunakan standar ganda dalam memaknai terorisme.
TERMINASI TERORISME
Kata terorisme atau dalam kamus arab moderen diterjemahkan dengan kata ”irhab”
merupakan salah satu istilah Arab modern. Oleh sebab itu kata irhab tidak ditemukan
dalam kajian ulama-ulama terdahulu. Beberapa istilah yang sering digunakan
dalam kajian para ulama klasik untuk menggambarkan suatu tindakan menimbulkan
kekacauan di antaranya seperti al-Baghyu yaitu yaitu
pemberontakan bersenjata menentang pemerintahan yang sah dan adil, intimidasi
kepada khalayak banyak dan penyelidikan atas tujuan politik yang bermaksud
memecah belah serta membahayakan keutuhan nasional. Istilah lainnya juga
didapati seperti al-harabah, yang berdefinisi "penggunaan
senjata, di darat dan di laut, siang atau malam hari, untuk mengintimidasi
rakyat, kota-kota atau daerah lainnya, oleh laki-laki atau perempuan lemah dan
kuat[3] (QS. 5:33). Kita juga
mendapati teks Islam yang berkenaan dengan ini, misalnya pembunuhan (al-fatk),
penipuan (al-ghilah)
dan persekongkolan jahat (al- I’timar).
Lebih jauh lagi, kita juga mendapati persyaratan sistem moral Islam yang
terdiri dari konsep-konsep yang tidak diketahui oleh hukum positif namun
berakar secara mendalam pada sistem ini. Misalnya berbohong termasuk dosa besar
dan begitu pula fitnah. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa Islam benar-benar
melindungi seluruh bentuk kebebasan manusia yang sebenarnya, dan melindungi harkat
martabat individu dan masyarakat, juga kepaduan masyarakat dan integritas
keluarga. Islam memandang segala bentuk penyerangan atas mereka sebagai
kejahatan besar yang mesti dihukum seberat-beratnya seperti hukuman mati,
penyaliban dan sebagainya.
Islam menegakkan prinsip tanggung jawab personal dan memandang serangan
berupa apapun terhadap orang tak berdosa sebagai kejahatan besar. Islam
berorientasi pada perlindungan pada si lemah, si tertindas dan menyeru jihad
untuk melindungi mereka: "Dan mengapakah engkau tidak berperang
karena Allah, dan orang-orang tua laki-laki dan wanita yang tidak berdaya
…" [4].
Apabila dikaji dari sejarah penggunaan istilah terorisme, maka penggunaan kata terorisme dengan
pengertian sekarang ini bermula dari ideologi Eropa pada masa revolusi Prancis
tahun (1789-1794 M). Walaupun telah diketahui bahwa pada masa Yunani, Romawi dan
abad pertama masehi telah tercatat beberapa kejadian terorisme[5].
Dan para ilmuwan pada zaman ini berselisih pendapat dalam memberikan
definisi tentang terorisme ini, padahal kalimat terorisme adalah kalimat yang
paling banyak digunakan di tahun-tahun terakhir ini. Menurut Persatuan
Bangsa-bangsa (PBB), “Terorisme adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan
jiwa manusia yang tidak berdosa atau menghancurkan kebebasan asasi atau
melanggar kehormatan manusia[6].”
Menurut peraturan internasional, “Terorisme ialah sejumlah perbuatan yang
dilarang oleh peraturan-peraturan kenegaraan pada kebanyakan negara[7].”
Dalam
kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme, dikatakan bahwa “Terorisme
adalah setiap perbuatan berupa aksi-aksi kekerasan atau memberi ancaman
dengannya, apapun pemicu dan maksudnya. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan
dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di
tengah manusia, atau membuat mereka takut, atau memberikan bahaya pada
kehidupan, kebebasan atau keamanan mereka, atau melekatkan bahaya pada suatu
lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan (umum atau khusus), atau menduduki
maupun menguasainya, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset
negara[8].”
Demikian
beberapa definisi terorisme dan masih banyak lagi definisi lain yang tidak ada
keperluan untuk menyebutkannya disini. Karena kebanyakan definisi tersebut
hanya memberikan batasan sesuai dengan tujuan dan kemashlahatan untuk pihak
tertentu saja, sehingga kalau ada negara atau komunitas yang terzhalimi membela
diri mereka dengan menyerang pihak musuh yang merampas tanah dan kehormatan
mereka seperti yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Iraq dan lain-lainnya,
maka hal tersebut masih tergolong terorisme dalam sebagian definisi di atas.
Bahkan belakangan ini setiap muslim yang teguh menjalankan agamanya sesuai
dengan tuntunan yang benar juga dianggap teroris.
Sepanjang tidak ada kesepakatan dari seluruh negara tentang definisi terorisme, maka seharusnya kita tidak menoleh kepada definisi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dalam penggunaan kalimat terorisme tersebut. Dan seharusnya kita memperhatikan definisi yang telah disebutkan oleh ulama sekarang tentang masalah ini.
Sepanjang tidak ada kesepakatan dari seluruh negara tentang definisi terorisme, maka seharusnya kita tidak menoleh kepada definisi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dalam penggunaan kalimat terorisme tersebut. Dan seharusnya kita memperhatikan definisi yang telah disebutkan oleh ulama sekarang tentang masalah ini.
Majma’ Al-Buhûts Al-Islâmiyah di Al-Azhar, setelah
kejadian 11 September 2001, menyebutkan bahwa “Terorisme adalah membuat takut
orang-orang yang aman, menghancurkan kemashlahatan, tonggak-tonggak kehidupan
mereka, dan melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan
manusia dengan penuh kesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi[9].”
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan syar’iy
oleh Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmy. Lembaga fiqih internasional ini pada tanggal
15/10/1421H bertepatan 10/1/2001 (yaitu sepuluh bulan sebelum kejadian 11
September 2001M) mengeluarkan definisi tentang terorisme, “Terorisme adalah
suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau
negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah,
akal, harta dan kehormatannya). Dan ia mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa
takut, gangguan, ancaman dan pembunuhan tanpa haq serta apa yang berkaitan
dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di
jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada
suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan
ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap
mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau
kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentuk-bentuknya, melekatkan bahaya pada
suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau
memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara atau umum. Seluruh
hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang oleh Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ[10].”
Dan definisi di atas adalah definisi untuk kata
terorisme karena mencakup seluruh makna terorisme yang tercela dan menjelaskan
secara tidak langsung kesalahan atau kekurangan yang terdapat dalam
definisi-definisi yang pernah diletakkan oleh lembaga-lembaga internasional
sebelum Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy.
Dan dalam sebuah wawancara Harian “al-Syarq al-Ausath”
bersama Prof. DR. Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlân hafizhahullâh mengenai
masalah irhâb (terorisme), beliau menerangkan tentang terorisme
dengan penjelasan sangat jelas dan terang. Beliau berkata, “Bila kita
hendak berbicara tentang irhâb, sudah selayaknya untuk meletakkan
gambaran tentang makna irhâb. Apakah irhâb itu secara bahasa?,
dan apa yang dimaksud dengannya secara istilah?.
Al-Irhâb secara bahasa adalah melakukan sesuatu yang
menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang aman,
menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan
aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan dan
interaksi.
Adapun maknanya dalam syari’at adalah segala
sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta
atau pelampauan batas dengan berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhâb. Allah
Ta’âla berfirman, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kalian meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”.[11].
Yakni hal itu menyebabkan ketakutan pada mereka dan pengurungan keinginan
mereka (yang tidak baik) terhadap kaum muslimin dan hal lainnya. Inilah
maknanya secara istilah[12].
Berangkat dari keterangan di atas tampak bagi
kita bahwa Al-Irhâb kadang boleh dan kadang haram. Al-Irhâb
beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita
mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat
senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga
tidak lancang terhadap kita, agama, aqidah dan individu-individu umat. Ini
adalah perkara yang dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin.
Maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk dilalaikan oleh Al-Lahwu (perkara
tidak bermanfaat), perhiasan dan gemerlapnya kehidupan sehingga lengah dari
maksud dan sasaran musuh-musuh mereka. Bahkan wajib bagi mereka untuk memiliki
kekuatan sebagaimana firman Allah, “Kamu meng-irhâb (teror) musuh Allah dan
musuh kalian”. Inilah Al-Irhâb yang disyari’atkan. Adapun
Al-Irhâb yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku (irhâb) ini
dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tentram dan lapang
yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezhaliman,
lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda,
menimbulkan berbagai macam ketakutan atau selain itu, baik dari kalangan orang
kafir atau dari kalangan kaum muslimin.
Diperkecualikan darinya apa yang terjadi antara negara
muslim dan negara harby. Kalau negara (muslim) memerangi negara kafir dan tidak
ada antara keduanya mu’âhad atau hilif (perjanjian)
dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, maka
dalam keadaan ini (boleh) bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang dengannya
bisa mengalahkan musuh mereka, dan menahan musuh dan kezhalimannya,
mengembalikan harta benda mereka, menjaga bumi dan kehormatan mereka dan
selainnya. Semua ini dianggap perkara yang boleh.
Adapun apa yang berkaitan dengan irhâb
terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari laki-laki dan perempuan kaum
muslimin, orang-orang kafir dan selain mereka, maka mereka itu tidak boleh
diserang secara tiba-tiba khususnya kalau antara kaum muslimin dan
bangsa-bangsa (kafir) ini ada mu’âhad, hilif dan selain itu.
Berdasarkan keterangan
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlân di atas bahwa Al-Irhâb (terorisme) terbagi
dua yaitu al-Irhâb yang disyari’atkan. Terorisme tercela. Dan
tulisan ini hanya difokuskan terhadap terorisme yang dicela oleh syariat.
TERORISME BUKAN
JIHAD
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa terorisme memiliki
dwi makna. Terkadang makna terorisme bermakna positif dan pada saat lain
bermakna negatif. Terorisme bermakna positif ketika diarahkan untuk tujuan
damai dengan cara menakut-nakuti musuh Allah dan musuh umat Islam melalui persiapan peralatan
militer, pelatihan perang dan sebagainya. Aktivitas menakut-nakuti musuh Allah
dan musuh umat Islam seperti itu merupakan bagian dari jihad yang diperintahkan
Allah di dalam al-Quran surat Al-Anfâl : 60.
Namun, makna teror berubah menjadi negatif ketika aksi terorisme ditujukan untuk
menimbulkan kekacauan politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya seperti
membunuh orang tidak bersalah, melakukan penculikan dan sebagainya. Aksi
terorisme seperti itu sangat dilarang di dalam syariat Islam bahkan digolongkan
dalam dosa-dosa besar[13].
Oleh sebab itu, pemahaman komprehensif dan integratif tentang jihad harus
dilakukan agar tidak mencampur-adukkan antara jihad yang positif dengan
terorisme yang negatif. Walaupun membunuh musuh merupakan salah satu aksi jihad
namun pembunuhan tidak boleh dilakukan bagi orang-orang yang tidak yang tidak
terlibat langsung dengan peperangan. Antara jihad dan terorisme diibaratkan
seperti umum dan khusus. Di mana dalam unsur jihad terdapat unsur teror akan
tetapi dalam dalam unsur terorisme tidak terdapat unsur jihad. Sehingga kadang-kadang terorisme bisa
dimasukkan dalam bahagian jihad tapi sebaliknya jihad tidak bisa dimasukkan
bahagian daripada jihad. Hal ini sebagaimana difahami dari al-Anfâl : 60.
Maka pemahaman jihad secara parsial telah menjerumuskan sebagian umat Islam
ke dalam mis-interpretasi makna jihad. Padahal kata jihad dan terorisme,
masing-masing memiliki makna yang berbeda. Namun demikian dua istilah tersebut
telah dipahami secara rancu oleh sebagian masyarakat modern khususnya dunia
Barat dan sebagian umat Islam. Di mana terorisme difahami sebagai manifestasi
dari jihad. Padahal sesungguhnya dua istilah tersebut memiliki subtansi
definisi yang berbeda.
Dalam kajian literatur bahasa didapati kata jihad berasal
dari kata kerja jadahada, yujahidu, jihadan.
Kata jahada dibina di atas wazan fiil mufa’alah.
Oleh karena itu, ini merupakan bentuk kata kerja dari jahada-yajhadu-juhdan wa
jahdan. Kata ini diartikan oleh para ahli bahasa dengan al-Masyaqqah wa
al-Thaqah yaitu menempuhi jalan yang susah dan penuh tantangan[14].
Sedangkan terorisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan kata irhab.
Kata tersebut berasal dari kata kerja muta’addi (transitif)
,”arhab-yurhibu-irhaban,”. Kata ini diartikan dalam Lisan al-Arab dengan akhafa
wa az’aja yaitu sebagai bentuk menakut-nakuti dan menimbulkan rasa tidak aman[15].
Berkata al-Raghib al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh
menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan
seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang
ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang
nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman
(Allah) Ta’âlâ, “Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad
yang sebenar-benarnya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh
berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk
melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan
menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan
ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan
diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya[17].”
Adapun
secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir[18].”
Dalam
Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah,
disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim
memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak
kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah. Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah
setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke
Madinah menurut kesepakatan para ulama[19].”
Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para
ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah
penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan
keutamaannya. Akan tetapi, - sebagaimana
dijelaskan sebelumnya tentang terminasi terorisme-, aksi terorisme yang
dilancarkan oleh sebagian umat Islam dengan mengatasnamakan jihad, telah
mendiskreditkan konsep jihad seutuhnya. Walaupun tidak dapat dinafikan bahwa
jihad juga memiliki subtansi teror akan tetapi teror tersebut bukanlah tujuan
daripada jihad. Karena jihad mempunyai tujuan mulia yaitu meninggikan agama
Allah dan dilakukan dengan cara-cara yang diridhai Allah.Kekeliruan dalam
memahami konsep di antaranya dapat dilihat dari kekeliruan definisi jihad,
kekeliruan seputar hukum jihad, kekeliruan tahapan-tahapan jihad, kepemimpinan
dan target jihad[20].
Berdasarkan uraian-uraian
di atas maka dapat disimpulkan bahwa jihad bukanlah terorisme. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari konsep dan manifestasi dari jihad dan terorisme.
Jihad disyariatkan oleh Allah s.w.t. untuk tujuan damai. Sedangkan terorisme
diciptakan oleh manusia untuk tujuan menimbulkan kepanikan dan kekacauan. Bagi
seorang muslim, jihad wajib hukumnya akan tetapi akan berbeda dari satu orang
kepada orang lainnya. Seseorang bisa melakukan jihad dengan jiwa, bisa dengan
harta, bisa ibadah haji, bisa dengan menuntut ilmu dan sebagainya. sedangkan
terorisme senantiasa identik dengan kekerasan seperti bom bunuh, penculikan,
perampokan, pembunuhan dan sebagainya.
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN
TERORISME
Munculnya jaringan dan sel-sel terorisme baik nasional, regional dan internasional tidak dapat dipisahkan dari
latar belakangnya. Menurut Muladi Mughni, terdapat beberapa faktor yang dapat
menyulut dan memunculkan aksi terorisme-radikalisme. Di antara faktor yang
menyulut munculnya aksi terorisme-radikalisme sebagai berikut[21]:
1. Faktor
Pemikiran
Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat
Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat
Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka
ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan
produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama.
Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan
penentangannya terhadap alam realitas yang dianggapnya sudah tidak dapat
ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan
keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan
selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu
dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal
yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham
fundamentalisme.
Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur
dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produktif bagi bangsa
bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama
dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan
reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di
semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.
Di samping itu, banyaknya sekelompok orang yang lebih
memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik,
ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar
(rusukh). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang
dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya
sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Qur’an, ahli kedokteran berbicara
tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad.
Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki
karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat
sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika
seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan
lain-lain.
Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri.
Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri.
2. Faktor Ekonomi
William Nock pengarang buku “Perwajahan Dunia
Baru” mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi
dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia”. Liberalisme ekonomi yang
mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya
saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada
tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional.
Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat Negara tertentu,
maka akan memicu tindakan terorisme nasional.
Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.
Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mengatakan, salah
satu faktor utama berkembangnya terorisme di Indonesia adalah kemiskinan.
''Kemiskinan menjadi sumber masalah, seperti terorisme, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), dan kegoncangan sosial [22],''
3. Faktor Politik
Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan
ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran
para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan
menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari
ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan
sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.
Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah
politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal,
kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini
lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul
kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial
yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.
Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan
khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot
gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma
ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah
kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling
mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin
sejarah itu terulang kembali saat ini.
4. Faktor Sosial
Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah
adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya
perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada
tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang
untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan
masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama
kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu
sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja
dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan
tertentu.
Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih
memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap
pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan
moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran
Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan
dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang
kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam
sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya.
Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah
Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang.
Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai
pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta
mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang
ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung
menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang
berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus
lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk
menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.
5. Faktor Psikologis
Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup
individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya,
kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang
menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri
terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya
pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan
yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.
Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa
sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka
yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka
inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak
selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab
mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang
memiliki target terorisme tertentu.
6. Faktor Pendidikan
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat
menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan
dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama
khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan
toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan
persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada
ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul
daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya
generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar
sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem
pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan
kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum
agama.
Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi
terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter,
insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari
luar
ANTISIPASI TERORISME
Pendekatan Militeristik
Terorisme sudah menjadi isu global bahkan dunia
internasional sudah menjadikan terorisme sebagai musuh utama. Hal ini
disebabkan oleh dampak negatif terorisme yang kian haris semakin meresahkan
masyarakat internasional. Di antara kejadian besar aksi terorisme yang menjadi
fokus dunia internasional adalah peledekan pusat dagang dunia (WTC) pada
tanggal 11 september tahun 2001.
Pasca kejadian tersebut, pemerintah Amerika Serikat
Melalui Resolusi Dewan Keaman PBB 1373, AS mendapat kewenangan untuk memimpin
perang global terhadap terorisme[23]. Dan AS menuduh jaringan
al-Qaedah yang berpusat di Afghanistan bertanggungjawab atas peledakan gedung
WTC tersebut. Dan pada akhirnya menjadikan isu tersebut untuk justifikasi invasi
ke Afghanistan. Namun sehingga sekarang, dunia Internasional
dan Amerika Serikat sendiri belum bisa menetapkan tersangka utama peledakan
tersebut.
Ternyata, invasi AS dan Sekutunya ke Afghanistan untuk mencari dalang
pemboman WTC tidak dapat mengungkap lebih banyak informasi tentang pelaku utama
pemboman. Bahkan skandal baru terjadi, di mana para tersangka terorisme yang
ditangkapi bumi Afghanistan dan ditahan di teluk Guantanamo mendapatkan
perlakuan yang tidak manusia. Sehingga kasus penjara Guantanamo menjadi polemik
global dan kemudian memaksa AS untuk mengakui kekeliruan dalam menangani para
tersangka terorisme.
Apabila dilihat beberapa kasus penanganan terorisme di tanah air, maka akan
didapati pemerintah Indonesia lebih mengedepankan cara-cara militeristik. Di
antara beberapa kasus penanganan terorisme di Indonesia dapat dilihat
mengedepankan pendekatan kekerasan (militeristik), di antaranya penggerebekan
dan penyerangan kantong teroris Noordin M Top, buronan berbagai kasus terorisme
yang sudah sembilan tahun diburu, dan tewas dalam penangkapan di Kampung
Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah pada Kamis.
Dalam insiden penangkapan itu polisi juga menembak mati tiga tersangka lain
yakni Bagus Budi Pranoto alias Urwah, Hadi Susilo dan Aryo Sudarso alias Aji[24].
Di samping melakukan penggerebekan dan menembak mati tersangka terorisme,
pemerintah melalui pendekatan militeristik juga berhasil menangkap beberapa
tersangka terorisme di antaranya; Dany als Taufik Bin Abdul Halim, ditetapkan
sebagai tersangka dan ditahan pada tanggal 9 Agustus 2001 – Pelaku peledakan
Bom Atrium Senen ( 1 Agustus 2001 ), Abbas ditangkap di Tasikmalaya pada
tanggal 11 September 2001 - Pelaku peledakan Bom Atrium Senen ( 1 Agustus 2001
), Umar Al Faruq warga Yaman , ditangkap bulan Juni 2002 di Bogor dan dikirim
ke dikirim ke Pangkalan Udara di Bagram, Afghanistan atas permintaan Pemerintah
Amerika – diduga sebagai operator Al- Qaeda di Asia Tenggara, Ustad Abu Bakar
Ba’asyir Ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 18 Oktober
2002 – dikaitkan dengan pengakuan Umar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di
Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman Bali, Amrozy
ditangkap di Jawa Timur pada tanggal 5 November 2002 – Pelaku peledakan Bom
Bali ( 12 Oktober 2002 ), Imam Samudera als Abdul Aziz ditangkap di pelabuhan
Merak pada tanggal 26 November 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 0ktober
2002 ), Ali Gufron als Muklas als Huda Bin abdul Haq als Sofyan ditangkap di Klaten
pada tanggal 3 Desember 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 0ktober 2002 ),
Hambali als Cecep Nurjaman als Riduan Isamudin ditangkap di Thailand pada
tanggal 12 Agustus 2003 – diduga sebagai otak serangkaian pemboman di
Indonesia, Jabfar ( WN malaysia ) ditangkap di ds Grinsing Batang, Jawa Tengah
pada tanggal 5 Pebruari 2004, berdasarkan keterangan dari Jabfar ditangkap
Amran bin Mansur als Andi Saputra – Pelaku peledakan Bom Marriot ( 5 agustus
2003 ), Iwan Darmawan als Rois ditangkap di Bogor beserta 3 orang rekannya (
Hasan als Purnomo als Agung , Sogir Als Anshori , Apuy als Saipul Bahri, pada
tanggal 5 November 2004 – Pelaku peledakan Bom Kuningan ( kedubes Australia 9
September 2004 )[25]
Namun kebijakan mengedepankan pendekatan militeristik mendapatkan kritik
dari berbagai kalangan sehingga pada akhir-akhir ini pemerintah juga melakukan
pendekatan deradikalisasi yaitu merekrut para sarjana agama. Mereka menjadi
bagian tim deradikalisasi di bawah Densus 88[26].
Pendekatan Komprehensif
Berdasarkan uraian terdahulu tentang konsep jihad dan terorisme, nampak
jelas perbedaan yang sangat signifikan di antara kedua istilah tersebut. Di
mana istilah jihad senantiasa dikaitkan dengan suatu perjuangan menegakkan
agama Allah s.w.t di muka bumi namun pelaksanaannya senantiasa menjunjung
tinggi prinsip-prinsip universal. Sedangkan terorisme senantiasa dikaitkan
dengan suasana kekacauan di mana pelaksanaannya tidak mempertimbangkan
prinsip-prinsip universal dan kemanusiaan.
Dari itu, Islam tidak menggalakkan terorisme untuk tujuan kekacauan tapi
menggalakkan jihad untuk tujuan kedamaian. Jihad akan senantiasa sesuai dengan konteks kekinian. Sedangkan terorisme hanya memiliki satu model aplikasi yaitu menimbulkan
kekacauan pada umat manusia. Di antara bentuk jihad yang senantiasa kontektual
dan untuk tujuan damai adalah haji[27]..Dan bentuk lain dari
jihad adalah menuntut ilmu[28] dan lain-lain.
Kemunculan terorisme yang menjelma menjadi sebagai salah
satu kekuatan yang sangat menakutkan bukanlah tanpa ada latar belakangnya. Berdasarkan kajian latar belakang munculnya terorisme,
sebagaimana disebutkan oleh Muladi Mughni di dalam pesantren virtual. com, di
mana di antara faktor yang menyebabkan timbulnya radikalisme-terorisme di tubuh
umat Islam adalah faktor pemikiran, ekonomi, politik, sosial, psikologi, dan
pendidikan. Enam faktor tersebut telah
menyumbang tumbuh dan berkembangnya radikalisme-terorisme di dalam tubuh umat
Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sudah
sepantasnya penanganan terhadap isu-isu terorisme harus mengedepankan
pendekatan-pendekatan yang komprehensif. Sehingga tidak hanya mengedepankan
pendekatan militeristik saja.
Lebih lanjut, apabila diteliti dari cara-cara penanganan
terorisme yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia secara khusus dan dunia
internasional secara global, maka akan didapati penanganan terorisme ala
militeristik sangat dikedepankan. Sehingga pembentukan unsur-unsur militer dan
pelatihan pasukan khusus anti teror menjadi prioritas. Di Indonesia, Densus 88
merupakan salah satu unsur militer yang mendapat pelatihan khusus dari pasukan
anti teror Amerika dan diberikan mandat khusus untuk melakukan pengejaran,
penyerbuan dan melumpuhkan jaringan terorisme.
Dengan mengedepankan pendekatan ala militeristik maka dari
beberapa peristiwa penggerebekan terhadap kantong-kantong terorisme di
Indonesia, pasukan Densus 88 terbukti mampu melumpuhkan dengan menembak mati
beberapa gembong terorisme seperti Nurdin M. Top, Dr. Azhari, Ibrahim. Di
samping itu, juga berhasil menangkap hidup-hidup beberapa pelaku terorisme
seperti Amrozi, Ali Imran dan Mukhlas dan sebagainya. Sebut saja Amerika,
dengan alasan memburu teroris di Afghanistan maka pengerahan militer dilakukan.
Demikian juga untuk melumpuhkan Iraq dan Saddam Husein maka militer menjadi
alasan utama. Sedangkan negara Israel dibiarkan dengan penuh keleluasaan membantai
dan mengintimidasi warga negara Palestina setiap saat.
Pendekatan militeristik di satu sisi dan standar ganda
Amerika Serikat dan sekutunya, sedikit banyak menyumbang kepada tumbuhnya
terorisme dalam skala besar. Dan di satu sisi lainnya juga menyebabkan
terorisme tidak dapat ditangani sampai ke akar-akarnya karena akan menyebabkan
terseretnya Israil yang dilindungi ke meja hijau mahkamah internasional.
Adapun pendekatan-pendekatan secara komprehensif selain
pendekatan militeristik sangat jarang dilakukan. Padahal apabila dikaji lebih
jauh, terorisme tidaklah muncul dari sebuah kekosongan ideologi bahkan
terorisme sudah menjadi sebagai ideologi kelompok-kelompok ekstrimis. Sehingga dalam
beberapa penelitian menyebutkan kemunculan terorisme di seluruh dunia pada saat
ini tidak lagi terikat dengan jaringan-jaringan tertentu. Bahkan mereka tumbuh
sebagai kekuatan yang tidak terikat dengan komando-komando militer.
Di antara pendekatan lainnya yang patut dipertimbangkan
dalam menangani terorisme adalah metode dakwah. Dalam metode dakwah, al-Quran
melakukan pendekatan yang variatif dalam menghadapi keingkaran golongan ahlul
kitab terhadap ajaran Islam. Di antaranyanya seperti dalam firman Allah s.w.t.
berikut ini:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ…
Maksudnya:
Serulah manusia pada jalan Allah dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.....[29].
Walaupun teks ayat di atas berbicara dalam konteks
dakwah terhadap ahlul kitab, namun konteks dakwah tersebut dapat digunakan
dalam konteks yang lainnya. Dalam konteks terorisme, tiga metode dakwah dalam
ayat di atas sangat relevan untuk digunakan dalam rangka mencegah terorisme
yaitu metode dakwah dengan hikmah, metode dakwah dengan mau’izhah hasanah dan
metode diskusi ilmiah.
Sebagaimana dijelaskan dalam faktor-faktor
munculnya terorisme-radikalisme di antaranya adalah disebabkan oleh pemahaman
syariat jihad secara parsial dan keliru sehingga memunculkan aksi perlawanan
terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap telah tersesat jauh dari syariat Islam
yang benar. Sehingga mereka menjadikan pemerintah Islam dan non-Islam sebagai
sasaran aksi terorisme.
Maka untuk meluruskan pemahaman terhadap hakikat
jihad, melalui tiga metode dakwah tersebut dapat dilakukan untuk meluruskan
pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari aqidah islamiyah yang suci, syariah
Islam yang lurus dan moral Islam yang sempurna. Metode dakwah juga bisa
berperan melakukan counter ideologi terorisme.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan
militeristik juga diperlukan namun tentunya pendekatan melalui metode dakwah
harus mendahului pendekatan-pendekatan lainnya. Karena apabila diteliti, akar
utama terjadinya aksi terorisme adalah disebabkan oleh pemahaman teks-teks
al-Quran dan al-Hadits yang melenceng jauh dari subtansi yang sebenarnya. Hal
ini dapat dilihat dari dalil yang digunakan oleh kaum khawarij ketika mengkafirkan
Ali bin Abi Thalib kwh dan beberapa shahabat utama lainnya. Di mana mereka
menggunakan teks al-Quran (5:44) dan memahaminya secara keliru dalam ayat
berikut:
…وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ
Maksudnya:
Dan barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hokum yang diturunkan Allah maka merekalah orang-orang kafir[30].
Namun teks tersebut telah ditafsirkan
secara tidak benar, sehingga Ali bin Abi Thalib kwh menjawab,” kalimat
kebenaran akan tetapi digunakan untuk kebatilan”,. Dan pada zaman modern
sekarang, ungkapan-ungkapan kebenaran sebagaimana dikatakan kepada Ali bin Abi
Kwh juga diulang-ulang kembali oleh penganut ideologi ekstrim neo-khawarij.
Maka tak heran, apabila mereka berani menghilangkan nyawa Ali bin Abi kwh
tempo, pasti mereka juga tidak akan segan untuk menghilangkan nyawa manusia
yang lebih rendah kualitas ilmu dan imannnya dibandingkan Ali bin Abi Thalib.
Ketika golongan khawarij yang mengkafirkan Ali bin
Abi Thalib beserta shahabat-shahabat nabi lainnya, diceritakan dalam kitab
Bada’i al-Silk fi Thaba’i al-Mulk (1:181), Ibnu Abbas r.a. menyelinap masuk ke
dalam kalangan khawarij dan melakukan diskusi dan perdebatan ilmiah. Dan
ternyata beliau berhasil menyadarkan dua ribu atau tiga ribu orang pengikut
khawarij[31].
Latar belakang pendidikan juga merupakan salah
satu akar timbulnya terorisme. Maka Pendekatan melalui pendidikan dapat juga
menyumbang dalam menangani pertumbuhan ideologi terorisme. Karena dari beberapa
pengamatan terhadap mantan anggota terorisme, didapati lembaga pendidikan ikut
menyumbang tumbuh dan berkembangnya ideologi terorisme di kalangan pelajar.
Oleh sebab itu, sangat urgen untuk mengembangkan lembaga pendidikan islami yang
jauh dari ajaran ideologi terorisme tercela. Hal ini bisa dilakukan melalui
evaluasi dan pengawasan terhadap kurikulum pendidikan, bahan ajar dan para staf
pengajar serta lingkungan akademik.
Pendekatan lainnya yang juga patut dikedepankan
dalam menangani terorisme adalah pendekatan pemberdayaan ekonomi. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa kemiskinan juga ikut mempengaruhi sikap kalangan orang
miskin untuk menjadi bagian dari terorisme. Maka pemberdayaan ekonomi melalui
beberapa mekanisme syariat dapat diketengahkan di antaranya seperti dalam
bentuk bantuan konsumtif dan produktif. Di samping itu juga perlu dilakukan
penguatan lembaga keluarga, masyarakat dan negara agar senantiasa berada dalam
jamaah mayoritas kaum muslim ahlussunnah wal jamaah.
Dan masih banyak lagi, pendekatan-pendekatan yang
dapat dilakukan dalam menangani terorisme. Dan pendekatan komprehensiflah yang
harus dikedepankan dalam menangani terorisme. Sehingga pendekatan militeristik
bukanlah satu-satunya pendekatan dalam menangani terorisme.
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian
terdahulu tentang terorisme dan jihad maka dapat disimpulkan bahwa terorisme
tidak dikatakan sebagai jihad karena aplikasi terorisme sangat jauh dari konsep
jihad yang bertujuan damai. Oleh sebab itu, usaha-usaha yang dilakukan untuk
menjustifikasi terorisme sebagai bagian dari jihad tidak akan mendapatkan
tempat yang layak dalam percaturan kajian-kajian ilmu keislaman.
Dengan demikian, jihad tidak
dapat dipersamakan dengan terorisme walaupun di dalam unsure jihad juga
terdapat unsure terorisme. Namun unsure tersebut tidak lebih dari usaha untuk
defensive umat Islam dalam mewasdapadai serangan musuh Islam agar tidak
menyerang negara Islam dan menghancurkan Islam.
Walaupun Islam tidak
menjustifikasi aksi-aksi terorisme namun Islam juga tidak menjustifikasi
pendekatan-pendekatan yang tidak islami dan manusia dalam penanganan terorisme.
Maka dalam penanganan terorisme harus dikedepankan pendekatan yang komprehensif
dengan melakukan tahapan-tahapan yang sesuai dengan tuntutan peristiwa. Namun
pendekatan dakwah harus dikedepankan terlebih dahulu dibandingkan pendekatan
militeristik yang cenderung menciptakan konflik baru yang lebih subuh.
BIBLIOGRAPHY
Al-Quran al-Karim
‘Âdil ‘Abdul
Jabbâr, (t.t), Al-Irhâb Fii
Mîzân Asy-Syarî’ah, t.pt:t.tp
Al-Bukhari. Muhammad bin
Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, (1407 H/1987 M), Shahih
al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Kathir.
al-Harby, DR. Muthî’ullah (t.t),
Haqiqutul Irhâb, t.tp: t.p
al-Husainy, Muhammad, (t.t), Al-Irhâb
Mazhôhiruhu wa Asykâluhu, t.tp:t.p.
al-Kailani, Dr. Haitsam
(t.t), Al-Irhab Yu-Assassu Daulati Namuudzaji Israa-Il,
terjemahan : Siapa Teroris Dunia?, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah
al-Turmuzi. Muhammad
bin Isa Abu Isa al-Tirmizi al-Silmy (t.t), Sunan al-Tirmizi,
Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby
Bayân Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah fi al-Azhar
Bisya`ni Zhahirat al-Irhâb (1422H).
Ibnu Hajar, Syihab al-Din Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali
bin Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Kannany al-Asqalany al-Syafii (t.t), Fath
al-Bari, Beirut: Dar Ibn Kathir.
Ibnu Manzur, Muhammad bin
Makram bin Manzur al-Ifriqy al-Mashry (t.t), Lisan al-Arab, Beirut: Dar
Shadir.
Qarârât Al-Majma
Al-Fiqhi Al-Islâmy
www. astiol.com
www. Jihadbukankenistaan.com
[3]
QS. 5: 33
[4] al-Quran 4:75
[5]DR.
Muhammad ‘Azîz Syukry, Al-Irhâb Ad-Duwaly, h. 21 dengan perantara kitab Haqiqutul
Irhâb karya DR. Muthî’ullah al-Harby, h. 13-14
[6]
DR. Haitsam al-Kailâny, Al-Irhâb Yu`assisu Daulah, h. 17 dengan
perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah al-Harby
hal. 7.
[7]
DR. Haitsam Al-Kailâny, ibid, h.
51 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah
Al-Harby, h. 7.
[8]
Bagian pertama dari kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme. DR.
‘Âdil ‘Abdul Jabbâr, Al-Irhâb Fii Mîzân Asy-Syarî’ah, h. 20, Prof. DR. Muhammad Al-Husainy, Al-Irhâb
Mazhôhiruhu wa Asykâluhu, h. 8,
DR. Muthî’ullah Al-Harby, ibid, h. 8.
[9]Bayân
Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah fil Azhar bisya`ni zhohiratil Irhâb 1422H.
[10] Qarârât
Al-Majma al-Fiqhi al-Islâmy, h. 355-356
[11]
QS. Al-Anfâl : 60
[12] al-Syarq
al-Awsath dalam http://www.ahlussunnah-jakarta.com
[13] Lihat hadits Jenis-Jenis Dosa Besar dalam al-Bukhari,
al-Shahih, Juz 10, h. 142, nomor hadits 2766
[14] Ibnu Manzur, Muhammad bin Makram bin Manzur al-Ifriqy
al-Mashry (t.t), Lisan al-Arab, Dar Shadir, Beirut-Lubnan, Juz 1, h. 133
[15] Ibid,
Juz 1, h. 436
[16]
Qs, al-Hajj: 17
[17]Ibnu
Taimiyah dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد
[19] Fathul
Bâri , Juz. 6, h. 4-5 dan Nail al-Awthâr,
Juz 7, h. 246-247
[20] www.jihadbukankenistaan.com
[23] Aspiannor
Masrie dalam http://yadmi.or.id
[25] http://www. astiol.com
[26]
Kombes Herwan Chaidir dalam http://www.suarakarya-online.com,
Senin, 8 November 2010
[27] al-Bukhari,
al-Shahih, juz. 7, h. 116, nomor hadits 1861
[29] Al-Quran, al-Nahl: 125
[30] Al-Quran, 5:44
[31] Bada’i
al-Silk fi Thaba’i al-Mulk dalam al-Maktabat
al-Syamilah, Juz 1, h.181
0 comments:
Posting Komentar