Pendahuluan
Al-Quran
dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya
merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh
bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok
tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi
terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.
Seperti
kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah)
khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya. Al-Qur’an juga
menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam
meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh
seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam,
pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang
menguatkan kesepakatan umat tersebut.
1.
Pengertian
Al-Qur’an
Di
kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian
al-Qur’an baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa
Al-Qur’an bukan berasal dari kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan hamzah.
Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman
Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat
bahwa lafadz al-Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah
yang berarti kaitan ; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat
al-Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asy’ari dan para
pengikutnya mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an diambil dari akar kata qarn
yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan
ayat-ayat al-Qur’an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.
Pengertian-pengertian
kebahasaan yang berkaitan dengan al-Qur’an tersebut sungguh pun berbeda tetapi
masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik al-Qur’an itu sendiri, yang
antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu
penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian al-Qur’an secara etimologis
dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli.
Secara
etimologis, al-Qur’an merupakan Masdar dari kata kerja “Qoroa” yang
berarti bacaan atau yang ditulis, sedang menurut Quraish Shihab
berarti bacaan yang sempurna.
Secara
terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut :
Safi’
Hasan Abu Thalib menyebutkan :
القران هو الكتاب منزل بالفاظه العربية ومعانيه من عند الله
تعالى عن طريق الوحي الى النبي محمد عليه الصلاة والسلام و هو اسا
س الشريعة واصلها الاول
Al-Qur’an adalah wahyu yang
diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama
bagi syariat.
Dalam
hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :
انا انزلنه قرانا عربيا لعلكم تعقلون
Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)
Sedangkan
menurut Zakaria al-Birri, yang dimaksud al-Qur’an adalah :
الكتاب و يسمى القران هو كلام الله تعالى المنزل على رسوله
محمد صلى الله عليه و سلم باللفظ العربية و المنقول بالتواتر و المكتوب فى المصاحف
Al-Kitab yang disebut al-Qur’an
dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan
lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran
mushaf.
Sementara
Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Quran
adalah :
القران و هو قول الله تعالى
Al-Qur’an yaitu merupakan firman
Allah SWT.
Dari
ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi
pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun
bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an dinukil secara
mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya
menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT, akan tetapi ,
Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Qur’an bukanlah
perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan
apa yang diterima dari Allah SWT.
بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذا و كذا
Nabi hanya berfungsi pembawa atau
penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum.
Untuk
lebih memperjelas definisi al-Qur’an ini penulis juga nukilkan pula pendapat
Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-Qur’an adalah
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna
serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara
mutawatir.
Definisi
di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :
a.
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, yaitu
seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang
dari perkataan atau pikiran Nabi.
b.
Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk
lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran
datang dari Allah sendiri.
c.
Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf,
artinya Al-Qur’an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk
hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d.
Al-Qur’an dinukil secara mutawatir,
artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh
sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya
jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.
Sebetulnya
masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi
kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda.
Dalam
kaitannya dengan sumber dalil, al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut dengan
al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam
sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.
Hal ini tentu saja bisa dipahami,
sebab di dalam al-Qur’an sendiri sering disebut al-Kitab –yang dimaksud adalah
al-Qur’an. Seperti firman Allah :
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 ).
Dari
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang
penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga
sampai sekarang ini, Penukilan al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan
menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang
mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan al-Qur’an dan terpelihara
sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam
firman-Nya :
انا نحن نزلنا الذكرى و انا له لحافظون
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)
2. Kehujjahan Al-Qur’an
Sebagaimana
disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf, bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu
terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan
atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan
dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh
manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu,
merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi
utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai
sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak
benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan
Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia,
karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan
berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai
konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai
informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal.
Di
dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun
petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan
perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang
bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal
manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita
misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan
ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi
yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam
kitab-kitab fiqih.
Dengan
demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak
seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun
yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan
seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern
sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta
dapat dibuktikan secara ilmiah.
3. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Seluruh
mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling
utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber
hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari
sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib menegaskan :
يعتبر القران المصدر الاول الاحكام الشرعية اما بقية المصادر
فهى تابعة له ومتفرعة عنه ومن ثم يحتل المرتبة الاولى فى الاستبدال فلا يجوز
العدول عنه الى غيره الا اذا خلا من حكم للحالة المعروضة
Al-Qur’an
dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum
syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan
cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi
utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila
tidak ditemukan di dalamnya.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam
ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari
al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada
al-Qur’an. Al-Ghazali, bahkan mengatakan pada hakikatnya sumber hukum itu satu,
yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda
beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
بان اصل الاحكام واحد وهو قول الله تعالى اذ قول الرسول صلى
الله تعالى عليه و سلم ليس بحكم ولا ملزم بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذه و
كذا
Dari
uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama
dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang
membantahnya.
4. Dalalah Al-Qur’an
Yang
dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian
dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada
pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan
bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami.
Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut
dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.
Dalam
kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang
ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama
ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy.
Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian
atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.
Tentang
tema qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya
kepada dua macam yaitu :
- Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
- Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan
hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :
1.
Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang
keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2.
Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih
mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
Dalam
hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy
al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang
tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka
ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya
nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan
susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta
sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy
al-dalalah :
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak
mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12).
Ayat
ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya
qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua)
yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang
dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
Kemudian
, nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy
al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang
disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am,
musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah
ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam
penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy
al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di
kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :
و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...
Wanita-wanita
yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga
kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)
Yang
menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak
yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr”
(suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid).
Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum
yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu
masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid.
Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid
secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda
halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita
yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga
kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci
(bersih).
Pada
prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid,
karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah
terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau
tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci.
Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru
berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas
(jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar
yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari
contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy
al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan
mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari
terjadinya produk hukum yang berbeda.
Keimanan
kepada Nabi Muhammad saw
Bagi
umat Islam, beriman kepada Nabi Muhammad saw merupakan bagian dari rukun iman
(beriman kepada para nabi) dan sekaligus rukun Islam (membaca dua kalimah
syahadat). Dengan tegas dikatakan, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai
mukmin atau muslim, jika dia tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Imam alNawawi
dalam Kitab haditsnya yang terkenal, alArba’in alNawawiyah, menyebutkan
definisi Islam pada hadits kedua:
“Islam adalah bahwasanya engkau
bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika
engkau berkemampuan melaksanakannya.”
(HR Muslim).
Pada hadits ketiga juga disebutkan,
bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda:
“Islam ditegakkan di atas lima hal:
persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum
Ramadhan.”(HR Bukhari dan Muslim).
Karena
itu, tidak ada Islam jika tidak ada keimanan terhadap kenabian Muhammad saw.
Keimanan kepada Nabi Muhammad saw adalah kunci bagi seluruh keimanan yang lain.
Sebab, Allah menurunkan wahyuNya, yakni alQuran, melalui para utusanNya. Dan
Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah yang terakhir, la nabiyya ba’dahu, tidak
ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. Dalam alQuran dikatakan, tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. (QS 51:56). Adalah
Nabi Muhammad saw yang mengenalkan kepada kita, siapa Tuhan kita dan bagaimana
cara beribadah kepadaNya. Melalui Nabi Muhammad saw kita memahami wahyu Allah
tersebut. Nabi Muhammad lah yang menjelaskan kepada kita bagaimana kita shalat,
zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Karena
itulah, keimanan kepada Nabi Muhammad saw adalah kunci atau pintu masuk dari
seluruh aspek keimanan dalam Islam. Kita tidak dapat mengenal nama Allah, sifatsifat
Nya, dan cara menyembahNya dengan benar, kecuali melalui utusanNya yang terakhir,
yaitu Nabi Muhammad saw. Maka, syahadat Islam berbunyi: ”Saya bersaksi tidak
ada tuhan
selain Allah, dan saya bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”Tan pa
beriman kepada Nabi Muhammad saw dan
wahyu yang dibawanya, melalui manusia paling paling hanya sampai menjadi deis,
mengakui adanya Tuhan, mengakui bahwa Tuhan itu satu! Tetapi, manusia tidak
akan pernah bisa mengenal siapa Tuhan itu, siapa Dia, siapa NamaNya, bagaimana
sifatsifatNya, dan bagaimana cara manusia menyembahNya.
Oleh
sebab itu, dalam dakwahNya ke seluruh penjuru dunia, Nabi Muhammad saw
senantiasa mengajak manusia untuk masuk Islam, memeluk agama Islam, dengan
mengakuinya sebagai utusan Allah. ”Akuilah, bahwa aku ini adalah utusan Allah,”
kata Nabi saw kepada umat manusia. Sebab, memang tidak mungkin manusia bisa
mengenal dan
¨Peneliti
INSISTS; Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII)
Menyembah Allah dengan benar,
kecuali dengan mengakui dan mengimani Muhammad saw
sebagai utusan Allah SWT.
Islam
: Satu-Satunya Agama Wahyu/Samawi
Setelah wahyu Allah SWT sempurna
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka Allah menegaskan, bahwa ”Pada Hari
ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan bagimu nikmatKu,
dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”(QS 5:3).
Ayat
ini secara tegas menyebutkan, bahwa ”Islam” adalah agama yang diridhai oleh
Allah. Dan kata ”Islam” dalam ayat ini adalah menunjuk kepada nama agama yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Bahkan, secara tegas, nama
agama ini diberi nama ”Islam” setelah sempurna diturunkan oleh Allah kepada NabiNya
yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw.
Para
pengikut nabinabi sebelumnya diberi sebutan sebagai ”muslimun”, tetapi nama
agama para nabi sebelumnya, tidak secara tegas diberi nama ”Islam”, sebagaimana
agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun, semua agama yang
dibawa oleh para nabi mengandung inti ajaran yang sama, yakni ajaran
Tauhid.Namun, agamaagama para nabi sebelumnya, saat ini sudah sulit dipastikan
keotentikannya, karena sudah
mengalami tahrif (perubahanperubahan) dari pemeluknya. Karena itulah, harusnya
pengikut para nabi sebelumnya, seperti kaum Yahudi dan Nasrani, juga mengimani
Muhammad sebagai nabi Allah SWT, sehingga mereka dapat mengenal Allah dan
memahami bagaimana cara beribadah kepada Allah SWT. Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang menguasai jiwa
Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar
tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap
ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.”(HR Muslim)
Nabi
Muhammad saw juga mengirimkan suratsurat dakwah kepada orangorang non
muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja
Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi
mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan
Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).
muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja
Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi
mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan
Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).
Karena
Islam memelihara kontinuitas wahyu mulai Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi
Muhammad saw, maka Islam adalah satusatunya agama yang diturunkan Allah SWT
kepada umat manusia. Karena itu, Islam bisa dikatakan sebagai satusatunya
agama wahyu (revealed religion). Ini bisa dilihat dari berbagai indikator:
Pertama, diantara agama-agama yang
ada, hanya Islamlah yang namanya secara khusus disebutkan dalam Kitab Sucinya.
Nama agamaagama selain Islam diberikan oleh para pengamat keagamaan atau oleh
manusia, seperti agama Yahudi (Judaisme), agama Katolik (Katolikisme), agama
Protestan (Protestantisme), agama Budha (Budhisme), agama Hindu (Hinduisme),
agama Konghucu (Konfusianisme), dan sebagainya. Sedangkan Islam tidaklah
demikian. Nama Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhamamd saw, sudah disebutkan ada dalam aQuran:
"Sesungguhnya agama yang
diridhai oleh Allah adalah Islam." (QS 3:19)."Barang siapa yang
mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti
akan termasuk orangorang yang merugi."(QS 3:85).
Kepada orang-orang kafir, kaum
Muslim juga diperintahkan untuk mengungkapkan:
"Lakum dinukum waliya
din", bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Katakata "Islam dalam ayatayat
tersebut menunjuk kepada satu nama agama tertentu, dan bukannya sebuah sebutan
untuk satu sikap pasrah kepada Tuhan (submission to God). Selama ratusan tahun,
kaum Muslim tidak pernah mempersoalkan, bahwa Islam adalah nama sebuah agama
yang dibawa nabi Muhammas saw. Istilah 'Islam' meskipun secara bahasa berarti
"pasrah " bukan berarti Islam hanya diartikan sebagai "sikap
pasrah kepada Tuhan semata", tanpa melihat cara pasrah kepada Tuhan.
Karena Islam adalah nama sebuah
agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka Islam juga mengajarkan
"cara pasrah" yang benar kepada Allah SWT. Cara pasrah, atau cara
ibadah, tidak boleh dikarangkarang oleh manusia. Tetapi, menurut Islam, cara
ibadah haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah SWT yang disampaikan
melalui utusanNya, yaitu Nabi Muhammad saw.
Kedua, dalam soal nama dan konsep
Tuhan.Sebagaimana konsep Islamic worldview yang ditandai dengan
karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan,
menurut Prof. Naquib al-Attas1, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan,
konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam al-Quran yang
juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang
khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agamaagama lain, tidak sama
dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan
dalam filsafat Barat modern ataupun dalam tradisi mistik Barat dan Timur.
Konsep Tuhan dalam 'Pluralisme
Agama'
Majelis
Ulama Indonesia, pada tahun 2005 telah resmi mengeluarkan fatwa, bahwa paham
Pluralisme Agama adalah bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam
memeluknya. Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama
adalah jalan yang samasama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut
paham ini, semua agama adalah jalan yang berbedabeda menuju Tuhan yang sama.
Tuhan – siapa pun ada kerugiannya yaitu
adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam
naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam
naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan
sisipan.”
Argumentasi kaum Pluralis Agama
bahwa "semua agama adalah jalan yang sama sama sah menuju Tuhan yang
sama" – jelasjelas juga pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah
benar, maka tidak perlu Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berdoa
"Ihdinash
shirathal mustaqim!"
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat alFatihah
disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalannya
orangorang yang dimurkai Allah dan jalannya orangorang yang tersesat. Jadi,
tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok dan jalan yang
sesat.
Seperti
disebutkan sebelumnya, Ulama India Syekh Abul Hasan Ali anNadwi menyebutkan,
bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, sepeninggal
Rasulullah saw, adalah tantangan yang diakibatkan oleh peradaban Barat, yang
materialis, sekular dan liberal.16
Sebab, tantangan ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan
Islam, yaitu masalah iman dan kemurtadan. Dalam pandangan Islam, murtad
(batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka
hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat alQuran yang menyebutkan bahaya
dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang siasia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”(al-Baqarah:217).
“Dan orangorang kafir amal-amal
mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orangorang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amalamal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitunganNya.”(anNur:39).
Dalam
kondisi seperti ini, dimana virusvirus perusak aqidah – seperti paham
Pluralisme Agama yang jelasjelas merupakan paham syirik bergentayangan
secara bebas, maka tidak ada jalan lain bagi setiap Muslim untuk membentengi
imannya dan keluarganya, kecuali dengan meningkatkan keilmuan Islam yang kokoh
sehingga mampu menangkal serangan berbagai virus aqidah yang kini bergentayangan
bebas di sekeliling kita.Wal l ahu a’lam.
Al-Qur’an
Bersifat Global (Mujmal) Yang Memerlukan Perincian.
Misalnya
perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat: aqimis
shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara
mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya,
datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat,
berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu
disebut Sunnah Rasul. Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap
bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll.
Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh
karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.
Al-Qur’an
merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan
menggunanakan bahasa Arab. Agar fungsi Al-Qur’an sebagai hidayah
(guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka Al-Qur’an bukan
saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan
Al-Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir
Maudhu’i. Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni
tafsir Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial
Kesejarahan.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an
yang berisi informasi tentang alam semesta yang dapat dijadikan bukti bahwa
Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya manusia, beberapa di antaranya adalah
:
- Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam Al-Qur’an Allah menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
- Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
- “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana
mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi ilmu
pengetahuan modern, seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di
atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya
Allah, firman Tuhan bukan karya nba Muhammad SAW.
Untuk
memahami isi atau pesan Al-Qur’an yang terkandung dalam seluruh ayat Al-Qur;an
tidak cukup dengan terjemah, sebab terjemah hanyalah alih bahasa, tetapi perlu
melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
Dilihat
dari caranya, dikenal dua macam penafsiran yakni tafsir tahlili dan
tafsir maudhui.Tafsir Tahili ialah menafsirkan Al-Qur’an secara runtut, ayat
perayat, dari mulai surat Al-Fátihah ayat pertama sampai surat An-Nás ayat
terakhir, tanpa terikat oleh tema, judul atau pokok bahasan. Sedangkan tafsir
Maudlu‘i ialah penafsiran berdasarkan tema-tema yang dipilih sebelumnya.
Caranya semua ayat yang berkaitan dengan tema (maudlu’i) yang dibahas
diinventarisir tanpa terikat oleh urutan surat, kemudian disistimatisir dan
ditafsirkan sehingga antara ayat yang satu dengan ayat yang lain saling
melengkapi pembahasan tema. Misalnya pembahasan tentang Riba, maka seluruh ayat
yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan masalah riba, diinventarisir
kemudian dibahas menurut sub-sub tema sehingga sampai kepada kesimpulan.
Dilihat
dari pendekatannya, tafsir terbagi dua, yakni Tafsâr bi al-Ma’`tsur dan Tafsirr
bi al-Ma‘qul. Yang dimaksud Tafsir bi al-Ma’`tsur ialah menafsirkan ayat dengan
ayat atau dengan hadits. Sedangkan Tafsir bi al-ma‘qul adalah penafsirkan
al-Qur’an dengan logika. Tafsir kedua ini sering juga disebut tafsâr bi
ar-Ra’yi. Jadi yang dimaksud dengan tafsir bi ar-Ra’yi adalah menafsirkan
Al-Qur’an dengan menggunakan dalil-dalil logika. Dari sisi perspektifnya,
tafsir Al-Qur’an juga beragam corak Apabila penafsiran Al-Qur’an dilihat dari
persepektif cabang ilmu pengetahuan tertentu seperti psikologi, sosiologi,
Biologi, dll, maka disebutlah tafsir ‘lmi. Sedangkan apabila didekati
dari perspektif tasawuf disebutlah tafsir Tasawuf .
0 comments:
Posting Komentar