-->

Bank Mu'amalat

Posted by Sarjana Ekonomi on Senin, 21 Mei 2012


PT. Bank Muamalat, Tbk. Didirikan pada tahun 1412H atau tahun 1991 diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah Indonesia. Dan melalui kegiatan operasinya pada tanggal 27 syawal 1412H atau tanggal 1 Mei 1992, dengan dukungan eksponen Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti dari dokumen pendirian sahan perseroan senilai Rp. 84 Milyar pada saat penandatanganan akta Pendirian perseroan. Selanjutnya pada acara silaturahmi pendirian di Istana Bogor diperoleh tambahan komitmen dan masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp. 106 Milyar.
Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai Bank Syariah pertama dan terkemuka di Indonesia denga beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada akhir tahun 90an, Indonesia silanda krisis moneter yang memporak porandakan sebagaian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankkan nasional tergulung oleh kredit Macet disekmen korporasi, Bank Muamalatpun terimbas danpak krisis. Di tahun 1998 rasio pembayaran macet (NPF) mencapai lebih dari 60%, perseroan mencatat rugi sebesar Rp. 105 Milyar.Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp. 39,3 Milyar, kurang sepertiga modal setor awal.
Dalam upaya memperkuat permodalannya, BankMuamalat mencari pemodal yang potensial dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 1 Juni 1999 IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat oleh karenanya kurun waktu antara tahun 1999 dan 2002 merupakan masa – masa yang penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat. Dalam kurun waktu tersebut Bank Muamalat berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba berkat upaya dan dedikasi setiap kru Muamalat. Ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni.
Melalui masa – masa yang sulit ini Bank Muamalat berhasil bangkit dari keterpurukan. Diawali dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota direksi diangkat dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar rencana kerja lima tahun dengan penekanan pada (i) Resturiksasi asset dan program efiensi (ii) tidak mengandalkan setoran modal tambahan (iii) tidak melakukan PHK satupun terhadap sumber daya insani yang ada dan dalam pemangkasan biaya, tidak memotong hak kru Muamalat sedikitpun (iv) Pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri kru Muamalat menjadi prioritas utama ditahun pertama kepengurusan direksi baru (v) Peletakkan landasan usaha baru dengan menegakkan disiplin kerja Muamalat sebagai agenda utama ditahun kedua dan (vi) Pembangunan tonggak – tonggak usaha dengan menciptakan serta menumbuhkan peluang usaha menjadi sasaran bank Muamalat pada tahun ketiga dan seterusnya yang akhirnya membawa bank kota dengan rahmat Allah Rabbul Izzati ke era pertumbuhan baru memasuki tahun 2005 dan seterusnya

1.        Pengertian Bank Syariah
Definisi Perbankan Syariah dapat diartikan sebagai suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha antar bank yang semakin tajam dewasa ini telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan baru dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional.

Fenomena ini ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank muamalat dengan sistem syariah. Suatu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum adalah terletak pada pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun para investor. Jika dilihat kenyataan di masyarakat, masih banyak terjadi kesimpangsiuran mengenai pemahaman tentang pengertian Lembaga Keuangan dengan Bank Muamalat, walaupun sesungguhnya banyak persamaan diantara kedua jenis lembaga tersebut. Hal ini diperkuat dengan Peratutan Pemerintah No. 70 Tahun 1992, tentang perubahan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) menjadi Bank Umum. Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, menurut UU No. 7 Tahun 1992, dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pada dasarnya Lembaga Keuangan Syariah atau Bank Muamalat merupakan badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan, untuk memobilisasi dana masyarakat dan memberikan pelayanan jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadist. Suatu hal yang membedakan antara Bank Islam dengan Bank Konvensional adalah penerapan sistem bagi hasil yang menggantikan sistem bunga. Sistem ini merupakan terobosan terbaru dalam dunia perbankan, bagi mereka yang tidak menginginkan adanya unsur riba pada bunga. Disisi lain, kombinasi antara manajemen Bank Umum dengan Sistem Keuangan Syariah, dapat diterapkan sebagai sarana untuk menyeimbangkan antara dua kepentingan (lenders dan borrowers).
Satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum (konvensional) adalah terletak pada pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada bank umum, pembiayaan disebut loan, sementara di Bank Syariah disebut financing. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada bank muamalat dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil.

2. Sejarah Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan lembaga keuangan dan bank muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan. Lembaga keuangan ini sudah sejak lama berkembang di negara Arab Saudi, Kuwait, Turki, Iran dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Perkembangan selanjutnya merebak ke wilayah negara Eropa, seperti Swiss dan London, serta wilayah Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Dunia perbankan ternyata bukan berasal hanya dari dunia Barat sebagaimana selama ini kita kenal dan pelajari, akan tetapi dunia perbankan juga berasal dari dunia Timur. Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan, khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan pendanaan tanpa unsur riba.

Perbankan syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990,bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Prinsip kerja bank syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

3. Bank Muamalat dan Lembaga Keuangan

Bank muamalat atau bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Kenyataan di masyarakat, mungkin terdapat kesimpangsiuran mengenai pemahaman tentang pengertian lembaga keuangan dengan bank muamalat. Lembaga keuangan dapat dikatakan sebagai badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset keuangan atau tagihan (claim) serta asset non finansial atau asset riil dan memberikan pelayanan jasa dalam bentuk skim tabungan (depositori), proteksi asuransi, program pensiun, dan penyediaan sistem pembayaran melalui mekanisme transfer dana.

Jika dilihat dari dua pengertian diatas, antara lembaga keuangan dengan bank muamalat memiliki persamaan yaitu sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan keuangan dan pendanaan maupun investasi. Pernyataan ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 1992, tentang perubahan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) menjadi bank umum. Bank umum menurut UU No. 7 Tahun 1992, disamping melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pendiri lebih menyukai bentuk lembaga keuangan, mungkin karena lapangan maupun orientasi usahanya masih dalam lingkup yang kecil. Sedangkan pendirian sebuah bank, Pada dasarnya lembaga keuangan, bank konvensional, maupun bank Islam (bank Muamalat) merupakan bagian dari manajemen keuangan modern.

Lembaga keuangan syariah maupun bank Muamalat, sebagai lembaga keuangan Islam dan alternatif pengganti bank-bank konvensional memiliki ciri-ciri keistimewaan sebagai berikut :

1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya.
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga akan berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan persaingan antar bank.
3. Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qardhul Hasan) yang diberikan secara Cuma-Cuma
4. Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan :
a.  Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak produktif melalui sistem operasi profit and loss sharing.
b.  Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan tertindas, melalui bantuan hibah yang dilakukan bank secara produktif.
c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang atau peralatan modal dengan pembayaran tangguh dan pembayaran cicilan.
d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan kerugian, baik yang diberikan kepada bank itu sendiri maupun kepada peminjam.

5.      Penerapan sistem bagi hasil yang tidak membebani biaya diluar kemampuan nasabah dan akan terjamin adanya “keterbukaan”.
6.       Menciptakan alternatif kehidupan ekonomi yang berkeadilan dalam kehidupan modern.
4. Beberapa Prinsip atau Hukum yang Dianut Oleh Sistem Perbankan Syariah Antara Lain :

1)  Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2)  Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3) Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4) Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5)  Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

5. Manajemen Kredit Syariah

Menurut UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang tagihan atau yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Kredit ini dapat digolongkan kedalam enam bentuk yaitu :
1.  Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (maturity), antara lain :
a)      Kredit jangka pendek (short-term loan).
b)      Kredit jangka menengah (medium-term loan)
c)      Kredit jangka panjang (long-term loan).

2.   Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara lain :
a)      Kredit dengan jaminan (secured loan).
b)      Kredit dengan jaminan (unsecured loan).
3.    Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, pharmasi, tekstil, makanan, konstruksi dan sebagainya.
4.    Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain :
a)   kredit komersil (commercial loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah di bidang perdagangan.
b)  Kredit konsumtif (consumer loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitur yang bersifat konsumtif.
c)  Kredit produktif (productive loan), yaitu kredit yang diberikan dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapat memperlancar produksi.
5.    Penggolongan kredit menurut penggunaannya, antara lain :
a)  Kredit modal kerja (working capital credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank untuk menambah modal kerja debitur.
b)  Kredit investasi (Invesment credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk digunakan melakukan investasi dengan membeli barang-barang modal.

6.    Kredit non kas (non cash loan), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah yang hanya boleh ditarik apabila suatu transaksi yang telah diperjanjikan telah direalisasikan atau efektif.

Dalam pendanaan kepada nasabah dalam bentuk pemberian kredit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penilaian kredit, oleh karena layak tidaknya kredit yang diberikan akan sangat mempengaruhi stabilitas keuangan bank. Penilaian kredit harus memenuhi criteria sebagai berikut :
1.       Keamanan kredit (safety). Harus benar-benar diyakini bahwa kredit tersebut dapat dilunasi kembali.
2.       Terarahnya tujuan penggunaan kredit (suitability). Kredit akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau setidaknya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3.       Menguntungkan (profitable). Kredit yang diberikan menguntungkan bagi bank maupun bagi nasabah.
Metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan nilai kredit adalah dengan menggunakan formula 4P, yaitu :
a)      Personality
b)      Purpose
c)      Prospect
d)      Payment
Risiko Bank Syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank Syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa. Sementara untuk deposan, Bank Syariah tidak memberikan bunga melainkan sistem bagi hasil atau mudharabah.

Jika pendapatan dari kredit atau dalam Bank Syariah disebut murabahah ditetapkan 10 persen, maka pada mudharabah (sistem bagi hasil) akan ditetapkan angka lebih rendah. Selisihnya merupakan pendapatan bank sebagai biaya jasa. Risiko Bank Syariah terhadap transaksi foreign exchange juga rendah karena, pada Bank Syariah transaksi valas hanya diizinkan dalam bentuk transaksi spot. Sementara forward dan swap tidak diizinkan karena bersifat gambling.

Aspek-aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam penilaian kredit, yang menyangkut kegiatan usaha calon debitur, antara lain :
1.  Aspek pemasaran. Menyangkut kemampuan daya beli masyarakat, keadaan kompetisi, pangsa pasar, kualitas produksi dan lain sebagainya.
2.  Aspek teknis. Meliputi kelancaran produksi, kapasitas produksi, mesin dan peralatan, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku.
3.  Aspek manajemen. Meliputi struktur dan susunan organisasi, termasuk pengalaman anggota dan pola kepemimpinan manajemen.
4.  Aspek yuridis. Meliputi status hukum badan usaha, kelengkapan izin usaha dan legalitas barang jaminan.
5.   Aspek sosial ekonomi. Meliputi keadaan keuangan perusahaan debitur yang dibiayai.

Manajemen kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan berpegang teguh kepada syariah Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadist). Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah dapat menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu, bank syariah diharapkan dapat lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain, penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan berjalan normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.
Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah atau bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya, antara lain :
1.      Modal (capital).
2.      Human resource activity (kegiatan operasional).
3.      Operational management system (sistem manajemen keuangan).
4.      Financial management system (sistem manajemen keuangan).
5.      Loyality of credit (loyalitas kredit).

Pada sisi kredit, dalam aturan syariah bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah). Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam Bank Syariah, karakter nasabah (personal guarantee) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset. Debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya baik akan mendapat prioritas.

SEJARAH BAITULMAAL MUAMALAT (BMM)

Bank Muamalat pada tahun 1994 membentuk unit pengelola dana ZIS dan sosial kebajikan yang kemudian disebut Baitulmaal. Unit yang awalnya didirikan atas dasar tanggungjawab Bank Muamalat terhadap pemberdayaan ekonomi mikro ini, pada tanggal 16 Juni 2000 diresmikan sebagai lembaga amil zakat nasional oleh Menteri Agama RI. Kemudian sesuai tuntutan masyarakat akan lembaga amil zakat yang independen dan profesional dan UU No.38 tahun 1999, pada tanggal 22 Desember 2000 badan hukum Baitulmaal Muamalat resni didirikan yaitu Yayasan Baitulmaal Muamalat.

Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia

 Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia diawali dari aspirasi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan yang Islami. Selain itu, masyarakat meyakini bahwa sistem perbankan syariah yang menerapkan bagi hasil sangat menguntungkan, baik untuk nasabah dan bank.
Pada awal tahun 1980-an, rintisan pendirian perbankan syariah mulai dilakukan. Maraknya seminar dan diskusi tentang urgensi bank syariah yang dilakukan masyarakat dan akademisi kian memantapkan langkah itu. Sebagai sebuah uji coba, mereka kemudian mempraktekkan gagasan tentang bank syariah dalam skala kecil. Sejak itu, berdirilah Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.
Keberadaan badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan lembaga keuangan konvensional yang sudah ada.
Mencermati aspirasi masyarakat untuk memiliki lembaga keuangan syariah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan melakukan pendalaman konsep-konsep keuangan syariah, termasuk sistem perbankan syariah.
Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990.

Hasilnya, lahirnya amanat untuk pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia Economic Development (ISED).

Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992.

Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indoneisa.
Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.

Dalam perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu perekonomian nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan.
Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekedar bank” (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, diyakini bahwa di masa mendatang minat masyarakat Indonesia akan semakin tinggi untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya, hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).





Previous
« Prev Post

Related Posts

Senin, Mei 21, 2012

0 comments:

Posting Komentar