-->

OPTIMALISASI KONTRIBUSI PERGURUAN TINGGI DALAM MEMERDEKAKAN ACEH DARI KORUPSI

Posted by Sarjana Ekonomi on Jumat, 21 September 2012


OPTIMALISASI KONTRIBUSI PERGURUAN TINGGI DALAM MEMERDEKAKAN ACEH DARI KORUPSI
 

Oleh:
DR. M. SHABRI ABD. MAJID, M.Ec
(Mantan Profesor Madya, International Islamic University Malaysia-IIUM & Staf Pengajar, Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana (PPs), Unsyiah, E-mail: hannanan@gmail.com)
   

Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari
“Kontribusi Pendidikan bagi Pembangunan Bangsa dan Negara: Menciptakan Negara yang Bersih dan Berwibawa serta Masyarakat yang Makmur dan Sejahtera”
Di
STAIN ZAWIYAH COT KALA, LANGSA, ACEH
Pada 18 September 2012


KET GAMBAR :
Pemateri No. 2 di gantI DENGAN : 

DR. M. SHABRI ABD. MAJID, M.Ec


























Pendahuluan
Konflik vertikal Jakarta versus Aceh (1988-2005) dan Mega musibah “Tsunami 2004” telah memporak-porandakan perekonomian Aceh. Dua musibah besar tersebut telah memberi hikmah besar bagi masyarakat Aceh, yaitu penandatanganan naskah perdamaian Jakarta-Aceh yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005. Pasca MoU Helsiki, Aceh kecipratan triyulnan rupiah dana pembangunan dari pusat ke Aceh. Pada tahun 2012 misalnya, dana yang diterima pemerintah Aceh dari Jakarta mencapai Rp 9,511 triliun, sehingga Aceh menempati urutan ke 3 (tiga) Provinsi penerima dana pembangunan terbesar dari 33 Provinsi di Indonesia. Namun, sungguh disayangkan, dana triyunan rupiah tersebut belum mampu mensejahterakan rakyat Aceh. Buktinya, Aceh adalah Provinsi Nomor Tujuh termiskin dan Nomor Tujuh paling banyak pengangguran di Indonesia. Aceh kaya raya, tapi rakyatnya papa-kedana.
Tidak sedikit dana pembangunan Aceh telah diselewengkan, dimanipulasikan dan disalahgunakan. Akibatnya, kantong-kantong masyarakat miskin semakin bertaburan di Aceh, sementara itu kantong bapak pejabat semakin berisi. Oknum-oknum pejabat Aceh kini "buhuk" dalam kebanjiran uang, walhal "urueng gasien" tenggelam dalam kebanjiran air mata kesedihan dan penderitaan. Praktek korupsi yang telah berkalang tanah membumi di Tanoh Rincong ternyata telah begitu dasyat menggogroti dana pembangunan yang sedang mengalir deras ke Aceh. Agar perekonomian Aceh dapat diselamatkan dari kelumpuhan dan keambrukan (collapse), maka dana pembangunan itu harus segera dibebaskan dari grogotan "virus" korupsi tangan-tangan jahil segelintir elit dan intelektual/cendiakiwan Aceh. Dengan terbebasnya pembangunan Aceh dari korupsi, diyakini kesejahteraan ekonomi masyarakat Aceh akan terjamin dan tingkat kemiskinan yang melilit lebih dari sebagian masyarakat Aceh akan berkurang. Kalau tidak, maka kondisi Aceh yang sedang babak belur, kini semakin runyam dan bopeng wajah ekonominya disebabkan oleh ulah “Aneuk Nanggroe”-nya sendiri. Inilah yang menyebabkan “ureung gasien maken meukuwien lam tapeh” dan “misee bapak-peujabat maken meukeulimeh”. Aceh semakin terpuruk bahkan terbenam dalam “uruek” yang digali dan diperlebar oleh “Aneuk Nanggroe”-nya sendiri, walhal merekalah yang sepatutnya harus menutupi “lubang kebobrokan” ekonomi Aceh, bukannya “menari di atas luka” rakyatnya sendiri.
Sebenarnya, apa yang sedang berlaku di Aceh sekarang adalah persis seperti telah diklaim oleh Tullock (1976), seorang pendukung ‘Public Choice Theory’ menyebutkan: “Bureaucrats are like other men…if bureaucrats are ordinary men, they will make most (not all) their decisions in terms of what benefits them, not society as a whole” Oleh karena itu, segenap rakyat Aceh sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan langkah serius untuk memberantas semua praktek korupsi yang berlaku di negeri yang sangat menyanjung nilai-nilai akhlaqul karimah, Serambi Mekkah. Dunia pendidikan harus berperan optimal dalam mendidik rakyat Aceh menjadi intelektual dan cendikiawan beriman dan bertakwa sehingga mereka mencul menjadi juru penyelamat dan pejuang dalam memerdekakan Aceh dari korupsi.


Aceh Champion Korupsi?
Virus Korupsi yang merebak subur di Indonesia, juga telah menjangkiti Aceh. Walaupun peringkat Korupsi Indonesia telah menurun 10 tingkat dari ranking 110 pada tuhan 2010 ke ranking 100 pada tahun 2011 dari 183 negara di dunia berkat kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di belahan dunia lainnya, termasuk negara ASEAN, korupsi yang terjadi di Indonesia terbilang parah. Seperti terlihat pada Tabel 1, Indonesia kalah telak dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand dan menciptkana negara bebas korupsi. Indonesia telah gagal menciptakan good governance dan clean government.



Tabel 1: Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Negara ASEAN, 2010-2011
Negara
2010
2011
Skor
Ranking
Skor
Ranking
Singapura
9,3
1
9,2
5
Malaysia
4,4
56
4,3
60
Thailand
3,5
78
3,4
80
Indonesia
2,8
110
3,0
100
Vietnam
2,7
116
2,9
122
Filipina
2,4
134
2,6
129
Timor Leste
2,5
127
2,4
143
Myanmar
1,4
176
1,5
180
                                     Sumber: http://www.transparency.org (diolah).
Sama halnya dengan Induknya, Indonesia, korupsi di Aceh pun semakin mencengangkan, dan bahkan Aceh berada diposisi teratas Provinsi terkorup di Indonesia. Pada tahun 2002, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran melakukan penelitian tentang kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, yang hasil penelitiannya dituangkan dalam buku ”Daya Saing Daerah: Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia”, telah menobatkan Aceh sebagai daerah terkorup di Indonesia. Pada tahun 2010, Transparansi Indeks (TI) Indonesia melaporkan bahwa Kota Banda Aceh berada di ranking ke-33 dari 50 kota di Indonesia, dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 4,61 (http://www.ipkindonesia.org/report/2010). Pada tahun 2010, berdasarkan hasil temuan BPK, Provinsi Aceh masuk kategori wilayah merah dan rawan praktik korupsi. Pada tahun 2011, terdapat 122 kasus dugaan korupsi yang berpotensi merugikan negara mencapai Rp 1,7 triliun. Pada 27 Agustus 2012, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa Aceh berada di urutan ke 9 (sembilan) Provinsi terkorup di Indonesia.

Tabel 2: Jumlah Kasus Korupsi dan Dugaan Kerugian, 2011-2012
No.
Kabupaten/Kota
Jumlah Kasus
Dugaan Kerugian (Rp)
%
Korupsi per-capita (Rp)
1
Provinsi
24
996.700.384.490
65,62
-
2
Kab. Aceh Utara
12
227.458.000.000
14,98
429.367,76
3
Kab. Aceh Tenggara
5
69.989.000.000
4,61
390.978,16
4
Kab. Nagan Raya
12
57.718.987.100
3,80
413.273,29
5
Kab. Aceh Timur
7
45.336.558.000
2,98
125.768,94
6
Kab. Aceh Tamiang
8
36.074.463.000
2,38
143.201,50
7
Kab. Aceh Barat
22
21.127.516.944
1,39
121.731,74
8
Kab. Bireuen
11
20.455.903.000
1,35
52.546,97
9
Kab. Aceh Barat Daya
13
14.959.875.000
0,98
118.695,25
10
Kota Lhokseumawe
17
10.893.000.000
0,72
63.641,09
11
Kab. Gayo Lues
8
4.298.000.000
0,28
54.022,12
12
Kota Langsa
7
3.934.906.400
0,26
26.416,92
13
Kab. Aceh Selatan
4
2.480.000.000
0,16
12.261,99
14
Kab. Pidie
8
1.791.450.000
0,12
4.725,43
15
Kab. Simeulue
5
1.737.000.000
0,11
21.531,10
16
Kab. Subulussalam
4
1.284.000.000
0,08
19.037,45
17
Kota Banda Aceh
2
849.000.000
0,06
3.799,58
18
Kab. Aceh Tengah
2
664.400.000
0,04
3.785,17
19
Kab. Aceh Singkil
3
539.000.000
0,04
5.258,07
20
Kab. Aceh Jaya
1
250.000.000
0,02
3.255,97
21
Kota Sabang
1
230.000.000
0,02
7.503,34
22
Kab. Bener Meriah
1
89.000.000
0,01
727,86
23
Kab. Aceh Besar
0
-
-
-
24
Kab. Pidie Jaya
1
-
-
-
Total
178
1.518.860.443.934
100
337.943,67
             Sumber : LSM (Gerakan Anti Korupsi), Agustus 2012 (diolah).
Aceh yang champion korupsi, terus mempertahankan dan bahkan menaikkan ranking korupsinya. Tabel 2 menunjukkan jumlah kasus korupsi dan potensi kerugian akibat korupsi. Berdasarkan data yang dihimpun dari LSM GeraK Aceh (Gerakan Anti Korupsi Aceh), terdapat 178 kasus korupsi yang terjadi seluruh wilayah hukum Provinsi Aceh dengan kerugian negara mencapai Rp. 1.518.914.443.934.  Jumlah kasus korupsi tertinggi berada pada Provinsi Aceh dengan 24 kasus dan diperkirakan merugikan negara Rp. 996.700.384.490, disusul Kabupaten Aceh Barat sebanyak 22 kasus, Kota Lhokseumawe 17 kasus dan Kabupaten Aceh Barat Daya sebanyak 13 kasus. Sementara dilihat dari jumlah kerugian, Provinsi merupakan jumlah terbanyak, disusul Kabupaten Aceh Utara dengan jumlah Rp 227.458.000.000, disusul Kabupaten Aceh Tenggara (Rp 69.989.000.000), dan Kabupaten Nagan Raya (Rp 57.718.987.100). Ini menunjulkkan bahwa pada tahun 2011, setiap rakyat Aceh melakukan korupsi sebanyak Rp 337.943,67. Dari ke 178 kasus korupsi, sebanyak 59 kasus (33,15%) yang belum ditangani secara hukum (belum diproses),  74 kasus (41,57%) yang sudah ditangani, dan 26 kasus (14,61%) telah divonis oleh pengadilan, sedangkan selebihnya masih dalam proses penyidikan dan penuntutan  pihak kepolisian dan kejaksaan

Tabel 3: Rekapitulasi Opini, 2010-2011
No.
Kabupaten/Kota
Opini
Tahun Anggaran 2010
Tahun Anggaran 2011
1
Provinsi Aceh
WDP
-
2
Kab. Aceh Selatan
WDP
WDP
3
Kab. Aceh Tengah
WTP
WDP
4
Kab. Aceh Utara
Disclaimer
WDP
5
Kota Lhokseumawe
WTP
-
6
Kab. Aceh Singkil
WDP
WDP
7
Kab. Nagan Raya
WTP
WTP
8
Kab. Aceh Barat
WDP
WDP
9
Kota Banda Aceh
WTP
WTP
10
Kota Sabang
WTP
WDP
11
Kab. Aceh Besar
WDP
-
12
Kab. Gayo Lues
WDP
WDP
13
Kab. Pidie
WDP
-
14
Kab. Bener Meriah
WDP
WDP
15
Kota Langsa
WDP
-
16
Kab. Aceh Timur
WDP
-
17
Kab. Simeulue
WDP
-
18
Kab. Pidie Jaya
WDP
-
19
Kab. Aceh Tamiang
WDP
WDP
20
Kota Subulussalam
WDP
WDP
21
Kab. Aceh Barat Daya
WDP
-
22
Kab. Aceh Tenggara
WDP
-
23
Kab. Bireuen
WDP
-
24
Kab. Aceh Jaya
WDP
-
Sumber; BPK Perwakilan Provinsi Aceh, 2012.

Bukti tambahan bahwa Aceh adalah sarang korupsi, dapat dilihat dari Tabel 3. Badan Pengawasan Keuanga (BPK) Republik Indonesia melalui perwakilannya di Aceh pada tanggal 1 Juni 2012 menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Tahun Anggaran 2011. Berdasarkan Rekapitulasi  Opini  Tahun Anggaran 2011 di Provinsi Aceh, tingkat pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya diberikan kepada 2 kabupaten/kota, yaitu: kota Banda Aceh, dan Kabupaten Nagan Raya. Selebihnya masih dalam tingkatan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) sebanyak 9 (sembilan) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Singkil, Kota Sabang, Aceh Barat, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Selatan, dan Kota Lhokseumawe.  Kabupaten/Kota yang termasuk dalam tingkat pelaporan WTP dapat dikatakan sebagai Kabupaten/Kota yang “bersih” dari segi administrasi pengelolaan keuangan daerah, serta kepatuhan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan bidang keuangan dan anggaran.
Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di Provinsi Aceh pada Tahun 2011 mengalami penurunan dibandingkan pada Tahun 2010. Pada Tahun 2010 ada 6 (enam) Kabupaten/Kota di Aceh yang menerima opini WTP. Sedangkan berdasarkan hasil sementara laporan pemeriksaan audit keuangan Kabupaten/Kota pada Tahun 2011, baru 11 (sebelas) laporan audit Kabupaten/Kota yang baru selesai diperiksa oleh BPK. Dari laporan tersebut, hanya 2 (dua) kabupaten/kota telah mencapai taraf pelaporan WTP, yaitu Kabupaten Nagan Raya dan Kota Banda Aceh. Fakta ini semakin memperkukuh posisi Nanggroe Syariat, Aceh sebagai champion dan sarang korupsi. Korupsi di Aceh telah dilakukan oleh berbagai kalangan, dan bahkan dilakukan oleh para cendikiawan dan intelektual. Korupsi telah merambah ke berbagai sektor dan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) di Aceh. Korupsi-pun sudah masuk ke kampus-kampus di Aceh. Kasus dugaan penyunatan beasiswa mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) dan kasus dugaan Korupsi yang melibatkan mantan petinggi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) belum juga tuntas. Korupsi sudah tidak mengenal latar belakang, usia, suku, dan atribut lainnya. White collar crime (korupsi yang dilakukan kalangan elit) semakin menggila di Aceh.


Collapse-nya Pendidikan Aceh?
Para koruptor umumnya adalah produk lembaga pendidikan, dan umumnya adalah para sarjana jebolan universitas. Idealnya, perguruan tinggi harus menghasilkan pejuang pembasmi koruptor, bukan malah sebaliknya. Hal ini persis seperti tudingan Ketua Mahkamah Kontitusi, Mahfud, MD dalam  orasi ilmiahnya yang disampaikan dalam rangka dies natalis Unsyiah ke-51, pada 3 September 2012 bahwa banyak perguruan tinggi ternama telah menghasilkan koruptor. Banyaknya keterlibatan para alumni universitas dalam kasus korupsi apakah pertanda telah gagal (collapse) perguruan tinggi di Aceh? Perguruan tinggi yang bertugas mulia untuk mendidik anak bangsa yang bersih dan amanah serta tidak korup, sepertinya telah gagal dalam mengemban tugas sucinya. Dibandingkan dengan dana 20% APBA yang dianggarkan ke dunia pendidikan Aceh belum berbanding lurus dengan mutu pendidikannya. Misalnya, rangking nilai yang diperoleh tamatan SMA/MA/SMK Aceh yang mengikuti SMPTN di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia pada 2011 untuk IPA menduduki rangking 31, (di bawah Papua) IPS lebih baik yaitu rangking 25.  Mutu guru TK Aceh yang mencapai nilai nilai rata-rata 36,26 berada di ranking 32, guru SD nilai rata-rata 35,95 rangking 32, guru SMA rangking 31, dan guru SMK rangking 29 dari 33 provinsi. Kucuran dana pendidikan yang mencapai 20% dari dana APBA ke dunia pendidikan ternyata semakin menjadikan pendidikan di Aceh hilang jati diri (Adam, 2012).  
Sejauhmana peran dunia pendidikan Aceh, khususnya perguruan tinggi dalam melahirkan generasi bersih dan tidak korup demi mewujudkan visi pembangunan Aceh? Visi pemerintahan Aceh untuk menjadikan “Aceh yang Bermartabat Sejahtera Berkeadilan dan Mandiri Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai Wujud MoU Helsinki”, rasanya sulit dicapai tanpa mendapat dukungan padu dari institusi perguruan tinggi. Pengelolaan perguruan tinggi dengan sistem pembelajaran seperti sekarang malah akan menghambat pencapaian visi pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, reformasi dunia pendidikan Aceh harus segera dilakukan sehingga tidak terjadinya “disorientasi pendidikan” di Aceh.


Optimalisasi Kontribusi Perguruan Tinggi dalam Memberantas KORUPSI
Kemajuan dan kemakmuran sebuah negara, seperti gemilangnya Kerajaan Aceh Darussalam di masa Sultan Iskandar Muda pada abad ke-16 Masehi tempoe doeloe adalah sangat ditentukan, inter alia, oleh sistem dan tingkat pendidikan warga negaranya. Bila kita bandingkan keberadaan sistem dan tingkat pendidikan rakyat Aceh sekarang dengan dunia pendidikan negara-negara maju dan Kerajaan Aceh Darussalam tempoe doeloe, dengan mudah pertanyaan kenapa Aceh sekarang berada dalam kondisi terpuruk dan terbelakang baik dari segi pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan agama akan terjawab. Korupsi-pun telah merambah kalangan akademisi dan intelektual. Saban tahun perguruan tinggi di Aceh semakin memperpenjang daftar alumninya, namun kualitas moral (iman) mereka semakin tidak menyakinkan. Sarjana yang berilmu dan beriman di Aceh adalah sejenis makhluk yang sangat langka. Kenapa ini terjadi di bumi syariat sekarang? Padahal, Aceh tempat kita bermastautin merupakan warisan Kerajaan Aceh Darussalam tempoe doeloe yang telah tercatat kegemilangannya dan disegani orang lain akibat keunggulannya di berbagai sektor kehidupan, termasuk bidang pendidikan! Dulu banyak pelajar asing, terutama dari negara-negara jiran, seperti Malaysia misalnya, berduyun-duyun datang menimba ilmu di Aceh. Namun kenapa sekarang sebaliknya berlaku, banyak mahasiswa Aceh yang menuntut ilmu di sana? Oleh karena itu, untuk melahirkan alumni yang tidak hanya encer otaknya, tapi juga memiliki moral dan keimanan yang tebal serta hati yang bersih, maka reformasi sistem pendidikan yang meliputi transformasi kurikulum, empoweriasi tenaga pengajar, improvisasi kualitas mahasiswa dan restrukturisasi sistem pengelolaan pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Semua faktor ini memainkan peran penting dalam melahirkan alumni berbobot ilmu dan iman serta tidak bermental korup.

Reformasi Kurikulum Pendidikan
Berhasil tidaknya tujuan pendidikan itu direalisasikan, inter alia, sangat ditentukan oleh substansi kurikulum pendidikan itu sendiri. Tidak seperti tujuan pendidikan dalam Islam yang ingin melahirkan generasi bertakwa yang amar makruf wa nahi munkar, tujuan pendidikan negara Indonesia adalah untuk melahirkan generasi yang Pancasilais sebagai salah satu indikasi penting yang harus dimiliki oleh warga negara yang baik (Brosur Departemen P&K, 1997 dan Hasan, 1998). Dengan kata lain, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menanamkan nilai-nilai ilmu dan agama, bukan untuk mem-pancasilais-kan anak-anak didiknya. Padahal kita ketahui bahwa warga negara yang baik belum tentu akan melahirkan individu yang berilmu dan bertakwa, namun sebaliknya individu yang berilmu dan bertakwa otomastis akan melahirkan warga negara yang baik yang dalam setiap sepak terjang hidupnya senantiasa mementingkan kepentingan negara (altruism) ketimbang kepentingan diri sendiri (selfishness). Oleh karena itu, dengan keistimewaan yang dimiliki Aceh dengan Self-government-nya, maka tidak ada alasan lagi bagi Aceh untuk tidak segera mereformasi substansi kurikulum pendidikan Aceh berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Hendaklah kurikulum pendidikan itu disusun sedemikian rupa dengan mangakomodir nilai-nilai keislaman di dalamnya sehingga institusi pendidikan di Aceh akan mampu melahirkan individu-inividu yang berilmu,bermoral dan tidak berjiwa korup.
Pelajaran agama yang hanya 2-4 Sistem Kredit Semeter (SKS) yang harus diambil seorang calon sarjana dari jumlah total 144-160 SKS pada Perguruan Tinggi Negeri di Aceh adalah sangat tidak memadai (superficial) (Daud, 1999). Agama Islam yang cukup mengagumkan itu tidaklah mungkin dapat dipelajari dalam 2-4 SKS sahaja untuk seumur hidup agar menjadi umat yang baik. Rencana Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk mewajibkan Matakuliah Anti Korupsi diajarkan di kampus, juga tidak akan berdampak positif dalam mengurangi kasus korupsi, kalau ianya hanya diajarkan terpisah, tanpa didukung oleh matakuliah bernuansa keagamaan lainnya. Bagi para calon Insinyur, Ekonom, Akuntan, Guru, Teknokrat, dan  calon pemimpin masa depan, nilai-nilai keislaman hendaklah diajarkan kepada mereka sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.  Karena tanpa pemahaman (understanding) dan penanaman (inculcating) nilai-nilai, ketika para alumni bekerja, mereka akan diheret oleh hawa nafsu mereka tanpa peduli mana yang halal dan haram. Seorang Insinyur mungkin akan melahap (mencuri) semen, batu, dan aspal, padahal semua benda itu adalah keras dan haram hukumnya. Begitu pula para Ekonom, Guru, dan Para pemimpin umat lainnya akan terheret oleh nafsu untuk bertindak tanpa mengenal batas-batas al-haq dan al-batil. Bagi mereka, yang paling utama adalah terpenuhinya keinginan nafsu dan cita rasanya tanpa memikirkan kemaslahatan umat. Bila ini terjadi, maka “…rusak binasalah langit dan bumi jikalau kebenaran itu mengikuti hawa nafsu…” (Q.S. al-Mu’minun: 71). Untuk itu, mata pelajaran agama yang hanya diajarkan 2 SKS itu haruslah ditambah jumlah SKS-nya, setidaknya, berkisar 9 hingga 24 SKS (3 matakuliah wajib dan 4 mata kuliah pilihan) yang meliputi pelajaran membaca (qira’at), menghafal (hifz), menerjemah (tafsir) al-Qur’an, ilmu tentang sirah Nabi dan para sahabat, ilmu Tauhid, Usul Fiqih dan Semantik al-Qu’ran, sesuai dengan rekomendasi hasil Konferensi Dunia ke-I dan ke-II tentang Pendidikan Muslim yang, masing-masing, dihelatkan pada tahun 1977 dan 1980 di Mekkah al-Mukarramah dan di Islamabad. Islamisasi dan integrasi ilmu harus diadopsi dan diajarkan dalam dunia pendidikan Aceh.
Pada Universitas-universitas di Malaysia, sebenarnya, rekomendesi ini sudah mulai diaplikasikan. Tidak untuk menyebut International Islamic University Malaysia (IIUM) yang berkonsepkan kurikulum Islamisasi pendidikan, di Universiti Sains Malaysia (USM), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universiti Malaya (UM) misalnya, bagi para calon Sarjana Ekonomi mereka telah ditawarkan mata kuliah pilihan yang berkonsepkan Islam, seperti Ekonomi Islam, Perbankan Islam, Asuransi Islam, dan mata kuliah Mu’amalah lainnya. Kalau Universitas di Aceh yang masih enggan dan malu-malu untuk menawarkan mata kuliah berbau keislaman, maka jangan harap pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dapat ditegakkan, dan Aceh akan merdeka dari korupsi. Kita tidak perlu lagi mempertahankan sistem pendidikan sekuler yang memisahkan antara perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi agama. Sudah saatnya kita memikirkan untuk menginterasi dan mengislamisasikan substansi kurikulum ilmu-ilmu umum dan agama secara proporsional. Karena, pada hakikatnya, semua ilmu itu adalah berasal dari Allah SWT yang Ahad, dan tidak terkotak-kotakkan, seperti telah mendarang daging dipraktekkan di Aceh. Kalaupun kita belum sanggup untuk mereformasi kurikulum pendidikan kita secara totalitas, setidak-tidaknya, kita dapat berpedoman pada universiti-universiti negara jiran yang telah menggabungkan ilmu agama dengan ilmu umum. Kalau tidak, maka sangatlah sukar, kalau tidak mustahil untuk melahirkan generasi-generasi Aceh yang berilmu, bertakwa dan tidak bermoral korup sesuai dengan kebutuhan zaman. Bila kita masih bersikeras untuk mempertahankan status quo sistem pendidikan yang ada di Aceh sekarang yang bersifat sekuler, maka wajarlah bila berlaku demoralisasi, deislamisasi dan dehumanisasi para generasi Aceh mendatang, seperti diklaim oleh Hussain dan Ashraff (1979) dalam bukunya: “Crisis in Muslim Education” dan al-Faruqi (1981), bapak Islamisasi pendidikan, dalam bukunya: “Social and Natural Sciences: The Islamic Perspective”, akibat sistem pendidikan yang memisahkan urusan negara (duniawi) dengan urusan agama (ukhrawi).
Kenapa substansi kurikulum pendidikan itu harus berlandaskan al-Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat kita lihat dari firman Allah berikut yang berarti:
Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad) bagaimana Allah mengemukakan satu perbandingan, yaitu: kalimah yang baik adalah sebagai sebatang pohon yang baik, yang pangkalnya (akarnya) tetap teguh, dan cabang pucuknya menjulang ke langit. Dia mengeluarkan buahnya pada tiap-tiap masa dengan izin Tuhannya. …Dan bandingan Kalimah yang jahat dan buruk samalah seperti sebatang pohon yang tidak berguna yang mudah tercabut akar-akarnya dari muka bumi; tidak ada tapak baginya untuk tetap hidup...”(Q.S. Ibrahim: 24-27).
Ayat ini menunjukkan bahwa apabila sesuatu usaha itu tidak berakarkan (berazaskan) pada landasan yang haq, maka hasilnya akan sia-sia, dan bahkan menyesatkan. Begitu juga dengan sistem pendidikan yang tidak berlandaskan kurikulum Qur’ani dan Haditsi, maka lulusan yang dihasilkan tidak akan mampu memberi syafa’at bagi umat. Arti ayat dan Hadits sahih yang bernada sama dengan makna ayat di atas, juga dapat kita lihat dari firman Allah SWT berikut:
…jika datang kepada kamu petunjuk dariKu (melalui Rasul-rasul dan Kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka), maka sesiapa yang mengikuti petunjukKu itu niscaya tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita" (Q.S. al-Baqarah: 38); dan
Telah kutinggalkan bagimu dua perkara yang apabila kamu berpegang teguh kepadanya (al-Qur’an dan Hadits), niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya” (H.R. Al-Hakim).
Begitu juga almarhum Ayahanda Abu Daud Beureu’eh, meminjam istilah Soekarno, seperti dikutip Esposito, pernah berhujah bahwa:
“..Agama Islam yang membuat kehidupan umat sempurna tidak boleh dipisahkan antara satu aspek dengan aspek kehidupan lainnya. Sila pertama dari Pancasila, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa itu  tidak lebih dari manuver politik belaka. …Yang paling esensial dari sumber kehidupan dan sumber apapaun haruslah merujuk pada Kitabullah dan Sunnatullah secara kaffah. Tidak mungkin sebagian mengikutinya, tetapi sebagian lain tidak baik dalam tindak kriminal, urusan kemasyarakatn, peribadatan, atau dalam segala persoalan harian. Jika hukum Tuhan tidak kita laksanakan dengan sempurna, berarti kita mengingkari kepercayaanNya sehingga menyebabkan kita sesat sepanjang hayat” (Esposito, 1987: 212).


 Kata-kata Ayahanda di atas sangatlah sesuai dengan makna ayat berikut:
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam agama Islam secara totalitas (kaffah); dan janganlah kamu menurut jejak langkah Syaitan; sesungguhnya Syaitan itu musuh bagi kamu yang terang nyata” (Q.S. al-Baqarah: 208).
Pendek kata, usaha untuk mengislamisasikan sistem pendidikan hendaklah bermula pada azas, falsafah atau fondasi kurikulum pendidikan itu sendiri. Bila fondasi itu tidak kokoh dan tidak berlandaskan yang haq, maka sangatlah sukar, kalau tidak mustahil bagi rakyat Aceh untuk melahirkan generasi-generasi Aceh yang berilmu, bertakwa dan tidak bermoral korup. Di samping itu, pengelola universitas dan pemerintah daerah, khususnya yang menangani bidang pendidikan, sudah saatnya memikirkan lebih serius usaha untuk melahirkan generasi berilmu (profesional) dan bertakwa dengan memanfaatkan penerapan syari’at Islam di Aceh. Kalau tidak, maka jangan harap penerapan syari’at Islam di Aceh akan berhasil gemilang dan korupsi pun hilang di bumi Aceh.

Empowerisasi Tenaga Pengajar

Untuk menghasilkaan lulusan bermoral tinggi, selain adanya substansi kurikulum pendidikan yang baik, juga diperlukan tenaga pengajar yang berkualitas, meyakinkan dari segi ilmu dan iman. Untuk merealisasikan tujuan ini, maka pihak universitas harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para stafnya untuk menuntut ilmu hingga ke jenjang Doktor (S3), tentunya dengan menyediakan bantuan keuangan pendidikan (scholarship). Seterusnya, kualitas tenaga pengajar hendaklah didorong oleh sistem kompensasi (gaji) dan peningkatan karier yang memuaskan sehingga para pengajar dapat berkonsentrasi penuh untuk mendidik mahasiswanya tanpa perlu kuatir dengan ber“asap”-tidaknya dapur mereka. Begitu juga sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar baru hendaklah bebas dari praktek penyogokan. Siapa sahaja yang memiliki prestasi cemerlang (ilmu dan iman) hendaklah direkrut untuk memperkuat barisan tenaga pengajar yang sudak eksis. Janganlah institusi pendidikan kita dibiarkan untuk dikuasai oleh segelintir oknum korup secara turun-temurun, setelah bapaknya pensiun, bila anaknya tidak ada, maka sanak famili akan menggantikannya seolah-olah institusi pendidikan itu bagaikan Dinasti (kerajaan) kekeluargaan.

Improvisasi Kualitas Ilmu, Iman dan Amal

Untuk menghasilkan lulusan yang berilmu dan bertakwa, selain pentransferan ilmu, penanaman budi atau nilai-nilai akhlaqul karimah kepada anak-anak didiknya juga harus proporsional. Semua praktek a-susila (mazmumah), misalnya praktek contek-mencontek (melihat kopean) dan mengemis nilai pada staf pengajar dengan memberi imbalan tertentu, hendaklah dihapuskan. Karena pembiaran merajalelanya praktek meniru (mencontek) dan mengemis nilai ketika mahasiswa berada dalam proses pembentukan watak, sikap dan kepribadian dalam institusi pendidikan akan menanamkan rasa tidak bersalah (berdosa) bagi mereka bila melakukan peniruan (pencurian). Bila ini telah terbiasa dan mendarah-daging serta telah menjadi budaya mahasiswa ketika kuliah, maka wajarlah tatkala mereka bekerja nanti, kebiasaan ini akan terbawa-bawa dengan sendirinya dalam bekerja sehingga praktek korupsi dianggap sesuatu yang lumrah dan tidak berdosa bila melakukannnya.
Untuk menghindari hal-hal seperti di atas terjadi, maka selain mengajar, guru harus menjadi contoh teladan (role-model) para anak didiknya dalam berbagai aspek kehidupan tidak hanya di kampus sahaja, tetapi juga di luar kampus. Karena “bila guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari”. Oleh karena itu, sikap tegas dan hukuman setimpal, bila perlu men-droup-out-kan mahasiswa yang mencontek dan berlaku curang dalam ujian harus menjadi agenda penting untuk segera diterapkan.

Restrukturisasi Pengelolaan Pendidikan

Selanjutnya, untuk melahirkan alumni bermoral tinggi dan tidak korup, hendaklah universitas dikelola secara profesional. Birokrasi pendidikan haruslah ramping, simpel dan tidak berbelit-belit bak “beuneung meucuet-cuet” (bahasa Aceh: benang kusut). Pelayanan prima harus diberikan kapada mahasiswa tanpa memandang senioritas, jenis kelamin, tingkat keintiman antara mahasiswa dengan para staf, serta tidak sekali-kali mencari-cari alasan untuk mempersulit dan sekaligus menunda-nundakannya, dan seterusnya. Para staf birokrasi harus mengetahui segala peraturan dan prosedur yang menyangkut almamaternya secara jelas, sehingga mahasiswa yang bermasalah dan mengadu diperlakukan secara adil.
Selanjutnya, pihak universitas juga harus memikirkan untuk mengajarkan keahlian (skills) berbasis moral dan tidak berkutat pada teori semata, sehingga kalaupun tidak menjadi pegawai negeri, setelah tamat nanti mereka akan mampu berdikari untuk memulai bisnis sendiri secara jujur dan amanah. Dan sistem rekruitmen staf baru universitas haruslah tidak berazaskan kekerabatan (ahli famili) dan kemampuan menyogok, tetapi melainkan berdasarkan tingkat kecerdasan dan kemampuan mereka. Menerima pekerja baru (termasuk staf pengajar) yang tidak memenuhi syarat kecemerlangan, tetapi memenuhi syarat keuangan akan mendegradasikan kualitas rakyat Aceh. Karena bila Aceh dikomandoi oleh orang-orang yang diragui kemampuan intelektualitas dan keimanannya dengan berbekalkan modal sogokan dan generasi-generasi muda Aceh dididik oleh mereka yang belum teruji kemampuan dan cacat moral, maka secara gradual, namun pasti rakyat Aceh dari hari ke hari akan semakin jahil dan “lee teungeut ngoen jaga”.

PENUTUP
Negeri syariat telah menjadi sarang korupsi, dan Acehpun telah muncul menjadi champion korupsi di level nasional. Menggilanya korupsi di Aceh yang dilakukan oleh  para alumni universitas merupakan indikasi awal gagalnya universitas dalam menghasilkan alumni yang bermoral, beriman dan tidak berjiwa korup. Sistem pendidikan yang hanya berfokus pada upaya untuk men-transfer knowledge untuk mencerdaskan otak, tapi mengabaikan pembentukan watak, karakter dan hati nurani para mahasiswa, maka besar kemungkinan alumni yang mereka hasilkan akan menjadi koruptor. Tidak begitu mengherankan, jika sekarang banyak koruptor yang lahir adalah lulusan perguruan tinggi, yang eksistensi mereka akan merusak moral kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin  tinggi ijazah yang digondol mereka, maka akan semakin canggih korupsinya, baik dari segi modus operandi maupun dari jumlah uang negara yang ditilep. Seharusnya pendidikan adalah sebuah  proses memberikan ilmu, membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Universitas hendaklah menjadi pabrik yang mencetak orang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, bukannya para intelek dan cendikia korup. Pendidikan idealnya tidak hanya berfungsi sebagai media pen-transfer-an ilmu, tetapi juga harus mampu mencerdaskan otak dan hati demi mewujudkan masyarakat Aceh yang makmur dan sejahtera. Untuk mewujudkan generasi Aceh yang berilmu, bermoral, beriman dan bertakwa di masa mendatang, hendaklah substansi kurikulum pendidikan diseimbangkan antara ilmu agama dan ilmu umum berlandaskan konsep Qur’ani, seperti direkomendasikan dalam Konferensi Dunia tentang sistem pendidikan Muslim. Pendidikan yang tidak berpedoman pada Kitabullah dan Sunnatullah akan menghasilkan generasi korup. Semoga dunia pendidikan Aceh mampu berperan optimal dalam menciptakan negara yang bersih dan berwibawa serta mewujudkan kesejateraan dan kemakmuran masyarakat Aceh.











BIBLIOGRAFI

Adam, A.M. 2012. Pendidikan Aceh Mau Kemana? Opini, Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/  m/index.php/2012/09/10/pendidikan-aceh-mau-kemana (diakses 17 September, 2012).

 al-Faruqi, Ismail Raji. 1981. Social and Natural Sciences: The Islamic Perspective. Herdon, Virginia, USA: International Institute of Islamic Thought.

al-Qur’an dan Terjemahan. 1974. Menteri Agama Republik Indonesia.

Brosur Pendidikan. 1997. Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Republik Indonesia.

Departemen. 1997. Brosur Departemen P&K, Jakarta.

Esposito, John. L., 1987. Islam in Asia: Religion, Politics and Society. New York: Oxford University Press.

Hasan, Kamal. 1998. “The Study of Islam in Contemporary Malay-Indonesia Archipelago: Some General Observations”. Working Paper for International Seminar on Islamic Studies in the ASEAN: History, Approaches and Future Trends. Pattani, Thailand, 25-28 Juni.

Hussain, Sajjad dan Ashraf, Ali. 1979. Crisis in Muslim Education. Jeddah: Universitas King Abdul Aziz.

Indeks Persepsi Korupsi.  http://www.transparency.org (diakses 17 September 2012).

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. http://www.ipkindonesia.org/report/2010 (diakses 17 September 2012).

Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia. BI: Jakarta.

 Ridhwan M. Daud. 1999. “A Critical Analysis of Islamic Studies Curriculum at the University of Syiah Kuala, Banda Aceh”, Thesis M.Ed (Master of Education), Kulliyyah of Education, International Islamic University Malaysia (IIUM).

Tullock, Gordon. 1976. The Vote Motive. London: Institute for Economic Affairs.



Biodata Penulis

BRIEF CV
DR. M. SHABRI ABD. MAJID, M.Ec
Biodata Pribadi:
Nama                            : Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec
Tempat/tgl lahir              : Meureudu, 3 Oktober 1971
Status Perkawinan         : Kawin (3 Orang Anak)
Alamat                          : Tgk Chik Dipineung VIII, No. 13, Kp. Pineung, BNA.
E-mail                           : hannanan@gmail.com 

Pendidikan:
S1 – Manajemen, UNSYIAH, 1995
S2 – Master of Economics, International Islamic University Malaysia (IIUM), 1999.
S3 – PhD in Economics, International Islamic University Malaysia (IIUM), 2005.

Pengalaman Kerja:
2005 - 2008, Penolong Professor, International Islamic University Malaysia (IIUM)
2008 – 2011, Professor Madya, International Islamic University Malaysia (IIUM)
2005-sekarang, Dosen Fakultas Ekonomi & PPs, Unsyiah

Publikasi & Presentasi:
1.   Mempublikasikan lebih dari 50 artikel ilmiah di Jurnal Internasional, seperti Global Economic Review (Korea); Review of Islamic Economics (UK); JKAU: Islamic Economics (Saudi Arabia); Journal of Economic Cooperation and Development (Turkey); Savings and Development (Italy); International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management (UK); International Journal of Emerging Markets (USA); International Journal of Banking and Finance (Malaysia), International Journal of Islamic Economics (Indonesia); Humanomics (Oman); International Journal of Monetary Economics and Finance (Switzerland); Journal of Asia-Pacific Business (USA), International Journal of Managerial Finance (New Zealand), Studies in Economics and Finance (United Arab Emirates); Benchmarking: An International Journal (USA); Afro-Asian J. Finance and Accounting (USA); Journal of Applied Finance (India); Journal of Applied Economics (India), dll.
2.   Mempublikasikan 2 buku: (1) Ekonomi Islam Kontemporer: Isu-Isu Global dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jakarta: LAZNAS BMT, 2004, 313 pages; dan (2) Global Financial Interdependence: ASEAN Emerging Markets versus US and Japan. Germany: Lambert Academic Publishing. 2009. ISBN-NR: 978-3-8383-0647-6.
3.   Mempublikasikan lebih dari 200 artikel di Majalah dan Koran di UK, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
4.   Membentangkan lebih dari 50 makalah di Konferensi dan Seminar Internasional, seperti di Harvard (USA), Australia, Turkey, Saudi Arabia, Sudan, Nigeria, Malaysia, Indonesia.
5.   Editorial Boards/Reviewer beberapa Jurnal, seperti Gadjah Mada International Journal of Business; Jurnal Akuntansi dan Keuangan Syariah, Universitas Brawijaya,Aceh Scientific Journal, Malaysia; Tazkia Islamic Finance and Business Review, Jakarta; Bencmarking: An International Journal (USA); Drishtikon: A Management Journa; Journal of Economic Cooperation and Development (Turkey); ISRA International Journal of Islamic Finance. Bank Negara Malaysia; IIUM Journal of Economics & Management, International Journal of Excellence in Islamic Banking and Finance (IJEIBF), UAE; International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, dll.
6.   Editor-in-Chief, Aceh International Journal of Social Sciences (AIJSS) dan International Journal on Social Science, Economics and Art (IJSSEA);

Penghargaan:

1.     Best Paper Award Recipient at the Malaysian Finance Association (MFA) 3rd Annual Symposium, Management Centre, International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur, 26 May 2001.

2.     Best Paper Award Recipient at the National Symposium I Islamic Economy, Universitas Islam Indonesia (UII), Jogyakarta, Indonesia, March 2002.

3.     Best Paper Award Recipient at the National Symposium II Islamic Economy, Universitas Brawijaya (UNIBRAW), Malang, East Java, Indonesia, March 2004.

4.     Promising Researcher Award (2009), Faculty of Economics and Management Sciences, International Islamic University Malaysia.

5.     Outstanding Researcher Award (2010), International Islamic University Malaysia.

6.     Second Winner for Essays Competition at the Kuala Lumpur Islamic Finance Forum (KLIFF), Kuala Lumpur, 3 August 2010.
7.     Best Paper Award Recipient at the 2nd Terengganu International Business and Economics Conference 2010 (TIBEC II), Universiti Teknologi Mara (UiTM), Terengganu, Malaysia, 5-7 August 2010. 
8.     Best Paper Award Recipient at at the Malaysia-Indonesia International Conference on Economics, Management and Accounting (MIICEMA) 2010. Universiti Kebangsaan Malaysia, 25 - 26 November, 2010.
9.     Finalist, Forum Riset Perbankan Syariah, Desember 2012, Bank Indonesia-Universitas Padjajaran.


Pengabdian:
1.     Expert Panelist (Economist) on the Debate of Legislative Candidate, Election Region Jakarta 2 (Bedah Caleg DAPIL DKI Jakarta 2), 27 January 2009, Indonesian Embassy, Kuala Lumpur, Malaysia.
2.     Trainer in the Econometrics Tutorial on Autoregressive Distributed Lag (ARDL), 28 February 2009, Gombak, KENMS, International Islamic University Malaysia.
3.     Invited Speaker at the Seminar Pendidikan dan Ekonomi Syari’ah, 26 March 2009, Banda Aceh, Indonesia.
4.     Invited Speaker at the Seminar Perbankan Syari’ah, 26 May 2009, STAI Al-Aziziyah, Bireun, Aceh, Indonesia.
5.     Judge Panelist, Pameran Reka Cipta, Penyelidikan & Inovasi (PRPI), 28 July 2009, Universiti Putra Malaysia (UPM).
6.     Trainer in the Econometrics Tutorial on Autoregressive Distributed Lag (ARDL), 17 January 2010, Gombak, KENMS, International Islamic University Malaysia.
7.     Invited Speaker to Deliver “Orasi Ilmiah – “Developing Economy of Aceh via Shari’ah” at the 1st Convocation of  STAI Al-Aziziyah, Bireun, Aceh, Indonesia,15 June 2010.
8.     Expert, Aceh Chamber of Commerce and Industry in Malaysia (Kamar Dagang dan Industri, KADIN), 2010 – to date.
9.     Invited Speaker at the Workshop on Islamic Banking finance: Role of Shari’ah Economic Society” Masyarakat Ekonomi Syariah, Kuala Lumpur, KBRI, 30 October 2010.
10.  Member, Supervisory Board, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia, Unit Pelayanan Zakat, Kuala Lumpur, Malaysia, 2006-2011.


 


Previous
« Prev Post

Related Posts

Jumat, September 21, 2012

0 comments:

Posting Komentar