OPTIMALISASI KONTRIBUSI PERGURUAN TINGGI DALAM MEMERDEKAKAN ACEH DARI KORUPSI
Oleh:
DR. M. SHABRI ABD.
MAJID, M.Ec
(Mantan Profesor Madya, International Islamic University Malaysia-IIUM
& Staf Pengajar, Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana (PPs), Unsyiah,
E-mail: hannanan@gmail.com)
Disampaikan pada Seminar Nasional
Sehari
“Kontribusi Pendidikan bagi Pembangunan
Bangsa dan Negara: Menciptakan Negara yang Bersih dan Berwibawa serta
Masyarakat yang Makmur dan Sejahtera”
Di
STAIN ZAWIYAH COT KALA, LANGSA, ACEH
Pada 18 September 2012
KET GAMBAR :
Pemateri No. 2 di gantI DENGAN :
Pendahuluan
Pemateri No. 2 di gantI DENGAN :
DR. M. SHABRI ABD.
MAJID, M.Ec
Pendahuluan
Konflik vertikal Jakarta versus Aceh (1988-2005) dan
Mega musibah “Tsunami 2004” telah memporak-porandakan perekonomian Aceh. Dua
musibah besar tersebut telah memberi hikmah besar bagi masyarakat Aceh, yaitu
penandatanganan naskah perdamaian Jakarta-Aceh yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU)
Helsinki, 15 Agustus 2005. Pasca MoU Helsiki, Aceh kecipratan triyulnan rupiah
dana pembangunan dari pusat ke Aceh. Pada tahun 2012 misalnya, dana
yang diterima pemerintah Aceh dari Jakarta mencapai Rp 9,511 triliun, sehingga
Aceh menempati urutan ke 3 (tiga) Provinsi penerima dana pembangunan terbesar
dari 33 Provinsi di Indonesia. Namun, sungguh disayangkan, dana triyunan rupiah tersebut
belum mampu mensejahterakan rakyat Aceh. Buktinya, Aceh adalah
Provinsi Nomor Tujuh termiskin dan Nomor Tujuh paling banyak
pengangguran di Indonesia. Aceh kaya raya, tapi rakyatnya papa-kedana.
Tidak sedikit dana
pembangunan Aceh telah diselewengkan, dimanipulasikan dan disalahgunakan.
Akibatnya, kantong-kantong masyarakat miskin semakin bertaburan di Aceh,
sementara itu kantong bapak pejabat semakin berisi. Oknum-oknum pejabat Aceh
kini "buhuk" dalam kebanjiran uang, walhal "urueng gasien"
tenggelam dalam kebanjiran air mata kesedihan dan penderitaan. Praktek korupsi yang
telah berkalang tanah membumi di Tanoh
Rincong ternyata telah begitu dasyat menggogroti dana pembangunan yang
sedang mengalir deras ke Aceh. Agar perekonomian Aceh dapat diselamatkan dari
kelumpuhan dan keambrukan (collapse), maka dana pembangunan itu harus
segera dibebaskan dari grogotan "virus" korupsi tangan-tangan
jahil segelintir elit dan intelektual/cendiakiwan Aceh. Dengan terbebasnya
pembangunan Aceh dari korupsi, diyakini kesejahteraan ekonomi masyarakat Aceh
akan terjamin dan tingkat kemiskinan yang melilit lebih dari sebagian
masyarakat Aceh akan berkurang. Kalau tidak, maka kondisi Aceh yang sedang
babak belur, kini semakin runyam dan bopeng wajah ekonominya disebabkan oleh
ulah “Aneuk Nanggroe”-nya sendiri. Inilah yang
menyebabkan “ureung gasien maken meukuwien lam tapeh” dan “misee
bapak-peujabat maken meukeulimeh”. Aceh semakin terpuruk bahkan terbenam
dalam “uruek” yang digali dan diperlebar oleh “Aneuk Nanggroe”-nya
sendiri, walhal merekalah yang sepatutnya harus menutupi “lubang kebobrokan”
ekonomi Aceh, bukannya “menari di atas luka” rakyatnya sendiri.
Sebenarnya, apa yang
sedang berlaku di Aceh sekarang adalah persis seperti telah diklaim oleh Tullock (1976),
seorang pendukung ‘Public Choice Theory’ menyebutkan: “Bureaucrats
are like other men…if bureaucrats are ordinary men, they will make most (not
all) their decisions in terms of what benefits them, not society as a whole”
Oleh karena itu, segenap rakyat Aceh
sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan langkah serius untuk memberantas
semua praktek korupsi yang berlaku di negeri yang sangat menyanjung nilai-nilai
akhlaqul karimah, Serambi Mekkah. Dunia pendidikan harus berperan
optimal dalam mendidik rakyat Aceh menjadi intelektual dan cendikiawan beriman
dan bertakwa sehingga mereka mencul menjadi juru penyelamat dan pejuang dalam
memerdekakan Aceh dari korupsi.
Aceh Champion Korupsi?
Virus Korupsi yang merebak subur di
Indonesia, juga telah menjangkiti Aceh. Walaupun peringkat Korupsi Indonesia
telah menurun 10 tingkat dari ranking 110 pada tuhan 2010 ke ranking 100 pada
tahun 2011 dari 183 negara di dunia berkat kerja keras Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), namun dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di belahan
dunia lainnya, termasuk negara ASEAN, korupsi yang terjadi di Indonesia
terbilang parah. Seperti terlihat pada Tabel 1, Indonesia kalah telak
dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand dan menciptkana negara
bebas korupsi. Indonesia telah gagal menciptakan good governance dan clean
government.
Tabel 1: Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Negara ASEAN, 2010-2011
Negara
|
2010
|
2011
|
||
Skor
|
Ranking
|
Skor
|
Ranking
|
|
Singapura
|
9,3
|
1
|
9,2
|
5
|
Malaysia
|
4,4
|
56
|
4,3
|
60
|
Thailand
|
3,5
|
78
|
3,4
|
80
|
Indonesia
|
2,8
|
110
|
3,0
|
100
|
Vietnam
|
2,7
|
116
|
2,9
|
122
|
Filipina
|
2,4
|
134
|
2,6
|
129
|
Timor Leste
|
2,5
|
127
|
2,4
|
143
|
Myanmar
|
1,4
|
176
|
1,5
|
180
|
Sumber: http://www.transparency.org (diolah).
Sama
halnya dengan Induknya, Indonesia, korupsi di Aceh pun semakin mencengangkan,
dan bahkan Aceh berada diposisi teratas Provinsi terkorup di Indonesia. Pada
tahun 2002, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia bekerjasama
dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran melakukan penelitian tentang
kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, yang hasil penelitiannya dituangkan
dalam buku ”Daya Saing Daerah: Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia”, telah
menobatkan Aceh sebagai daerah terkorup di Indonesia. Pada tahun 2010,
Transparansi Indeks (TI) Indonesia melaporkan bahwa Kota Banda Aceh berada di
ranking ke-33 dari 50 kota di Indonesia, dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 4,61 (http://www.ipkindonesia.org/report/2010).
Pada tahun 2010, berdasarkan hasil temuan BPK,
Provinsi Aceh masuk kategori wilayah merah dan rawan praktik korupsi. Pada
tahun 2011, terdapat 122 kasus dugaan korupsi yang berpotensi merugikan negara
mencapai Rp 1,7 triliun. Pada 27 Agustus 2012, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa Aceh berada di urutan ke 9
(sembilan) Provinsi terkorup di Indonesia.
Tabel 2: Jumlah Kasus
Korupsi dan Dugaan Kerugian, 2011-2012
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Jumlah Kasus
|
Dugaan Kerugian (Rp)
|
%
|
Korupsi per-capita (Rp)
|
1
|
Provinsi
|
24
|
996.700.384.490
|
65,62
|
-
|
2
|
Kab. Aceh Utara
|
12
|
227.458.000.000
|
14,98
|
429.367,76
|
3
|
Kab. Aceh Tenggara
|
5
|
69.989.000.000
|
4,61
|
390.978,16
|
4
|
Kab. Nagan Raya
|
12
|
57.718.987.100
|
3,80
|
413.273,29
|
5
|
Kab. Aceh Timur
|
7
|
45.336.558.000
|
2,98
|
125.768,94
|
6
|
Kab. Aceh Tamiang
|
8
|
36.074.463.000
|
2,38
|
143.201,50
|
7
|
Kab. Aceh Barat
|
22
|
21.127.516.944
|
1,39
|
121.731,74
|
8
|
Kab. Bireuen
|
11
|
20.455.903.000
|
1,35
|
52.546,97
|
9
|
Kab. Aceh Barat Daya
|
13
|
14.959.875.000
|
0,98
|
118.695,25
|
10
|
Kota Lhokseumawe
|
17
|
10.893.000.000
|
0,72
|
63.641,09
|
11
|
Kab. Gayo Lues
|
8
|
4.298.000.000
|
0,28
|
54.022,12
|
12
|
Kota Langsa
|
7
|
3.934.906.400
|
0,26
|
26.416,92
|
13
|
Kab. Aceh Selatan
|
4
|
2.480.000.000
|
0,16
|
12.261,99
|
14
|
Kab. Pidie
|
8
|
1.791.450.000
|
0,12
|
4.725,43
|
15
|
Kab. Simeulue
|
5
|
1.737.000.000
|
0,11
|
21.531,10
|
16
|
Kab. Subulussalam
|
4
|
1.284.000.000
|
0,08
|
19.037,45
|
17
|
Kota Banda Aceh
|
2
|
849.000.000
|
0,06
|
3.799,58
|
18
|
Kab. Aceh Tengah
|
2
|
664.400.000
|
0,04
|
3.785,17
|
19
|
Kab. Aceh Singkil
|
3
|
539.000.000
|
0,04
|
5.258,07
|
20
|
Kab. Aceh Jaya
|
1
|
250.000.000
|
0,02
|
3.255,97
|
21
|
Kota Sabang
|
1
|
230.000.000
|
0,02
|
7.503,34
|
22
|
Kab. Bener Meriah
|
1
|
89.000.000
|
0,01
|
727,86
|
23
|
Kab. Aceh Besar
|
0
|
-
|
-
|
-
|
24
|
Kab. Pidie Jaya
|
1
|
-
|
-
|
-
|
Total
|
178
|
1.518.860.443.934
|
100
|
337.943,67
|
Sumber
: LSM (Gerakan Anti Korupsi), Agustus 2012
(diolah).
Aceh yang champion
korupsi, terus mempertahankan dan bahkan menaikkan ranking korupsinya. Tabel 2
menunjukkan jumlah kasus korupsi dan potensi kerugian akibat korupsi. Berdasarkan
data yang dihimpun dari LSM GeraK Aceh (Gerakan Anti Korupsi Aceh), terdapat 178 kasus korupsi
yang terjadi seluruh
wilayah hukum Provinsi Aceh dengan kerugian negara mencapai Rp. 1.518.914.443.934. Jumlah kasus korupsi tertinggi berada pada Provinsi Aceh dengan 24
kasus dan diperkirakan merugikan negara Rp. 996.700.384.490, disusul Kabupaten
Aceh Barat sebanyak 22 kasus, Kota Lhokseumawe 17 kasus dan Kabupaten Aceh
Barat Daya sebanyak 13 kasus. Sementara dilihat dari jumlah kerugian, Provinsi
merupakan jumlah terbanyak, disusul Kabupaten Aceh Utara dengan jumlah Rp
227.458.000.000, disusul Kabupaten Aceh Tenggara (Rp 69.989.000.000), dan
Kabupaten Nagan Raya (Rp 57.718.987.100). Ini menunjulkkan bahwa pada tahun
2011, setiap rakyat Aceh melakukan korupsi sebanyak Rp 337.943,67. Dari ke 178
kasus korupsi, sebanyak 59 kasus (33,15%) yang belum ditangani secara hukum
(belum diproses), 74 kasus (41,57%) yang
sudah ditangani, dan 26 kasus (14,61%) telah divonis oleh pengadilan, sedangkan
selebihnya masih dalam proses penyidikan dan penuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan
Tabel
3: Rekapitulasi Opini, 2010-2011
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Opini
|
|
Tahun Anggaran 2010
|
Tahun Anggaran 2011
|
||
1
|
Provinsi Aceh
|
WDP
|
-
|
2
|
Kab. Aceh Selatan
|
WDP
|
WDP
|
3
|
Kab. Aceh Tengah
|
WTP
|
WDP
|
4
|
Kab. Aceh Utara
|
Disclaimer
|
WDP
|
5
|
Kota Lhokseumawe
|
WTP
|
-
|
6
|
Kab. Aceh Singkil
|
WDP
|
WDP
|
7
|
Kab. Nagan Raya
|
WTP
|
WTP
|
8
|
Kab. Aceh Barat
|
WDP
|
WDP
|
9
|
Kota Banda Aceh
|
WTP
|
WTP
|
10
|
Kota Sabang
|
WTP
|
WDP
|
11
|
Kab. Aceh Besar
|
WDP
|
-
|
12
|
Kab. Gayo Lues
|
WDP
|
WDP
|
13
|
Kab. Pidie
|
WDP
|
-
|
14
|
Kab. Bener Meriah
|
WDP
|
WDP
|
15
|
Kota Langsa
|
WDP
|
-
|
16
|
Kab. Aceh Timur
|
WDP
|
-
|
17
|
Kab. Simeulue
|
WDP
|
-
|
18
|
Kab. Pidie Jaya
|
WDP
|
-
|
19
|
Kab. Aceh Tamiang
|
WDP
|
WDP
|
20
|
Kota Subulussalam
|
WDP
|
WDP
|
21
|
Kab. Aceh Barat Daya
|
WDP
|
-
|
22
|
Kab. Aceh Tenggara
|
WDP
|
-
|
23
|
Kab. Bireuen
|
WDP
|
-
|
24
|
Kab. Aceh Jaya
|
WDP
|
-
|
Sumber; BPK Perwakilan Provinsi Aceh, 2012.
Bukti tambahan bahwa Aceh adalah sarang korupsi, dapat dilihat dari Tabel
3. Badan
Pengawasan Keuanga (BPK) Republik Indonesia melalui perwakilannya di Aceh pada
tanggal 1 Juni 2012 menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Tahun Anggaran 2011.
Berdasarkan Rekapitulasi Opini Tahun Anggaran 2011 di Provinsi Aceh, tingkat
pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya diberikan kepada 2
kabupaten/kota, yaitu: kota Banda Aceh, dan Kabupaten Nagan Raya. Selebihnya
masih dalam tingkatan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) sebanyak 9 (sembilan) kabupaten/kota,
yaitu Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Singkil, Kota Sabang, Aceh
Barat, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Selatan, dan Kota Lhokseumawe. Kabupaten/Kota yang termasuk dalam tingkat
pelaporan WTP dapat dikatakan sebagai Kabupaten/Kota yang “bersih” dari segi
administrasi pengelolaan keuangan daerah, serta kepatuhan terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan bidang keuangan dan anggaran.
Tabel
3 menunjukkan bahwa tingkat pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di
Provinsi Aceh pada Tahun 2011 mengalami penurunan dibandingkan pada Tahun 2010.
Pada Tahun 2010 ada 6 (enam) Kabupaten/Kota di Aceh yang menerima opini WTP.
Sedangkan berdasarkan hasil sementara laporan pemeriksaan audit keuangan Kabupaten/Kota
pada Tahun 2011, baru 11 (sebelas) laporan audit Kabupaten/Kota yang baru
selesai diperiksa oleh BPK. Dari laporan tersebut, hanya 2 (dua) kabupaten/kota
telah mencapai taraf pelaporan WTP, yaitu Kabupaten Nagan Raya dan Kota Banda
Aceh. Fakta ini semakin memperkukuh posisi Nanggroe
Syariat, Aceh sebagai champion dan
sarang korupsi. Korupsi di Aceh telah dilakukan oleh berbagai kalangan, dan
bahkan dilakukan oleh para cendikiawan dan intelektual. Korupsi telah merambah
ke berbagai sektor dan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) di Aceh. Korupsi-pun
sudah masuk ke kampus-kampus di Aceh. Kasus dugaan penyunatan beasiswa
mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) dan kasus dugaan Korupsi yang melibatkan
mantan petinggi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) belum juga tuntas. Korupsi
sudah tidak mengenal latar belakang, usia, suku, dan atribut lainnya. White collar crime (korupsi yang
dilakukan kalangan elit) semakin menggila di Aceh.
Collapse-nya Pendidikan Aceh?
Para
koruptor umumnya adalah produk lembaga pendidikan, dan umumnya adalah para
sarjana jebolan universitas. Idealnya, perguruan tinggi harus menghasilkan
pejuang pembasmi koruptor, bukan malah sebaliknya. Hal ini persis seperti
tudingan Ketua Mahkamah Kontitusi, Mahfud, MD dalam orasi ilmiahnya
yang disampaikan dalam rangka dies natalis Unsyiah ke-51, pada 3 September 2012
bahwa banyak perguruan tinggi ternama telah menghasilkan koruptor. Banyaknya keterlibatan
para alumni universitas dalam kasus korupsi apakah pertanda telah gagal (collapse) perguruan tinggi di Aceh? Perguruan
tinggi yang bertugas mulia untuk mendidik anak bangsa yang bersih dan amanah
serta tidak korup, sepertinya telah gagal dalam mengemban tugas sucinya. Dibandingkan
dengan dana 20% APBA yang dianggarkan ke dunia pendidikan Aceh belum berbanding
lurus dengan mutu pendidikannya. Misalnya, rangking
nilai yang diperoleh tamatan SMA/MA/SMK Aceh yang mengikuti SMPTN di berbagai
perguruan tinggi di seluruh Indonesia pada 2011 untuk IPA menduduki rangking
31, (di bawah Papua) IPS lebih baik yaitu rangking 25. Mutu guru TK Aceh
yang mencapai nilai nilai rata-rata 36,26 berada di ranking 32, guru SD nilai
rata-rata 35,95 rangking 32, guru SMA rangking 31, dan guru SMK rangking 29 dari
33 provinsi. Kucuran dana pendidikan yang mencapai 20% dari dana APBA ke
dunia pendidikan ternyata semakin menjadikan pendidikan di Aceh hilang jati
diri (Adam, 2012).
Sejauhmana peran dunia pendidikan
Aceh, khususnya perguruan tinggi dalam melahirkan generasi bersih dan tidak
korup demi mewujudkan visi pembangunan Aceh? Visi pemerintahan Aceh untuk
menjadikan “Aceh yang Bermartabat
Sejahtera Berkeadilan dan Mandiri Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh
sebagai Wujud MoU Helsinki”, rasanya sulit dicapai tanpa mendapat dukungan
padu dari institusi perguruan tinggi. Pengelolaan perguruan tinggi dengan
sistem pembelajaran seperti sekarang malah akan menghambat pencapaian visi
pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, reformasi dunia pendidikan Aceh harus segera
dilakukan sehingga tidak terjadinya “disorientasi pendidikan” di Aceh.
Optimalisasi Kontribusi Perguruan Tinggi dalam
Memberantas KORUPSI
Kemajuan dan kemakmuran sebuah negara, seperti
gemilangnya Kerajaan Aceh Darussalam di masa Sultan Iskandar Muda pada abad
ke-16 Masehi tempoe doeloe adalah sangat ditentukan, inter alia,
oleh sistem dan tingkat pendidikan warga negaranya. Bila kita bandingkan
keberadaan sistem dan tingkat pendidikan rakyat Aceh sekarang dengan dunia
pendidikan negara-negara maju dan Kerajaan Aceh Darussalam tempoe doeloe,
dengan mudah pertanyaan kenapa Aceh sekarang berada dalam kondisi terpuruk dan
terbelakang baik dari segi pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan agama akan
terjawab. Korupsi-pun telah merambah kalangan akademisi dan intelektual. Saban tahun
perguruan tinggi di Aceh semakin memperpenjang daftar alumninya, namun kualitas
moral (iman) mereka semakin tidak menyakinkan. Sarjana yang berilmu dan beriman
di Aceh adalah sejenis makhluk yang sangat langka. Kenapa ini terjadi di bumi
syariat sekarang? Padahal, Aceh tempat kita bermastautin merupakan warisan
Kerajaan Aceh Darussalam tempoe doeloe yang telah tercatat
kegemilangannya dan disegani orang lain akibat keunggulannya di berbagai sektor
kehidupan, termasuk bidang pendidikan! Dulu banyak pelajar asing, terutama dari
negara-negara jiran, seperti Malaysia misalnya, berduyun-duyun datang menimba
ilmu di Aceh. Namun kenapa sekarang sebaliknya berlaku, banyak mahasiswa Aceh
yang menuntut ilmu di sana? Oleh karena itu, untuk melahirkan alumni yang tidak
hanya encer otaknya, tapi juga memiliki moral dan keimanan yang tebal serta
hati yang bersih, maka reformasi sistem pendidikan yang meliputi transformasi
kurikulum, empoweriasi tenaga pengajar, improvisasi kualitas mahasiswa dan
restrukturisasi sistem pengelolaan pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Semua
faktor ini memainkan peran penting dalam melahirkan alumni berbobot ilmu dan
iman serta tidak bermental korup.
Reformasi
Kurikulum Pendidikan
Berhasil tidaknya tujuan pendidikan itu direalisasikan, inter
alia, sangat ditentukan oleh substansi kurikulum pendidikan itu sendiri.
Tidak seperti tujuan pendidikan dalam Islam yang ingin melahirkan generasi
bertakwa yang amar makruf wa nahi munkar, tujuan pendidikan negara
Indonesia adalah untuk melahirkan generasi yang Pancasilais sebagai salah satu
indikasi penting yang harus dimiliki oleh warga negara yang baik (Brosur
Departemen P&K, 1997 dan Hasan, 1998). Dengan kata lain, tujuan pendidikan
dalam Islam adalah untuk menanamkan nilai-nilai ilmu dan agama, bukan untuk mem-pancasilais-kan
anak-anak didiknya. Padahal kita ketahui bahwa warga negara yang baik belum
tentu akan melahirkan individu yang berilmu dan bertakwa, namun sebaliknya
individu yang berilmu dan bertakwa otomastis akan melahirkan warga negara yang
baik yang dalam setiap sepak terjang hidupnya senantiasa mementingkan
kepentingan negara (altruism) ketimbang kepentingan diri sendiri (selfishness).
Oleh karena itu, dengan keistimewaan yang dimiliki Aceh dengan Self-government-nya, maka tidak ada
alasan lagi bagi Aceh untuk tidak segera mereformasi substansi kurikulum
pendidikan Aceh berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Hendaklah kurikulum
pendidikan itu disusun sedemikian rupa dengan mangakomodir nilai-nilai
keislaman di dalamnya sehingga institusi pendidikan di Aceh akan mampu
melahirkan individu-inividu yang berilmu,bermoral dan tidak berjiwa korup.
Pelajaran agama yang hanya 2-4
Sistem Kredit Semeter (SKS) yang harus diambil seorang calon sarjana dari
jumlah total 144-160 SKS pada Perguruan Tinggi Negeri di Aceh adalah sangat
tidak memadai (superficial) (Daud, 1999). Agama Islam yang cukup
mengagumkan itu tidaklah mungkin dapat dipelajari dalam 2-4 SKS sahaja untuk
seumur hidup agar menjadi umat yang baik. Rencana Direktorat Pendidikan Tinggi
(DIKTI) untuk mewajibkan Matakuliah Anti Korupsi diajarkan di kampus, juga
tidak akan berdampak positif dalam mengurangi kasus korupsi, kalau ianya hanya
diajarkan terpisah, tanpa didukung oleh matakuliah bernuansa keagamaan lainnya.
Bagi para calon Insinyur, Ekonom, Akuntan, Guru, Teknokrat, dan calon pemimpin masa depan, nilai-nilai
keislaman hendaklah diajarkan kepada mereka sesuai dengan disiplin ilmu
masing-masing. Karena tanpa pemahaman (understanding)
dan penanaman (inculcating) nilai-nilai, ketika para alumni bekerja,
mereka akan diheret oleh hawa nafsu mereka tanpa peduli mana yang halal dan haram. Seorang Insinyur mungkin akan melahap (mencuri) semen, batu,
dan aspal, padahal semua benda itu adalah keras dan haram hukumnya. Begitu pula para Ekonom, Guru, dan Para pemimpin
umat lainnya akan terheret oleh nafsu untuk bertindak tanpa mengenal
batas-batas al-haq dan al-batil. Bagi mereka, yang paling utama
adalah terpenuhinya keinginan nafsu dan cita rasanya tanpa memikirkan
kemaslahatan umat. Bila ini terjadi, maka “…rusak binasalah langit dan bumi
jikalau kebenaran itu mengikuti hawa nafsu…” (Q.S. al-Mu’minun: 71). Untuk
itu, mata pelajaran agama yang hanya diajarkan 2 SKS itu haruslah ditambah
jumlah SKS-nya, setidaknya, berkisar 9 hingga 24 SKS (3 matakuliah wajib dan 4
mata kuliah pilihan) yang meliputi pelajaran membaca (qira’at),
menghafal (hifz), menerjemah (tafsir) al-Qur’an, ilmu tentang sirah
Nabi dan para sahabat, ilmu Tauhid, Usul Fiqih dan Semantik al-Qu’ran, sesuai
dengan rekomendasi hasil Konferensi Dunia ke-I dan ke-II tentang Pendidikan
Muslim yang, masing-masing, dihelatkan pada tahun 1977 dan 1980 di Mekkah
al-Mukarramah dan di Islamabad. Islamisasi dan integrasi ilmu harus diadopsi
dan diajarkan dalam dunia pendidikan Aceh.
Pada Universitas-universitas di
Malaysia, sebenarnya, rekomendesi ini sudah mulai diaplikasikan. Tidak untuk
menyebut International Islamic University Malaysia (IIUM) yang berkonsepkan
kurikulum Islamisasi pendidikan, di Universiti Sains Malaysia (USM), Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universiti Malaya (UM) misalnya, bagi para calon
Sarjana Ekonomi mereka telah ditawarkan mata kuliah pilihan yang berkonsepkan
Islam, seperti Ekonomi Islam, Perbankan Islam, Asuransi Islam, dan mata kuliah Mu’amalah
lainnya. Kalau Universitas di Aceh yang masih enggan dan malu-malu untuk
menawarkan mata kuliah berbau keislaman, maka jangan harap pelaksanaan syari’at
Islam di Aceh dapat ditegakkan, dan Aceh akan merdeka dari korupsi. Kita tidak
perlu lagi mempertahankan sistem pendidikan sekuler yang memisahkan antara
perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi agama. Sudah saatnya kita
memikirkan untuk menginterasi dan mengislamisasikan substansi kurikulum
ilmu-ilmu umum dan agama secara proporsional. Karena, pada hakikatnya, semua
ilmu itu adalah berasal dari Allah SWT yang Ahad,
dan tidak terkotak-kotakkan, seperti telah mendarang daging dipraktekkan di
Aceh. Kalaupun kita belum sanggup untuk mereformasi kurikulum pendidikan kita
secara totalitas, setidak-tidaknya, kita dapat berpedoman pada
universiti-universiti negara jiran yang telah menggabungkan ilmu agama dengan
ilmu umum. Kalau tidak, maka sangatlah sukar, kalau tidak mustahil untuk
melahirkan generasi-generasi Aceh yang berilmu, bertakwa dan tidak bermoral
korup sesuai dengan kebutuhan zaman. Bila kita masih bersikeras untuk
mempertahankan status quo sistem pendidikan yang ada di Aceh sekarang
yang bersifat sekuler, maka wajarlah bila berlaku demoralisasi, deislamisasi
dan dehumanisasi para generasi Aceh mendatang, seperti diklaim oleh Hussain dan
Ashraff (1979) dalam bukunya: “Crisis in Muslim Education” dan al-Faruqi
(1981), bapak Islamisasi pendidikan, dalam bukunya: “Social and Natural
Sciences: The Islamic Perspective”, akibat sistem pendidikan yang
memisahkan urusan negara (duniawi) dengan urusan agama (ukhrawi).
Kenapa substansi kurikulum pendidikan itu harus berlandaskan al-Qur’an dan
Hadist. Hal ini dapat kita lihat dari firman Allah berikut yang berarti:
Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad) bagaimana Allah
mengemukakan satu perbandingan, yaitu: kalimah yang baik adalah sebagai
sebatang pohon yang baik, yang pangkalnya (akarnya) tetap teguh, dan cabang
pucuknya menjulang ke langit. Dia mengeluarkan buahnya pada tiap-tiap masa
dengan izin Tuhannya. …Dan bandingan Kalimah yang jahat dan buruk samalah
seperti sebatang pohon yang tidak berguna yang mudah tercabut akar-akarnya dari
muka bumi; tidak ada tapak baginya untuk tetap hidup...”(Q.S. Ibrahim: 24-27).
Ayat ini
menunjukkan bahwa apabila sesuatu usaha itu tidak berakarkan (berazaskan) pada
landasan yang haq, maka hasilnya akan sia-sia, dan bahkan menyesatkan.
Begitu juga dengan sistem pendidikan yang tidak berlandaskan kurikulum Qur’ani dan Haditsi, maka lulusan yang dihasilkan tidak akan mampu memberi
syafa’at bagi umat. Arti ayat dan Hadits sahih yang bernada sama dengan makna
ayat di atas, juga dapat kita lihat dari firman Allah SWT berikut:
“…jika datang kepada kamu petunjuk dariKu (melalui Rasul-rasul dan
Kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka), maka sesiapa yang mengikuti
petunjukKu itu niscaya tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik)
terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita" (Q.S.
al-Baqarah: 38); dan
“Telah kutinggalkan bagimu dua perkara yang apabila kamu berpegang teguh
kepadanya (al-Qur’an dan Hadits), niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya”
(H.R. Al-Hakim).
Begitu juga
almarhum Ayahanda Abu Daud Beureu’eh, meminjam istilah Soekarno, seperti
dikutip Esposito, pernah berhujah bahwa:
“..Agama Islam yang membuat
kehidupan umat sempurna tidak boleh dipisahkan antara satu aspek dengan aspek
kehidupan lainnya. Sila pertama dari Pancasila, percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa itu tidak lebih dari manuver politik
belaka. …Yang paling esensial dari sumber kehidupan dan sumber apapaun haruslah
merujuk pada Kitabullah dan Sunnatullah secara kaffah. Tidak mungkin sebagian
mengikutinya, tetapi sebagian lain tidak baik dalam tindak kriminal, urusan
kemasyarakatn, peribadatan, atau dalam segala persoalan harian. Jika hukum
Tuhan tidak kita laksanakan dengan sempurna, berarti kita mengingkari
kepercayaanNya sehingga menyebabkan kita sesat sepanjang hayat” (Esposito,
1987: 212).
Kata-kata Ayahanda di atas sangatlah sesuai
dengan makna ayat berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam agama Islam
secara totalitas (kaffah); dan janganlah kamu menurut jejak langkah Syaitan;
sesungguhnya Syaitan itu musuh bagi kamu yang terang nyata” (Q.S.
al-Baqarah: 208).
Pendek kata, usaha untuk mengislamisasikan sistem
pendidikan hendaklah bermula pada azas, falsafah atau fondasi kurikulum
pendidikan itu sendiri. Bila fondasi itu tidak kokoh dan tidak berlandaskan
yang haq, maka sangatlah sukar, kalau tidak mustahil bagi rakyat Aceh
untuk melahirkan generasi-generasi Aceh yang berilmu, bertakwa dan tidak bermoral
korup. Di samping itu, pengelola universitas dan pemerintah daerah, khususnya
yang menangani bidang pendidikan, sudah saatnya memikirkan lebih serius usaha
untuk melahirkan generasi berilmu (profesional) dan bertakwa dengan
memanfaatkan penerapan syari’at Islam di Aceh. Kalau tidak, maka jangan harap
penerapan syari’at Islam di Aceh akan berhasil gemilang dan korupsi pun hilang
di bumi Aceh.
Empowerisasi Tenaga Pengajar
Untuk
menghasilkaan lulusan bermoral tinggi, selain adanya substansi kurikulum
pendidikan yang baik, juga diperlukan tenaga pengajar yang berkualitas, meyakinkan
dari segi ilmu dan iman. Untuk merealisasikan tujuan ini, maka pihak
universitas harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para stafnya untuk
menuntut ilmu hingga ke jenjang Doktor (S3), tentunya dengan menyediakan
bantuan keuangan pendidikan (scholarship). Seterusnya, kualitas tenaga
pengajar hendaklah didorong oleh sistem kompensasi (gaji) dan peningkatan
karier yang memuaskan sehingga para pengajar dapat berkonsentrasi penuh untuk
mendidik mahasiswanya tanpa perlu kuatir dengan ber“asap”-tidaknya dapur
mereka. Begitu juga sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar baru
hendaklah bebas dari praktek penyogokan. Siapa sahaja yang memiliki prestasi
cemerlang (ilmu dan iman) hendaklah direkrut untuk memperkuat barisan tenaga
pengajar yang sudak eksis. Janganlah institusi pendidikan kita dibiarkan untuk
dikuasai oleh segelintir oknum korup secara turun-temurun, setelah bapaknya
pensiun, bila anaknya tidak ada, maka sanak famili akan menggantikannya
seolah-olah institusi pendidikan itu bagaikan Dinasti (kerajaan) kekeluargaan.
Improvisasi Kualitas Ilmu, Iman dan Amal
Untuk menghasilkan lulusan yang berilmu dan bertakwa,
selain pentransferan ilmu, penanaman budi atau nilai-nilai akhlaqul karimah
kepada anak-anak didiknya juga harus proporsional. Semua praktek a-susila (mazmumah),
misalnya praktek contek-mencontek (melihat kopean) dan mengemis nilai pada staf
pengajar dengan memberi imbalan tertentu, hendaklah dihapuskan. Karena
pembiaran merajalelanya praktek meniru (mencontek) dan mengemis nilai ketika
mahasiswa berada dalam proses pembentukan watak, sikap dan kepribadian dalam
institusi pendidikan akan menanamkan rasa tidak bersalah (berdosa) bagi mereka
bila melakukan peniruan (pencurian). Bila ini telah terbiasa dan
mendarah-daging serta telah menjadi budaya mahasiswa ketika kuliah, maka
wajarlah tatkala mereka bekerja nanti, kebiasaan ini akan terbawa-bawa dengan sendirinya
dalam bekerja sehingga praktek korupsi dianggap sesuatu yang lumrah dan tidak
berdosa bila melakukannnya.
Untuk menghindari hal-hal
seperti di atas terjadi, maka selain mengajar, guru harus menjadi contoh
teladan (role-model) para anak didiknya dalam berbagai aspek kehidupan
tidak hanya di kampus sahaja, tetapi juga di luar kampus. Karena “bila guru kencing berdiri, maka murid akan
kencing berlari”. Oleh karena itu, sikap tegas dan hukuman setimpal, bila
perlu men-droup-out-kan mahasiswa yang mencontek dan berlaku curang
dalam ujian harus menjadi agenda penting untuk segera diterapkan.
Restrukturisasi Pengelolaan Pendidikan
Selanjutnya, untuk melahirkan alumni bermoral tinggi dan
tidak korup, hendaklah universitas dikelola secara profesional. Birokrasi
pendidikan haruslah ramping, simpel dan tidak berbelit-belit bak “beuneung
meucuet-cuet” (bahasa Aceh: benang kusut). Pelayanan prima harus diberikan
kapada mahasiswa tanpa memandang senioritas, jenis kelamin, tingkat keintiman
antara mahasiswa dengan para staf, serta tidak sekali-kali mencari-cari alasan
untuk mempersulit dan sekaligus menunda-nundakannya, dan seterusnya. Para staf
birokrasi harus mengetahui segala peraturan dan prosedur yang menyangkut
almamaternya secara jelas, sehingga mahasiswa yang bermasalah dan mengadu diperlakukan
secara adil.
Selanjutnya,
pihak universitas juga harus memikirkan untuk mengajarkan keahlian (skills)
berbasis moral dan tidak berkutat pada teori semata, sehingga kalaupun tidak
menjadi pegawai negeri, setelah tamat nanti mereka akan mampu berdikari untuk
memulai bisnis sendiri secara jujur dan amanah. Dan sistem rekruitmen staf baru
universitas haruslah tidak berazaskan kekerabatan (ahli famili) dan kemampuan
menyogok, tetapi melainkan berdasarkan tingkat kecerdasan dan kemampuan mereka.
Menerima pekerja baru (termasuk staf pengajar) yang tidak memenuhi syarat
kecemerlangan, tetapi memenuhi syarat keuangan akan mendegradasikan kualitas
rakyat Aceh. Karena bila Aceh dikomandoi oleh orang-orang yang diragui kemampuan
intelektualitas dan keimanannya dengan berbekalkan modal sogokan dan
generasi-generasi muda Aceh dididik oleh mereka yang belum teruji kemampuan dan
cacat moral, maka secara gradual, namun pasti rakyat Aceh dari hari ke
hari akan semakin jahil dan “lee teungeut ngoen jaga”.
PENUTUP
Negeri syariat telah menjadi sarang korupsi, dan Acehpun telah muncul
menjadi champion korupsi di level nasional.
Menggilanya korupsi di Aceh yang dilakukan oleh
para alumni universitas merupakan indikasi awal gagalnya universitas
dalam menghasilkan alumni yang bermoral, beriman dan tidak berjiwa korup. Sistem
pendidikan yang hanya berfokus pada upaya untuk men-transfer knowledge untuk mencerdaskan otak, tapi mengabaikan
pembentukan watak, karakter dan hati nurani para mahasiswa, maka besar
kemungkinan alumni yang mereka hasilkan akan menjadi koruptor. Tidak begitu
mengherankan, jika sekarang banyak koruptor yang lahir adalah lulusan perguruan
tinggi, yang eksistensi mereka akan merusak moral kehidupan berbangsa dan
bernegara. Semakin tinggi ijazah yang digondol mereka, maka akan semakin canggih korupsinya,
baik dari segi modus operandi maupun dari jumlah uang negara yang ditilep.
Seharusnya pendidikan adalah sebuah proses memberikan ilmu, membentuk karakter dan
menanamkan nilai-nilai kehidupan. Universitas hendaklah menjadi pabrik yang
mencetak orang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, bukannya para intelek
dan cendikia korup. Pendidikan idealnya tidak hanya berfungsi sebagai media
pen-transfer-an ilmu, tetapi juga harus
mampu mencerdaskan otak dan hati demi mewujudkan masyarakat Aceh yang makmur
dan sejahtera. Untuk mewujudkan
generasi Aceh yang berilmu, bermoral, beriman dan bertakwa di masa mendatang, hendaklah
substansi kurikulum pendidikan diseimbangkan antara ilmu agama dan ilmu umum
berlandaskan konsep Qur’ani, seperti direkomendasikan dalam Konferensi Dunia
tentang sistem pendidikan Muslim. Pendidikan yang tidak berpedoman pada Kitabullah
dan Sunnatullah akan menghasilkan generasi korup. Semoga dunia
pendidikan Aceh mampu berperan optimal dalam menciptakan negara yang bersih dan
berwibawa serta mewujudkan kesejateraan dan kemakmuran masyarakat Aceh.
BIBLIOGRAFI
Adam, A.M. 2012. Pendidikan Aceh Mau Kemana? Opini,
Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/
m/index.php/2012/09/10/pendidikan-aceh-mau-kemana (diakses 17 September,
2012).
al-Faruqi, Ismail Raji. 1981.
Social and Natural Sciences: The Islamic Perspective. Herdon, Virginia,
USA: International Institute of Islamic Thought.
al-Qur’an dan Terjemahan. 1974. Menteri Agama Republik Indonesia.
Brosur Pendidikan. 1997. Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Republik
Indonesia.
Departemen.
1997. Brosur Departemen P&K, Jakarta.
Esposito, John. L., 1987. Islam in Asia: Religion, Politics and Society.
New York: Oxford University Press.
Hasan, Kamal. 1998. “The Study of Islam in Contemporary Malay-Indonesia
Archipelago: Some General Observations”. Working Paper for International
Seminar on Islamic Studies in the ASEAN: History, Approaches and Future Trends.
Pattani, Thailand, 25-28 Juni.
Hussain, Sajjad dan Ashraf, Ali. 1979. Crisis in Muslim Education.
Jeddah: Universitas King Abdul Aziz.
Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia. http://www.ipkindonesia.org/report/2010
(diakses 17 September 2012).
Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi
Universitas Padjajaran. 2002. Daya Saing
Daerah: Konsep Dan Pengukurannya Di
Indonesia. BI: Jakarta.
Ridhwan M. Daud. 1999. “A Critical Analysis of Islamic Studies Curriculum
at the University of Syiah Kuala, Banda Aceh”, Thesis M.Ed (Master of
Education), Kulliyyah of Education, International Islamic University
Malaysia (IIUM).
Tullock,
Gordon. 1976. The Vote Motive.
London: Institute for Economic Affairs.
Biodata Penulis
BRIEF
CV
DR.
M. SHABRI ABD. MAJID, M.Ec
Biodata Pribadi:
Nama :
Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec
Tempat/tgl lahir : Meureudu, 3 Oktober 1971
Status Perkawinan : Kawin (3 Orang Anak)
Alamat : Tgk Chik Dipineung
VIII, No. 13, Kp. Pineung, BNA.
Pendidikan:
S1 – Manajemen, UNSYIAH,
1995
S2 – Master of Economics,
International Islamic University Malaysia (IIUM), 1999.
S3 – PhD in Economics,
International Islamic University Malaysia (IIUM), 2005.
Pengalaman Kerja:
2005 - 2008, Penolong
Professor, International Islamic University Malaysia (IIUM)
2008 – 2011, Professor
Madya, International Islamic University Malaysia (IIUM)
2005-sekarang, Dosen
Fakultas Ekonomi & PPs, Unsyiah
Publikasi & Presentasi:
1.
Mempublikasikan
lebih dari 50 artikel ilmiah di Jurnal Internasional,
seperti Global Economic Review (Korea); Review of Islamic Economics (UK); JKAU: Islamic Economics (Saudi Arabia); Journal of Economic
Cooperation and Development (Turkey); Savings
and Development (Italy); International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management (UK);
International Journal of Emerging Markets (USA); International Journal of
Banking and Finance (Malaysia), International Journal of Islamic Economics
(Indonesia); Humanomics (Oman); International Journal of
Monetary Economics and Finance (Switzerland); Journal of
Asia-Pacific Business (USA), International Journal of Managerial Finance (New
Zealand), Studies in Economics and
Finance (United Arab Emirates); Benchmarking:
An International Journal (USA); Afro-Asian J. Finance and Accounting (USA);
Journal of Applied Finance (India); Journal of Applied Economics (India), dll.
2.
Mempublikasikan 2
buku: (1)
Ekonomi Islam Kontemporer: Isu-Isu Global
dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jakarta:
LAZNAS BMT, 2004, 313 pages; dan (2) Global
Financial Interdependence: ASEAN Emerging Markets versus US and Japan. Germany:
Lambert Academic Publishing. 2009. ISBN-NR: 978-3-8383-0647-6.
3. Mempublikasikan lebih
dari 200 artikel di Majalah dan Koran di UK, Singapura, Malaysia, dan
Indonesia.
4. Membentangkan lebih dari
50 makalah di Konferensi dan Seminar Internasional,
seperti di Harvard (USA), Australia, Turkey, Saudi Arabia, Sudan, Nigeria,
Malaysia, Indonesia.
5. Editorial Boards/Reviewer beberapa Jurnal, seperti Gadjah Mada International Journal of
Business; Jurnal Akuntansi dan Keuangan Syariah, Universitas Brawijaya,Aceh
Scientific Journal, Malaysia; Tazkia Islamic
Finance and Business Review, Jakarta;
Bencmarking: An International
Journal (USA); Drishtikon: A Management Journa; Journal of Economic
Cooperation and Development (Turkey); ISRA
International Journal of Islamic Finance. Bank Negara Malaysia; IIUM
Journal of Economics & Management, International
Journal of Excellence in Islamic Banking and Finance (IJEIBF), UAE; International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, dll.
6. Editor-in-Chief, Aceh
International Journal of Social Sciences (AIJSS) dan International Journal on Social Science, Economics and Art
(IJSSEA);
Penghargaan:
1. Best Paper Award Recipient at the Malaysian Finance Association (MFA) 3rd Annual Symposium, Management Centre, International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur, 26 May 2001.
2. Best Paper Award Recipient at the National Symposium I Islamic Economy, Universitas Islam Indonesia (UII), Jogyakarta, Indonesia, March 2002.
3. Best Paper Award Recipient at the National Symposium II Islamic Economy, Universitas Brawijaya (UNIBRAW), Malang, East Java, Indonesia, March 2004.
4. Promising Researcher Award (2009), Faculty of Economics and Management Sciences, International Islamic University Malaysia.
5. Outstanding Researcher Award (2010), International Islamic University Malaysia.
6. Second Winner for Essays Competition at the Kuala Lumpur Islamic Finance Forum (KLIFF), Kuala
Lumpur, 3 August 2010.
7. Best Paper Award Recipient at the 2nd Terengganu
International Business and Economics Conference 2010 (TIBEC II), Universiti Teknologi
Mara (UiTM), Terengganu, Malaysia, 5-7 August 2010.
8.
Best Paper Award
Recipient at at the Malaysia-Indonesia International
Conference on Economics, Management and Accounting (MIICEMA) 2010.
Universiti Kebangsaan Malaysia,
25 - 26 November, 2010.
9.
Finalist, Forum Riset
Perbankan Syariah, Desember 2012, Bank Indonesia-Universitas Padjajaran.
Pengabdian:
1.
Expert Panelist (Economist) on the
Debate of Legislative Candidate, Election Region Jakarta
2 (Bedah Caleg DAPIL DKI Jakarta 2), 27 January
2009, Indonesian Embassy, Kuala Lumpur,
Malaysia.
2.
Trainer in the
Econometrics
Tutorial on Autoregressive Distributed Lag (ARDL), 28 February 2009, Gombak,
KENMS, International Islamic University Malaysia.
3.
Invited Speaker at the Seminar
Pendidikan dan Ekonomi Syari’ah, 26 March 2009, Banda Aceh, Indonesia.
4.
Invited Speaker at the Seminar
Perbankan Syari’ah, 26 May 2009, STAI Al-Aziziyah, Bireun, Aceh, Indonesia.
5.
Judge Panelist, Pameran Reka Cipta,
Penyelidikan & Inovasi (PRPI), 28 July 2009, Universiti Putra Malaysia (UPM).
6.
Trainer in the
Econometrics
Tutorial on Autoregressive Distributed Lag (ARDL), 17 January 2010, Gombak,
KENMS, International Islamic University Malaysia.
7.
Invited Speaker to
Deliver “Orasi Ilmiah
– “Developing Economy of Aceh via Shari’ah” at the 1st Convocation of STAI Al-Aziziyah, Bireun, Aceh, Indonesia,15
June 2010.
8.
Expert, Aceh Chamber
of Commerce and Industry in Malaysia (Kamar Dagang dan
Industri, KADIN), 2010 – to date.
9.
Invited Speaker at the
Workshop on Islamic Banking finance: Role of Shari’ah Economic Society”
Masyarakat Ekonomi Syariah, Kuala
Lumpur, KBRI, 30 October 2010.
10.
Member, Supervisory
Board, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia, Unit Pelayanan Zakat,
Kuala Lumpur, Malaysia, 2006-2011.
0 comments:
Posting Komentar